Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya

hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit

tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal

paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun.1 Hambatan ini bersifat progresif

serta berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun

dan berbahaya.2 Tahun 2020 World Health Organization (WHO) memperkirakan

penyakit yang dapat menyebabkan kematian terbanyak nomor tiga ialah PPOK

setelah penyakit jantung koroner dan stroke.3

Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan prevalensi

5,6%. Angka ini dapat terus meningkat seiring dengan makin tingginya Usia

Harapan Hidup (UHH) di Indonesia, yaitu 68 tahun pada 2006. Survei penyakit

tidak menular oleh direktorat jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan (PPM dan PL) yang dikutip dari Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa lima rumah sakit provinsi di Indonesia

(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan)

menunjukkan PPOK sebagai urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%)

diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).4

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari

kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup

dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga

berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok

1
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan

maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1

Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah

progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap

aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,

mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan

karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap

partikel atau gas yang berbahaya1.

PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik

berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-

turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah kelainan

anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal

disertai kerusakan dinding alveoli.2

2.2 Epidemiologi

Data penderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 2007 menunjukkan

bahwa pada laki-laki sebesar 11,8% dan perempuan 8,5% mengidap PPOK.

Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara prevalensi tertinggi

terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) dari total penduduknya.6

Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan prevalensi

5,6%. Angka ini dapat terus meningkat seiring dengan makin tingginya Usia

Harapan Hidup (UHH) di Indonesia, yaitu 68 tahun pada 2006. Survei penyakit

tidak menular oleh direktorat jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan (PPM dan PL) yang dikutip dari Perhimpunan Dokter Paru

3
Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa lima rumah sakit provinsi di Indonesia

(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan)

menunjukkan PPOK sebagai urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%)

diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).5

Tahun 2020 World Health Organization (WHO) memperkirakan penyakit

yang dapat menyebabkan kematian terbanyak nomor tiga ialah PPOK setelah

penyakit jantung koroner dan stroke.3

2.3 Faktor Risiko2

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian

jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam

tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

4
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

2.4 Patogenesis

Karakteristik PPOK adalah peradangan kronis mulai dari saluran napas,

parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru

dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel

radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien

B4, IL8, TNF yang mapu merusak struktur paru dan atau mempertahankan

inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting

yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.7

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa

eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan

dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan

Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan

antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan.8

5
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar

(central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan

vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang

pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan

jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.

Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya

siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan

menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran napas dengan

peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang

menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada

parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.

Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa

terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.

Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah

yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang

pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan

infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah

lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding

pembuluh darah bertambah tebal.7

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas.

Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada

bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2mm) menjadi

lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel

goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi

6
kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan oleh

berkurangnya elastisitas paru-paru.8

2.5 Diagnosis

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat

menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri

akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

1 ) Anamnesis2

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis: berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan

polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2) Gejala klinis

Gejala yang sering dijumpai yakni :sesak nafas yang bersifat kronis dan

progresif memberat seiring berjalannya waktu dan bertambah berat dengan

aktivitas. Menetap sepanjang hari, dan pasien mengeluhkan usaha bernafas.

Selain itu dijumpai pula batuk kronik yang hilang timbul berdahak, serta riwayat

terpajan asap rokok, debu, bahan kimia ataupun asap dapur.2

7
Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan

ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research

Council (MRC)1.

Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

3) Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada

seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti

orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas,

pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi

vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya

hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara

napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi.2

4) Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak

tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,

8
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan

sore, tidak lebih dari 20%.1

Klasifikasi derajat keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK (VEP1

pasca-bronkodilator)

Pada Pasien Dengan VEP1/KVP <0.70:

GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% Nilai Prediksi

GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% Nilai Prediksi

GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% Nilai Prediksi

GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% Nilai Prediksi

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:

 Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD

1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun dan tidak

pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil

penilaian CAT score <10 atau MRC gr 0-1.

 Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun

dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta

hasil penilaian CAT score ≥10 atau MRC grade ≥2.

 Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD

3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1

kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian

CAT score <10 atau MRC gr 0-1.

 Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi GOLD

3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau ≥1

9
kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian

CAT score ≥10 atau MRC grade ≥2.1

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa

hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun

kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan

tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan

diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari

keluhan pasien1.

c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

10
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 >

6,7 kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan

adanya gagal nafas. PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mmHg)

dan pH < 7,30, memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu

monitor ketat serta penanganan intensif.9

e. Mikrobiologi sputum2

2.6 Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca

TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal

jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan SOPT (Sindrom

Obstruksi Pascatuberkulosis) dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma
bronkial dan SOPT.1,2

11
2.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi PPOK, yaitu:

1. Mengurangi gejala

- Menghilangkan gejala

- Meningkatkan toleransi latihan

- Meningkatkan status kesehatan

2. Menurunkan resiko

- Mencegah perkembangan penyakit

- Mencegah dan mengobati eksaserbasi

- menurunkan angka kematian

A. Non-farmakologi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi

adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan

perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,

menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau

tujuan pengobatan dari asma.Bahan dan cara pemberian edukasi harus

disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan

sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi

yang harus diberikan adalah

1) Pengetahuan dasar tentang PPOK

2) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3) Cara pencegahan perburukan penyakit

12
4) Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5) Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan

ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

1) Berhenti merokok

2) Pengunaan obat - obatan

3) Penggunaan oksigen

4) Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

5) Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

6) Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7) Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

1) Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara

lain berhenti merokok

- Segera berobat bila timbul gejala

2) Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

- Program latihan fisik dan pernapasan

3) Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

- Penggunaan oksigen di rumah

13
B. Terapi Farmakologi

a. Bronkodilator

Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1

atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos

pada jalan napas.

• β2Agonist (short-acting dan long-acting)

Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas

dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP

dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek

bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.

Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala

(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata

pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak

didukung bukti dan tidak direkomendasikan.

Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau

lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru,

sesak napas, health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi

secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam

penurunan mortalitas dan fungsi paru.

Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit

(Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan

waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1 ,

sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya

stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat

istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor

14
somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan

ini.

• Antikolinergik

Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan

tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada

reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acting anticholinergic inhalasi

lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja

lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi,

memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki

efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul

akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering.

b. Methylxanthine

Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini

dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak

direkomendasikan jika obat lain tersedia.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki

gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada

pasien dengan FEV1.

d. Phosphodiesterase-4 inhibitor

Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan

menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini

memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare,

gangguan tidur dan sakit kepala.1

15
Pilihan terapi PPOK

Beta2 - agonis

Short – acting Beta2 – agonis (SABA)

Long – acting Beta2 – agonis (LABA)

Antikolinergi

Short-acting anticholinergics (SAMA)

Long-acting anticholinergics (LAMA)

Kombinasi short-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu


inhaler

Kombinasi long-acting beta2-agonists + anticholinergic dalam satu


inhaler

Methylxanthines

Kombinasi long-acting beta2-agonists + ICS dalam satu inhaler

Phosphodiesterase-4 inhibitors

1. Terapi Oksigen

2. Ventilatory Support

3. Nutrisi, Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena

bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang

meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi

hipermetabolisme.

4. Rehabillitasi, untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti

hidup penderita PPOK.2

16
5. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS),

Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation,

Bullectomy.1

Terapi Farmakologis Lain

• Vaksin : vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia

> 65 tahun

• Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda

dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat

mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak

direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya

dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.

• Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan

eksaserbasi

• Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,

erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat

mengurangi gejala eksaserbasi.

• Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)

• Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.

• Vasodilator

17
Algoritma Penanganan PPOK Ekaserbasi

 Nilai berat gejala ( kesadaran, tanda-tanda vital(frek. Nafas),


pemeriksaan fisik)
 Analisis gas darah
 Foto thoraks

1. Terapi oksigen & gunakan


oximetry
2. Bronkodilator (SABA)
3. Antibiotik
4. Kortikosteroid sistemik

Mengancam jiwa (gagal nafas akut) Tidak Mengancam jiwa

ICU RUANG RAWAT

Algoritma Penanganan PPOK Berdasarkan Klasifikasi Pasien

kelompok Rekomendasi Terapi pilihan


Pilihan alternatif lain
Pasien pilihan pertama
 LAMA Atau  Teofilin
 SAMA Atau
A  LABA Atau
 SABA
 SABA + SAMA
 LAMA Atau  SABA dan/atau
B  LAMA+ LABA
 LABA SAMA Teofilin
 LAMA + LABA atau  SABA dan/atau
 ICS+LABA
 LAMA + PDE4 INH SAMA Teofilin
C Atau
atau
 ICS+LAMA
 LABA +PDE4 INH
D  ICS+LABA  ICS + LABA + LAMA  Karbosistein
dan/atau atau SAMA dan/atau
LAMA  ICS+LABA + PDE4 SAMA Teofilin
inh atau
 LAMA + LABA atau
LAMA + PDE4 inh

18
2.8 komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal

napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal

napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan

PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas

kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum

bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK

produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini

memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas

tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan

dapat disertai gagal jantung kanan.2

2.9 Pencegahan

a) Mencegah terjadinya PPOK

- Hindari asap rokok

- Hindari polusi udara

- Hindari infeksi saluran napas berulang

b) Mencegah perburukan PPOK

- Berhenti merokok

- Gunakan obat-obatan adekuat

- Mencegah eksaserbasi berulang

19
20

Anda mungkin juga menyukai