HASIL PENELITIAN
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Karakteristik Frekuensi
Responden
N %
Jenis Kelamin
Laki – Laki 22 52.4
Perempuan 20 47.6
Umur
≥48 tahun 23 54,8
<48 tahun 19 45,2
Pendidikan
1
Perguruan Tinggi 37 88.1
SMA/SMK/STM 4 9.5
SMP 0 0
SD 1 2.4
Status Pernikahan
Kawin 40 95.2
Tidak Kawin 2 4.8
Masa Kerja
≥ 5 tahun 37 88.1
< 5 tahun 5 11.9
Berdasarkan Tabel 4.1 diatas distribusi frekuensi jenis kelamin dari 42 responden
diperoleh hasil responden yang berjenis kelamin laki – laki sebanyak 22 responden
(52.4%) lebih banyak dari responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu dengan
sebanyak 20 responden 47.6 (%). Menurut distribusi frekuensi umur dari 42
responden diperoleh hasil lebih banyak responden yang berumur ≥48 tahun sebanyak
23 responden (54,8%) daripada responden yang berumur <48 tahun adalah sebanyak
19 responden (45,2%). Berdasarkan tabel distribusi frekuensi pendidikan dari 42
responden diketahui bahwa pendidikan terakhir responden terdiri dari 3 kategori
pendidikan yaitu perguruan tinggi, SMA/SMK/STM, dan SD. Sebagian besar
karyawan di SMPN 4 berpendidikan perguruan tinggi sebanyak 37 responden
(88,1%), karyawan yang berpendidikan SMA/SMK/STM sebanyak 4 responden
(9.5%),dan responden yang berpendidikan SD sebanyak 1 orang (2,4%). Berdasarkan
Tabel diatas distribusi frekuensi status perkawinan dari 42 responden diperoleh
hasil lebih banyak responden yang sudah menikah sebanyak 40 responden daripada
responden yang belum menikah sebanyak 2 responden (4.8%). Sedangkan
berdasarkan tabel distribusi frekuensi masa kerja dari 42 responden diperoleh hasil
lebih banyak responden yang mempunya masa kerja ≥ 5 tahun sebanyak 37
responden (88,1%) daripada responden yang masa kerjanya < 5 tahun sebanyak 5
responden (11,9%).
2
4.2.2. Gambaran Distribusi Frekuensi Berdasarkan Stress Kerja Responden
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Stress Kerja Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
3
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Beban Kerja Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Berdasarkan dari hasil diatas maka dari 42 responden didapatkan bahwa responden
yang merasa beban kerjanya berat sebanyak 24 responden (57,1%) sedangkan
responden yang merasa beban kerjanya ringan sebanyak 18 responden (42,9%).
4
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Disain KerjaResponden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Disain Frekuensi
Kerja N %
Membosankan 16 38,1
Tidak Membosankann 26 61,9
Jumlah 42 100.0
Berdasarkan dari hasil diatas maka dari 42 responden didapatkan bahwa responden
yang merasa Disain Kerjanya membosankan sebanyak 16 responden (38,1%)
sedangkan responden yang merasa Disain Kerjanya tidak membosankan sebanyak 26
responden (61,9%).
5
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Berdasarkan dari hasil diatas maka dari 42 responden didapatkan bahwa responden
yang merasa kondisi fisik lingkungan kerjanya tidak nyaman sebanyak 14 responden
(33,3%) sedangkan responden yang merasa kondisi fisik lingkungan kerjanya
nyaman sebanyak 28 responden (63,7%).
6
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengembangan Karir Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Berdasarkan dari hasil diatas maka dari 42 responden didapatkan bahwa responden
yang merasa tidak puas dengan Pengembangan Karirnya sebanyak 15 responden
(35,7%) sedangkan responden yang merasa puas dengan Pengembangan Karirnya
sebanyak 27 responden (64,3%).
7
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Hubungan Interpersonal Responden
Di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Berdasarkan dari hasil diatas maka dari 42 responden didapatkan bahwa responden
yang merasa hubungan interpersonalnya kurag sebanyak 6 responden (14,3%)
sedangkan responden yang merasa kondisi fisik lingkungan kerjanya nyaman
sebanyak 36 responden (85,7).
4.2.1 Hubungan Beban Kerja dengan Stress Kerja pada Karyawan di SMPN 4
Jakarta Tahun 2017
Hasil analisa bivariat antara variable independen beban kerja dengan variable
dependen stress kerja pada karyawan di SMPN4 Jakarta dapat dilihat pada tabel 4.8
di bawah ini
Tabel 4.8
Analisa Hubungan Beban Kerja Dengan Stress Kerja Pada Karyawan di SMPN
4 Jakarta. Tahun 2017
Stress Kerja
Tidak Total
Beban Kerja Stress Stress P-value
N % N % N %
OR CI 95%
8
Berat 15 75 5 25 20 100 0,014 6,314 1,627 –
24,502
Ringan 7 31,8 15 68,2 22 100
Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan bahwa hasil analisa hubungan antara beban kerja
dengan stress kerja sebanyak 15 responden (75%) merasa memiliki beban kerja berat
mengalami stress kerja. Sedangkan responden yang merasa memiliki beban kerja
ringan terdapat 7 responden (31,8%) yang mengalami stress kerja. .
Hubungan beban kerja dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji chi-
square. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value = 0,014 (p<0,05). Artinya,
terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stress kerja. Nilai OR
= 6,314 (95% CI = 1,627 – 24,502) artinya responden yang memiliki beban kerja
berat berpeluang 6,314 kali lebih besar untuk mengalami stress kerja dibandingkan
dengan responden yang memiliki beban kerja ringan.
4.2.2 Hubungan Desain Kerja dengan Stress Kerja pada Karyawan di SMPN
4 Jakarta Tahun 2017
Hasil analisa bivariat antara variable independen desain kerja dengan variable
dependen stress kerja pada karyawan di SMPN4 Jakarta dapat dilihat pada tabel 4.9
di bawah ini
Tabel 4.9
Stress Kerja
Total
Tidak
Desain Kerja Stress Stress P-value
N % N % N %
OR CI 95%
Membosankan 12 75 4 25 16 100
0,047 4,800 1,207 –
9
Tidak 19,082
Membosankan 10 38,5 16 61,5 26 100
Berdasarkan tabel 4.8 didapatkan bahwa hasil analisa hubungan antara desain
kerja dengan stress kerja sebanyak 12 responden (75%) yang merasa desain kerja
membosankan mengalami stress kerja. Sedangkan responden yang merasa memiliki
desain kerja yang tidak membosankan terdapat 10 responden (38,5%) yang
mengalami stress kerja. .
Hubungan desain kerja dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji chi-
square. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value = 0,047 (p<0,05). Artinya,
terdapat hubungan yang signifikan antara desain kerja dengan stress kerja. Nilai OR
= 4,800 (95% CI = 1,207 – 19,082), artinya responden yang memiliki desain kerja
yang membosankan berpeluang 4,8 kali lebih besar untuk mengalami stress kerja
dibandingkan dengan responden yang memiliki desain kerja yang tidak
membosankan.
Hasil analisa bivariat antara variabel independen kondisi lingkungan kerja dengan
variable dependen stress kerja pada karyawan di SMPN4 Jakarta dapat dilihat pada
tabel 4.10 di bawah ini.
Tabel 4.10
Analisa Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Dengan Stress Kerja Pada
Karyawan di SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Stress Kerja
Tidak Total
Kondisi Fisik Stress P-value
Stress
Lingkungan OR CI 95%
Kerja N % N % N %
10
Tidak Nyaman 6 42,9 8 57,1 14 100
0,585 0,563 0,154 –
2,057
Nyaman 16 57,1 12 42,9 28 100
Berdasarkan tabel 4.10 menunjukkan bahwa hasil analisa hubungan antara kondisi
fisik lingkungan kerja dengan stress kerja, terdapat sebanyak 6 responden (42,9%)
terjadi pada responden yang merasakan kondisi fisik lingkungan kerja yang tidak
nyaman mengalami stress kerja. Sedangkan 16 responden (57,1%)yang merasa
memiliki kondisi fisik lingkungan kerja yang nyaman mengalami stress kerja
Hubungan kondisi fisik lingkungan kerja dengan stress kerja diuji dengan
menggunakan uji chi-square. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value =
0,585 (p>0,05). Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi fisik
lingkungan kerja dengan stress kerja. Nilai OR = 0,563 (95% CI = 0,154 – 2,057).
Tabel 4.11
Analisa Hubungan Pengembangan Karir Dengan Stress Kerja Pada Karyawan
Stress Kerja
Tidak Total
Pengembangan Stress P-value
Stress
Karir OR CI 95%
N % N % N %
11
Puas 16 59,3 11 40,7 27 100 1,660
Tabel 4.12
Analisa Hubungan Interpersonal Dengan Stress Kerja Pada Karyawan di
SMPN 4 Jakarta Tahun 2017
Stress Kerja
Tidak Total
Hubungan Stress P-value
Stress
Interpersonal OR CI 95%
N % N % N %
12
Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa hasil analisa antara hubungan
interpersonal dengan stress kerja, dari 22 responden yang mengalami stress kerja
sebagian kecil terjadi pada responden yang memiliki hubungan interpersonal kurang
yaitu sebanyak 4 responden (66,7%). Sedangkan dari 20 responden yang merasa
tidak mengalami stress kerja terdapat 18 responden (50%) yang merasa memiliki
hubungan interpersonal yang baik.
13
BAB V
PEMBAHASAN
14
panjang dengan munculnya berbagai gangguan kesehatan apabila tidak diatasi
dengan baik. Selain berdampak bagi kesehatan, stress kerja yang dialami oleh
karyawan tersebut dapat berpengaruh bagi instansi itu sendiri. Hal ini dapat terjadi
ketika pekerjaan yang mereka miliki sudah mulai mengganggu kehidupan pribadi
karyawan itu sendiri maka hal ini akan berdampak negative bagi produktivitas
perusahaan/ instansi tersebut.
Menurut Wijono (2011), stress kerja merupakan faktor – faktor yang
dapat memberi tekanan terhadap produktivitas dan lingkungan kerja serta dapat
mengganggu pekerja. Stress kerja dapat meningkatkan motivasi karyawan dianggap
sebagai stress yang positif (eustress), sebaliknya stressor juga dapat mengakibatkan
menurunnya produktivitas kerja aryawan yang disebut stress negative (distress).
Hubungan beban kerja dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji chi-square.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value = 0,014 (p<0,05). Artinya, terdapat
hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stress kerja. Nilai OR = 6,314
(95% CI = 1,627 – 24,502) artinya responden yang memiliki beban kerja berat
berpeluang 6,314 kali lebih besar untuk mengalami stress kerja dibandingkan dengan
responden yang memiliki beban kerja ringan.
15
terlebih lagi jika adanya tugas yang harus dikerjakan di rumah seperti memeriksa
pekerjaan murid yang tidak dapat diselesaikan di sekolah akan menambah beban
kerja guru.
Selain itu yang menjadi beban kerja adalah pekerjaan yang tidak luput dari waktu
deadline. Seperti yang terjadi pada waktu ujian sekolah atau ujian nasional. Pada saat
ujian sekolah sebagian karyawan terutama guru disibukkan dengan pemeriksaan
ujian dan diberikan batas waktu dalam pengisian nilai. Sedangkan paada ujian
nasional para guru disibukkan dengan system pengajaran yang lebih insentif dengan
lama jam mengajar yang bertambah , terlebih dengan adanya desakan waktu ujian
nasional sehingga beban kerja semakin meningkat dan ketegangan – ketegangan
yang memicu stress dapat muncul.
Menurut Munandar (2008) beban kerja dibagi menjadi dua bagian yaitu beban kerja
kuantitas dan beban tugas kualitas. Beban tugas kuantitas adalah suatu keadaan
dimana terlalu banyak pekerjaan yng harus dilakukan dibanding dengan waktu yang
tersedia. Sedangkan beban kerja kualitatif adalah suatu keadaan dimana pekerjaan
yang harus dilakukan terasa sulit untuk dikerjakan. Beban kerja yang terlalu ringan
(work underload) juga dapat menimbulkan stress apabila tuntutan pekerjaan dibawah
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja.
Pada dasarnya beban kerja yang terlalu berat maupun terlalu ringan sama – sama
dapat menimbulkan stress. Beban kerja dari segi kualitas yaitu berat atau ringannya
pekerjaan yang dirasakan pekerja, maupun dari segi kuantitas yaitu lebih banyak
atau sedikitnya pekerjaan yang dilakukan mempengaruhi tingkat stress seseorang.
Pekerja yang mendapatkan porsi pekerjaan terlalu sedikit atau ringan dibandingkan
pekerjaan lain akan menyebabkan pekerjaan tersebut kurang memiliki tantangan
terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaannya (Munandar, 2008).
Berdasarkan hasil analisa statistik didapatkan bahwa hasil analisa hubungan antara
desain kerja dengan stress kerja sebanyak 12 responden (75%) yang merasa desain
16
kerja membosankan mengalami stress kerja. Sedangkan responden yang merasa
memiliki desain kerja yang tidak membosankan terdapat 10 responden (38,5%) yang
mengalami stress kerja. .
Hubungan desain kerja dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji chi-square.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value = 0,047 (p<0,05). Artinya, terdapat
hubungan yang signifikan antara desain kerja dengan stress kerja. Nilai OR = 4,800
(95% CI = 1,207 – 19,082), artinya responden yang memiliki desain kerja yang
membosankan berpeluang 4,8 kali lebih besar untuk mengalami stress kerja
dibandingkan dengan responden yang memiliki desain kerja yang tidak
membosankan.
Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara singkat dengan beberapa karyawan atau
pegawai di SMP tersebut, bahwa beberapa responden merasa pekerjaan yang mereka
lakukan yang dilakukan berulang – ulang, sebagian merasa bosan dengan pekerjaan
yang mereka lakukan sehingga dapat menimbulkan kejenuhan karena sifatnya
monoton.Kejenuhan dalam bekerja ini berpotensi menyebabkan stress kerja.
Rutinitas kerja yang monoton adalah pekerjaan yang dilakukan secara berulang –
ulang atau memiliki pola yang sama sehingga dapat menimbulkan kebosanan.
Rutinitas kerja yang monoton bisa terjadi karena beban kerja kuantitatif yang sangat
sedikit. Misalnya oleh karena kemajuan tekhnologi yang mengarah pada
penyederhanaan pekerjaan sehingga banyak terjadi pengulangan gerak yang dapat
menimbulkan kebosanan (Munandar, 2011).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Safitri (2013)
yang membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara disain kerja dengan
stress kerja pada karyawan Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Sama halnya
dengan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2012) terdapat hubungan yang
signifikan antara disain kerja dengan stress kerja pada guru honorer SMA.
5.5. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Kerja dengan Stress Kerja pada
Karyawan Di SMPN 4 Jakarta
Berdasarkan hasil analisis statistik hubungan antara kondisi fisik lingkungan kerja
dengan stress kerja, terdapat sebanyak 6 responden (42,9%) terjadi pada responden
17
yang merasakan kondisi fisik lingkungan kerja yang tidak nyaman mengalami stress
kerja. Sedangkan 16 responden (57,1%)yang merasa memiliki kondisi fisik
lingkungan kerja yang nyaman mengalami stress kerja
Hubungan kondisi fisik lingkungan kerja dengan stress kerja diuji dengan
menggunakan uji chi-square. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value =
0,585 (p>0,05). Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi fisik
lingkungan kerja dengan stress kerja. Nilai OR = 0,563 (95% CI = 0,154 – 2,057).
Menurut Djatmiko (2016), kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab
karyawan mudah jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi, dan mrnurunnya
produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruang kerja tidak nyaman, sirkulasi udara
kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih,
berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
Menurut Losyk (2007), kondisi tempat kerja memiliki pengaruh besar terhadap
tingkat stress. Suhu, suara, cahaya, kualitas udara, kepadatan, isolasi, keamanan dan
kualitas ergonomis, semua menentukan bagaimana seseorang menjalani hari
kerjanya. Bekerja di dalam ruang yang kecil, dengan beberapa orang di dalamnya,
serta tempat duduk tidak nyaman hanya menambah stress kerja. Dihadapkan pada
suasana yang tidak menyenangkan setiap hari akan menimbulkan perusakan secara
traumatis terhadap energi, motivasi dan kesehatan seseorang secara menyeluruh.
18
pengembangan karir mengalami stress kerja. Sedangkan responden yang yang
merasa puas dengan pengembangan karir terdapat 16 responden (59,3%) yang
mengalami stress kerja.
Hubungan pengembangan karir dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji
chi-square. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p- value = 0,382 (p>0,05).
Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengembangan karir dengan
stress kerja. Nilai OR = 0,458 (95% CI = 0,127 – 1,660).
Cooper dan Marshall menyatakan bahwa stress yang terkait dengan pengembangan
karir berasal dari dampak promosi berlebih, promosi kurang, ketidaksesuaian status,
kurangnya keamanan kerja. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
karir untuk menghasilkan kepuasan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada
karyawan (bentuk reaksi terhadap stress) (Munandar, 2008) adalah sebagai berikut :
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Atika
(2014) yang mana terdapat hubungan antara pengembangan karir dengan stress kerja
pada Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Luar Biasa Tahun 2014.
19
Sedangkan dari 20 responden yang merasa tidak mengalami stress kerja terdapat 18
responden (50%) yang merasa memiliki hubungan interpersonal yang baik.
Hubungan interpersonal dengan stress kerja diuji dengan menggunakan uji chi-
square. Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh p- value = 0,753 (p>0,05).
Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan interpersonal
dengan stress kerja. Nilai OR = 2,000 (95% CI = 0,324 – 12,329) artinya responden
yang memiliki hubungan interpersonalnya kurang mempunyai 2 kali mengalami
stress kerja daripada responden yang memiliki hubungan interpersonal yang baik.
Hubungan interpersonal ini terdiri dari hubungan dengan atasan, hubungan dengan
rekan kerja, dan hubungan dengan orangtua murid. Dari hasil wawancara singkat
kepada beberapa karyawan di smp tersebut, dikatakan bahwa hubungan komunikasi
antara atasan, rekan kerja, dan orang tua murid sudah cukup baik.
Hal ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan Fitri (2013) yang mana terdapat
ada hubungan antara stress kerja dengan hubungan personal pada karyawan bank
BMT, dan penelitian yang dilakukan Atika (2014 terdapat hubungan yang bermakna
antara hubungan interpersonal dengan tingkat stress kerja pada guru.
Menurut Munandar (2008), dengan adanya hubungan interpersonal yang baik, maka
pekerja mendapatkan dukungan sosial yang baik sehingga dapat mengurang stress.
Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor
utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Sedangkan hubungan dan dukungan
sosial yang kurang baik antara atasan dengan bawahan serta rekan kerja dapat
mempengaruhi suasana di tempat kerja karena dapat menimbulkan ketegangan yang
dapat menimbulkan stress. Perilaku yang kurang tenggang rasa dari atasan dapat
menimbulkan rasa tertekan bagi pekerjaan yang dapt menimbulkan stress.
Selain itu persaingan antar rekan kerja begitu tajam, konflik dalam kelompok terus
terjadi dan kerjasama antar kelompok tidak berjalan harmonis disituasi tersebut tidak
membuat individu merasa tidak puas dan dapat mengganggu kestabilan emosinya
sehingga individu mengalami konflik dan perasaan tertekan atau stress (Wijono,
2012).
20
21