Anda di halaman 1dari 39

10

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Konsep kanker serviks

1. Pengertian kanker

Kanker yang disebut juga keganasan atau tumor ganas adalah istilah

untuk menjelaskan suatu penyakit dimana sel-sel tubuh yang

normalberubah menjadi abnormal. Sel-sel abnormal tersebut

bermultiplikasi tanpa kotrol, serta dapat menginvasi jaringann sekitarnya;

organ yang didekat maupun organ yang jauh. Ada tiga faktor penyebab

utama kanker yaitu; genetic predisposition (faktor keturunan), genetic

environment, dan interaksi agen-agen infeksi (Palengaris, 2007).

2. Pengertian Kanker serviks

Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel serviks,

kanker serviks dapat berasal dari sel-sel di leher rahim tetapi dapat pula

tumbuh dari sel-sel mulut rahim atau keduanya.

Kanker leher rahim atau yang disebut juga sebagai kanker serviks

merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human

pappiloma virus onkogenik, mempunyai persentase yang cukup tinggi

dalam menyebabkan kanker serviks, yaitu sekitar 99,7%, kanker serviks

adalah salah satu penyakit kanker yang paling banyak terjadi pada kaum

wanita. Setiap satu jam, satu wanita meninggal di indonesia karena kanker

serviks.
11

Dapat disimpulkan bahwa kanker serviks adalah sel-sel abnormal

yang tumbuh disekitar leher rahim atau serviks yang di sebabkan oleh

HPV (Human Pappiloma Virus).

3. Etiologi / Penyebab Kanker Serviks

Penyebab langsung kanker leher rahim belum diketahui. Namun,

menurut para ahli kanker bahwa 80-85% kanker leher rahim disebabkan

karena faktor ekstrentik berupa smegma, infeksi Human Papilloma Virus

(HPV), penyakit menular seksual yang ditularkan lewat spermatozoa yang

membawa HPV, makanan yang mengandung karsinogen, dan polusi udara

(mangan, 2003; Mansjoer, Trianti, Savitri, Wardhani, Setyowulan, 2000).

Sekitar 10-15% disebabkan karena faktor intrinsik berupa faktor

keturunan dan kesalahan replika sel (Mangan,2003).

4. Faktor Resiko Kanker Serviks

Beberapa faktor risiko terjadinya kanker serviks (Rasjidi, 2009) yaitu :

a. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual

Makin muda umur pertama kali melakukan hubungan

sesksual, maka makin tinggi risiko terjadi kanker serviks uteri.

Hubungan seksual pada usia terlalu dini (< 16 tahun) bisa

meningkatkan risiko terserang kanker serviks dua kali lebih besar

dibandingkan mereka yang melakukan hubungan seksual setelah

usia 20 tahun (Tilong, 2012) mengemukakan. Berdasarkan

penelitian para ahli, wanita pada usia yang melakukan hubungan

seksual kurang dari 15 tahun mempunyai risiko 10 kali lipat dan

wanita yang melakukan hubungan seksual sebelum usia 18 tahun


12

akan berisiko terkena kanker serviks sampai 5 kali lipat (Rasjidi,

2009).

b. Perilaku Seksual

Risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila

berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks. Risiko juga

meningkat bila berhubungan seks dengan laki-laki berisiko tinggi

(laki-laki yang berhubungan seks dengan banyak wanita), atau

laki-laki yang mengidap penyakit “jengger ayam” (kondiloma

akuminata) di zakarnya (penis) (widyastuti, 2009). Wanita dengan

riwayat memikili banyak pasangan seksual berkemungkinan lebih

tinggi menderita kanker serviks daripada wanita dengan satu

pasangan tetap (Aulia, 2012). Demikian halnya dengan wanita

yang melakukan hubungan seksual dengan pria yang memiliki

banyak pasangan seksual karena memiliki risiko tinggi terinfeksi

HPV.

c. Wanita Perokok

Tembakau mengandung bahan bahan karsinogen baik yang

dihisap sebagai rokok/sigaret maupun yang dikunyah. Asap rokok

di hasilkan dari rokak terdapat polycyclic aromatic hydrocarbons

heterocyclic amine yang sangat bersifat karsinogen dan mutagen,

sedangkan jika dikunyah akan menghasilkan nitrosamine. Zat-zat

yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah

serviks wanita porokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi

virus. Bahkan bahan-bahan yang dihasilkan oleh tembakau dapat


13

menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga

mengakibatkan neoplasma serviks (Rasjidi, 2010). Wanita yang

aktif merokok memiliki risiko 2 kali lipat terkena kanker serviks

dibandingkan dengan wanita bukan terkandung nikotin dan zat

lainnya yang terdapat di dalam rokok. Nikotin dan zat-zat yang

terdapat di tembakau tersebut dapat menurunkan daya tahan

serviks dan menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga

timbul kanker serviks, di samping merupakan kokarsinogen infeksi

virus.

d. Riwayat Ginekologis

Hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen

persalinan yang tidak tepat (trauma kronis pada serviks), banyak

anak (lebih dari 3 kali melahirkan, adanya infeksi, atau iritasi

menahun dapat pula meningkatkan risiko (Sarjadi, 1995). Kanker

serviks sangat jarang terjadi pada wanita yang masih perawan,

insiden lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak

kawin (Sarwono, 2014). Pada wanita yang sering partus

diperkirakan risiko 3-5 lebih besar untuk terjadi kanker. Terjadinya

robekan pada bagian leher rahim yang tipis kemungkinan dapat

menyebabakan suatu peradangan dan sehingga selanjutnya berubah

menjadi kanker. Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita

pernah melahirkan. Paritas yang dikatakan berbaya apabila

memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan

terlampau dekat maka dapat menimbulkan perubahan sel-sel


14

abnormal pada mulut rahim dan dapat berkembang menjadi

keganasan pada daerah mulut rahim (Bertiani, 2009)

e. Sosial ekonomi

Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial

ekonomi rendah, mungkin ada kaitannya dengan gizi dan imunitas.

Dimana pada golongan ekonomi sosial rendah umumnya kwalitas

dan kuantitas makanan yang mereka konsumsi kurang hal ini

mempengaruhi imunitas tubuh. Dan juga ada hubungannya

keterbatasan akses ke sistem pelayanan kesehatan(Pudiastuti, 2010).

pada mereka golongan sosial ekonomi yang rendah, memiliki risiko

lebih tinggi untuk menderita kanker serviks daripada tingkat sosial

ekonomi menengah atau tinggi (Laila, 2008).

f. Pendidikan

Biasanya tingkat rendahnya pendidikan berkaitan dengan

tingkat sosial ekonomi,kehidupan seks, dan kebersihan (Rustam E

Harahap, 1984). Keterbatasan pengetahuan masyarakat tertuma

pada kaum ibu mengenai kanker serviks dan keengganan untuk

melakukan deteksi dini menyebabkan sebagian besar (>70%)

penderita berobat ke pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan

lanjut dan sulit diobati (Aulia, 2012).

g. Pekerjaan

Saat ini ketertarikan dipusatkan pada keterpaparan zat-zat

tertentu dari suatu pekerjaan seperti; debu, logam, bahan kimia, tar,
15

atau oli mesin dapat menjadi faktor risiko kanker serviks (Rasjidi,

2009).

h. Hygiene dan Sirkumsisi

Wanita Jahudi jarang dijangkiti oleh kanker serviks, diduga

hal ini ada kaitannya dengan hygiene dan sirkumsisi. Pada wanita

Jahudi dikenal dengan hygiene seksual yang baik jarang

ditemukan kanker serviks. Pada wanita Muslim di India, kanker

serviks lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan wanita

non-muslim (widyastuti,2009).

i. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul

Infeksi trikomonas, sifilis, virus herpes simpleks tipe 2, dan

gonokokus yang menahun ditemukan berhubungan dengan kanker

serviks.

j. Human Immunodefisiency Virus

Perubahan sistem imun dihubungkan dengan meningkatnya

risiko terjadinya kanker serviks invasif. Immunodefisiency yang

awalnya disebabkan oleh HIV (Human Immunodefisiency Virus)

menciptakan infeksi oportunistik dari HPV yang mengakibatkan

kanker serviks (Rasjidi, 2009).

k. Penggunaan Pil kontrasepsi dalam Jangka Waktu Lama

Penggunaan pil kontrasepsi dalam jangka waktu yang lama

,misalnya 5 tahun atau lebih dapat meningkatkan risiko kanker

serviks bagi wanita yang terinfeksi HPV (Aulia, 2012).


16

5. Dampak

a. Secara Fisik

Pedeteksian kanker serviks biasanya dilakukan ketika pasien

mengeluh adanya rabas, perdarahan sesudah melakukan hubungan

seksual, tetapi kanker serviks biasanya tidak menimbulkan gejala

(Brunner dan Suddarth, 2001),. Rabas vagina pada kanker serviks

lanjut meningkat seecra bertahap dan menjadi encer dan akhirnya

berwarna lebih gelap dan sangat berbau akibat nekrosis dan infeksi

tumor. Perdarahan yang terjadi pada intervensi yangtidak teratur

antara periode menstruasi (metoragia), atau setelah menopause,

mungkin hanya sedikit bercak darah (hanya cukup tampak pada

celanan dalam), dan biasanya terjadi setalah trauma ringan (seperti

hubungan seksual, irigasi, atau defekasi). Sejalan dengan

berlanjutnya penyakit, perdarahan dapat menetap dan meningkat.

Diananda (2009) menjelaskan, selain perdarahan pasien

kanker serviks juga mengalami keputihan yang menetap, dengan

cairan yang encer, berwarna pink atau coklat, mengandung darah

(berwarna hitam) serta berbau busuk. Dampak pada kanker stadium

lanjut dapat berupa nafsu makan berkurang, berat badan yang terus

menurun dan kelelahan. Timbul nyeri di panggul (pelvis) atau perut

di bagian bawah jika ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di

daerah pinggang ke bawah kemungkinan terjadi hidronefrosis.

Selain itu biasa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.


17

b. Secara Psikologis

Kecemasan merupakan respon yang umum terjadi setelah

penyakit kanker terdiagnosis. Pasien kanker akan mengalami

kondisi psiokologis yang tidak menyenangkan seperti terkejut,

cemas, takut, bingung , sedih, panik, merasa sendiri, gelisah dan

dibayangi oleh kematian. Kecemasan meningkat ketika individu

membayangkan terjadinya perubahan dalam hidupnya di masa

depan akibat dari penyakit yang diderita ataupun dari proses

penanganan suatu penyakit. Penanganan kanker biasanya memberi

perasaan cemas pada pasien, dibandingkan penyakitnya sendiri,

contohnya proses radiasi dan obat-obatan yang digunakan untuk

membunuh sel kanker. Ternyata dapat mengakibatkan kerusakan

tubuh bahkan berpotensi untuk menyebabkan hilangmya fungsi

tubuh yang tidak dapat diperbaiki. Pengobatan kanker juga akan

disertai dengan rasa sakit, cemas, disfungsi seksual, serta

kemungkinan melakukan perawatan di rumah sakit dalam jangka

waktu yang cukup lama (Lubis, 2009).

c. Secara Spiritual

Pada saat depresi dan tertekan, individu akan mencari

dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat

diperlukan untuk dapat menerima keadaan yang sakit yang dialami.

Khusunya jika penyakit yang memerluakan proses penyembuhan

yang lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau

berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya


18

membantu memenuhi kebutuhan spiritual dan mendapatkan

kekuatan untuk bertahan hidup.

Perubahan fisik yang dialami pasien kanker serviks berupa

perdarahan dan kelelahan menyebabkan seluruh pasien khususnya

yang beragama islam merasa tidak dapatt menunaikan ibadah

sholat, karena merka tidak dapat melakukan wudhu seperti

biasanya karenan sakit, disamping keluar darah yang dianggap

adalah hadas besar, sehingga mereka merasa tidak suci untuk

sholat. Sedangkan bagi pasien yang beragama lain proses

melakukan ibadah dapat terhambat akibat kelelahan yang dialami

(Yani, 2007).

d. Secara Sosial

Kondisi-kondisi adanya perubahan pada fisik, sosial seperti

di atas tentu berdampak pada relasi sosial klien. Oleh karena itu,

diperkirakan akan terjadi pula perubahan dalam kehidupan sosial

klian. Perubahan ini bisa berupa perubahan status sosial karena

kehilangan pekerjaan dari tempat kerja klien dan atau perubahan

peran dan tugas di rumah karena klien sudah tidak mampu

melakukan tugasnya sebagai satu anggota keluarga. Hal ini

mungkin saja terjadi, terutama pada klien kanker yang harus

menjalani operasi atau bahkan amputansi sebagai usaha kuratif

(Yani, 2007).
19

6. Stadium Kanker Servik (Leher Rahim)

Penentuan stadium kanker leher rahim menurut WHO yang bekerja

sama The International Union Against Cancer, menggunakan stadium

TNM (Tumor, Node ? Nodul, Metastase) dan menurut The

international Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) (1978)

dalam Mansjoer dkk (2001), yaitu :

a. Tingkat 0 ; Karsinomain situ atau karsinoma intraepitel

b. Tingkat I ; proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri

tidak dinilai).

c. Tingkat Ia ; karsinoma serviks preklinis, hanya dapat didiagnosa

secara mikroskopik, lesi tidak lebih dari 3 mm, atau secara

mikroskopis kedalamannya lebih dari 3-5 mm, dari epitel basal dan

memanjang tidak lebih dari 7 mm.

d. Tingkat Ib ; Lesi invasif lebih dari 5 mm, dibagi atas lesi ≤ 4 cm

dan > 4 cm.

e. Tingkat II ; Proses keganansan telah dari serviks dan menjalar ke

2/3 bagiam tas vagina dan atau ke parametrium tetapi tidak sampai

dinding panggul.

f. Tingkat IIa ; penyebaran sel kanker hanya ke vagina, parametrium

masih bebas dari infiltrat tumor.

g. Tingkat IIb ; Penyebaran sel kanker sudah mulai ke parametrium,

unilateral atau bilateral, tetapi belum sampai dinding panggul.

h. Tingkat III ; Penyebaran sudah sampai 1/3 distal vagina atau ke

parametrium sampai dinding panggul.


20

i. Tingkat IIIa ; Penyebaran sudah sampai 1/3 distal vagina, namun

tidak sampai ke dinding panggul.

j. Tingkat IIIb ; penyebaran sudah sampai dinding panggul, dan

sudah terdapat gangguan faal ginjal (hidronefrosis).

k. Tingkat IV ; Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan

melibatkan mukosa rektum dan vesika urinaria (dibuktikan secara

histologi) atau lelah bermatastasis keluar panggul atau ke tempat

yang jauh.

l. Tingkat Iva ; telah bermestastasis ke organ sekitar.

m. Tingkat Ivb ; telah bermetastasis jauh.

(Mansjoer dkk, 2001).

B. Konsep Kualitas Hidup

1. Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup ialah persepsi individu terhadap kehidupannya di

masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada, terkait

dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian. Kualitas hidup

dalam hal ini ialah sebuah konsep luas yang dipengaruhi kondisi fisik

individu, psikologis, tingkat kemandirian, dan hubungan individu

terhadap lingkungan (WHO, 2016). Chung, Killingworth, dan Nolan

(2012) memaknai bahwa kualitas hidup adalah suatu keadaan individu

tentang respon secara fisik dan emosional, serta seberapa baik individu

memfungsikan aspek psikologis, sosial, pekerjaan dan fisik.

Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif multidimensi yang

dibentuk oleh individu terhadap fungsi fisik, tingkat emosional, tingkat


21

kognitif, dan hubungan sosial (Sharma & Joshi, 2015). Menurut Gupta

dan Kant (2009), kualitas hidup adalah suatu nilai yang diberikan

sepanjang hidupnya yang dipengaruhi oleh penyakit, cidera, pengobatan,

dan kebijakan lainnya sehingga dapat menggambarkan perspektif

seseorang terhadap kepuasan dan dampak yang dirasakan dalam

kehidupan. Kualitas hidup menggabungkan beberapa dimensi yang

dialami oleh pasien; termasuk gejala, fungsi fisik, tingkat kognitif,

kondisi psikososial, status emosional, dan adaptasi terhadap penyakit

yang didefinisikan sebagai keseluruhan kualitas hidup.

Kualitas hidup ialah sesuatu yang esensial untuk menyemangati

hidup, eksistensi berbagai pengalaman fisik dan mental seseorang

individu yang dapat mengubah eksistensi selanjutnya dan individu

tersebut di hari yang akan datang, status sosial yang tinggi, dan gambaran

karakteristik tipikal dari kehidupan seseorang individu (Brian, 2003).

Kkualitas hidup berarti suatu rentang antara keadaan objektif dan

persepsi subjektif dari mereka (Rapley, 2003). Kualitas hidup juga dapat

diartikan sebagai satu-kesatuan dari bagian-bagian yang berhubungan

dengan fisik, fungsional, psikologis, dan kesehatan sosial dari individu

(rapley, 2003).

Kualitas hidup ialah suatu respon emosi dari pasien terhadap

aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa

senang dan bahagia, terdapat kesesuaian antara harapan dan kenyataan

yang ada, terdapat kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan
22

emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain

(Silitonga, 2007).

Presepsi individu tentang keberadaannya di kehidupan dalam

konteks budaya dan system nilai tempat ia tinggal ialah pengertian

kualitas hidup menurtu WHO. Dalam sudut pandang yang luas meliputi

berbagai sisi kehidupan seseorang baik dari segi fisik, psikologis,

kepercayaan pribadi, dan hubungan sosial untuk berinteraksi dengan

lingkungannya. Definisi ini mempertimbangkan sudut pandangan bahwa

kualitas hidup ialah evaluasi subjektif, yang tertanam dalam konteks

cultural, sosial dan lingkungan. Kualitas hidup seseorang tidak dapat

disimoulkan dengan sederhana dan disamakan dengan status

kesehatannya, gaya hidup, kenyamanan hidup, status mental dan rasa

aman seseirang itu (Snoek, dalam Indahria, 2013).

Kualitas hidup sebagai presepsi seorang dalam konteks budaya dan

norma yang sesuai dengan tempat hidup seseorang tersebut serta

berkaitan dengan tujuan, harapan, standar kepedulian selama hidup orang

tersebut, kualitas hidup akan sangat rendah apabila aspek-aspek dari

kualitas hidup itu sendiri tidak terpenuhi (Karangora, 2012).

2. Domain Kualitas Hidup

Domain kualitas hidup dibagi menjadi 7 (tujuh) dimensi kualitas

hidup yang terdiri dari; keseluruhan hidup (kepuasan hidup), kesehatan

(kesanggupan melakukan aktifitas), hubungan sosial (hubungan terhadap

keluarga, teman, dan aktifitas sosial yang diikuti), kemandirian

(melakukan suatu hal tanpa bantuan orang lain), di rumah dan


23

bertetangga (perasaan nyaman dan tenang di rumah, serta lingkungan

terdekatnya), psikologi dan emosional (persepsi individu terhadap

kehidupannya), dan keuangan (biaya hidup) (Bowling, 2013).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Faktor-faktor yang dapat mempegaruhi kualitas hidup sesorang

(Moons, Marquet, Budst, & de Geest dalam Salsabila, 2012) dalam

konseptualisasi yang dikemukakannya, sebagai berikut:

a. Usia

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moons, Marquet, Budst,

dan de Geest (2004) dikatakan bahwa usia ialah salah satu faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Wagner, Abbot, & Lett (2004) menemukan adanya perbedaan yang

terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan yang penting bagi

individu.

b. Pendidikan

Perbedaan tingkat pendidikan sesorang mempengaruhi

pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang keadaan yang sedang

di alami, pengetahuan terhadap penyakit kanker yang sedang di derita

dan pemahaman terhadap cara pengobatan penyakit kanker

(Sarafino,1990).

c. Lama Sakit

Usia penyakit adalah lamanya seseorang mengalami penderitaan

akibat suatu penyakit. Status pengukuran kesehatan menyediakan

metode standart penilaian pengaruh penyakit pada kehidupan sehari-


24

hari, aktivitas dan kesejahteraan pada penderita kanker. Seseorang

yang telah lama menderita suatu penyakit pasti akan berpengaruh pada

kondisi fisik, psikologis dan sosialnya dalam kehidupannya sehari-

hari.

d. Status pernikahan

Menurut Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) yang

dimuat dalam penelitiannya mengatakan bahwa terdapat perbedaan

kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai

ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi. Demikian

juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad,

Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa baik pada pria maupun

wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi memiliki

kualitas hidup yang lebih tinggi.

e. Penghasilan

Testa dan Simonson (1996) menjelaskan bahwa Bidang

penelitian yang sedang berkembang dan hasil penilaian teknologi

kesehatan mengevaluasi manfaat, efektivitas biaya, dan keuntungan

bersih dari terapi. hal ini dilihat dari penilaian perubahan kualitas

hidup secara fisik, fungsional, mental, dan kesehatan sosial dalam

rangka untuk mengevaluasi biaya dan manfaat dari program baru dan

intervensi.

f. Hubungan dengan orang lain

Menurut Kahneman, Diener, & Schwarz,1999) yang

mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan


25

orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling

mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki

kualitas hidup yang lebih baik baik secara fisik maupunemosional.

Faktor hubungan dengan orang lain memiliki kontribusi yang cukup

besar dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif (Noghani,

Asgharpour, Safa, dan Kermani, 2007).

4. Aspek-Aspek Kualitas Hidup

Menurut WHO (1996) terdapat empat aspek

mengenai kualitas hidup, diantaranya sebagai berikut:

a. kesehatan fisik dan jasmani, diantaranya Aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada zat obat dan alat bantu medis, energi dan

kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan

istirahat, kapasitas kerja.

b. Kesejahteraan psikologi, diantaranya image tubuh dan penampilan,

perasaan negative, perasaan positif, harga diri,

spritualitas/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memeori

dan konsentrasi.

c. Hubungan sosial, siantaranya hubungan pribadi, dukungan sosial,

aktivitas seksual.

d. Hubungan sengan lingkungan, diantaranya sumber kenangan,

kebebasan, keamanan fisik dan perawatan sosial : aksesibilitas dan

kualitas, lingkungan rumah, peluang untuk memperoleh informasi

dan keterampilan baru, partisipasi dalam dan peluang untuk


26

kegiatan rekreasi / olahraga, lingkungan fisik (polusi/ suara/ lalu

lintas/ iklim), mengangkut.

Menurut WHOQOL-BREF (dalam rapley, 2003)

terdapat empat aspek mengenai kualitas hidup, diantaranya sebagai

berikut : (Nimas, 2012).

a. kesehatan fisik dan jasmani, mencakup aktivitas sehari-hari,

ketergantungan pada obat-obatan, energi dan kelelahan, mobilitas,

sakit dan ketidaknyamanan, tidur/ istirahat, kapasitas kerja.

b. Kesejahteraan psikologis, mencakup boddy image appearance,

perasaan negative, perasaan positif, self-esteem,

spritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan

konsentrasi.

c. Hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial,

aktivitas seksual.

d. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber finansial,

kebebasan, keamanan dan kesehatan fisik, perawatan kesehatan dan

sosial termasuk aksebilitas dan kualitas, lingkungan rumah,

kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun

keterampilan, partisipasi dan mendapat kesempatan untuk

melakukan rekreasi dan kegiatan yang meyenangkan di waktu

luang, lingkungan fisik termasuk polusi/ kebisingan/ lalu lintas/

iklim serta transportasi.


27

C. Konsep Dukungan Keluarga

1. Definisi Keluarga

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang disatukan oleh

hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan kedekatan emosional

yang hidup bersama-sama serta berinteraksi antara satu sama lain

yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga

(Friedman, 2010). Menurut Dion & Betan (2013), keluarga adalah

unit terkecil dari masyarakat yang memiliki peran masing-masing

dan bertanggung jawab terhadap peran dalam keluarga.

2. Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga adalah segala bentuk sikap, perilaku,

dan penerimaan terhadap anggota keluarganya yang merupakan

salah satu sistem pendukung antar anggota keluarga. Hal ini

memberikan pandangan bahwa orang yang mendukung akan siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman,

2010).

Dukungan keluarga adalah suatu komunikasi verbal atau

non verbal yang diberikan anggota keluarga yang benimbulkan

adanya hubungan timbal balik, umpan balik, dan keterlibatan

emosional yang berpengaruh pada tingkah laku penerimanya (Kara

& Alberto, 2007).

Dukungan keluarga yang terdiri dari komponen fungsional

yakni dukungan moral, emosional dan kebutuhan akan informasi

serta adanya umpan balik tiap anggota keluarga dapat


28

mempengaruhi perilaku perawatan diri pasien sehingga keberadaan

keluarga juga dapat memberikan semangat yang bermakna pada

pasien khususnya penyakit kronis yang mengalami perubahan pola

hidup dan memberikan efek positif pada perilaku pasien dalam

manajemen penyakitnya (Rossland & Piette, 2015).

3. Manfaat Dukungan Keluarga

Keberadaan dukungan keluarga yang adekuat dapat menurunkan

tingkat mortalitas dan lebih mudah sembuh dari penyakit karena

dukungan keluarga membuat keluarga dapat berfungsi dalam

meningkatkan kesehatan serta adaptasi keluarga. banyaknya jumlah

pendukung atau dukungan yang berasal dari keluarga akan

menimbulkan persepsi setiap idividu terhadap sekelompok orang yang

dapat diandalkan ketika individu tersebut membutuhkan bantuan. Selain

itu, tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan dengan

persepsi individu bahwa kebutuhannya telah terpenuhi (Friedman,

2010).

4. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (1998) menjelaskan bahwa dukungan keluarga

memiliki 4 jenis dukungan, yaitu

a. Dukungan Informasional

Manfaat dari dukungan informasional ini adalah dapat

menekan adanya stressor karena informasi yang diberikan secara

jelas dapat menyumbangkan sugesti yang khusus pada individu.

Aspek-aspek dalam dukungan ini meliputi komunikasi dan


29

tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan

nasihat, pengarahan, saran, usulan, petunjuk, dan umpan balik

terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang.

b. Dukungan Emosional

Setiap individu membutuhkan bantuan afeksi yang berupa

dukungan empati, kepercayaan, kepedulian, dan kasih sayang. Dan

oleh sebab itu, seseorang yang sedang menghadapi persoalan

merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri namun masih ada

orang yang memperhatikan, mendengarkan keluhannya, dan empati

terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan ikut membantu

memecahkan dalam masalah yang dihadapinya.

c. Dukungan Instrumental

Keluarga sebagai pertolongan praktis dan konkrit yang

dapat mempermudah dan menolong seseorang dalam melakukan

aktifitas berkaitan dengan persoalan-persoalan yang sedang

dihadapinya. Dukungan instrumental ini bermanfaat agar

mendukung pulihnya energi dan semangat yang sedang menurun,

individu akan merasa bahwa masih adanya perhatian atau

kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang

mengalami kesulitan.

d. Dukungan Penghargaan

Keluarga bertindak sebagai adanya umpan balik, ikut dalam

pemecahan masalah dan sumber validator identitas keluarga.

Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya


30

sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan keluarga

maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian positif

terhadap individu yang dapat diajak berbicara tentang masalah

yang mereka alami dan terjadi melalui ekspresi positif individu ke

individu lain, memberikan semangat, penghargaan, dan persetujuan

terhadap ide atau gagasan individu.

5. Dukungan Keluarga terhadap Pasien Kanker

Dukungan keluarga terhadap pasien kanker merupakan sikap

keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit, ditunjukkan dengan

adanya interaksi baik secara verbal maupun non verbal keluarga terhadap

anggota keluarga yang sakit agar dapat merasakan kenyamanan baik

secara fisik atau psikologis. Support yang diberikan oleh keluarga ialah

sebuah proses yang terdapat dikehidupan setiap manusia. dimana sifat

dan jenis dukungan keluarga berbeda-beda dalam setiap siklus

kehidupan. Dukungan keluarga juga mampu membuat anggota keluarga

meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).

6. Faktor- faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga

Keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif

menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak- anak

yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada

anak – anak yang berasal dari keluarga yang lebih besar biasanya

menerima sedikit perhatian. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh

orang tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia (Friedman, 2010).
31

Adapun yang dapat mempengaruhi faktor-faktor dukungan

keluarga lainya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial

ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat

pendidikan. Orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat

dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua

dengan kelas sosial bawah (Friedman, 2002). Faktor yang mempengaruhi

lainnya ialah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan

kemungkinan semakin tinggi dukungan yang diberikan pada keluarga yang

sakit. Selain itu statuts pernikahan juga dapat berpengaruh, hal tersebut

dikaitkan dengan bertambahnya anggota keluarga, dukungan pada anggota

keluarga yang sakit pun semakin banyak.

7. Pengukuran Dukungan Keluarga

Pengukuran dukungan keluarga meliputi empat dimensi dukungan

keluarga, yaitu dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan

instrumental, dan dukungan penghargaan. Pengukuran dukungan

keluarga akan dibuat dalam bentuk kuesioner sesuai dengan tinjauan

pustaka untuk setiap dimensi dukungan keluarga. Kuesioner tersebut

akan dinilai dengan skala likert yang kemudian akan dibagi menjadi dua

kategori dukungan keluarga yaitu dukungan keluarga baik dan kurang

(Nursalam, 2009).

D. Konsep Perawatan Paliatif

1. Definisi Perawatan Paliatif

Pengertian kata palliative berasal dari bahasa latin yaitu “pallium”

yang artinya menutupi atau menyembunyikan, yang ditujukan untuk


32

menutupi atau menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan

kenyamanan ketika penatalaksanaan penyakit tidak dapat menyembuhkan

penderita (Muckaden, 2011). Menurut Felenditi (2013), terapi paliatif

tidak bermaksud mempercepat kematian, pengobatan dapat dihentikan bila

prosedur pengobatan menyebabkan penderitaan pada pasien, tanpa

memberikan harapan perbaikan.

Perawatan paliatif ialah pendekatan yang bertujuan memperbaiki

kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah

berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa yaitu melalui

pencegahan dan peniadaan penyakit melalui identifikasi sejak dini dan

penilaian yang baik serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain,

fisik, psikososial dan spiritual (Kemenkes RI, 2007). Perawatan paliatif

dapat diartikan sebagai sebuah tindakan aktif guna meringankan beban

penderita kanker terutama yang tidak mungkin disembuhkan kankernya,

karena tindakan ini tidak hanya dilakukan pada penderita-penderita yang

tidak bisa disembukan tetapi dilakukan juga pada penderita yang masih

mempunyai harapan untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan-

tindakan kuratif dengan maksud meringankan atau menghilangkan gejala-

gejala yang mengganggu atau bahkan memperberat penderitaan penderita

(Aziz dkk, 2006). Menurut Sigurdardottir et al., (2014) dalam Fauzan

(2016), dalam beberapa tahun terakhir, perawatan paliatif telah mengalami

peningkatan tidak hanya untuk pasien kanker namun juga untuk pasien

dengan penyakit tingkat lanjut.


33

Perawatan paliatif sangat penting unruk diterapkan segera pada

pasien paliatif dan memiliki beberapa keuntungan antara lain: merasa

nyaman, merasa bebas, lebih dekat dengan keluarga, rasa aman, otonomi

dan memberi kesempatan bagi anggota keluarga untuk ikut terlibat dalam

perawatan (Saleh, 2008). Terapi paliatif tidak boleh diabaikan karena

bagaimanapun usaha profesi kedokteran untuk mempertahankan

kehidupan pasien, namun suatu saat akan berhenti bila berhadapan dengan

pasien terminal. Bila tugas kuratif berakhir, maka terapi paliatif sangat

bermanfaat pada pasien terminal yang sangat menderita (Felenditi, 2013).

2. Prinsip Dasar Pelayanan Paliatif

Prinsip dasar pelayanan paliatif sangat perlu untuk memberikan

pelayanan paliatif.

Menurut Committe on Bioethic and Committe on Hospital Care

(2000) dalam Ningsih (2011), prinsip dasar perawatan paliatif sebagai

berikut:

a. Menghormati serta menghargai pasien dan keluarganya

Perawat harus menghormati dan menghargai keinginan

pasien dan keluarga dalam memberikan perawatan paliatif. Harus

mengkuti prinsip menghormati dan menghormati maka informasi

tentang perawatan paliatif harus disiapkan untuk pasien dan keluarga

yang mungkin memilih untuk mengawali program perawatan

paliatif. Perawat harus menyedidakan/menyiapkan kebutuhan-

kebutuhan keluarga selama pasien sakit sampai meninggal untuk

meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi cobaan berat.


34

b. Kesempatan atau hak mendapatkan kepuasaan dan perawatan

paliatif yang pantas

Pada kondisi untuk menghilangkan nyeri dan keluhan fisik

lain maka petugas kesehatan harus memberikan kesempatan

pengobatan yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,

terapi lain seperti pendidikan, kehilangan dan peyuluhan pada

keluarga, dukungan teman sebaya, terapi musik, dukuga spiritual

pada keluarga dan saudara kandung dan perawatan menjelang ajal.

c. Mendukung pemberian perawatan (caregiver)

Pelayanan asuhan keperawatan yang profesional harus

didukung oleh tim perawatan paliatif, rekan kerjanya dan institusi

untuk penanganan proses berduka dan kematian. Dukungan dari

institusi seperti melakukan penyuluhan secara rutin dari ahli

psikologi atau penanganan lain.

d. Pengembangan profesi dan dukungan sosial untuk perawatan paliatif

Pemberian penyuluhan pada masyarakat tentang kesadaran

akan kebutuhan perawatan paliatif dan nilai perawatan paliatif serta

usaha untuk mempersiapkan serta memperaiki hambatan seara

ekonomi.Menurut Kemenkes RI (2013), prinsip dasar pelayanan paliatif

sebagai berikut:

a. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lain

b. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses

normal

c. Tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian


35

d. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual

e. Memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin

f. Kepada keluarga memberikan dukungan sampai masa dukacita

g. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien

dan keluarganya

h. Menghindari tindakan medis yang sia sia.

Menurut Anita (2016), aktifitas perawatan paliatif pada penderita:

a. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam

menjalani kehidupan sehari-hari.

b. Membantu kemampuan penderita untuk mentolerir penatalaksanaan

medis.

c. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan yang dipilih.

Sedangkan, aktivitas perawatan paliatif pada keluarga:

a. Membantu keluarga memahami pilihan perawatan yang tersedia.

b. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi

kekhawatiran dari orang yang dicintai (asuhan keperawatan

keluarga).

c. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga.

3. Tujuan Perawatan Paliatif

Menurut Campbell (2009), tujuan akhir perawatan paliatif adalah

mencegah dan mengurangi penderitaan serta memberikan bantuan kepada

pasien dan keluarga, untuk memperoleh kualitas hidup terbaik tanpa

memperhatikan stadium penyakit atau kebutuhan terapi lainnya, dengan

demikian perwatan paliatif dapat diberikan secara bersamaan dengan


36

perawatan yang memperpanjang/mempertahankan kehidupan atau sebagai

fokus perawatan. Tujuan dari perawatan paliatif adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien, yang secara rinci tujuan utamanya

adalah (Nendra et al., 2011):

a. Meningkatkan kapasitas keluarga untuk memberikan perawatan

paliatif.

b. Mendukung peningkatan akses ke perawatan paliatif dalam

perawatan, dukungan dan layanan pengobatan yang ada.

c. Menganjurkan untuk perawatan paliatif yang berkelanjutan dan

holistik.

d. Meningkatkan akses terhadap obat-obatan dan komoditas penting

dalam perawatan paliatif.

e. Meningkatkan kualitas pelayanan perawatan paliatif.

Menurut Kemenkes RI (2007), tujuan umum kebijakan pelayanan

paliatif adalah sebagai payung hukum dan arahan bagi perawatan paliatif

di Indonesia, tujuan khususnya adalah terlaksananya perawatan paliatif

yang bermutu sesuai dengan standar yang diterpakan di seluruh Indonesia.

Menurut Kemenkes RI (2013), tujuan pelayanan paliatif pada

pasien kanker sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Segara diterapkannya Pelayanan paliatif yang terpadu

dalam tata laksana kanker di setiap institusi pelayanan kesehatan di

Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker dan

keluarganya.
37

b. Tujuan Khusus

a) Tersampaikannya pelayanan paliatif pasien kanker di semua

tingkat layanan kesehatan

b) Terlaksananya pelayanan paliatif sesuai pedoman

c) Terkoordinasinya pelayanan paliatif pasien kanker sehingga

terwujud pelayanan paripurna

d) Terlaksananya pelayanan paliatif sesuai pedoman

e) Terlaksananya sistem rujukan pelayanan paliatif pasien kanker

4. Lingkup Kegiatan Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif mempunyai jenis kegiatan- kegiatanya yaitu

meliputi: penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain,

dukungan psikologis, asuhan keperawatan, dukungan kultural, dukungan

sosial dan spiritual dan dukungan persiapan dan selama masa dukacita

(bereavement) (Kemenkes RI, 2007).

Masalah pasien bisa berbeda terkait dengan perbedaan latar

belakang budaya, nilai-nilai personal dan ekonomi. Oleh karena itu

sangatlah penting untuk mengkaji masalah dan kebutuhan pasien sehingga

pelayanan paliatif dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan personal

pasien dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien (Effendy, 2014).

5. Tim dan Tempat Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif disediakan oleh tim antardisiplin, yaitu tim yang

masing-masing anggotanya bertanggung jawab dalam membuat keputusan

sesuai dengan bidang keahliannya. Seluruh anggota tim perawatan paliatif

harus memenuhi kriteria dan kesadaran akan tugas dan tanggungjawabnya


38

(Craig, 2007). Pelayanan paliatif berpusat pada pasien atau Patient

Centered Care (PCC) dan diberikan oleh tim multi profesional yang

bekerja sama dengan pasien dan keluarganya (Effendy, 2014). Menurut

Aziz (2006), tim ini terdiri atas:

a. Tenaga medis yaitu dokter, perawat, bidan yang melakukan

pemeriksaan, penilaian keadaan penderita, memberikan pengobatan

dan melakukan perawatan medis

b. Pekerja sosial yaitu sebagai individu atau anggota dari suatu lembaga

swadaya masyarakat. Pekerja sosial membantu dalam pengadaan

kebutuhan mental, spiritual dan materi atau finansial bagi penderita

dan keluarganya.

c. Relawan yaitu sebagai individu atau anggota dari suatu lembaga

swadaya masyarakat yang mempunyai kemampuan membantu

perawatan penderita atau pekerjaan-pekerjaan administrasi.

Menurut Kemp (2010), peran dan kualitas anggota tim paliatif

adalah sebagai berikut:

a. Dokter Penanggung Jawab

Dokter penanggung jawab tersebut dapat turut bekerja dalam

tim atau tidak dan dalam beberapa, kasus dokter ini tidak ikut dalam

perawatan pasien. Akan tetapi, keterlibatan dokter penanggung

jawab biasanya membantu pasien dan keluarga merasakan

kontinuitas dan stabilitas.


39

b. Dokter Paliatif

Secara klinis peran dokter paliatif meliputi konsultasi dan

kolaborasi dengan dokter penanggung jawab dan perawat paliatif

serta melakukan pengkajian yang bekelanjutan terhadap status

pasien. Dokter paliatif juga dapat memberikan penyuluhan

profesional dan komunitas, kerjasama dengan profesional lain, serta

perencanaan program dan dukungan.

Dokter paliatif sebaiknya mempunyai pengetahuan yang luas

di bidang patofisiologi, progres penyakit, stadium terminal penyakit

yang umum dijumpai dalam program pekerjaannya dan keahlian

dalam perawatan paliatif dan terutama penatalaksanaan gejala.

c. Perawat

Peran perawat paliatif umumnya mencakup pengkajian fisik,

psikososial, dan spiritual yaitu dengan analisis, perencanaan,

implementasi rencana (intervensi) dan evaluasi intervensi yang

ditujukan untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan

pasien serta keluarga. Rencana asuhan keperawatan umunya

difokuskan pertama kali pada penatalaksanaan gejala serta

mempertimbangkan karakteristik psikologis dan emosi yang unik

pada pasien individual, dinamika sistem dukungan sosial atau

keluarga, faktor ekonomi, spiritualitas, isu dukacita dan kehilangan

dan faktor lingkungan dan keamanan. Koordinasi perawatan atau

manajemen kasus, pengawasan (misalnya, asisten kesehatan di


40

rumah), konsultasi, penyuluhan, advokasi dan rencana pemulangan

juga merupakan aktivitas yang lazim dilakukan oleh perawat.

d. Pekerja Sosial

Pekerja sosial paliatif bertanggung jawab mengkaji masalah

dan kebutuhan psikososial serta menyusun rencana asuhan

psikososial untuk mengatasinya. Pekerja sosial memberi dukungan

emosi kepada pasien dan keluarga, serta membantu mengembangkan

sistem dukungan pasien dan keluarganya. Selain itu pekerja sosial

biasanya memberi konseling atau bantuan yang berhubungan dengan

masalah finansial, advance directiv (instruksi tertulis pasien terminal

untuk meneruskan atau tidak meneruskan terapi), pemakaman,

dukacita dan sumber komunitas.

e. Pastoral (Rohaniawan) atau Konselor Lain

Rohaniawan memberi asuhan spiritual konseling terkait

pasien, keluarga dan tim antardisiplin. Menurut Hudson & Bruce

(2003), aspek spiritual merupakan tujuan dari pelayanan perawatan

paliatif yang bertujuan untuk membuat seseorang menjadi lebih

tenang, berpikir positif senantiasa mengkreasikan hidup sejahtera.

Saat pasien tidak memiliki sumber asuhan spiritual, rohaniawan

berfungsi sebagasi sumber asuhan, termasuk memberi layanan

pemakaman, rohaniawan juga bekerja dan berkonsultasi dengan

lembaga agama pasien dan memberikan penyuluhan komunitas

untuk lembaga agama dan lembaga lainnya.


41

Rohaniawan paliatif harus memiliki pengetahuan khusus

tentang proses psikososial dan spiritual menjelang ajal, kematian,

dukacita, pemahaman tentang dinamika keluarga, kemampuan

bekerja dengan lembaga agama dari sistem keyakinan yang berbeda

dan kemampuan untuk memberikan asuhan spiritual pada sistem

keyakinan yang berbeda.

f. Asisten Kesehatan di Rumah

Asisten kesehatan di rumah memberi asuhan personal untuk

pasien, seperti mandi, berhias, memberi makanan, membantu

memberi obat-obatan, melakukan prosedur tertentu, memastikan

keamanan dan memberikan dukungan emosi kepada pasien dan

keluarga. Asisten kesehatan di rumah diawasi oleh perawat primer

yang bertanggung jawab untuk menyusun rencana perawatan asisten

termasuk berbagai prosedur yang dikerjakan asisten.

Asisten kesehatan di rumah harus mendapat pelatihan

mengenai aspek fisik dan psikososial dari penyakit terminal dan

terampil dalam memberikan perawatan fisik dan emosional.

g. Apoteker

Apoteker hospice biasanya bekerja di apotek yang memiliki

kontrak dengan perawatan paliatif dalam rencana managed care atau

perjanjian lain. Apoteker harus memiliki pengetahuan terbaru

mengenai penatalaksanaan farmakologis nyeri dan gejala lain serta

harus menyimpan persediaan obat yang diperlukan dalam jumlah

memadai, misalnya berbagai formula opioid.


42

h. Sukarelawan

Bagian dasar perawatan paliatif adalah penguatan hubungan

di antara pasien, keluarga dan komunitas. Peran sukarelawan

bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan masalah pasien dan

keluarga. Di bawah pengarahan koordinator sukarelawan dan dalam

kolaborasi dengan berbagai anggota tim, sukarelawan dapat memberi

dukungan emosi atau spiritual, perawatan fisik, transportasi atau

pesanan, perawatan rumah dan sejumlah besar layanan lain.

Sukarelawan harus mendapat pelatihan mengenai aspek fisik

dan psikososial penyakit terminal dan terampil dalam memberit

perawatan atau terampil menjalankan peran lainnya sesuai

kebutuhan.

Kegiatan perawatan paliatif bisa dilaksanakan di rumah

sakit, puskesmas, rumah singgah/panti (hospice), rumah pasien

(Kemenkes RI, 2007). Pasien bisa memilih diaman dia akan di rawat

diantaranya adalah:

a. Rumah Sakit

Menurut Kemenkes RI (2007), pelaksanaan perawatan

paliatif di rumah sakit untuk pasien yang harus mendapatkan

perawatan yang memerlukan pengawasan ketat dan tindakan khusus

atau peralatan khusus. Menurut Sulaeman (2016), tim perawatan

paliatif merupakan kolaborasi antardisiplin biasanya mencakup

dokter dan perawat senior bersama dengan satu atau lebih pekerja

sosial dan pemuka agama. Tim tersebut dibantu teman sejawat dari
43

gizi dan rehabilitasi, seperti fisioterapis atau petugas terapi okupasi

dan terapis pernapasan.

Konsultasi awal biasanya dilakukan oleh dokter atau perawat

yang berhubungan dengan kebutuhan pasien dan keluarganya serta

membuat rekomendasi ke dokter utama pasien. Konsultan perawatan

paliatif dilibatkan untuk membantu komunikasi antara keluarga

dalam mencapai tujuan pengobatan.

Perawatan paliatif ini dapat dilakukan dengan mengadakan

bangsal paliatif sendiri atau hanya dilakukan dengan memberikan

pelayanan yang bersifat konsultatif yang memberikan keuntungan-

keuntungan sebagai berikut:

a) bagi penderita, ia akan merasa mendapat perawatan yang tepat

dan paripurna

b) bagi tenaga kesehatan, cara ini akan membantu

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam

perawatan paliatif (Aziz, 2006).

b. Puskesmas

Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan di daerah

yang paling dekat dengan masyarakat. Pusat kesehatan masyarakat

(Puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional

yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat dalam

memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada

masyarakat dan membina peran serta masyarakat di wilayah

kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (Efendi, 2009).


44

Berikut ini merupakan fungsi puskesmas sebagai berikut:

(Efendi, 2009)

a) sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah

kerjanya

b) memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan

terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya

c) membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam

rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat

Menurut Kemenkes RI (2007), puskesmas adalah tempat

perawatan paliatif untuk pasien yang memerlukan pelayanan rawat

jalan.

Di Indonesia puskesmas yang menjalankan perawatan

paliatif masih sedikit, salah satu puskesmas yang menerapkan

perawatan paliatif adalah Puskesmas Balongsari Surabaya.

Perawatan paliatif di Balongsari terbagi atas 2 kegiatan, yaitu

kegiatan dalam gedung berupa poli klinik rawat jalan yang

dilaksanakan setiap hari Senin dan Rabu dan kegiatan Palliative

Home Care (PHC) atau kunjungan perawatan di rumah yang

dijadwalkan setiap bulan atau dapat berubah sesuai respon atas

permintaan keluarga pasien atau relawan paliatif (Saleh, 2008).

Pelayanan Poliklinik Paliatif meliputi upaya menghilangkan

rasa nyeri dan keluhan lain yang mengganggu, menjaga

keseimbangan spiritual dan psikologis, berusaha agar penderita tetap

aktif sampai akhir hayatnya, memberikan kesempatan yang nyaman


45

bagi para pasien dan keluarganya agar bisa agar bisa bertemu orang

lain yang senasib dan saling curhat, bertukar pengalaman baik saat

pra maupun pasca pemeriksaan di poliklinik.

Tugas tenaga medis saat Palliative Home Care adalah

berperan dalam hal-hal yang sifatnya medis, seperti perawatan

mulut, masalah pernapasan dan batuk, makan dan minum, mual,

muntah dan cegukan, BAB dan BAK, kulit, kelemahan,

pembengkakan, perawatan luka, nyeri, tidur, perasaan bingung,

takut, marah, sedih dan kebutuhan spiritual (Saleh, 2008).

c. Hospice

Kata hospice berasal dari bahasa Latin, hospes, kata dasar

hospitium, suatu tempat persinggahan (Kemp, 2010). Menurut

Kemenkes RI (2007), hospis merupakan tempat untuk pasien dengan

penyakit terminal yang tidak dapat dirawat di rumah, namun tidak

dapat melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit.

Jenis pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit maupun

puskesmas, tetapi dapat memberikan pelayanan untuk

mengendalikan gejala-gejala yang ada dengan keadaan seperti di

rumah pasien sendiri.

Model dasar hospice meliputi : (Kemp, 2010)

a) Hospice di rumah, baik berdiri sendiri ataupun bagian dari

institusi perawatan kesehatan di rumah. Sebagian besar

memiliki kesepakatan dengan fasilitas rawat inap untuk


46

menyediakan tempat tidur, baik dalam unit khusus atau

dilayani oleh tim perawatan paliatif atau tim hospice

b) Fasilitas hospice, baik berdiri sendiri ataupun sebuah unit

dalam fasilitas rawat inap yang lebih besar. Sebagian besar

fasilitas ini juga memiliki tim perawatan di rumah atau bekerja

sama dengan hospice di rumah.

E. Penelitian Terkait

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erna Irawan, Sri Hayati dan

Desi Purwaningsih yang berjudul hubungan dukungan keluarga dengan

kualitas hidup penderita kanker payudara. Metode penelitian yang

digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan teknik total

sampling. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu kolerasi yang

menghubungkan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup

penderita kanker payudara. Sample penelitian ini ialah seluruh penderita

kanker payudara di Rumah Singgah Kanker Rumah Teduh Sahabat Iin

dengan sebanyak 33 orang. Hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa dukungan keluarga penderita kanker payudara

sebagian cukup (63,6%). Kualitas hidup penderita kanker payudara

hampir seluruhnya Baik (90,9%). Terdapat Hubungan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup penderita kanker payudara di rumah

singgah kaker Rumah Teduh Sahabat Iin Kota Bandung dengan

hubungan yang positif (r+0,024).

Penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kualitas

hidup pasien kanker payudara di Instalasi Rawat Inap Bedah RSUP Dr.
47

Mohammad Hoesin Palembang yang dilakukan oleh Muhammad Husni,

Siti Romadoni dan Desi Rukiyati pada tahun 2012. Penelitian ini

menggunakan metode analitik kuantitatif dengan pendekatan cross

sectional. Pengambilan sample dilakukan dengan teknik accidental

sampling. Sample dalam penelitian ini adalah pasien kanker payudara

yang menjalani rawat inap di IRNA Bedah RSUP Dr. Mohammad

Hoesin Palembang, berjumlah 32 responden dengan rerata umur 50,83

tahun (9,006). Hasil penelitian ini didapatkan 75% responden yang

memeliki dukungan keluarga kurang baik dan yang memiliki kualitas

hidup kurang sebanyak 53,1% responden. Hasil uji Chi Square,

didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup pasien kanker payudara dengan (p =

0.013).

Penelitian yang dilakukan oleh layya Novita dan Ice Yulia yang

berjudul dukungan keluarga terhadap kualitas hidup klien kanker stadium

III dan IV di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2013. Penelitian

ini menggunakan desain penelitian deskritif korelatif dengan metode

analisis univariat dan bivariat. Sample dalam penelitian ini sebanyak 79

responden, dimana yang menjadi sample penelitian pasien kanker

stadium III dan IV yang berobat di RSKD dan memiliki anggota

keluarga. teknik pengambilan sample yang digunakan yaitu purposive

sampling. Hasil penelitian ini didapatkan tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien kanker

stadium III dan IV dengan p value (p+0.892; α=0.05).


48

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vitta Chusmeywati yang berjudul

hubungan dukungan keluarga terhadap kualitas hidup penderita diabetes

meilitus di Rs PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II pada tahun

2016. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan

cross sectional design. Teknik sampling yang digunakan menggunakan

accidental sampling, sample yang digunakan sebanyak 104 responden.

Hasil penelitian ini didapatkan terdapat hubungan antara dukungan

keluarga dengan kualitas hidup penderita DM (p=0,046) dengan

kekuatan hubungannya lemah (cramer’s v=0,311).

Anda mungkin juga menyukai