A. DEFINISI
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes Melitus (DM) adalah
keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan
hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf,
dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis (Mansjoer dkk, 2007).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetes
merupakan suatu kelompok panyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan defisiensi dari insulin dan kehilangan
toleransi terhadap glukosa (Rab, 2008). Diabetes melitus merupakan sekelompok
kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia yang disebabkan karena defisiensi insulin atau akibat kerja insulin
yang tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2002).
B. KLASIFIKASI
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus dalam Corwin
(2009), menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu:
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I.
Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin
dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
90% sampai 95% penderita diabetis adalah diabetes tipe II. Kondisi ini
diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin)
atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama
adalah dengan diet dan olahraga, jika kenaikan kadar glukosa darah
menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin
dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia).
Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan
pada mereka yang obesitas.
3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,
infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan
karakteristik gangguan endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.
C. ETIOLOGI
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi
mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya
diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang
memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi
dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penelitian menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola
familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin
maupun dalam kerja insulin. Awalnya, tampak terdapat resistensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel.
Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin
dengan system transport glukosa.
Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama
dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang
beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,
1995 dalam Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes
Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk
Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
Obesitas
Riwayat keluarga
Kelompok etnik
D. PATOFISIOLOGI
a. Diabetes Tipe 1
Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam
amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses
ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan
gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik
tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan
latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting (Brunner & Suddart, 2002).
b. Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi
insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II.
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama tidak
sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur jika kadar
glukosanya sangat tinggi (Brunner & Suddart, 2002).
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Diabetes Tipe I
Hiperglikemia saat berpuasa
Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
Keletihan dan kelemahan
Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas
bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, poliuria, polidipsia, luka pada
kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
F. DATA PENUNJANG
Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi glukosa > 200
mg/dl, 2 jam setelah pemberian glukosa.
Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat
Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I
Elektrolit: Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun, Kalium
normal atau peningkatan semu selanjutnya akan menurun, fosfor sering
menurun.
Gas darah arteri: menunjukkan pH rendah dan penurunan HCO3
Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis dan
hemokonsentrasi merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal
Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau normal sampai
tinggi (Tipe II)
Urine: gula dan aseton positif
Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan
infeksi luka.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe DM (Diabetes
Melitus) digolongkan sebagai akut dan kronik (Mansjoer dkk, 2007)
1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah.
a. HIPOGLIKEMIA/KOMA HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemik adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula
darah yang normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai
keadaan. Salah satu bentuk dari kegawatan hipoglikemik adalah
koma hipoglikemik. Pada kasus sopor atau koma yang tidak
diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu
hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pemberian glukosa.
Koma hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin.
Selain itu dapat pula disebabkan oleh karena terlambat makan atau
olahraga yang berlebih. Diagnosa dibuat dari tanda klinis dengan
gejala hipoglikemik terjadi bila kadar gula darah dibawah 50 mg%
atau 40 mg% pada pemeriksaaan darah jari.
2. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan.
Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi
koroner, vaskular perifer dan vaskular serebral.
Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata
(retinopati) dan ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah untuk
memperlambat atau menunda awitan baik komplikasi mikrovaskular
maupun makrovaskular.
Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi
serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
Ulkus/ gangren/ kaki diabetik
H. PENATALAKSANAAN
1. Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler
serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar
glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu :
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat :
Memperbaiki kesehatan umum penderita
Mengarahkan pada berat badan normal
Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik
Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita
Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah :
Jumlah sesuai kebutuhan
Jadwal diet ketat
Jenis : boleh dimakan / tidak
Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman
3 J yaitu:
Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau
ditambah
Jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya
Jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus
disesuaikan oleh status gizi penderita, penentuan gizi dilaksanakan
dengan menghitung Percentage of Relative Body Weight (BBR =
berat badan normal) dengan rumus :
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah :
Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 1 1/2 jam
sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita
dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan
meningkatkan sensivitas insulin dengan reseptornya.
Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein
Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan
dirangsang pembentukan glikogen baru.
Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena
pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
c. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan
kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media
misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan
sebagainya.
d. Obat
Tablet OAD (Oral Antidiabetes)/ Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Mekanisme kerja sulfanilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin
yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dam
meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada penderita dengan berat
badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang berat
badannya sedikit lebih.
2) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai
efek lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu :
Biguanida pada tingkat prereseptor → ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di hati
- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor
insulin. Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek
intraselluler.
3) Insulin
Indikasi penggunaan insulin
DM tipe I, DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat
dengan OAD, DM kehamilan, DM dan gangguan faal hati yang
berat, DM dan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren), DM dan
TBC paru akut, DM dan koma lain pada DM, DM operasi, DM
patah tulang, DM dan underweight, DM dan penyakit Graves.
4) Cangkok pancreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok adalah segmental dari donor
hidup saudara kembar identik.
2. Keperawatan
Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk
melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut
a. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik, antara lain:
Airway + cervical control
Airway
Lidah jatuh kebelakang (koma hipoglikemik), Benda asing/darah pada
rongga mulut
Cervical Control
Breathing + Oxygenation
Breathing : Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
KAD : Pernafasan kussmaul
HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
Oxygenation : Kanula, tube, mask
Circulation + Hemorrhage control
Circulation :
Tanda dan gejala shock
Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
Hemorrhage control : -
Disability : pemeriksaan neurologis GCS
A : Allert : sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon : kesadaran menurun, berespon terhadap suara
P : Pain Respons : kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara,
berespon terhadap rangsangan nyeri
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara,
tidak berespon terhadap nyeri
b. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa
meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
Anamnese
a. Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien mungkin
berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang kabur,
kelemahan dan sakit kepala
b. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK),
penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit, obesitas,
riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat
glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi, penyakit)
atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi oral).
e. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap
penyakit penderita.
f. Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan,
peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini menunjukkan gangguan elektrolit dan
terjadinya komplikasi aterosklerosis.
g. Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik
dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
Diagnosa keperawatan yang Mungkin Muncul
o Bersihan jalan napas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas / peningkatan
sekresi trakheobronkheal
o Hipoglikemia b.d intake nutrisi kurang
o Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penurunan sirkulasi darah
ke otak, proses penyakit (DM)
o Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d gejala poliuri dan
dehidrasi
o Penurunan curah jantung b.d gangguan irama jantung, stroke volume,
preload dan afterload, kontraktilitas jantung.
Rencana Keperawatan
- Airway manajemen
o Buka jalan napas, gunakan
teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
o Posisikan klien untuk
memaksimalkan ventilasi
o Identifikasi klien perlunya
pemasangan jalan napas
buatan
o Pasang mayo bila perlu
o Lakukan fisioterapi dada
bila perlu
o Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
o Auskultasi suara napas ,
catat adanya suara
tambahan
o Kolaborasi pemberian
bronkodilator bila perlu
o Monitor respirasi dan
status oksigen
- Cough Enhancement
o Monitor fungsi paru-paru,
kapasitas vital, dan
inspirasi maksimal
o Dorong pasien melakukan
nafas dalam, ditahan 2
detik lalu batuk 2-3 kali
o Anjurkan klien nafas
dalam be-berapa kali,
dikeluarkan dengan pelan-
pelan dan batukkan di
akhir ekspirasi
- Terapi Oksigen
o Bersihkan secret di mulut,
hidung dan trachea /
tenggorokan
o Pertahankan patensi jalan
nafas
o Jelaskan pada klien /
keluarga tentang
pentingnya pemberian
oksigen
o Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
o Pilih peralatan yang sesuai
ke-butuhan : kanul nasal
1-3 l/mnt, head box 5-10
l/mnt, dll
o Monitor aliran O2
o Monitor selang O2
o Cek secara periodik selang
O2, humidifier, aliran O2
o Observasi tanda
kekurangan O2 : gelisah,
sianosis dll
o Monitor tanda keracunan
O2
o Pertahankan O2 selama
dalam transportasi
o Anjurkan klien / keluarga
untuk mengamati
persediaan O2, air
humidifier, jika habis
laporkan petugas jaga.
- Mengatur posisi
o Atur posisi pasien semi
fowler, ekstensi kepala
o Miringkan kepala bila
muntah
- Fisioterapi dada
o Tentukan adanya
kontraindikasi fisioterapi
dada
o Tentukan segmen paru-
paru yang memerlukan
Fisioterapi dada
o Posisikan klien dengan
segmen paru yang
memerlukan drainase dile-
takkan lebih tinggi
o Gunakan bantal kepala
untuk membantu mengatur
posisi
o Kombinasikan teknik
perkusi dan posturnal
drainase
o Kombinasikan teknik
fibrasi dan posturnal
drainase
o Kelola terapi inhalasi
o Kelola pemberian
bronchodilator, mukolitik
o Monitor dan tipe sputum
o Dorong batuk sebelum dan
sesudah posturnal drainase
2 Hipoglikemia b.d intake nutrisi Setelah dilakukan tindakan o Pantau kadar gula sebelum
kurang keperawatan selama … x 24 pemberian obat
jam, perawat akan menangani hipoglikemia
Populasi resiko tinggi : dan meminimalkan episode o Pantau tanda gejala
o DM hipoglikemia dngan gejala : hipoglikemia
o Nutrisi Parenteral o Kadar gula <70 mg/dl o Jika klien dapat menelan
o Sepsis o Kulit lembab dingin, berikan jus jeruk, cola, atau
o Terapi Kortikosteroid pucat jahe setiap 15 menit sampai
o Hiperglikemia o Takikardi kadar gula meningkat
o Hipoglikemia hiperfungsi o Gelisah diatas 69 mg/dl
kelenjar adrenal o Tidak sadar o Jika klien tidak dapat
o Mudah mengantuk menelan berikan glucagon
o Tidak terkoordinasi SC atau 50 ml glukosa
50% IV
o Periksa kadar gula darah
setelah 1 jam pemberian
terapi glukosa
o Konsul dengan ahli gizi
untuk pemberian kudapan
atau kabohidrat yang lebih
kompleks
- Monitoring Elektrolit
o Monitor elektrolit serum
o Laporkan jika ada
ketidakseimbangan
elektrolit
o Monitor tanda dan gejala
ketidakseimbangan
elektrolit (kejang, kram
perut, tremor, mual dan
muntah, letargi, ce-mas,
bingung, disorientasi, kram
otot, nyeri tulang, depresi
pernapasan, gangguan
irama jantung, penurunan
kesadaran : (apatis, coma)
- Manajemen Elektrolit
o Pertahankan cairan infus
yang mengandung elektrolit
o Monitor kehilangan
elektrolit lewat suction
nasogastrik, diare,
diaporesis
o Bilas NGT dengan normal
salin
o Berikan diet makanan yang
kaya kalium
o Berikan lingkungan yang
aman bagi klien yang
mengalami gangguan
neurologis atau
neuromuskuler
o Ajari klien dan keluarga
tentang tipe, penyebab, dan
pengobatan ketidak-
seimbangan elektrolit
o Kolaborasi dokter bila
tanda dan gejala
ketidakseimbangan
elektrolit menetap.
o Monitor respon klien
terhadap terapi elektrolit
o Monitor efek samping
pemberian suplemen
elektrolit.
o Kolaborasi dokter
pemberian obat yang
mengandung elektrolit
(aldakton, Kcl, Kalsium
Glukonas).
o Berikan suplemen elektrolit
baik lewat oral, NGT, atau
infus sesuai advis dokter
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC.
Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC.
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Indriastuti, N. (2008). Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi Pleura dan
Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Johnson, M., et all. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River.
Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Rab, T. (2008). Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni.