Anda di halaman 1dari 6

HUKUM

PARADIGMA, METODE DAN MASALAH

Sosiologi hukum merupakan cabang kajian sosiologi yang memusatkan pada ihwal
hukum. Sosiologi hukum berbeda dengan ilmu hukum murni/jurisprudence karena sosiologi
hukum tidak hanya mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau sejumlah kaidah
khusus yang berlaku tetapi lebih kepada bagaimana penerapan hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum juga tidak dapat disamakan dengan sociological
jurisprudence karena sosiologi hukum, adalah suatu intelectual exercise yang akan (lebih)
bersifat eksplanatif, berawal dari suatu upaya pengamatan yang bermetode, yang karena itu juga
terkontrol, untuk menghindarkan para pengkajinya dari segala bentuk interupsi subjektivitas.

Sejalan dengan perkembangan waktu maka terjadi pula perubahan-perubahan pada


paradigma ilmu hukum. Hukum nasional yang kita kenal dalam praktik maupun teori hukum di
Indonesia dewasa ini adalah praktik dan teori (atau tepatnya: doktrin) yang dihasilkan oleh suatu
perkembangan sejarah yang panjang, yang apabila diturutkan balik akan terpulang ke masa
sejarah abad-abad pertengahan Eropa Barat. Bagaimanapun juga, hukum itu bukan terproses
menuruti silogisme-silogisme logika yuridis para pakar saja melainkan sesungguhnya
merupakan sejumlah kepentingan politik yang manifes di dalam kehidupan yang konkret
sebagaimana yang dapat disimak dalam kenyataan pengalaman sehari-hari.

Dalam hal ini, ilmu modern (sains) meneruskan tradisi olah pikir Yunani yang
berkehendak menyimpulkan kebenaran dari suatu proses berpikir yang prosedur-prosedurnya
ditunjukkan oleh Aristoteles dalam format-format yang disebut silogisme. Ada dua silogisme
yang dikenal, yaitu silogisme deduksi dan silogisme induksi. Pada masa yang lalu, pada awal-
awal perkembangannya, ketika sains sosial baru berkesempatan berbenah dengan menata
konsep-konsep dan teori-teori dasarnya, kesulitan dalam hal aplikasi metode dan
penjabarannya ke dalam rupa prosedur penelitian menurut tradisi sains untuk menjawab
permasalahan sosial tidaklah banyak dirasakan dan dikesankan orang, analogi-analogi dari
konsep dan teori biologi banyak didapati tanpa keberatan dalam sains sosial. Analogi-analogi
seperti ini seperti struktur dan fungsi (berikut permasalahannya) serta perubahan masyarakat
yang beranalog dengan anatomi, fisiologi, patologi dan evolusi tidaklah atau belum
membangkitkan kesadaran akan adanya kesulitan-kesulitan metodologi Penelitian sosial dalam
format makro. Pendekatan makro sendiri mulai terjadi di dalam kehidupan yang mulai banyak
mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum
(positif) tak berfungsi efektif untuk menata kehidupan. Sedangkan pendekatan mikro adalah
sebuah model normologis kehidupan yang riil, demi terwujudnya tertib sosial hukum harus
ditaati penuh, entah dengan cara mengedepankan sanksi-sanksi koersifnya, entah pula dengan
cara menggugah kesadaran warga untuk bersikap patuh secara sukarela.

SEPERTI halnya teori – yang pada hakikatnya adalah unsur atau the building block suatu
teori (dan pada gilirannya teori adalah the building block suatu cabang ilmu) – konsep adalah
juga suatu realitas yang berada di ranah atau tataran idea manusia, hadir sebagai konstruksi yang
menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak yang simbolis suatu realitas empiris. Konsep
(berasal dari kata Latin conceptus yang berarti “buah gagasan”) berhubungan dengan benda atau
gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimajinasikan dan
didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai
apa yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan, mungkin sebagai
doktrin dan mungkin pula sebagai teori yang grounded on (empirical) data. Tergantung dari
konsep yang ditegaskan – apakah hukum itu suatu konsep doktrinal/normatif ataukah konsep
yang diangkat dari realitas nondoktrinal/empiris – itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.

Pada suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, seorang mantan hakim militer pernah
menceriterakan suatu kasus kepada saya tentang terpidananya seorang bintara TNI. Bintara itu
didakwa dan dipidana karena ia terbukti menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai
anggota Fretilin, yang dilakukannya di luar prosedur hukum. Bintara itu beralasan bahwa ia
melakukan tindakan yang didakwakan itu hanya karena ia itu bermaksud mematuhi perintah
atasannya dalam kedudukannya sebagai perajurit bawahan. Dikatakan oleh si bintara terpidana
itu di hadapan sidang, bahwa perwira atasannya itu – setelah menerima laporan tertangkapnya
seorang penduduk desa yang patut dicurigai sebagai anggota Fretilin – telah memerintahkan
kepadanya agar tawanan itu “segera diberesi”. Taat pada perintah atasan, serta merta ia
“memberesi” tawanannya itu dengan menggiringnya ke pinggir desa dan kemudian
menembaknya sampai mati.
Apa yang dijumpai pemerintah kolonial Inggris di Afrika sebagaimana dilaporkan
Seidman sesungguhnya dijumpai pula oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada saat itu
harus bekerja di bawah ketentuan-ketentuan Regeringsreglement 1854. Kesadaran akan
kenyataan adanya pluralisme budaya, dan kenyataan bahwa lingkungan institusional pribumi
sulit diubah untuk memudahkan resepsi hukum Eropa, untuk sementara telah meredakan niat
pendukung kebijakan universalis, bahwa hukum Eropa akan dapat diterapkan dimana saja
dengan efek yang sama baiknya dengan ketika diundangkan untuk masyarakat Belanda di Eropa.

Perkembangan hukum nasional di mana-mana berlangsung berseiring dengan


perkembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak pelak lagi kenyataannya memang
demikian, karena apa yang disebut hukum nasional itu pada hakekatnya adalah hukum yang
kesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara.
Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dari lingkar-lingkar
kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada
tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut
negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu
dan pasti (alias positif) amatlah terasanya. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum
terlihat marak disini, seolah menjadi bagian inheren proses nasionalisasi dan negaranisasi serta
modernisasi yang amat berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan
tradisional.

Pernah dipertanyakan, apakah yang disebut Indonesia itu merupakan atau telah
merupakan suatu realitas sejarah? Ataukah masih saja merupakan suatu fenomena dalam alam
imajinasi belaka, yang nyatanya sampai saat ini tak juga kunjung dapat diaktualisasikan secara
purna. Tidaklah kiranya ada orang yang dapat mengingkari bahwa fenomena Indonesia itu
sebenarnya baru lahir sebagai cita-cita politik pada dasawarsa kedua abad yang lalu. Itupun
tatkala suprastrukturnya berhasil dibangun sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
pertengahan abad, infrastrukturnya yang secara social dan cultural tak juga kurang terbenahi,
dan bahkan cenderung terabaikan, untuk benar-benar dapat dikembangkan sebagai suatu satuan
masyarakat bangsa yang terintegrasi kuat.
Paralegal adalah sebuah konsep baru yang muncul dalam khasanah pemikiran dan
praktek pembangunan sosial dan pengembangan institusi hukum pada waktu akhir-akhir ini saja.
Tak pelak, tinjauan sosio-historis mengenai paralegal ini tidaklah akan berbicara banyak
mengenai “paralegal”-nya itu sendiri melainkan hanya akan lebih banyak mengenai kebijakan-
kebijakan sosio-politik dan konteks-konteks sosio-kultural yang berkembang sebelumnya (atau
tak memungkinkan) pertumbuhan institusi-institusi hukum tertentu.

SECARA formal, menurut sumber resminya yang sah berdasarkan rumusan peraturan
perundang-undangan yang positif (legal), dan/atau yang berdasarkan moral hukumnya (lawful),
lukisan tentang hubungan antara negara dan masyarakat di negeri mana pun selalulah dapat
disimak balik dari bunyi konstitusinya. Bukanlah menurut idenya (yang dinamakan
konstitusionalisme), apa yang disebut konstitusi selalu dimaksudkan untuk mengatur hubungan
yang fungsional antara "kekuasaan" (yang dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara
negara) dan "kebebasan" (yang tetap diakui sebagai bagian dari eksistensi kodrati manusia-
manusia warga negara). Itu berarti bahwa besar-kecilnya kekuasaan yang akan dipercayakan ke
tangan para pejabat penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh luas-sempitnya ranah
kebebasan yang tetap dikukuhkan pada – dan karena itu juga tetap dikukuhi di tangan – para
warga.

SUPREMASI hukum doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Barat
adalah suatu doktrin hukum yang sudah bermula dan berkembang sejak lama di negeri-negeri
Eropa (kawasan Katolik) Barat. Dalam bentuk embrionalnya, doktrin ini sudah mulai
berkembang sejak dimaklumatkannya Dictatus Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075,
pada suatu abad tatkala dunia Nasrani terancam merosot ke titik nadir setelah terpukul kekalahan
berulang dalam perang salib. Mereaksi kenyataan seperti itu, dengan maklumatnya itu Paus
Gregorius VII mencoba mengorganisasi kembali kehidupan umat di kawasan Barat. Manifesto
Paus ini berisi tak kurang dari 27 butir yang disusun dan dimaklumatkan sepihak, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Paus yang juga Uskup di Roma itulah satu-satunya pemegang
kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun
yang duniawi) di kawasan imperium Barat atas orang-orang Nasrani dan atas para padri, dan
pula atas para penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Sebagai pemegang kekuasaan
hukum tertinggi yang universal, Paus menyatakan bahwa dirinyalah satu-satunya penguasa yang
tak akan terikat pada ucapan dan keputusannya sendiri.

Dalam penjelasan UUD 45 (yang dijadikan bahan penataran P4 pada masa yang lalu), apa
yang disebut “negara hukum” disebutkan di situ secara lebih lengkap dalam suatu rangkaian
kata-kata: “negara yang berdasarkan hukum”. Sebenarnya istilah ini, entah dituliskan pendek-
pendek entah pula dituliskan agak panjang sebagai suatu frase, adalah hasil terjemahan dari
istilah hukum berbahasa Belanda rechtstaat, atau yang di dalam bahasa Jerman dituliskan
Rechtstaat atau pula yang di dalam Bahasa Inggris dituliskan the lawstate atau the state of law.

Kewarganegaraan adalah suatu konsep yang sebenarnya belum berumur lama. Konsep
ini dalam versinya yang modern – berkembang secara berangsur dalam praktik, wacana dan
pemikiran serta esai-esai bersamaan waktu dengan tumbuh-kembangnya negaranegara bangsa
dan pencarian format hukum nasional yang lebih berkepastian, positivistis dan sekular di Eropa
Barat sejak abad 18-an. Konsep ini kemudian memperoleh rumusannya yang lebih pasti pada
akhir abad 19 dengan terbentuknya dua negara Republik lewat dua revolusi, yaitu Revolusi
Kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi Kerakyatan Prancis (1789).

Sebuah wawasan – demikian juga yang mengenai soal kebangsaan – (yang sungguh
relevan dan oleh sebab itu akan ikut menentukan arah proses pembuatan kebijakan) lazimnya
berangkat terlebih dahulu dari suatu kepahaman konseptual mengenai apa yang dimaksud
dengan “bangsa” itu. Memahami kebangsaan dalam konsepnya sebagai “kesatuan manusia yang
berketunggalan moyang, bahasa, tradisi dan bermacam simbol kultural lainnya”, elite-elite
nasional akan cenderung berarah ke pembuatan kebijakan-kebijakan yang sifatnya sentralistis.
Sementara itu, memahami kebangsaan dalam konsepnya sebagai “persatuan kelompok-kelompok
manusia yang berbeda-beda asal dan tradisi”, kebijakan-kebijakan nasional akan cenderung
terproses sebagai hasil diskursus-diskursus dan kesepakatan berbagai pihak.

PERKEMBANGAN demokrasi yang semarak bermula sejak bergejolaknya revolusi


kemerdekaan Amerika dan revolusi Prancis yang berhasil menamatkan rezim-rezim otokratis
pada akhir abad 18. Demokrasi yang pada zaman Yunani dibilangkan sebagai model
pemerintahan yang buruk (karena bentuk aristokrasi yang mempercayakan kekuasaan
pemerintahan kepada para filosof itulah yang harus dipandang terbaik) sejak akhir abad 18 itu
telah diterima dan kemudian dicoba-praktikkan sebagai model pemerintahan yang paling baik
untuk mengorganisasi kehidupan berbangsa dan bernegara modern.

KEHIDUPAN kebangsaan di banyak negeri bekas jajahan – antara lain juga di Indonesia
– adalah fenomena dan realitas abad 20. Model kehidupan seperti ini mulai dikenal di negeri-
negeri jajahan dan bekas jajahan tatkala “para tuan kolonial” mulai memperkenalkannya kepada
elite-elite terpelajar di negeri-negeri jajahannya itu. Di Indonesia, misalnya, konsep kebangsaan
pun baru dikenal pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad 20. Sebelum itu tidak pernah ada dan
tidak pernah dikenalah apa yang disebut bangsa atau “nasion” Indonesia itu. Bahkan nama dan
kata Indonesia itu saja tidak dikenal secara umum pada satu dua dasawarsa pertama abad 20 itu,
kira-kira 40 tahun semenjak Adolf Bastian memperkenalkan istilah itu untuk menyebut
“Kepulauan India” (= Indus + Nesos) di dalam bahasa Latin.

MEMBUKA wacana dalam topik diskusi kali ini, siapa pun yang akan ikut ambil bagian
dalam diskusi haruslah bisa memperoleh pengertian yang jelas terlebih dahulu mengenai soal,
pertama, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan reformasi dan reformasi hukum itu?
Kedua, mengapa pula harus ada reformasi dan untuk tujuan apakah reformasi itu? Menurut arti
harafiahnya, reformasi – yang berasal dari bahasa Latin re + formare (forma = “bentuk”,
sedangkan formare berarti “membentuk” – ed.), – dapatlah didefinisikan sebagai “usaha untuk
membentuk ulang”. Tetapi dalam perkembangannya yang lebih kemudian, selepas terjadinya
rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran Kristiani di Eropa Barat pada abad XVI (yang
menyebabkan terjadi perpisahan gereja antara yang Protestan dan yang Katolik), istilah
“reformasi” mengimplikasikan suatu unsur dan makna baru di dalamnya, yaitu unsur “koreksi”.
Kata “reformasi” tidak lagi sebatas artinya sebagai “upaya untuk membentuk ulang (memformat
ulang) suatu struktur, yang dilakukan lewat serangkaian tindakan korektif.

Anda mungkin juga menyukai