Anda di halaman 1dari 12

No. ID dan Nama Peserta : dr. Kurnia Eka Budianti Presenter : dr.

Kurnia Eka B
No. ID dan Nama Wahana : RSUD dr. Soeprapto Cepu Pendamping : dr. Heru Setiyono
TOPIK : Tetanus
Tanggal (kasus) : 3 Januari 2013
Nama Pasien : Tn. T No. RM : 0752xx
Tanggal Presentasi : 18 Januari 2014 Pendamping : dr. Heru Setiyono
Tempat Presentasi : RSUD dr. Soeprapto Cepu
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka
√ Diagnostik √ Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja √ Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Tn. T 58 th datang ke IGD RSUD dr.Soeprapto Cepu dengan keluhan kejang dan badan
kaku sejak ± 1 hari SMRS. Sekitar ± 10 hari SMRS pasien tertusuk paku di telapak kaki
kanan saat bekerja. Pasien mencabut sendiri paku yang menusuk kakinya, lalu membeli
obat di warung. Sekitar ± 3 hari SMRS pasien merasa kakinya kaku dan sulit
digerakkan. Lama kelamaan pasien merasa perutnya kaku dan sakit. Kemudian ± 2 hari
SMRS pasien tidak dapat membuka mulutnya sehingga sulit makan.
o Tujuan:
Mengetahui penatalaksanaan Tetanus.
Bahan Bahasan √ Tinjauan Pustaka o Riset √ Kasus o Audit
Cara Membahas √ Diskusi √ Presentasi o E-mail o Pos
dan Diskusi
DATA PASIEN Nama : Tn. T No Registrasi : 0752xx
Nama klinik : IGD Telp : - Terdaftar sejak : 3 Januari 2013
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis : Tetanus
2. Gambaran Klinis :
Tn. T 58 th datang ke IGD RSUD dr.Soeprapto Cepu dengan keluhan kejang dan badan
kaku sejak ± 1 hari SMRS. Sekitar ± 10 hari SMRS pasien tertusuk paku di telapak kaki
kanan saat bekerja. Pasien mencabut sendiri paku yang menusuk kakinya, lalu membeli
obat di warung. Sekitar ± 3 hari SMRS pasien merasa kakinya kaku dan sulit
digerakkan. Lama kelamaan pasien merasa perutnya kaku dan sakit. Kemudian ± 2 hari
SMRS pasien tidak dapat membuka mulutnya sehingga sulit makan. Pasien mengalami
kejang ± 1 hari SMRS dan kaku badan yang dialami semakin parah. Pasien juga
mengaku badannya lemas karena tidak bisa makan sehingga akhirnya dibawa ke RS.
Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya. Pasien belum memeriksakan diri
ke dokter. Setelah tertusuk paku pasien hanya membeli obat di warung. Menurut pasien
obatnya bernama supertetra.
3. Riwayat Pengobatan : super tetra
4. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya
5. Riwayat Keluarga : Riwayat epilepsy disangkal. Keluarga tidak ada yang sakit seperti
ini
6. Riwayat Pekerjaan : swasta
7. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien dibiayiai oleh jamkesmas
8. Lain-lain : (-)
DAFTAR PUSTAKA:
·Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,Jakarta : Hipokrates,1995.
Ismael Chairul. Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam Bidang Bedah : UNPAD, 2000.
Ismanoe, Gatot. llmu Penyakit Dalam. Jilid III Ed IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2006.
Mardjono, Mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004.
Http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
Buku Ajar Ilmu Bedah. De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004.

HASIL PEMBELAJARAN:
Pengetahuan tentang penatalaksanaan tetanus

1. SUBJEKTIF
- RPS : Tn. T 58 th datang ke IGD RSUD dr.Soeprapto Cepu dengan keluhan kejang
dan badan kaku sejak ± 1 hari SMRS. Sekitar ± 10 hari SMRS pasien tertusuk paku di
telapak kaki kanan saat bekerja. Pasien mencabut sendiri paku yang menusuk kakinya,
lalu membeli obat di warung. Sekitar ± 3 hari SMRS pasien merasa kakinya kaku dan
sulit digerakkan. Lama kelamaan pasien merasa perutnya kaku dan sakit. Kemudian ±
2 hari SMRS pasien tidak dapat membuka mulutnya sehingga sulit makan. Pasien
mengalami kejang ± 1 hari SMRS dan kaku badan yang dialami semakin parah.
Pasien juga mengaku badannya lemas karena tidak bisa makan sehingga akhirnya
dibawa ke RS.
Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya. Pasien belum memeriksakan diri
ke dokter. Setelah tertusuk paku pasien hanya membeli obat di warung. Menurut
pasien obatnya bernama supertetra.

2. OBJEKTIF
- Composmentis
- GCS : E4V5M6
1. Tanda vital
- Tekanan darah : 160/90 mmHg
- Nadi : 71 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36 oC

2. Pemeriksaan fisik
- Kepala : mesochepal
- Mata : konjunctiva anemis - /-, sclera ikterik -/-
- Mulut : trismus (+), kering (+)
- Leher : kaku kuduk (+), JVP tidak meningkat
- Thorax : Cor  S1-S2 murni, irama regular, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo  simetris, suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-),retraksi (-)
- Abdomen : peristaltic (+) normal, timpani, supel, defens muskular (+),
turgor kulit jelek
- Ekstremitas : akral dingin, nadi kuat, edema tungkai (-), terdapat vulnus
punctum pada telapak kaki kanan, kejang (+)
4. Saraf cranial
- N I (olfactorius) : normal
- N II (optikus) : normal
- N III (okulomotorius) : gerak bola mata (+) normal, pupil isokor 3mm, reflek
(+)
- N IV (troklearis) : gerak bola mata (+) normal
- N V (trigeminus) : normal
- N VI (abdusen) : gerak bola mata (+) normal
- N VII (fasialis) : risus sardonicus (+)
- N VIII (vestibulo-koklearis) : normal
- N IX (glosofaringeus) : normal
- N X (vagus) : normal
- N XI (assesorius) : normal
- N XII (hipoglosus) : normal

5. Anggota gerak atas


Lengan atas Lengan bawah
Kiri Kanan Kiri Kanan
Gerakan bebas bebas bebas bebas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus dbn dbn dbn dbn
Trofi dbn dbn dbn dbn
6. Anggota gerak bawah
Tungkai atas Tungkai bawah
Kiri Kanan Kiri Kanan
Gerakan bebas bebas bebas bebas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus dbn dbn dbn dbn
Trofi dbn dbn dbn dbn

7. Fungsi vegetative
- Miksi : inkontinensia urin (-), retensi urin (-), anuria (-), poliuria (-)
- Defekasi : inkontinensia alvi (-)

4 Januari 2013 (saat pemeriksaan bangsal)


1. Keadaan umum
- Composmentis
- GCS : E4V5M6

2. Tanda vital
- Tekanan darah : 140/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- RR : 18 x/menit
- Suhu : 36,5 oC

3. Pemeriksaan fisik
- Kepala : mesochepal
- Mata : konjunctiva anemis - /-, sclera ikterik -/-
- Mulut : trismus (+)
- Leher : kaku kuduk (+), JVP tidak meningkat
- Thorax : Cor  S1-S2 murni, irama regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo  simetris, suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-), retraksi (-)
- Abdomen : peristaltic (+) normal, timpani, supel, defens muskular (+)
- Ekstremitas : akral hangat, nadi kuat, edema tungkai (-), terdapat vulnus
punctum pada telapak kaki kanan, kejang (+)

3. ASSESSMENT
Tetanus
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin
spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi
luka, baik luka besar maupun kecil, luka nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang
mengundang tetanus adalah luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum
(luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka
tali pusat.
Diyakini bahwa penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis
kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan dalam suasana
anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin antara lain
neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala
penyakit tetanus.
Bentuk spora Clostridium tetani terdapat di sekitar kita seperti pada tanah, rumput –
rumput, kayu, kotoran hewan dan manusia. Kuman ini untuk pertumbuhannya membutuhkan
suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka dengan banyak jaringan nekrotik di dalamnya,
atau luka dengan pertumbuhan bakteri lain terutama bakteri pembuat nanah seperti
Staphyloccus aureus.
Istilah “ tetanus prone wound ” yaitu luka yang cenderung menyebabkan penyakit
tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka dengan berisi benda
asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic, luka dengan kerusakan jaringan
yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka superfisial yang nyata berkontaminasi dengan
tanah atau pupuk kotoran binatang di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat
topical desinfektansia atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan
dengan pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan
jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena, operasi bedah pada saluran cema mulai dari
mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama
tapi pada umumnya 8 – 12 hari, akan tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan
beberapa bulan. Bertambah pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang
ditimbulkannya.
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya.
Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka itu akan bertambah besar
pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah
pada rumah sakit dengan perawatan intensif yang sudah lengkap.
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat perhatian
yang utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat.
c. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner.
Ciri khas kejang pada tetanus yaitu kejang tanpa penurunan kesadaran. Dan awitan
penyakit (waktu dari timbulnya gejala pertama sehingga terjadi kejang) adalah 24 – 72 jam.

Patogenesis dan Patofisiologi


Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar,
luka gigit oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien
tetanus, port d’entre terdapat di daerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat
juga terjadi melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir
Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan
kaidah asepsis antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port
d’entre, bila pada pasien tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai
tempat masuknya kuman tetanus. Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan untuk perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan
eksotoksin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran
kuman. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi
tidak menimbulkan tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal
untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik
terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat. Bila telah mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.
Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik
sama sekali tidak menyerap.
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan
eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini
bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal,
tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil
atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat
yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila
dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya,
toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan
sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat
sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka
menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang.
Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga
terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol atau eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron
ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan
gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat
sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon
motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi
kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot lurik pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum
kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf
tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan
punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga terpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme laring, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah
meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola
dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level
dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks
synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung,
peninggian katekolamin dalam urine.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan
meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus.
Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak)
pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan
oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

Tanda – tanda dan gejala – gejala klinis


Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar
membuka mulut lebar – lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku
kuduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme.
Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus (posisi cephalic tarsal), di mana pada saat
kejang badan penderita melengkung dan bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsal
kaki saja yang menyentuh dasar tempat berbaring.
Dapat terjadi spasme diafragma dan otot – otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang
penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh
berkeringat.

Karakteristik Penyakit
Kejang – kejang bertambah berat selama tiga hari pertama, menetap selama 5 – 7 hari.
Setelah 10 hari, frekuensi kejang mulai berkurang, setelah 2 minggu kejang menghilang. Dan
kaku otot hilang paling cepat mulai minggu ke-4.

Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium klinis pada
anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak
Stadium 1 : dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2 : dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.
Stadium 3 : dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa
Stadium 1 : trismus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis
Pertimbangan individual penderita.
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap
tetanus dengan mempertimbangkan keadaan atau jenis luka, dan riwayat imunisasi.
Debridemen.
Tanpa memperhatikan status imunisasi, eksisi jaringan yang nekrotik dan benda asing harus
dikerjakan untuk semua jenis luka.
Imunisasi aktif.
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc
IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
DPT (Diphteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 – 6
bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster
diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
Tetanus toksoid.
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut –
turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar,
selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik sebagai
imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah mendapatkan booster
atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
Imunisasi Pasif.
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun
antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per
IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet.
Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU
ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila penderita
alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status imunisasi.
Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan
untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali – kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya
tanpa didahului tes sensitivitas.

TINDAKAN PROFILAKSIS
Belum IA atau Mendapat IA yang lengkap
Jenis Luka
sebagian 1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Ringan, bersih Mulai atau - Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
melengkapi IA
toks. 0,5 cc hingga
lengkap
Berat, bersih, atau ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
cenderung tetanus Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc
Cenderung tetanus, ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU
debrimen Toks. 0,5 cc ABT Toks. 0,5 cc
terlambat, atau Hingga lengkap ABT
tidak bersih ABT
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA = Imunisasi aktif (dengan toksoid)
Toks = Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT = antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

Penatalaksanaan tetanus
1. Pemberian antitoksin tetanus
2. Penatalaksanaan luka
3. Pemberian antibiotika
4. Penanggulangan kejang
5. Perawatan penunjang
6. Pencegahan komplikasi

Pemberian antitoksin tetanus.


Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah sebesar 10.000
– 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM, untuk hypertet bagi orang
dewasa adalah sebesar 3000 IU – 6000 IU IM dan bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM.
Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2 – 5 hari berturut – turut.

Penatalaksanaan luka.
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam setelah terapi serum
(pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci dengan perhydrol. Luka dibiarkan
terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.

Pemberian antibiotika.
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah sebesar 1,2
juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak – anak adalah sebesar 50.000 IU/kg
BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian
tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pengobatan dengan antibiotika ditujukan untuk bentuk vegetative clostridium tetani, jadi
sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam
tubuh, sehingga tidak ada lagi sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan susunan saraf pusat
(eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali
melekat maka ATS / HTIG tak dapat menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya
eksotoksin baru maka sumbernya yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan
antibiotik.

Penanggulangan Kejang.
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Saat
ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang yang memadai
maka kejang dapat dicegah.

Jenis Obat Dosis Anak – anak Dosis Orang Dewasa


Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
(Luminal) kemudian 6 x 30 mg per oral.
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – mula 3 x 25 mg IM
(Largactil) IM, kemudian per oral
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB 3 x 10 mg IM
(Valium) IM, kemudian per oral 1,5 – 4
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis
Klorhidrat - 3 x 500 – 100 mg per
rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant) ditambah
alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU
= Intensive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi.

Perawatan penunjang.
Yaitu dengan tirah baring, diet per sonde, dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk
orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas
secara teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda vital
(seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, kecepatan pernapasan),
trismus (diukur dengan cm setiap hari), asupan / keluaran (pemasukan dan pengeluaran
cairan), temperatur, elektrolit (bila fasilitas pemeriksaan memungkinkan), konsultasikan ke
bagian lain bila perlu.

Pencegahan komplikasi.
Mencegah anoksia otak dengan (1) pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme, (2) jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba
endotrakheal) atau lakukan trakheotomi berencana, (3) pemberian oksigen.
Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi
penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian
antikejang yang memadai.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul adalah : pneumonia, terutama karena aspirasi : asfiksi,
terutama pada saat kejang, status konvulsivus, fraktur vertebra.

Beberapa pertimbangan
Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya, karena itu ada ahli yang
menggunakan dan ada yang tidak menggunakannya. Bila digunakan, keberatannya adalah
mengenai harga, tetapi bila digunakan pun tidak berbahaya kecuali pada penderita yang
hipersensitif. Kemampuan perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu
saja.

4. PLAN
Follow Up tiap hari di bangsal
Penatalaksanaan di UGD
 IVFd assering 2L/2 jam --> evaluasi tanda-tanda dehidrasi --> IVFd
assering+2A diazepam>>28 tpm
 Inf. Metronidazol 4 x 500 mg
 Inj. tetagam 250iu 1x4amp/hari dalam 4 hari (4000iu)

Anda mungkin juga menyukai