Anda di halaman 1dari 18

DOPS

EPISTAKSIS

Oleh:
Adlia Ulfa Syafira (1618012066)
I Made Afryan (1618012063)

Preceptor:
dr. Hadjiman YT, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan DOPS ini. DOPS ini penulis susun sebagai syarat dalam
mengikuti dan menyelesaikan tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorokan, dan Bedah Kepala Leher (THT-KL) di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dokter pembimbing yang telah membimbing dan
membantu penulis dalam menyelesaikan DOPS ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyusun DOPS ini.

Penulis menyadari banyak kekurangan pada DOPS ini, oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang membangun penulis harapkan demi kesempurnaan DOPS ini. Semoga DOPS ini dapat
bermanfaat bukan hanya untuk penulis tetapi juga bagi siapapun yang membacanya.

Bandar Lampung, Juni 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap
menangani kasus tersebut. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada
pembuluh yang berdarah.
Epistaksis merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila
tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian
depan atau bagian belakang hidung. Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-
anak maupun pada usia lanjut.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik. Penyebab tersebut diantaranya
trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, penyakit kardiovaskular, kelainan darah,
infeksi sistemik, gangguan endokrin, perubahan tekanan atmosfer.
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior.
Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan epistaksis
posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : An. A
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Belum bekerja
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : Metro, Lampung

B. Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis)


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 30 Mei 2018

Keluhan Utama:
Keluar darah dari kedua lubang hidung

Keluhan Tambahan
Batuk tidak berdahak dan pusing

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poli THT RS Ahmad Yani pada tanggal 28 Mei 2018 dengan keluhan
keluar darah dari kedua lubang hidung sudah 2 hari, awalnya pada hari selasa sore setelah
pasien berpergian jauh, perdarahan yang keluar sedikit, lalu berhenti sendiri dengan
memencet hidung dan menyumpalnya dengan tisu, lalu pada rabu pagi kembali lagi
mimisan, perdarahan yang keluar juga sedikit dan berheti dengan memasukkan daun
sirih ke dalam hidung. Badan terasa tidak enak, pasien juga mengeluh batuk tidak
berdahak, pasien merasa sedikit pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat alergi, trauma tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat alergi, trauma tidak ada

Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Ekonomi :


Pasien tinggal di daerah dengan cuaca panas

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 92 x/menit
- Pernafasan : 22 x/menit
- Suhu : 36,40C

Status Generalis
Kepala : Normocephal, wajah simetris, rambut hitam, konjungtiva anemis -/-
Leher : Terdapat pembesaran KGB submandibula dextra dan sinistra, lunak,
batas tegas, mobile, fluktuasi (-)
Thoraks I: Simetris, retraksi (-)
P: fremitus taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-)
P: sonor (+/+)
A: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). BJ I/II reguler, bising (-)
Abdomen I: simetris, distensi (-)
P: nyeri tekan (-)
P: timpani (+)
A: Bising Usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat
Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat
Stasus THT
Pemeriksaan Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Kelainan kongenital - -
Radang dan tumor - -
Preaurikula
Trauma - -
Pembesaran KGB - -
Kelainan kongenital - -
Hiperemis - -
Edema - -
Aurikula
Trauma - -
Tumor - -

Edema - -
Hiperemis - -
Sikatriks - -
Retroaurikula
Fistula - -
Fluktuasi - -

Nyeri pergerakan - -
Palpasi aurikula
Nyeri tekan tragus - -
Ruang Lapang, hiperemis Lapang,
(-), furunkel (-) hiperemis (-),
furunkel (-)
Sekret - -
Canalis
Serumen - -
Acustikus
Externa

Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
Corpus alienum - -
Intak, warna putih Intak, warna
mutiara, reflex putih mutiara,
cahaya (+) arah reflex cahaya (+)
Membrana
jam 5,.perforasi (- arah jam
Timpani
), retraksi (-), 5,.perforasi (-),
bulging (-) retraksi (-),
bulging (-)

HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Luar: Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Nares anterior Darah (+) Darah (+)
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri


Sekret (-) (-)
Mukosa hiperemis (-) hiperemis (-)
edema (-) edema (-)
basah (-) basah (-)
pucat (-) pucat (-)
Konka Media hipertrofi (-) hipertrofi (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Konka Inferior hipertrofi (-) hipertrofi (-)
hiperemis (-) hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)
Rhinoskopi Posterior
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan

Cavum Oris dan Orofaring


- Mukosa : Tenang
- Gigi geligi : Warna putih
- Uvula : Di tengah
- Lidah : Normal
- Sekret : (-)
- Tumor : (-)

Faring
- Mukosa : Tenang
- Sekret : (-)
- Granula : (-)
- Arkus anterior : simetris
- Arkus Posterior : simetris
- Tonsil : T1-T1

Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

E. Diagnosa Banding
- Epistaksis anterior

F. Diagnosa Kerja
Epistaksis anterior

G. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
- Pasang tampon
H. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang merupakan keluhan atau tanda
bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi adalah kelainan setempat atau penyakit umum.
Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga
menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.
Epistaksis sering ditemukan sehari- hari dan hampir 90% dapat berhenti dengan
sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien sendri dengan
menekan hidungnya. Epistaksis berat walaupon jarang dijumpai, dapat mengancam
keselamatan jiwa pasien bahkan dapat berakibat fatal bila tidak segera ditolong.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bahagian anterior dan
bahagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri
ethmoidalis anterior sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri ethmoidalis posterior.
Epistaksis biasanya terjadi secara tiba- tiba yang perdarahannya bisa banyak atau bisa
juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu ke dokter. Sebahagian darah
keluar melalui hidung atau dimuntahkan kembali.
3.2 ETIOLOGI
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. Penyebab local :
a. Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
b. Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung,
bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti
terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
c. Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas
pada mukosa hidung.
d. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
e. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus
yang berbau busuk.
f. Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
g. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun
nasofaring.
h. Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
2. Penyebab sistemik :
a. Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti
yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes
mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada
emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung.
Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin,
walfarin, dll).
b. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
c. Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
d. Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary
haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.
3.3 PATOFISIOLOGI
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis
anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya
pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidalis anterior, arteri
sfenopalatina, arteri palatina mayor dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita
hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang
berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul
iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan
kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga
pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal. Jika
diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan
setelah keadaan akut dapat diatasi.

3.5 PENATALAKSANAAN
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat
sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk
membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal
penting adalah sebagai berikut :
1. riwayat perdarahan sebelumnya
2. lokasi perdarahan
3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. lama perdarahan dan frekuensinya
5. kecenderungan perdarahan
6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. hipertensi
8. diabetes mellitus
9. penyakit hati
10. gangguan anti koagulan
11. trauma hidung yang belum lama
12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu
keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha
mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan
fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan
banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat
perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan
tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-
tanda syok segera infus plasma expander.
3.5.1 Menghentikan perdarahan.
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih
baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan
sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus
dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah,
dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam
keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung
dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan
lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan
letaknya di bagian anterior atau posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian
depan. Perdarahan anterior terutama pada anak dapat coba dihentikan dengan menekan hidung
dari luar selama 10- 15 menit, tindakan ini walaupun terlihat sederhana tetapi sering berhasil.
Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-
30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan
tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik.
Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk
menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui
nares anterior sebanyak 2-4 buah dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon
ini dapat dipertahankan selama 2x24 jam dan harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi
hidung.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis
primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak
dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua
dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari
sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior
dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3
cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi
lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares
anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter
kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian
kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui
nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke
nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka
dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung,
supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga
mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah
untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga
di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis
interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan
anterior.
3.6 MENCEGAH KOMPLIKASI.
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai
akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan
darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard,
sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah
harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia.
Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung,
dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih
ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui
tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah
secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior,
disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.
3.6.1 Mencegah epistaksis berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun
mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa
serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-
pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh
tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen
vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan
lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan
meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri,
atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah
atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter
harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah.
Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari
gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit
sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi
etiologi dari epistaksis.
Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar
dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT- scan sinus bila dicurigai
ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan
sistemik.
BAB IV
KESIMPULAN

Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan merupakan
suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab lokal antara lain :
idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing
dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik,
gangguan endokrin, kelainan congenital.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari Pleksus Kiesselbach (yang paling
sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari
arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering terjadi pada pasien usia lanjut yang
menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya
hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan
secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah komplikasi baik
sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan epistaksis dan mencegah
berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 125-
129
2. Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor, BOIES,
Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta, 1997, 224-233
3. Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media
Aesculapius, Jakarta. 1999.pp; 96-99
4. Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati, editor,
Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3, EGC, Jakarta, 2006, 745-
747

Anda mungkin juga menyukai