Anda di halaman 1dari 13

Abstrak. Parasetamol merupakan bahan kimia obat yang tidak boleh terdapat dalam produk pangan.

Salah satu produk pangan yang diduga menambahkan parasetamol sebagai bahan pengempuk adalah

daging bebek. Penelitian dilakukan terhadap daging bebek olahan yang beredar di pasaran dibandingkan

dengan kontrol positif. Daging bebek dipreparasi menggunakan asam trikloroasetat 1%, asetonitril, dan

diekstraksi cair-cair dengan penambahan n-heksan. Proses pemisahan menggunakan teknik ekstraksi
fase

padat (SPE). Kolom ekstraksi fase padat diaktifkan dengan metanol, lalu dibilas dengan aquadest, dan

dielusi menggunakan etanol. Hasil preparasi selanjutnya dianalisis menggunakan kromatografi cair

kinerja tinggi menggunakan kolom Zorbax C-18 dengan fase gerak campuran eluen aquabidest: metanol:

asam asetat glasial (71: 26: 3), sistem isokratik, laju alir 1,5 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang

gelombang 275 nm. Hasil analisis KCKT menunjukan bahwa sampel daging bebek yang dianalisis tidak

mengandung parasetamol. Hal ini dipertegas oleh analisis validasi yang memberikan hasil berupa akurasi

83,489% , presisi 1,511%, koefisien korelasi (r) 0,998, batas deteksi 0,027 ppm, dan batas kuantisasi

0,092 ppm.
Kata Kunci : daging bebek, parasetamol, kromatografi cair kinerja tinggi.

A. Pendahuluan

Masyarakat harus berhati-hati dalam memilih makanan karena banyak oknumoknum nakal
menggunakan bahan-bahan berbahaya untuk memasak daging bebek

(Widhawati, 2012: http://blogdetik.com dari TransTV).

Bahan berbahaya yang banyak digunakan dalam campuran daging bebek antara

lain tawas, pewarna kain, dan obat sakit kepala dan demam (parasetamol). Kegunaan

masing-masing bahan berbahaya tersebut dalam olahan daging bebek yaitu tawas dapat

membuat daging bebek menjadi bersih dan tidak bau amis, pewarna kain dapat

membuat daging bebek tidak pucat sehingga mendapatkan nilai tambah dari warna

daging bebek yang lebih menarik, dan parasetamol dapat membuat daging lebih cepat

lunak karena daging bebek yang sedikit alot membuat daging bebek lebih enak untuk

dimakan (Widhawati, 2012: http://blogdetik.com dari TransTV).


Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 37 tahun 2013 tentang Batas maksimum Penggunaan Bahan

Tambahan Pangan Pewarna Bab 1 pasal 1 ayat 2, bahwa bahan tambahan pangan (BTP)

adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau

bentuk pangan. Parasetamol bukan merupakan bahan tambahan pangan karena tidak

terlampir pada peraturan kepala BPOM RI sehingga penambahan parasetamol pada

daging bebek untuk membuat cepat lunak dan mengempukkan daging bebek tidak

dibenarkan untuk digunakan pada pengolahan daging bebek (BPOM, 2013: 2-3).

Adapun untuk metode analisis parasetamol dalam daging bebek telah dilakukan

penelitian sebelumnya pada sampel kontrol positif (dengan bebek yang ditambahkan

parasetamol). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kombinasi metode ekstraksi caircair (ECC), ekstraksi
fase padat atau solid phase extration (SPE), dan kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT) dapat memberikan hasil analisis parasetamol yang memenuhi
kaidah validasi. 1

Tetapi diduga terdapat prosedur uji validasi yang kurang sesuai,

sehingga metode hasil penelitian ini perlu dilakukan pengembangan. Selain itu

dilakukan juga pengujian terhadap sampel daging bebek.

Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk pengembangkan

metode penelitian parasetamol dalam daging bebek, dan untuk mendeteksi kandungan

parasetamol dalam daging bebek. Kemudian jika sampel positif mengandung

parasetamol dilanjutkan dengan analisis kadarnya.

B. Landasan Teori

NH

HO

CH3

O
Struktur Parasetamol

Parasetamol memiliki nama lain yaitu asetaminofen dengan nama IUPAC N-

(4hidroxyphenyl) acetamide, dan juga 4-Hidroksiasetanilida. Parasetamol merupakan

serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air

mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N, mudah larut dalam etanol. Parasetamol

memiliki berat molekul 151,16 (Depkes RI, 1995: 649).

Parasetamol pertama kali digunakan dalam pengobatan oleh Von Mering pada

tahun 1893. Akan tetapi parasetamol terkenal hanya sejak 1949. Setelah itu diakui

bahwa parasetamol sebagai metabolit aktif utama dari asetanilid dan fenasetin.

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik. Efek antipiretik

ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Parasetamol di Indonesia tersedia dalam bentuk

bebas namun perlu diperhatikan karena terdapat laporan kerusakan fatal hepar akibat
takar akut (Goodman, 1940: 703; Syarif, 2009: 237).

Efek samping yang terjadi antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah.

Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati dan pada dosis

diatas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini

disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh

gluthation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g persediaan peptida

tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat diri pada protein dengan gugusan –SH

di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal

(Tjay, 2002: 318).

Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna dalam saluran cerna.

Absorpsinya bergantung pada kecepatan pengosongan lambung dan kadar puncaknya

dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Obat ini tersebar ke seluruh

cairan tubuh. Dalam plasma 25% parasetamol terikat protein plasma oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glikoronat dan

sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat, yang secara farmakologi tidak aktif. Selain

itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hidroksilasi ini dapat

menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui

ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk

terkonjugasi (Katzung, 2010: 608; Syarif, 2009: 238).

Parasetamol digunakan sebagai anlgetik dan antipiretik yang setara dengan

aspirin. Meskipun efeknya setara, parasetamol berbeda karena efek antiinflamasinya

hampir tidak ada. Parasetamol dapat digunakan untuk pasien yang kontaindikasikan

menggunakan aspirin atau jika salisilat tidak dapat ditoleransi (misalnya pasien tukak

lambung) untuk efek analgetik ringan atau antipiretik (Katzung, 2010: 608).

Ekstraksi cair-cair berguna untuk memisahkan analit yang dituju dari

pengganggu dengan cara melakukan partisi sampel antara 2 pelarut yang tidak saling
bercampur. Salah satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain adalah pelarut

organik seperti kloroform atau petrolium eter. Senyawa-senyawa yang bersifat polar

akan ditemukan di dalam fase air, sementara senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik

akan masuk pada pelarut organik. Analit yang terekstraksi ke dalam pelarut organik

akan mudah diperoleh kembali dengan cara penguapan pelarut, sementara analit yang

masuk ke dalam fase air seringkali diinjeksikan secara langsung ke dalam kolom.

(Rohman, 2009: 30-31).

SPE merupakan teknik yang relatif baru. SPE cepat berkembang sebagai alat

yang utama untuk pra-perlakuan sampel atau untuk clean-up sampel-sampel yang kotor,

misal sampel-sampel yang mempunyai kandungan matriks yang tinggi seperti garamgaram, protein,
polimer, resin, dan lain-lain. Keunggulan SPE dibandingkan dengan

ekstraksi cair-cair adalah proses estraksi lebih sempurna, pemisahan analit dari

penggangu yang mungkin ada menjadi lebih efisien, mengurangi pelarut organik yang
digunakan, fraksi analit yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan, mampu

menghilangkan partikulat, dan lebih mudah diotomatisasi. SPE merupakan proses

pemisahan yang efisien maka recovery yang tinggi (>99%) lebih mudah dicapai pada

SPE dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair. Dengan ekstraksi cair-cair diperlukan

ekstraksi beberapa kali untuk memperoleh recovery yang tinggi, sedangkan dengan SPE

hanya dibutuhkan satu tahap saja untuk memperolehnya (Rohman, 2009, 35-36).

Prinsip kerja KCKT adalah dengan bantuan pompa fase gerak cair dialirkan

melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan

cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran.

Karena perbedaan kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fasa diam. Solut-solut

yang kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom lebih dulu.

Sebaliknya, solut-solut yang kuat berinteraksi dengan fasa diam maka solut-solut

tersebut akan keluar dari kolom lebih lama. Setiap komponen campuran yang keluar
kolom dideteksi oleh detektor kemudian direkan dalam bentuk kromatogram

(Hendayana, 2006: 69).

C. Metode Penelitian

Analisis dilakukan pada 3 sampel daging bebek olahan yang diduga

mengandung parasetamol yang diambil dari pedagang bebek kuliner di Kecamatan

Coblong Kota Bandung.

Sampel daging bebek dihancurkan dengan cara diblender dan diambil sebanyak

10 g, dibebaskan protein terlebih dahulu dengan ditambahkan TCA 1%, dan asetonitril,

diekstraksi dengan n-heksan sehingga mendapatkan larutan yang diduga terdapat

parasetamol.

Fase asetonitril diuapkan sampai dihasilkan filtrat pekat, diaktifkan kolom SPE

dengan metanol, sampel dilewatkan ke dalam kolom SPE, ditambahkan air dan
diamkan, dielusi dengan etanol, dihasilkan ekstrak pekat, ditambahkan dengan fase

gerak dan disaring dengan membran filter kemudian dapat dianalisis.

Kondisi pengujian yang digunakan untuk kromatografi cair kinerja tinggi untuk

menganalisis parasetamol menggunakan kolom Zorbax C-18 (250 x 4,6 mm) sebagai

fasa diam, dan fase gerak yaitu aquabides decampurkan dengan metanol dan asam asetat

dengan menggunakan perbandingan 71:26:3, laju alir nya 1,5 mL/menit dan detektor

yang digunakan adalah detektor UV dengan panjang gelombang 275 nm.

Pertama-tama dilakukan uji kesesuaian sistem dengan cara 7 kali penyuntikan

lalu sampel daging bebek yang berisi parasetamol dapat dianalisis kemudian dilakukan

pengujian kerja analitik yang meliputi presisi, akurasi, linieritas, penetapan batas deteksi

dan uji perolehan kembali.

Pengerjaan ekstraksi dan analisis sampel daging bebek olahan yang beredar di

Kecamatan Coblong Kota Bandung dengan menggunakan kromatografi cair kinerja


tinggi dilakukan di Laboratorium Penelitian Farmasi, FMIPA, Unisba, Bandung.

D. Hasil Penelitian

Penyuntikan ke Luas Area

1 15510108

2 14992578

3 15563553

4 15525356

5 15083818

6 14975724

7 15508019

Jumlah 107159156,000

Rata-rata 15308450,857
SD 274942,641

SBR 1,796

Dari data uji kesesuaian sistem dihasilkan perhitungan yang mendapatkan nilai

simpangan baku relatif (SBR) sebesar 1,796%, sehingga dapat disimpulkan bahwa

metode ini memenuhi persyaratan karena nilai SBR kurang dari 2%.

y = 167446,857x + 8423,914

r = 0,998

50000

100000

150000

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

Anda mungkin juga menyukai