Anda di halaman 1dari 39

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Urusan Pendidikan
Urusan Kesehatan
Urusan Sosial
Urusan Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk & Keluarga Berencana
Urusan Kepemudaan & Olahraga

5.1. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)

I PM merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi kesejahteraan sosial di


suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. IPM merupakan indikator untuk mengetahui
status kemampuan dasar penduduk, dan merupakan indeks gabungan dari angka harapan
hidup, angka harapan lama sekolah, angka rata-rata lama sekolah dan pengeluaran kapita
disesuaikan.
TABEL: 5.1. CAPAIAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN SOSIAL KOTA TANGERANG TAHUN 2011-2016
CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2011 2012 2013 2014 2015 NILAI SUMBER
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) % 74,2 74,6 75 75,9 76,1 100 Kondisi Ideal
Indeks Harapan Hidup % 78,6 78,6 78,6 78,6 78,7 100 Kondisi Ideal
Angka Harapan Hidup tahun 71,1 71,1 71,1 71,1 71,3 85 Standar Global (UNDP)
Indeks Pengetahuan % 65,4 66,5 67,7 69,7 69,8 100 Kondisi Ideal
Indeks Harapan Lama Sekolah % 65,9 67,9 70 71,4 71,5 100 Kondisi Ideal
Angka Harapan Lama Sekolah tahun 11,9 12,2 12,6 12,9 12,9 18 Standar Global (UNDP)
Indeks Rata-rata Lama Sekolah % 65 65,1 65,5 68 68 100 Kondisi Ideal
Angka Rata-rata Lama Sekolah tahun 9,75 9,76 9,82 10,2 10,3 15 Standar Global (UNDP)
Indeks Pengeluaran % 79,3 79,3 79,4 79,7 79,7 100 Kondisi Ideal
Pengeluaran per Kapita Disesuaikan juta Rp 13,5 13,5 13,5 13,7 13,7 17,2 Standar Nasional 2015
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

Selama periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2016, IPM Kota Tangerang menunjukkan
peningkatan dari 74,2 pada Tahun 2011 meningkat menjadi 76,1 pada Tahun 2016. Angka
IPM ini mempunyai makna bahwa tingkat pencapaian pembangunan manusia Kota Tangerang
adalah 76,1% dari kondisi pembangunan manusia yang ideal (di mana IPM ideal = 100).
Angka harapan hidup berbanding terbalik dengan tingkat kematian bayi, artinya semakin
tinggi angka kematian bayi maka angka harapan hidup cenderung semakin pendek, demikian
pula sebaliknya. Angka harapan hidup Kota Tangerang selama periode Tahun 2011-2016, yaitu
78,67 tahun pada Tahun 2011 meningkat menjadi 78,7 pada Tahun 2016. Artinya, rata-rata
bayi yang lahir di Kota Tangerang pada Tahun 2016 memiliki harapan hidup hingga usia 78,7
tahun.
Angka harapan lama sekolah adalah lamanya
sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan
dirasakan oleh anak pada umur tertentu (sesuai
dengan kebijakan pemerintah tentang program
wajib belajar adalah pada usia 12 tahun ke atas di
masa mendatang. Selama kurun waktu Tahun 2011-
2016, angka harapan lama sekolah Kota Tangerang
menunjukkan peningkatan dari 12,9 tahun pada
Tahun 2016. Artinya, pada Tahun 2016 setiap
penduduk Kota Tangerang yang berusia 7 tahun ke
atas memiliki harapan untuk bersekolah selama
12,9 tahun setara dengan Semester 1 kuliah di perguruan tinggi.
Angka rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 25
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Dalam periode Tahun 2011-2016, angka
rata-rata lama sekolah Kota Tangerang menunjukkan peningkatan dari 11,9 tahun pada Tahun
2011 meningkat menjadi 12,9 tahun pada Tahun 2016. Artinya bahwa pada Tahun 2016
penduduk berusia 25 tahun ke atas di Kota Tangerang rata-rata menjalani pendidikan formal
selama 12,9 tahun.
Selama periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2016, pengeluaran per kapita disesuaikan
Kota Tangerang menunjukkan peningkatan dari Rp 13,5 juta rupiah pada Tahun 2011
meningkat menjadi Rp 17,2 juta rupiah pada Tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa daya
beli masyarakat Kota Tangerang pada Tahun 2016 cukup tinggi.
5.2. URUSAN PENDIDIKAN
5.2.1. PENDIDIKAN PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki peran strategis dalam mempersiapkan anak-anak
Indonesia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter baik. PAUD
mempersiapkan anak sejak dini sejak usia sangat muda sehingga tumbuh kembang anak dan
perkembangan emosional dan juga psikomotorik anak menjadi terpantau dan terbina,
sehingga menjadi insan yang berkualitas di kemudian hari.
TABEL: 5.2. INDIKATOR KEBERHASILAN PAUD KOTA TANGERANG

ACUAN
NO. INDIKATOR SATUAN CAPAIAN
NILAI SUMBER
1 APK PAUD % 75,67 100,00 SDGs 2030
2 Rasio guru terhadap murid PAUD % 8,5 15,00 SDGs 2030
3 Rasio guru PAUD yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV % 60,67% 100,00 SDGs 2030
4 Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) PAUD % 14,2 25 SPM
5 Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan PAUD % 40 % 100,00 SPM
6 Cakupan Pelayanan Pendidikan PAUD bagi Masyarakat Miskin % 100 % 100,00 SPM
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah


GAMBAR: 5.1. GRAFIK INDIKATOR KEBERHASILAN PAUD KOTA TANGERANG
1. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat PAUD
terhadap penduduk kelompok usia 3-6 tahun. APK PAUD merupakan indikasi
bertambahnya infrastruktur sekolah PAUD serta peningkatan akses masuk sekolah
PAUD. Jadi semakin tinggi APK PAUD, dapat diartikan semakin baik infrastruktur PAUD
yang tersedia, dan semakin baik pula akses penduduk terhadap pendidikan PAUD. Hal
ini menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan layanan pendidikan PAUD. APK tahun 2015 menunjukkan angka 75,67.
Kondisi ini masih jauh dari kondisi ideal sebagaimana yang ditargetkan pada SDGs yaitu
APK 100 pada tahun 2030.
2. Rasio guru terhadap murid PAUD adalah jumlah guru PAUD per 1.000 jumlah murid PAUD.
Rasio guru terhadap murid PAUD menunjukkan ketersediaan tenaga pengajar PAUD di
suatu daerah. Rasio guru terhadap murid PAUD juga dapat digunakan untuk mengukur
tercapai atau tidaknya jumlah ideal murid PAUD untuk setiap guru PAUD agar dapat
menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang bermutu dengan hasil yang
diharapkan. Pada tahun 2015 di Kota Tangerang untuk pendidikan PAUD, terdapat 116
guru untuk setiap 1.000 murid PAUD, atau setiap 1 orang guru membimbing sekitar 8,5
murid. Angka rasio guru-murid PAUD tersebut masih di bawah angka rasio guru-murid
PAUD maksimum (1:15) menurut SPM. Hal ini menunjukkan ketersediaan guru PAUD di
Kota Tangerang sudah cukup memadai.

3. Rasio guru PAUD yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV adalah perbandingan jumlah guru
PAUD dengan kualifikasi S1/D-IV terhadap seluruh guru PAUD, yang menunjukkan kualitas
tenaga pengajar PAUD. Selama tiga tahun terakhir rasio guru PAUD yang memiliki
kualifikasi S1/D-IV terus mengalami peningkatan, yaitu dari 34,97% pada tahun 2013
menjadi 60,67% pada tahun 2015. Akan tetapi hal ini masih jauh dari kondisi ideal 100%,
sehingga masih perlu upaya peningkatan kualitas guru PAUD.
4. Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) PAUD adalah rata-rata jumlah peserta didik
dalam setiap rombongan belajar PAUD. Indikator ini berguna untuk menunjukkan
ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD. Rata-rata Rombel PAUD pada tahun 2015 adalah
14,2 orang per Rombel, dimana angka tersebut masih berada dibawah rata-rata yang
ditentukan oleh SPM sebesar 25 orang per Rombel, yang berarti secara umum
ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD telah mencukupi.
5. Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan PAUD yang layak dan memadai adalah
perbandingan jumlah sarana prasarana pendidikan PAUD yang layak dan memadai
terhadap jumlah seluruh sarana prasarana pendidikan PAUD. Indikator ini berguna untuk
menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD yang layak. Walaupun menunjukkan
peningkatan selama dua tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 tingkat ketersediaan
sarana prasarana pendidikan PAUD baru mencapai 40% yang berarti penyediaan sarana
prasarana pendidikan PAUD yang layak masih jauh dari kondisi ideal.
5.2.2. PENDIDIKAN DASAR
Pendidikan dasar 9 tahun merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Melalui pendidikan dasar diharapkan di masa mendatang tingkat
pendidikan minimal penduduk Indonesia adalah lulus SMP/MTs.
TABEL: 5.3. INDIKATOR KEBERHASILAN SEKOLAH DASAR 9 TAHUN KOTA TANGERANG

INDIKATOR SAT 2011 2012 2013 2014 2015 SUMBER NILAI SUMBER
APK SD/Sederajat % 107,08 108,81 101,15 101,94 112,32 LKPj 100,00 SDGs 2030
APK SMP/Sederajat % 94,95 98,30 102,34 95,85 84,03 LKPj 100,00 SDGs 2030
APK SMA/Sederajat % 82,01 83,11 99,30 95,85 99,17 LKPj 100,00 SDGs 2030
Rasio Guru/Murid PAUD ‰ 101,91 98,52 100,75 96,04 116,61 BPS 66,67 SPM
Rasio Guru/Murid SD/Sederajat ‰ 49,93 51,19 48,49 54,21 53,25 BPS 31,25 SPM
Rasio Guru/Murid SMP/Sederajat ‰ 60,65 64,84 75,06 65,16 58,00 BPS 27,78 SPM
Rasio Guru/Murid SMA/Sederajat ‰ 64,76 85,89 82,88 77,16 83,76 BPS 25,00 SPM
Rasio Guru PAUD Kualifikasi S1/D-IV % 34,97 43,88 60,67 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SD/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 73,39 77,25 84,99 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SMP/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 90,83 91,25 86,47 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SMA/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 95,49 96,42 96,63 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan PAUD dengan Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SD/Sederajat Kondisi Baik % 80,10 80,71 49,76 BPS 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SMP/Sederajat Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SMA/Sederajat Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rata-rata Rombel PAUD orang 13,83 15,73 14,20 Profil Pendidikan 25 SPM
Rata-rata Rombel SD/Sederajat orang 27,80 32,24 36,68 Profil Pendidikan 32 SPM
Rata-rata Rombel SMP/Sederajat orang 25,75 32,11 32,67 Profil Pendidikan 36 SPM
Rata-rata Rombel SMA/Sederajat orang 29,95 31,90 32,62 Profil Pendidikan 40 SPM
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan PAUD yang Layak dan Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SD/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SMP/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SMA/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Cakupan Pelayanan Pendidikan PAUD bagi % 100,00 SPM
Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SD/Sederajat % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SMP/Sederajat % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SMA/Sederajat % 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin

Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah


Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
GAMBAR: 5.2. GRAFIK INDIKATOR KEBERHASILAN SEKOLAH DASAR 9 TAHUN KOTA TANGERANG

Berikut deskripsi terkait dengan indikator capaian/keberhasilan Sekolah Dasar 9 tahun:

1. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/sederajat adalah perbandingan jumlah siswa pada
tingkat SD/sederajat terhadap penduduk kelompok usia 7-12 tahun, sedangkan APK
SMP/sederajat adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat SMP/sederajat terhadap
penduduk kelompok usia 13-15 tahun. APK pendidikan dasar (SD/sederajat dan
SMP/sederajat) merupakan indikasi bertambahnya infrastruktur sekolah pendidikan
dasar serta peningkatan akses masuk sekolah pendidikan dasar. Jadi semakin tinggi APK
pendidikan dasar, dapat diartikan semakin baik infrastruktur pendidikan dasar yang
tersedia, dan semakin baik pula akses penduduk terhadap pendidikan dasar. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan layanan pendidikan dasar. APK SD/sederajat selama kurun waktu lima
tahun terakhir telah menunjukkan kondisi yang baik, yaitu APK diatas 100, sudah
memenuhi target SDGs untuk tahun 2030. Akan tetapi kondisi sebaliknya terjadi pada APK
SMP/sederajat, dimana selama kurun waktu tiga tahun terakhir menunjukkan kondisi yang
cenderung menurun dari APK 102,34 pada tahun 2013 menjadi APK 84,03 pada tahun
2015. Hal ini berarti akses penduduk terhadap sekolah SMP/sederajat semakin berkurang
dan hal ini tentu perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kota Tangerang.
2. Rasio guru terhadap murid pendidikan dasar adalah jumlah guru pendidikan dasar per
1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio guru terhadap murid pendidikan dasar
menunjukkan ketersediaan tenaga pengajar pendidikan dasar di suatu daerah. Rasio guru
terhadap murid pendidikan dasar juga dapat digunakan untuk mengukur tercapai atau
tidaknya jumlah ideal murid pendidikan dasar untuk setiap guru pendidikan dasar agar
dapat menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang bermutu dengan hasil yang
diharapkan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir rasio guru pendidikan dasar, baik
SD/sederajat maupun SMP/sederajat menunjukkan peningkatan dan telah memenuhi
standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (SPM), yaitu dengan capaian pada tahun
2015 adalah 116,61 guru per 1000 murid SD/sederajat dan 53,25 guru per 1000 murid
SMP/sederajat. Hal ini menunjukkan ketersediaan guru pendidikan dasar di Kota
Tangerang sudah cukup memadai.
3. Rasio guru pendidikan dasar yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV adalah perbandingan
jumlah guru pendidikan dasar dengan kualifikasi S1/D-IV terhadap seluruh guru pendidikan
dasar, yang menunjukkan kualitas tenaga pengajar pendidikan dasar. Selama tiga tahun
terakhir rasio guru SD/sederajat yang memiliki kualifikasi S1/D-IV terus mengalami
peningkatan, yaitu dari 73,39% pada tahun 2013 menjadi 84,99% pada tahun 2015, akan
tetapi hal ini masih jauh dari kondisi ideal 100%, sehingga masih perlu upaya peningkatan
kualitas guru SD/sederajat. Hal berbeda terjadi pada rasio guru SMP/sederajat yang
memiliki kualifikasi S1/D-IV yang cenderung menurun selama tiga tahun terakhir, yaitu dari
90,83% pada tahun 2013 menjadi 86,47% pada tahun 2015. Kondisi ini tentunya perlu
disikapi serius, karena bukan saja masih dibawah kondisi ideal 100% akan tetapi
kecenderungan menurun ini berarti kualitas pengajaran SMP/sederajat juga mengalami
penurunan.
4. Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) pendidikan dasar adalah rata-rata jumlah
peserta didik dalam setiap rombongan belajar pendidikan dasar. Indikator ini berguna
untuk menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan dasar. Rata-rata Rombel
SD/sederajat selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat sehingga pada tahun 2015
sebesar 36,68 murid per Rombel, dimana angka ini telah melampaui jumlah maksimal
sesuai SPM yaitu 32 murid per Rombel. Hal ini berarti ketersediaan Rombel untuk
SD/sederajat sudah menunjukkan kondisi yang kurang mencukupi kebutuhan. Kondisi ini
berbeda dengan rata-rata Rombel SMP/sederajat yang walaupun juga menunjukkan
peningkatan selama tiga tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 masih menunjukkan
angka 32,67 yang masih berada dibawah standar maksimal SPM yaitu 36 murid per
Rombel. Hal ini berarti kondisi ketersediaan Rombel untuk SMP/sederajat masih
mencukupi.
5. Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan dasar yang layak dan memadai
adalah perbandingan jumlah sarana prasarana pendidikan dasar yang layak dan memadai
terhadap jumlah seluruh sarana prasarana pendidikan dasar. Indikator ini berguna untuk
menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan dasar yang layak. Walaupun menunjukkan
peningkatan selama dua tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 tingkat ketersediaan
sarana prasarana pendidikan dasar, baik SD/sederajat maupun SMP/sederajat, baru
mencapai 40% yang berarti penyediaan sarana prasarana pendidikan dasar yang layak
masih jauh dari kondisi ideal.
6. Cakupan pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin adalah perbandingan
jumlah penduduk miskin yang memperoleh jaminan pelayanan pendidikan dasar terhadap
jumlah seluruh penduduk miskin. Indikator ini berguna untuk menunjukkan cakupan
pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin. Selama dua tahun terakhir cakupan
pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin telah menunjukkan angka yang
sempurna, yaitu 100%, yang berarti seluruh masyarakat miskin di Kota Tangerang telah
terlayani pendidikan dasar.

TABEL: 5.4. INDIKATOR KEBERHASILAN SEKOLAH DASAR 9 TAHUN KOTA TANGERANG


CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2011 2012 2013 2014 2015 NILAI SUMBER
Tkt Ketersediaan Sapras Pendidikan
% 20 40 100 Kondisi Ideal
PAUD yg Layak & Memadai
Tkt Ketersediaan Sapras Pendidikan
% 20 40 100 Kondisi Ideal
SD/Sedrajat yg Layak/Memadai
Tkt Ketersediaan Sarpras Pendidikan
SMP/Sederajat yang Layak dan % 20 40 100 Kondisi Ideal
Memadai
Tkt Ketersediaan Sarpras Pendidikan
% 20 40 100 Kondisi Ideal
SMA/Sederajat yg Layak dan Memadai
Cakupan Pelayanan Pendidikan PAUD
% 100 SPM
bg Masy. Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan
% 100 100 100 SPM
SD/Sederajat bagi Masy. Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan
% 100 100 100 SPM
SMP/Sederajat bagi Masy. Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan
% 100 SPM
SMA/Sederajat bagi Masy. Miskin
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah


GAMBAR: 5.3. GRAFIK INDIKATOR KEBERHASILAN SEKOLAH DASAR 9 TAHUN KOTA TANGERANG

5.3. URUSAN KESEHATAN


Dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dilaksanakan dengan pelayanan
kesehatan dasar gratis. Pelayanan kesehatan ini dalam rangka peningkatan derajat kesehatan
masyarakat serta peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pelayanan
kesehatan telah didukung melalui pemenuhan sarana prasarana dan tenaga medis serta
paramedis sebagaimana Tabel berikut ini.
TABEL: 5.5. JUMLAH RUMAH SAKIT, PUSKESMAS DAN PUSTU KOTA TANGERANGTAHUN 2015
KECAMATAN RUMAH SAKIT PUSKESMAS POSYANDU
Ciledug 3 2 105
Larangan 1 2 105
Karangtengah 3 3 68
Cipondoh 1 4 100
Pinang 3 3 97
Tangerang 3 3 75
Karawaci 8 4 132
Jatiuwung 2 1 60
Cibodas 2 2 97
Periuk 1 3 72
Batuceper - 2 53
Neglasari 1 2 63
Benda - 2 48
KOTA TANGERANG 28 33 1075
Sumber: BPS Tahun 2016, data diolah

Sumber: BPS Tahun 2016, data diolah


GAMBAR: 5.4. GRAFIK JUMLAH RUMAH SAKIT, PUSKESMAS KOTA TANGERANG

1. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat melalui tiga indikator, yaitu indikator angka
kematian ibu, indikator angka kematian bayi, dan indikator persentase rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Indikator angka kematian ibu adalah jumlah
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Indikator angka kematian bayi adalah jumlah
kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Indikator persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah perbandingan jumlah rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) terhadap jumlah seluruh rumah tangga. Capaian angka
kematian ibu pada tahun 2015 menunjukkan angka 55 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup, sudah dibawah target SDGs tahun 2030 yaitu maksimal 70 kematian ibu
per 100.000 kelahiran hidup. Capaian angka kematian bayi pada tahun 2015
menunjukkan angka 0,42 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, sudah jauh dibawah
target SDGs tahun 2030 yaitu maksimal 12 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup.
Capaian persentase rumah tangga PHBS pada tahun 2015 menunjukkan angka 54,20%,
masih jauh dibawah SPM yaitu minimal 80%. Dari ketiga indikator tersebut
menunjukkan bahwa kondisi derajat kesehatan masyarakat masih perlu ditingkatkan
terutama dalam PHBS.

2. Status gizi masyarakat dapat dilihat melalui indikator prevalensi balita gizi kurang dan
indikator prevalensi balita gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang adalah perbandingan
balita dalam kondisi kurang gizi terhadap jumlah seluruh balita. Prevalensi balita gizi
buruk adalah perbandingan balita dalam kondisi gizi buruk (kurang gizi yang menahun)
terhadap seluruh jumlah balita. Capaian prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2015
masih menunjukkan 6,58%, yang berarti kondisi ini masih kurang baik dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0%. Begitu pula dengan prevalensi
balita gizi buruk yang pada tahun 2015 masih menunjukkan angka 0,16%, masih kurang
baik dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0%.
3. Upaya pengendalian penyakit dapat dilihat
melalui indikator cakupan kelurahan
Universal Child Immunization (UCI) dan
indikator cakupan kelurahan mengalami KLB
yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24
jam. Indikator cakupan kelurahan Universal
Child Immunization (UCI) adalah perbandingan
jumlah kelurahan yang ≥80% dari jumlah bayi
yang ada di kelurahan tersebut sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu satu tahun terhadap jumlah seluruh
kelurahan. Capaian cakupan kelurahan Universal Child Immunization (UCI) selama empat
tahun terakhir sudah menunjukkan angka 100% yang berarti tingkat pengendalian
penyakit melalui imunisasi sudah berjalan baik. Indikator cakupan kelurahan mengalami
KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24 jam adalah perbandingan jumlah
kelurahan yang mengalami KLB ditangani <24 jam terhadap jumlah seluruh kelurahan
yang mengalami KLB. Capaian indikator ini selama dua tahun terakhir sudah
menunjukkan angka 100%, yang berarti tingkat pengendalian penyakit melalui
penanganan KLB sudah berjalan dengan baik.
4. Pelayanan kesehatan masyarakat dapat
dinilai dari beberapa indikator, yaitu indikator
rasio dokter per satuan penduduk, indikator
rasio tenaga medis per satuan penduduk,
indikator rasio posyandu per satuan balita,
indikator rasio puskesmas dan puskesmas
pembantu per satuan penduduk, indikator
rasio rumah sakit per satuan penduduk,
indikator persentase puskesmas, puskesmas
pembantu dan jaringannya dengan kondisi
sarana dan prasarana memadai, indikator persentase ketersediaan obat dan perbekalan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan di puskesmas dan jaringannya, serta indikator
cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
- Indikator rasio dokter per satuan penduduk adalah jumlah dokter per 1.000
penduduk, dengan capaian sampai dengan tahun 2015 mencapai 7,6 dokter per 1000
penduduk, sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 0,4 dokter per 1000
penduduk.
- Indikator rasio tenaga medis per satuan penduduk adalah jumlah tenaga medis per
1.000 penduduk, dengan capaian sampai dengan tahun 2015 adalah 2,48 tenaga
medis per 1000 penduduk, sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 1,41
tenaga medis per 1000 penduduk.
- Indikator rasio posyandu per satuan balita adalah jumlah posyandu per 1.000 balita,
dengan capaian sampai dengan tahun 2015 adalah 5,24 posyandu per 1000 balita,
sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 1 posyandu per 1000 balita.
- Untuk menilai ketersediaan pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat dilihat dari
indikator rasio puskesmas dan puskesmas pembantu per 1.000 penduduk, dimana
capaian pada tahun 2015 mencapai 0,04, sudah melebihi rasio minimal menurut SPM
yaitu 0,03.
- Sedangkan untuk menilai ketersediaan pelayanan kesehatan tingkat lanjut dapat
dilihat dari indikator rasio rumah sakit per 1.000 penduduk, dimana capaian pada
tahun 2015 adalah 0,014, masih dibawah rasio minimal menurut SPM yaitu 0,015.
- Kemudian untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat dilihat
dari indikator persentase puskesmas, puskesmas pembantu dan jaringannya dengan
kondisi sarana dan prasarana memadai dan indikator persentase ketersediaan obat
dan perbekalan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan di puskesmas dan
jaringannya, dimana capaian kedua indikator ini pada tahun 2015 adalah 100%, sesuai
dengan standar SPM.
- Untuk menilai cakupan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin dapat
dilihat dari indikator cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dimana
capaian indikator ini pada tahun 2015 telah mencapai 100%, sesuai dengan standar
SPM.
.
TABEL: 5.6. CAPAIAN INDIKATOR KESEHATAN
CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2011 2012 2013 2014 2015 NILAI SUMBER
Angka Kematian Ibu poin 37 55 70 SDGs 2030
Angka Kematian Bayi ‰ 0,34 0,42 12 SDGs 2030
% Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) % 27,9 54,2 80 SPM
Prevalensi Balita Gizi Kurang % 6,94 6,58 0 WHO
Prevalensi Balita Gizi Buruk % 0,13 0,16 0 WHO
Cakupan Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) % 98,08 100 100 100 100 100 SPM
Cakupan Kelurahan Mengalami KLB yang Dilakukan % 100 100 100 SPM
Penyelidikan Epidemiologi <24 jam
Rasio Dokter per Satuan Penduduk ‰ 6,2 7,6 0,4 SPM
Rasio Tenaga Medis per Satuan Penduduk ‰ 1,57 2,48 1,41 SPM
Rasio Posyandu per Satuan Balita ‰ 5,8 5,51 5,3 5,26 5,24 1 SPM
Rasio Puskesmas dan Pustu per Satuan Penduduk ‰ 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 SPM
Rasio Rumah Sakit per Satuan Penduduk ‰ 0,015 0,014 0,015 0,015 0,014 0,015 SPM
Persentase Puskesmas, Pustu dan Jaringannya dengan % 80 85,71 97,14 100 100 100 SPM
Kondisi Sarana dan Prasarana Memadai
Persentase Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan % 100 100 100 100 100 100 SPM
yang Sesuai Kebutuhan di Puskesmas dan Jaringannya
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

5.4. URUSAN SOSIAL (MASALAH PMKS)

Di berbagai kota besar, harus diakui bahwa perkembangan pesat pola kehidupan perkotaan
acapkali tidak diimbangi dengan perkembangan kemampuan kota yang berarti. Bahkan
beberapa di antaranya justru menurun, baik kualitas maupun kapasitasnya. Sebagai contoh,
semakin besarnya derajat penderitaan kaum miskin di perkotaan karena mengalami
marginalitas ekonomi, sosial maupun akses budaya. Menajamnya masalah-masalah sosial
perkotaan seperti konflik sosial, karakter kejahatan, prostitusi, anak jalanan dan endemiknya
amuk massa yang menyerang rasa tertib umum. Perubahan struktur demografi penduduk kota
dengan meningkatnya warga lanjut usia, relatif menurunnya usia produktif serta kelangkaan
penyediaan lapangan kerja menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam pengelolaan
kebijakan publik.
Kegagalan pembangunan dan proses marginalisasi yang terjadi di wilayah pedesaan, bukan
saja telah terbukti menimbulkan derasnya migrasi penduduk yang berlebihan di wilayah kota
besar, tetapi juga setumpuk masalah sosial yang menyertainya. Tetapi di saat yang sama juga
memicu munculnya berbagai permasalahan kota, seperti PKL (Pedagang Kaki Lima),
permukiman kumuh, gelandangan, pengemis, tuna wisma, anak jalanan, PSK, dan lain-lain
sebagainya. Yang namanya PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
TABEL: 5.7. CAPAIAN INDIKATOR PMKS
CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2014 2015 NILAI SUMBER
Proporsi Penurunan Jumlah PMKS %
Persentase PMKS skala kota yang memperoleh bantuan sosial
% 80 SPM
untuk pemenuhan kebutuhan dasar
Persentase PMKS yang Menerima Program Pemberdayaan
Sosial melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) atau Kelompok % 57,59 82,81 80 SPM
Sosial Ekonomi Sejenis Lainnya
Persentase Panti Sosial Skala Kota yang Menyediakan Sarana
% 80 SPM
Prasarana Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Persentase Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat
(WKSBM) yang Menyediakan Sarana Prasarana Pelayanan % 74,33 62,81 60 SPM
Kesejahteraan Sosial
Persentase Penyandang Cacat fisik, mental serta Lanjut Usia
% 4,63 0 40 SPM
Tidak Potensial yang Telah Menerima Jaminan Sosial
Persentase Korban Bencana Skala Kota yang Menerima
% 80 SPM
Bantuan Sosial Selama Masa Tanggap Darurat
Persentase Korban Bencana Skala Kota yang di-Evakuasi
dengan Menggunakan Sarana Prasarana Tanggap Darurat % 80 SPM
Lengkap
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah


GAMBAR: 5.5. GRAFIK CAPAIAN INDIKATOR PMKS

5.4.1. ANAK TERLANTAR


Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah
mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar,
termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak).
Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak
sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan
(family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health
and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan
perlindungan khusus (special protection).
Konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the Child),
sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan, bahwa
karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan perhatian
dan perlindungan. Anak terlantar sendiri pada umumnya merupakan anak-anak yang berasal
dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada yang berasal dari keluarga tidak mampu,
sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan jalanan yang
akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan
jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Bahkan yang lebih miris lagi adalah ada anak
terlantar yang tidak memiliki sama sekali keluarga (hidup sebatang kara).
Ada anak terlantar yang ibunya tinggal di kota yang
berbeda dengan tempat tinggal ayahnya karena
pekerjaan, menikah lagi, atau cerai. Ada anak jalan
yang masih tinggal bersama keluarga, ada yang tinggal
terpisah tetapi masih sering pulang ke tempat keluarga,
ada yang sama sekali tak pernah tinggal bersama
keluarganya atau bahkan ada anak yang tak mengenal
keluarganya. Selain itu kegiatan pembangunan yang
pesat di perkotaan juga ternyata memberikan efek
negatif terhadap kehidupan anak terlantar. Keadaan
kota justru mengundang maraknya anak terlantar. Kota
yang padat penduduknya dan banyak keluarga
bermasalah membuat anak yang kurang gizi, kurang
perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan
kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup
merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh
keluarga, teman, orang lain lebih dewasa.
Anak terlantar, pada hakikatnya, adalah "anak-anak",
sama dengan anak-anak lainnya yang bukan anak
terlantar. Mereka membutuhkan pendidikan.
Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan
aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab,
anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil.
Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda
dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya
makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di
sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih
sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin
dijalankan.
Berikut data anak terlantar Kota Tangerang Tahun 2015.
TABEL: 5.8. DATA ANAK / BALITA TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN JUMAH ANAK BALITA TERLANTAR
1 Ciledug 6
2 Larangan 10
3 Karang Tengah 15
4 Cipondoh 12
5 Pinang 6
6 Tangerang 17
7 Karawaci 17
8 Cibodas 4
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 63
11 Neglasari 3
12 Batuceper 9
13 Benda 17
KO A TANGERANG 179

GAMBAR: 5.6. GRAFIK DATA ANAK / BALITA TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015

5.4.2. ANAK MEMERLUKAN PERLINDUNGAN KHUSUS


Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini masih
mencerminkan adanya penyalahgunaan (abuse),
eksploitasi, diskriminasi, dan masih mengalami beberapa
tindak kekerasan yang membahayakan perkembangan
jasmani, rohani, dan sosial anak. Padahal, anak adalah
amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan generasi penerus perjuangan penentu masa
depan bangsa dan Negara. Oleh karena itu, diperlukan
upaya-upaya yang memberi perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada
dalam keadaan sulit tersebut. Pasal 59 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada:
1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana
alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata)
2. Anak yang berhadapan dengan hukum
3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan /atau seksual
5. Anak yang diperdagangkan
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (napza)
7. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan
8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental
9. Anak korban perlakuan salah/penelantaran
10.Anak penyandang cacat. Selain itu, ada dua kelompok lain yang dimasukkan ke dalam
kelompok anak rentan, yaitu anak jalanan dan anak tanpa akta kelahiran

Berikut data anak terlantar Kota Tangerang Tahun 2015.


TABEL: 5.9. DATA ANAK ANAK MEMERLUKAN PERLINDUNGAN KHUSUS KOTA TANGERANG
TAHUN 2015
NO KECAMATAN ANAK MEMERLUKAN PERLINDUNGAN KHUSUS
1 Ciledug 1
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 5
4 Cipondoh 2
5 Pinang 0
6 Tangerang 0
7 Karawaci 6
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 8
10 Periuk 2
11 Neglasari 2
12 Batuceper 1
13 Benda 4
KO A TANGERANG 31

GAMBAR: 5.7. GRAFIK DATA ANAK MEMERLUKAN PERLINDUNGAN KHUSUS TAHUN 2015
5.4.3. ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)
ABH adalah anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12
(dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah :
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri
terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak
dengan sistem pengadilan pidana karena :
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya;
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran
hukum.
Anak sebagai pelaku atau anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang
disangka, didakwa, atau dinyatakan
terbukti bersalah melanggar hukum, dan
memerlukan perlindungan. Dapat juga
dikatakan anak yang harus harus mengikuti
prosedur hukum akibat kenakalan yang
telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan
disini bahwa anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai
kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan
hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya.

TABEL: 5.10. DATA ANAK ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
1 Ciledug 4
2 Larangan 4
3 Karang Tengah 7
4 Cipondoh 25
5 Pinang 1
6 Tangerang 1
7 Karawaci 1
8 Cibodas 1
9 Jatiuwung 2
10 Periuk 10
11 Neglasari 6
12 Batuceper 21
13 Benda 17
KOTA TANGERANG 100
GAMBAR: 5.8. GRAFIK DATA ANAK ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM KOTA TANGERANG
TAHUN 2015

Peran Pemerintah Ddaerah dalam hal ini adalah upaya untuk menjalin kerjasama yang positif,
baik dengan (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM sebagai bagian dari upaya aparat penegak
hukum dalam melakukan diversi dan restorative justice. Sehingga diversi dan restorative
justice dapat dipromosikan dan dikembangkan sebagai solusi penyelesaian perkara anak yang
berkonflik dengan hukum.
Solusi terhadap ABH adalah dengan “Diversi” merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan anak yang sudah terlanjur masuk
kedalam ranah hukum. Pada dasarnya diversi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada pasal 7 dinyatakan bahwa pada tiap
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan diversi. Diversi wajib diupayakan apabila tindak pidana yang dilakukan diancam
dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.
Inisiatif untuk melakukan "diversi" berhubungan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku anak. Apabila tindak pidana kejahatan maka inisiatif tersebut berasal dari LSM
pendamping dan apabila tindak pidana pelanggaran inisiatif berasal dari Kepolisian.

5.4.4. ANAK JALANAN (ANJAL)


Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan
hidup sehari-hari di jalanan, baik mencari nafkah ,
berkeliaran di tempat-2 umum lainnya. Anak jalanan
mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 s/d 18 tahun,
melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan,
penampilannya kusam dan pakaian tidak terurus,
mobilitasnya tinggi.
TABEL: 5.11. DATA ANAK ANAK JALANAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN ANAK JALANAN
1 Ciledug 3
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 2
4 Cipondoh 0
5 Pinang 0
6 Tangerang 11
7 Karawaci 2
8 Cibodas 7
9 Jatiuwung 4
10 Periuk 6
11 Neglasari 2
12 Batuceper 8
13 Benda 4
KOTA TANGERANG 49

GAMBAR: 5.9. GRAFIK DATA ANAK ANAK JALANAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015

Upaya penertiban, pembinaan, pemberian pelatihan-pelatihan hingga penyediaan rumah


singgah bagi anak jalanan telah dilakukan oleh Pemerintah Kota. Namun, sepertinya upaya-
upaya yang telah dilakukan tersebut belumlah cukup. Undang-undang dasar mengamanatkan
bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negera. Artinya sesungguhnya mereka
yang hidup terlantar (termasuk anak-anak yang hidup di jalanan) juga harus menjadi perhatian
negara.
Beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi anak jalanan antara lain :
(1) Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya anak-anak)
ke Jakarta, dengan cara menggalakkan operasi yustisi, memperkuat koordinasi dengan
daerah asal, pemulangan anak jalanan ke daerah asal, dll.
(2) Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan masalah anak
jalanan tersebut dengan menyentuh pada sumber permasalahannya. Sebagai contoh :
banyak diantara anak jalanan yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika ini yang
terjadi, maka pemerintah tidak bisa hanya melatih, membina atau mengembalikan si
anak ke sekolah. Tapi, lebih dari itu pemerintah harus melakukan pendekatan dan
pemberdayaan ekonomi keluarganya;
(3) Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah. Ini tidak gampang. Harus ada
perlakuan khusus terhadap mereka. Masing-masing anak jalanan tentu memiliki
permasalahan yang spesifik. Maka pendekatan yang dilakukan untuk mengembalikan
mereka ke sekolah juga harus dilakukan dengan cara yang spesifik pula;
(4) Memberikan perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. Undang-undang
nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengamanatkan bahwa
perlindungan anak perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.
(5) Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak, termasuk
anak jalanan;
(6) Melakukan penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan keberadaan
anak-anak jalanan di ibukota;
(7) Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesunggungnya
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga dan
orang tua.

5.4.5. BERKEBUTUHAN KHUSUS (DISABILITAS)


Indonesia pada tanggal 30 Maret 2007 (belum diratifikasi) dalam Preambel (butir e)
menyatakan:
Recognizing that disability is an evolving concept and that disability results from the
interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that
hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others.
Jelas sekali dinyatakan bahwa “disabilitas” adalah sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari
interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual
dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di
masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya.
Persoalan hambatan berpartisipasi harus menjadi
tanggung jawab masyarakat dan Negara. Sikap
masyarakat dan kebijakan pemerintah yang
mengakomodasi prinsip HAM non-diskriminasi,
kesetaraan serta kesempatan yang sama dan
mengakui adanya keterbatasan yang dapat diatasi
jika diupayakan aksesibilitas fisik dan non-fisik
merupakan faktor penting dalam mengatasi kondisi
yang disebut “disabilitas”. Peningkatan kesadaran
masyarakat dan tanggung jawab Negara untuk
mengatasi disabilitas menjadi tugas penting dari
komunitas bangsa-bangsa di dunia sehingga setiap orang, terlepas dari jenis dan keparahan
kecacatan (impairment) yang dimiliki mampu menikmati hak-hak mereka yang paling hakiki.
TABEL: 5.12. DATA ANAK ANAK DGN KEDISTABILITASAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN ANAK DGN KEDISTABILITASAN
1 Ciledug 56
2 Larangan 24
3 Karang Tengah 31
4 Cipondoh 56
5 Pinang 69
6 Tangerang 37
7 Karawaci 61
8 Cibodas 11
9 Jatiuwung 2
10 Periuk 33
11 Neglasari 24
12 Batuceper 46
13 Benda 70
KOTA TANGERANG 520

GAMBAR: 5.10. GRAFIK ANAK DENGAN KEDISTABILITASAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015

TABEL: 5.13. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN UPAYA PENYEDIAAN AKSES DISABILITAS


NO PERMASALAHAN DISKRIPSI
1 Data penyangdang Permasalahan yang dihadapi menyangkut pendataan. WHO
disabilitas “bias” memperkirakan jumlah orang dengan disabilitas di Indonesia sebesar
12% (Irwanto & Hendriati, 2001). Disabilitas paling umum yang
ditemukan adalah sebagai berikut :
- Tidak mampu melakukan aktivitas sosial
- Tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga
- Tidak mampu melakukan aktivitas pekerjaan
- Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
Selanjutnya data dari Depsos bersama BPS masukkan survei disabilitas
dalam Susenas pada tahun 1995 yang dilaporkan dalam Statistik
Kesehatan diperkirakan sekitar 3.2% dari perkiraan jumlah penduduk.
Semantara data dari Dinas Sosial pada Tahun 2015 hanya tercatat “anak
NO PERMASALAHAN DISKRIPSI
Anak dengan kedistabilitasan” tercatat sebanyak 520 atau 0,0025% dari
jumlah penduduk kota Tangerang (520/2.093.706). Menurut survey UN
ESCAP (2009), di Indonesia tercatat 1.38% yang diperoleh dari Susenas
2006.
Klasifikasi dalam Riset Kesehatan Dasar 2007 oleh Kemenkes RI yang
menggunakan sample penduduk usia 15 tahun ke atas. Hasilnya adalah
1.8% dari populasi yang diteliti menyatakan “sangat bermasalah” dan
19.5% dalam berbagai aspek kemampuan dalam menjalan aktivitas
sehari-hari. Untuk membersihkan tubuh dan memakai pakaian
prevalensinya 3%.
Dengan demikian masih sulit untuk menentukan besaran yang
sebenarnya dari penduduk yang mengalami disabilitas, terutama karena
berubah-ubahnya definisi operasional yang digunakan. Artinya,
pertanyaan mengenai data disabilitas yang digunakan untuk mencari
penduduk yang mengalami hambatan (disadvantaged) dalam memenuhi
kesejahteraan sosial dikatakan bias, lebih-lebih manakala mencerminkan
penduduk dengan disabilitas yang dalam kategori miskin.

2 Kurangnya - Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan,


Implementasi atas diatur bahwa setiap bangunan harus menyediakan
Aksesibilitas pada fasilitas/infrastruktur untuk penyandang disabilitas, kecuali
Sektor Bangunan perumahan pribadi. Selain itu juga, ada Peraturan Pemerintah No. 43
dan Transportasi Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi
Penyandang Disabilitas. Peraturan tersebut mengatur bahwa setiap
penyelenggaraan fasilitas umum dan infrastruktur harus menyediakan
aksesibilitas yang setara. Lebih lanjut dalam Pasal 9 terdapat konsep
affirmative action bagi orang penyandang disabilitas, yaitu dengan
memberikan penjelasan mengenai pengaturan bahwa aksesibilitas
memiliki tujuan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan yang lebih
mendukung bagi penyandang disabilitas untuk bersosialisasi di dalam
masyarakat. Pengaturan tersebut menekankan mengenai pengadaan
akses minimal bagi penyandang disabilitas terhadap ruang publik
sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 9 CRPD. Pemerintah wajib
menyediakan aksesibilitas secara fisik terhadap fasilitas umum dan
infrastruktur, bangunan umum, jalan umum, taman dan pemakaman,
dan sarana transportasi. Di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Transportasi diatur mengenai kewajiban
untuk memenuhi hak atas aksesibilitas bagi penyandan disabilitas.
Peraturan Pemerinta No. 43 Tahun 1993 juga memberikan
kekhususan dalam hal transportasi bagi penyandang disabilitas.
- Namun demikian, aksesibilitas untuk mencapai kesetaraan dalam
penggunaan bangunan umum dan kantor pemerintah masih jarang
diimplementasikan. Hal ini tercermin melalui saran transportasi
umum yang tidak bersahabat dengan penyandang disabilitas, tidak
adanya trotoar yang mendukung bagi penyandang disabilitas, tempat
parkir kendaraan yang tidak cocok bagi penyandang disabilitas,
elevator yang terlalu sempit, sarana sanitasi yang tidak mendukung,
dan juga jalanan yang licin serta tidak rata yang tidak dapat dilewati
oleh penyandang disabilitas.
- Hukum berjalan tanpa implementasi yang layak. Hukum dan
kebijakan dibuat dengan sanksi yang tidak pernah dilaksanakan.
Masalahnya juga menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan jenis
penyandang disabilitas dimana kebutuhan setiap penyandang
NO PERMASALAHAN DISKRIPSI
disabilitas tidak selalu sama. Namun demikian, pemerintah harus
tetap mengupayakan perencanaan pemberian prioritas terhadap
aksesibilitas secara progresif. Kesenjangan juga terjadi ketika
masyarakat kekurangan informasi mengenai kebijakan-kebijakan
terkait penyandang disabilitas. Pada berbagai peraturan terdapat
ketentuan yang memungkinkan penyandang disabilities melakukan
gugatan atas haknya, namun ketentuan ini tidak banyak diketahui.
3 Kurangnya - Hak atas pekerjaan terkandung dalam deklarasi Universal Hak Asasi
Implementasi atas Manusia dan diakui sebagai hak yang utama dalam hukum HAM
Aksesibilitas terkait internasional dan juga terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi,
Hak atas Pekerjaan Sosial, dan Budaya dimana hak atas pekerjaan menekankan
bagi Penyandang pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia telah
Disabilitas meratifikasi ICESCR sejak tahun 2005 Pasal 6 konvensi tersebut secara
jelas menyatakan bahwa hak atas pekerjaan merupakan hak asasi
manusia.
- Pada isu penyandang disabilitas, terdapat beberapa undang-undang
dan peraturan yang mengatur tentang kesempatan kerja bagi
penyandang disabilitas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 1998, pengusaha/pemberi kerja wajib mempekerjakan 1 orang
penyandang disabilitas untuk setiap 100 pekerja yang
dipekerjakannya. Ini berarti terdapat kuota 1% (minimal) bagi
penyandang disabilitas untuk mengakses tempat kerja dan hak
ekonominya. Walaupun undang-undang mengatur demikian, namun
hal ini jarang terjadi bahkan di sector pemerintahan. Terdapat banyak
kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di sektor
ketenagakerjaan.
- Isu mengenai pelanggaran hak atas pekerjaan terjadi manakala
pemerintah tidak mampu melaksanakan kewajiban sesuai mandat
undang-undang. Hukum HAM internasional menyatakan bahwa,
Pertama Indonesia harus menghormati HAM dengan tidak ikut andil
dalam terjadinya pelanggaran HAM. Dengan menolak penyandang
disabilitas untuk menjadi pegawai negeri karena disabilitasnya, maka
pemerintah Indonesia telah melanggar hak asasi manusia.
- Selama ini tidak ada hukuman yang memberikan efek jera bagi pihak
yang melanggar hak atas pekerjaan, termasuk atas kegagalan
pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Pemberian motivasi
(dengan penghargaan) memang diperlukan, namun jika dilakukan
tanpa pengaturan yang jelas maka pemberian motivasi akan
kehilangan maknanya. Selanjutnya, pemerintah harus memberikan
pengaturan dan kebijakan yang jelas untuk mentransformasi
peraturan menjadi wujud nyata yang dirasakan masyarakat.
-
4 Diskriminasi Ganda - Pendidikan untuk semua adalah visi UNESCO untuk tahun 2015.
terhadap Pendidikan harus mudah dijangkau terlepas status setiap anak.
Penyandang Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan manusia.
Disabilitas dalam Namun, dalam isu penyandang disabilitas, visi ini sangat sulit dicapai.
Sektor Pendidikan
- Indonesia memiliki Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tenang Sistim
dan Kesejahteraan
Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut menyatakanb
Sosial
kewajiban penyelenggaraan pendidikan khusus bagi dan setara bagi
penyandang disabilitas. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
2010 ditambahkan bahwa setiap tingkatan pendidikan harus
menerima peserta didik tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi
NO PERMASALAHAN DISKRIPSI
berdasarkan kondisi fisik dan mental. Namun, masih banyak anak
dengan disabilitas tidak dapat menikmati pendidikan.
- Semangat non-diskriminasi telah muncul di dalam kebijakan sektor
pendidikan. Namun di tahap pelaksanaan, hak untuk diperlakukan
secara setara di sekolah umum tidak dapat berjalan. Pendidikan
konvensional melihat bahwa masalah disabilitas sebagai hambatan
siswa untuk memperoleh pencapaian sebagaimana ‘siswa normal’.
- Pada sektor kesejahteraan sosial, Indonesia memiliki Undang-Undang
No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa penyandang disabilitas dikategorikan
sebagai anggota masyarakat bermasalah dan memiliki disfungsi sosial.
Istilah disfungsi sosial bagi penya ndang disabilitas menciptakan
beberapa masalah termasuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan
hukum HAM internasional, konstitusi Indonesia, dan Undang-Undang
HAM. Istilah tersebut menciptakan diskriminasi ganda bagi
penyandang disabilitas karena dengan istilah ‘bermasalah ‘ dan
‘disfungsi sosial’, maka pemerintah menempatkan penyandang
disabilitas sebagai orang yang tidak dapat berpartisipasi secara penuh
dan berfungsi secara utuh dalam masyarakat. CRPD merupakan
langkah besar dalam merubah persepsi mengenai disabilitas dan
memastikan bahwa masyarakat mengakui bahwa setiap orang harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalani hidup dengan
potensi penuhnya yang mungkin.
5 Ketidaksetaraan Terdapat ketidaksetaraan bagi penyandang disabilitas dalam sektor
dalam Sektor Politik politik. Hak untuk dipilih mengatur bahwa orang yang bersangkutan
harus mampu berbicara, menulis, dan membaca Bahasa Indonesia.
Persyaratan tersebut memperkecil kesempatan penyandang disabilitas
yang hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat ataupun
Braille. Dalam dunia politik, tidak ada satupun partai yang membuat
rencana konkrti bagi perlindungan terhadap penyandang disabilitas.

5.4.6. BEKAS NARAPIDANA


Pada umumnya masyarakat masih banyak yang mempunyai pandangan negatif terhadap
sosok mantan narapidana (napi). Narapidana oleh masyarakat dianggap sebagai trouble maker
atau pembuat kerusuhan yang selalu meresahkan masyarakat sehingga masyarakat
melakukan penolakan dan mewaspadainya. Sikap penolakan masyarakat membuat
narapidana mengalami kesulitan dalam melakukan resosialisasi di masyarakat. Dan yang
terjadi pada saat ini adalah, masih banyak orang-orang di masyarakat yang tidak
memperdulikan dan mengucilkan kehadiran mantan napi untuk dijadikan bagian dari anggota
dalam kehidupan masyarakat.
Kesulitan yang dialami narapidana antara lain untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari
masyarakat di sekitarnya dan kesulitan dalam memperoleh pekerjaan. Susahnya bagi mantan
napi untuk kembali lagi ke masyarakat, atau takut akan diperkucilkan dan dihina oleh orang
lain. karena mereka merasa rendah diri, dan tidak memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa dia
juga manusia yang diciptakan untuk bersosialisai kepada lingkungannya.
TABEL: 5.14. DATA BEKAS NARA-PIDANA KOTA TANGERANG TAHUN 2015

NO KECAMATAN BEKAS NARAPIDANA

1 Ciledug 11
2 Larangan 3
3 Karang Tengah 16
4 Cipondoh 5
5 Pinang 9
6 Tangerang 52
7 Karawaci 19
8 Cibodas 31
9 Jatiuwung 6
10 Periuk 10
11 Neglasari 25
12 Batuceper 34
13 Benda 18
KOTA TANGERANG 239

GAMBAR: 5.11. GRAFIK DATA BEKAS NARAPIDANA KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Solusi penanganan masalah bekas narapidana diantaranya:
1. Pihak pemerintah beserta aparatur penegak hukum memberikan kesempatan kepada
narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk bekerja guna memenuhi
kebutuhan ekonomi, serta menghilangkan anggapan buruk tentang narapidana agar
mereka dapat bekerja dengan baik di instansi pemerintah ataupun swasta.
2. Perlunya pengiriman pegawai untuk mengikuti program kekhususan yang dilaksanakan
instansi lain yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan.
3. Perlunya kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil produk napi di Lapas,
apabila ada produk yang dihasilkan.
4. Program dan ragam pembinaan terhadap narapidana hendaknya dilaksanakan secara
efektif dan kreatif serta berdaya guna untuk pengembangan kepribadian serta peningkatan
keterampilan bagi narapidana.
5.4.7. KORBAN NAPZA
Arti dari korban penyalahgunaan Napza adalah seseorang yang menderita ketergantungan
yang disebabkan oleh penyalahgunaan Napza baik atas kemauan sendiri ataupun karena
dorongan atau paksaan orang lain. Korban Napza di Kota Tangerang menunjukan bahwa
Kecamatan Tangerang merupakan jumlah terbesar diantara ke 13 kecamatan yang ada di Kota
Tangerang.
TABEL: 5.15. DATA KORBAN NAPZA KOTA TANGERANG TAHUN 2015

KORBAN
NO KECAMATAN
NAPZA
1 Ciledug 5
2 Larangan 2
3 Karang Tengah 17
4 Cipondoh 3
5 Pinang 6
6 Tangerang 113
7 Karawaci 1
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 6
11 Neglasari 5
12 Batuceper 30
13 Benda 3
KOTA TANGERANG 191

GAMBAR: 5.12. GRAFIK DATA KORBAN NAPZA KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Penyalahgunaan narkoba dapat dicegah, adalah lebih baik mencegah dari pada mengobati
atau menanggulangi. Pencegahaan merupakan upaya yang sangat penting, bahkan terpenting.
Untuk mencegah remaja dari penyalahgunaan narkoba hal yang paling penting
adalah membentengi diri sendiri dengan imtaq (iman taqwa). Sedangkan untuk korban Napza
tindakan yang dilakukan diantaranya :
1. Memberikan program, terapi dan rehabilitasi
2. Menyediakan sarana konseling untuk para pemakain pengedar narrkoba.
3. Menciptakan rasa takut mengulang kembali.
5.4.8. ANAK MENJADI KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK)
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan
emosional, atau pengabaian terhadap anak. Tercatat hanya sekitar 11 anak yang menjadi KTK
di Kota Tangerang (Tahun 2015), dengan Kecamatan Neglasari terbanyak yaitu 6 orang.
Berikut data anak yang menjadi KTK.
TABEL: 5.16. DATA ANAK MENJADI KTK/DIPERLAKUKAN SALAH KOTA TANGERANG TAHUN 2015

ANAK MENJADI KTK/DIPERLAKUKAN


NO KECAMATAN
SALAH
1 Ciledug 1
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 0
4 Cipondoh 0
5 Pinang 0
6 Tangerang 0
7 Karawaci 4
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 0
11 Neglasari 6
12 Batuceper 0
13 Benda 0
KOTA TANGERANG 11

Kekerasan menyebabkan perkembangan fisik dan psikis dari korban terguncang dibutuhkan
penyembuhan untuk memupuk rasa percaya diri dan bangkit dari keterpurukan. Anak-anak
yang telah mengalami kekerasan memerlukan kasih dan perhatian yang ekstra dari
lingkungannya. Kepedulian dan keramahan dari saudara, teman-teman dan guru sangat
dibutuhkan demi membantu anak mengatasi traumanya guna menata kehidupan di masa
depan.

Solusi untuk penanganan terhadap anak yang menjadi KTK diantaranya:


- Melakukan sosialisasi dan program edukasi kepada semua golongan masyarakat
mengenai pencegahan kejahatan terhadap anak dan tindakan-tindakan serta hukuman
bagi pelaku. Sosialisasi akan dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Pengawasan perlu
dilakukan secara saksama, terutama di lingkungan keluarga.
- Merespons cepat dari semua pihak, terutama kalangan pemerintah dan kepolisian, bila
ada kasus pelecehan atau kekerasan terhadap anak. Direspons dengan tepat dan
penindakan hukum yang transparan terhadap pelaku kejahatan.
- Melakukan rehabilitasi anak yang menjadi korban, terutama pendampingan secara
psikologis sehingga memulihkan cedera mental atau trauma yang dialami.
5.4.9. USIA LANJUT TERLANTAR
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk
menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk
menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk
memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak
di sekolah) , atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
TABEL: 5.17. DATA USIA LANJUT TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN USIA LANJUT TERLANTAR
1 Ciledug 91
2 Larangan 83
3 Karang Tengah 141
4 Cipondoh 99
5 Pinang 530
6 Tangerang 168
7 Karawaci 313
8 Cibodas 306
9 Jatiuwung 28
10 Periuk 130
11 Neglasari 136
12 Batuceper 223
13 Benda 132
KOTA TANGERANG 2380

GAMBAR: 5.13. GRAFIK DATA USIA LANJUT TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Solusi pelayanan terhadap Lansia yang terlantar, diantaranya:
- Pelayanan sosial bagi kalangan lanjut usia (lansia) dilakukan dengan pendekatan panti dan
nonpanti dalam rangka untuk memberikan perlindungan dan jaminan sosial. Pelayanan
sosial bagi Lansia dilakukan baik secara home care maupun day care.
- Program bantuan Bedah kamar lansia terlantar.
- Pelayanan sosial bagi lansia untuk memperoleh perlindungan sosial maupun jaminan
sosial.
Kemensos melalui Conditional Cash Transfer (CCT) atau Program Keluarga Harapan (PKH)
memiliki program bagi lansia.
- Kehadiran para lansia di panti lansia merupkan opsi terakhir. Sebab, tetap sepenuhnya
tangung jawab berada di dalam keluarga.
- Program pemberdayaan bagi para pekerja lanjut usia (lansia) yang dapat membuat
mereka tetap produktif dan mandiri secara ekonomi. perluasan kesempatan kerja serta
wirausaha yang diwujudkan melalui pelatihan keterampilan kerja, pendampingan usaha
dan perluasan usaha yang sesuai bagi tenaga kerja lansia.

5.4.10. KELUARGA BERMASALAH


Permasalahan sosial dalam ruang lingkup
keluarga mayoritas terjadi karena ketidak
harmonisan orang tua dalam rumah tangga.
Masalah sosial ini cukup serius karena akan
menggangu atau mempengaruhi orang lain
seperti kerabat, tetangga ataupun anak. Seorang
anak akan mempunyai masalah sosial dalam
ruang lingkup individu akibat ruang lingkup
keluarganya sendiri bermasalah. Masalah sosial
dalam ruang lingkup keluarga dapat diatasi dengan musyawarah, menyelesaikan masalah yang
ada di dalam keluarga dengan kepala dingin dan bijak dalam mengambil keputusan yang akan
dipilih. Masalah sosial ini juga dapat di atasi dengan saran atau masukan dari luar seperti
kerabat ataupun keluarga yang berdampak positif. Keluarga yang hubungan antar keluarganya
terutama hubungan antara suami dan istri kurang serasi, sehingga tugas dan fungsi keluarga
tidak dapat berjalan dengan wajar, dari data terlihat bahwa secara keseluruhan berjumlah 287
(menandakan ada permasalahan sosial pada kategori ini di Kota Tangerang).
TABEL: 5.18. DATA KELUARGA BERMASALAH KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN KELUARGA BERMASALAH
1 Ciledug 57
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 0
4 Cipondoh 7
5 Pinang 3
6 Tangerang 5
7 Karawaci 113
8 Cibodas 15
9 Jatiuwung 1
10 Periuk 7
11 Neglasari 53
12 Batuceper 20
13 Benda 6
KOTA TANGERANG 287

5.4.11. WANITA TUNA SUSILA


Penertiban berkala terhadap pekerja seks komersial (PSK) di Kota Tangerang ternyata belum
menimbulkan efek jera yang berarti kepada para wanita PSK. Sedangkan rehabilitasi akan
dikirim ke panti rehabilitasi di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sedangkan data yang ada
tidak bisa di pastikan jumlahnya, berikut data yang diperoleh.
TABEL: 5.19. DATA WANITA TUNA SUSILA KOTA TANGERANG TAHUN 2015

WANITA TUNA
NO KECAMATAN
SUSILA
1 Ciledug 0
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 5
4 Cipondoh 0
5 Pinang 0
6 Tangerang 1
7 Karawaci 4
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 1
11 Neglasari 0
12 Batuceper 0
13 Benda 4
KOTA TANGERANG 15

Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, kesadaran
dan tanggung jawab sosial para klien, agar kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup mandiri, serta
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosial mereka secara wajar dalam
tatanan hidup bermasyarakat.
Program rehabilitasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
a. Pendekatan awal
b. Penerimaan
c. Bimbingan sosial dan keterampilan
d. Resosialisasi
e. Bimbingan lanjutan
Faktor yang dapat menghambat keberhasilan Rehabilitasi Wanita Tuna Susila (WTS) adalah:
1) Tingkat pendidikan yang rendah dari para klien yang dibina dipanti, sehingga
memperlambat proses pembinaan dan 2) Sikap malas para klien yang dibina di panti dan
tidak pernah dikunjungi keluarga.

5.4.12. GELANDANGAN DAN PENGEMIS (GEPENG)


Gelandangan dan pengemis (gepeng) dapat tumbuh
subur, seirama dengan pertumbuhan dan
perkembangan kota. Fenomena sosial yang nyata dan
merupakan salah satu permasalahan yang paling
kompleks dikota termasuk di Kota Tangerang, sebagai
bagian dari metropolitan Jabodetabekjur. Berdasarkan
data yang ada terdapat 69 orang yang termasuk dalam
Gepeng, meskipun data ini tidaklah selalu tetap/statis,
akan tetapi menggambarkan adanya masalah sosial terutama Gepeng di Kota Tangerang.

TABEL: 5.20. DATA GEPENG KOTA TANGERANG TAHUN 2015


KECAMATAN GELANDANGAN PENGEMIS
1 Ciledug 1 0
2 Larangan 3 2
3 Karang Tengah 15 0
4 Cipondoh 0 0
5 Pinang 1 8
6 Tangerang 9 6
7 Karawaci 3 0
8 Cibodas 1 1
9 Jatiuwung 6 1
10 Periuk 1 4
11 Neglasari 0 1
12 Batuceper 1 1
13 Benda 1 3
KOTA TANGERANG 42 27

Dalam upaya penanganan terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng), Pemerintah


Daerah mempunyai program kegiatan diantaranya adalah : memberikan bimbingan mental,
bimbingan kesehatan, bimbingan ketertiban, dan bimbingan keagamaan, serta pelatihan-
pelatihan keterampilan seperti pelatihan handycraft (menyulam dan menjahit), pelatihan
pertukangan kayu serta keterampilan berkebun.
Adapun faktor penghambatnya biasanya terkendala akan : 1). Terbatasnya jumlah pegawai
dinas sosial. 2). para gelandangan dan pengemis (gepeng) kurang semangat dalam mengikuti
kegiatan. 3). Minimnya dana dari pemerintah.
5.4.13. FAKIR MISKIN
Pengentasan kemiskinan merupakan sasaran pembangunan yang ingin dicapai oleh setiap
daerah. Bukan pekerjaan mudah memang, meskipun berbagai program pengentasan
kemiskinan digulirkan, namun persentase penduduk miskin seakan jalan di tempat.
Penduduk miskin di Kota Tangerang jika diamati dari tahun ke tahun cenderung menurun,
meskipun persentase penurunnya masih kecil, penurunan setiap tahun menurun kurang dari
1%. Tahun 2011 jumlah penduduk miskin sebesar 6,14 persen dan turun menjadi 5,56
persen di tahun berikutnya, dan turun lagi menjadi 5,04 persen di Tahun 2015.

Sumber : BPS Provinsi Banten, 2016


GAMBAR: 5.14. GRAFIK PERKEMBANGAN % PENDUDUK MISKIN DI KOTA TANGERANG TAHUN
2009-2015
Selanjutnya jika dibandingkan dengan 8 Kabupaten/kota di Provinsi Banten, maka jumlah
penduduk miskin di Kota Tangerang pada Tahun 2015 berada dalam peringkat ke tiga
terbaik. Peringkat pertama di Kota Tangerang Selatan, Peringkat kedua di Kota Cilegon.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Sumber : BPS Provinsi Banten, 2016


GAMBAR: 5.15. PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SE PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015

Kemiskinan tidak hanya dilihat dari jumlah dan persentase penduduk miskin saja, namun
banyak indikator lain yang digunakan di dalam mengukur tingkat kemiskinan di daerah
seperti Garis Kemiskinan (GK), Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan
(P2). Garis Kemiskinan merupakan representasi jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum untuk makanan, yang setara dengan 2100
kalori per kapita/hari dan memenuhi kebutuhan pokok bukan makanan. Garis kemiskinan di
Kota Tangerang cenderung meningkat (membaik) dari Tahun 2011 menuju Tahun 2015,
yaitu dari Rp 337.543 pada Tahun 2011 naik menjadi Rp 455.228,- di Tahun 2015.
Selengkapnya dilihat pada Tabel di bawah ini.
TABEL: 5.21. TABEL : DATA INDIKATOR KEMISKINAN 2015

INDIKATOR 2011 2012 2013 2014 2015 BANTEN


Garis Kemiskinan 337.543 365.205 398.513 421.554 455.228 336 483
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 5.74 5.74 5.74 5.74 5.74 5,74
Keparahan Kemiskinan (P2) 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0,69
Persentase Penduduk Miskin 6.14 5.56 5.26 4.91 5.04 5,9
Sumber : BPS Kota Tangerang 2016

Dimensi lain yang perlu diperhatikan dalam melihat angka kemiskinan adalah tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada Tahun 2015 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kota Tangerang tidak terjadi perubahan. Hal ini
masih terjadi kesenjangan dalam pengeluaran penduduk miskin. Indikator kemiskinan
lainnya dilihat dari keluarga sejahtera adalah keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan
hidup spiritual dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang sama, selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan, sedangkan Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan.
Keluarga Sejahtera Tahap 1 adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar secara
minimal (sesuai kebutuhan dasar pada keluarga pra sejahtera) tetapi belum dapat
memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologis keluarga seperti pendidkan, KB,
interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan.

Keluarga Sejahtera Tahap 2 adalah Keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan


dasar, kebutuhan psikologis tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan perkembangan
(menabung dan memperoleh informasi). Keluarga Sejahtera Tahap 3 adalah keluarga-
keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan pada tahapan keluarga 1 dan 2 namun belum
dapat memberikan sumbangan (kontribusi) maksimal terhadap masyarakat dan berperan
secara aktif dalam masyarakat. Keluarga Sejahtera Tahap 3 Plus adalah Keluarga-keluarga
yang dapat memenuhi kebutuhan semua kebutuhan keluarga pada tahap 1 sampai dengan
3.
TABEL: 5.22. JUMLAH KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I KOTA TANGERANG
TAHUN 2015
NO URAIAN 2014 2015
1. Jumlah keluarga prasejahtera (KK) 16.241 22.287
2. Jumlah keluarga sejahtera I (KK) 42.136 49.453
3. Jumlah keluarga sejahtera II (KK) 139.610 132.051
4. Jumlah keluarga sejahtera III (KK) 113.405 116.313
5. Jumlah keluarga sejahtera III plus (KK) 25.472 29.458
6. Jumlah KK 342.668 343.758
Persentase keluarga sejahtera I (%) 4,74% 6,48%
Sumber : BPS Kota Tangerang 2016
5.5. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGENDALIAN PENDUDUK DAN
KELUARGA BERENCANA

5.5.1. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK


Capaian urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:

TABEL: 5.23. CAPAIAN INDIKATOR URUSAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KOTA
TANGERANG TAHUN 2011-2015

CAPAIAN SUMBER ACUAN


INDIKATOR SAT
2011 2012 2013 2014 2015 DATA NILAI SUMBER
1. Partisipasi Perempuan di Lembaga Pemerintah % 4,53 LKPj
2. Partisipasi Perempuan di Lembaga Swasta % 95,47 LKPj
3. Rasio KDRT ‰ 0,09 0,10 0,15 0,13 0,17 BPS
4. Cakupan Perempuan dan Anak Korban % 66,67 100,00 LKPj 100,00 SPM
Kekerasan yang Mendapatkan Penanganan
Pengaduan oleh Petugas Terlatih di dalam Unit
Pelayanan Terpadu
5. Cakupan Perempuan dan Anak Korban % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
Kekerasan yang Mendapatkan Layanan
Kesehatan oleh Tenaga Kesehatan Terlatih di
Puskesmas Mampu Tata laksana KTP/A dan
PPT/PKT di RS
6. Cakupan Layanan Rehabilitasi Sosial yang % 13,33 36,07 LKPj 75,00 SPM
Diberikan oleh Petugas Rehabilitasi Sosial
Terlatih Bagi Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan di dalam Unit Pelayanan Terpadu
7. Cakupan Layanan Bimbingan Rohani yang % 26,44 68,85 LKPj 75,00 SPM
Diberikan oleh Petugas Bimbingan Rohani
Terlatih bagi Perempuan dan Anak Korban
Kekerasan di dalam Unit Pelayanan Terpadu
8. Cakupan Penegakan Hukum dari Tingkat % 6,04 62,00 LKPj 80,00 SPM
Penyidikan sampai dengan Putusan Pengadilan
Atas Kasus-kasus Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak
9. Cakupan Perempuan dan Anak Korban % 100,00 62,00 LKPj 50,00 SPM
Kekerasan yang Mendapatkan Layanan Bantuan
Hukum
10. Cakupan Layanan Pemulangan bagi Perempuan % 0,00 0,00 LKPj 50,00 SPM
dan Anak Korban Kekerasan
11. Cakupan Layanan Re-integrasi Sosial bagi % 13,33 100,00 LKPj 100,00 SPM
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
12. Persentase Jumlah Tenaga Kerja di Bawah Umur % 0,00 SDGs
2025
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
Kondisi pemberdayaan perempuan dapat
dilihat dari indikator partisipasi perempuan di
lembaga pemerintah dan indikator partisipasi
perempuan di lembaga swasta. Partisipasi
perempuan di lembaga pemerintah sampai
dengan tahun 2015 mencapai 4,53%,
sedangkan sisanya yaitu di lembaga swasta
mencapai 95,47%.

Upaya pemerintah daerah dalam perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan
dapat dilihat dari indikator rasio KDRT, indikator cakupan perempuan dan anak korban
kekerasan yang mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam Unit
Pelayanan Terpadu, indikator cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang
mendapatkan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Puskesmas mampu tata-
laksana KTP/A dan PPT/PKT di RS, indikator cakupan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan
oleh petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam
Unit Pelayanan Terpadu, indikator cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh
petugas bimbingan rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam Unit
Pelayanan Terpadu, indikator cakupan penegakan hukum dari tingkat penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,
indikator cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan
bantuan hukum, indikator cakupan layanan pemulangan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan, dan indikator cakupan layanan re-integrasi sosial bagi perempuan dan anak korban
kekerasan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir rasio KDRT di Kota Tangerang terus
meningkat, yaitu 0,09 ‰ pada tahun 2011 menjadi 0,17 ‰ pada tahun 2015. Upaya
penanganan pengaduan, pelayanan kesehatan, re-integrasi sosial, serta layanan bantuan
hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan sudah cukup baik dan diatas standar yang
ditetapkan dalam SPM. Akan tetapi upaya rehabilitasi sosial dan bimbingan rohani bagi
perempuan dan anak korban kekerasan masih kurang baik dan berada dibawah standar yang
ditetapkan dalam SPM.
Upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat dilihat melalui indikator persentase
jumlah tenaga kerja di bawah umur. Sayangnya sampai dengan tahun 2015 pemerintah Kota
Tangerang belum melakukan pendataan terhadap pekerja anak dibawah umur, sehingga ke
depan pendataan perlu dilakukan sebagai dasar penentuan kebijakan-kebijakan dalam
perlindungan anak.

Beberapa skenari yang dapat dikembangkan dalam upaya pemberdayaan perempuan, dan
perlindungan anak diantaranya: 1) sosialisasi pencegahan tindakan kekerasaan terhadap
perempuan dan anak, 2) penguatan Kota Layak Anak (KLA), 3) pelatihan penanganan
perempuan dan anak korban kekerasan, 4) sosialisasi gerakan orang tua hebat dan
pengembangan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A).
5.5.2. PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA
Kinerja urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:
TABEL: 5.24. CAPAIAN INDIKATOR URUSAN PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA KOTA
TANGERANG TAHUN 2011-2015

CAPAIAN SUMBER ACUAN


INDIKATOR SAT
2011 2012 2013 2014 2015 DATA NILAI SUMBER
1. Cakupan Pasangan Usia Subur (PUS) yang % 1,14 1,07 LKPj 3,50 SPM
Usia Istrinya < 20 Tahun
2. Cakupan Pasangan Usia Subur Menjadi % 73,55 77,91 LKPj 65,00 SPM
Peserta KB Aktif
3. Cakupan Pasangan Usia Subur yang Ingin % 16,89 13,71 LKPj 5,00 SPM
Ber-KB Tidak Terpenuhi (Unmet Need)
4. Cakupan Anggota Bina Keluarga Balita (BKB) % 50,00 66,23 LKPj 70,00 SPM
yang Ber-KB
5. Cakupan PUS Peserta KB Anggota Usaha % 0,00 0,49 LKPj 87,00 SPM
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera
(UPPKS) yang Ber-KB
6. Rasio Petugas Lapangan Keluarga poin 0,06 0,10 LKPj 0,50 SPM
Berencana/ Penyuluh Keluarga Berencana
(PLKB/PKB) di Setiap Kelurahan
7. Rasio Pembantu Pembina Keluarga poin 100,00 1,00 LKPj 1,00 SPM
Berencana (PPKBD) di Setiap Kelurahan
8. Cakupan Penyediaan Alat dan Obat % 30,00 30,00 LKPj 30,00 SPM
Kontrasepsi untuk Memenuhi Permintaan
Masyarakat di Daerah
9. Cakupan Penyediaan Informasi Data Mikro % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
Keluarga di Setiap Kelurahan
10. Persentase Jumlah Keluarga Pra Sejahtera % 20,95 16,98 29,46 BPS 0,00 Kondisi
dan Sejahtera I Ideal
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah

Upaya pemerintah dalam pembangunan keluarga berencana dapat dilihat melalui indikator
cakupan pasangan usia subur (PUS) yang usia istrinya < 20 tahun, indikator cakupan pasangan
usia subur menjadi peserta KB aktif, indikator cakupan pasangan usia subur yang ingin ber-KB
tidak terpenuhi (unmet need), indikator cakupan anggota bina keluarga balita (BKB) yang ber-
KB, indikator cakupan PUS peserta KB anggota usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) yang ber-KB, indikator rasio petugas lapangan keluarga berencana/
penyuluh keluarga berencana (PLKB/PKB) di setiap kelurahan, indikator rasio pembantu
pembina keluarga berencana (PPKBD) di setiap kelurahan, dan indikator cakupan penyediaan
alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat di daerah. Capaian sampai
dengan tahun 2015 yang telah cukup baik, yaitu sesuai atau melebihi standar yang ditentukan
dalam SPM, adalah indikator cakupan pasangan usia subur (PUS) yang usia istrinya < 20 tahun,
indikator cakupan pasangan usia subur menjadi peserta KB aktif, indikator rasio pembantu
pembina keluarga berencana (PPKBD) di setiap kelurahan, dan indikator cakupan penyediaan
alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat di daerah. Sedangkan
capaian indikator yang masih kurang baik atau dibawah standar yang ditentukan dalam SPM
adalah indikator cakupan pasangan usia subur yang ingin ber-KB tidak terpenuhi (unmet
need), indikator cakupan anggota bina keluarga balita (BKB) yang ber-KB, indikator cakupan
PUS peserta KB anggota usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) yang ber-
KB, dan indikator rasio petugas lapangan keluarga berencana/ penyuluh keluarga berencana
(PLKB/PKB) di setiap kelurahan. Hal ini berarti tingkat pelayanan keluarga berencana,
terutama dalam tingkat pembinaan dan penyediaan petugas lapangan, masih kurang.
Upaya pemerintah dalam pembangunan keluarga sejahtera dapat dilihat melalui indikator
cakupan penyediaan informasi data mikro keluarga di setiap kelurahan, dan indikator
persentase jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Capaian penyediaan informasi data
mikro keluarga di setiap kelurahan pada tahun 2015 telah mencapai 100%, dan sesuai dengan
standar SPM. Akan tetapi persentase keluarga pra sejahtera dan sejahtera I pada tahun 2015
masih mencapai 29,46% jauh diatas kondisi ideal 0%.

5.6. PEMUDA DAN OLAH RAGA


Generasi muda yaitu kelompok
penduduk yang berusia di antara 15-35
tahun pada tahun 2017 berjumlah
797.637 orang atau 39,96 persen dari
jumlah penduduk seluruhnya. Dengan
jumlah yang besar, belum seluruh
generasi muda memiliki kualitas yang
tinggi untuk mengisi dan melaksanakan
berbagai upaya pembangunan. Salah
satu indikator yang dapat digunakan
untuk melihat tingkat intelektualitas
pemuda dan kemampuan dalam berorientasi ke masa depan dapat diketahui dari jenjang
pendidikan. Data dalam angka Kota Tangerang menjelaskan bahwa tahun 2017 terdapat
36,57 persen pemuda hanya tamat Sekolah Dasar, SLTA/sederajat (46,01%). Di samping itu,
masalah lain yang dihadapi pemuda adalah lemahnya pendidikan politik dan hukum bagi
pemuda yang berdampak pada terjadinya euforia politik dan hukum dalam proses
demokratisasi dan reformasi serta kesalah pengertian tentang kebebasan dan demokrasi di
kalangan pemuda.

TABEL: 5.25. CAPAIAN BIDANG PEMUDA DAN OLAH RAGA


CAPAIAN
NO URAIAN SATUAN TARGET
2014 2015 2016
Persentase organisasi pemuda yang memiliki
1 % 0 36,36 66,67 100
sertifikat standar mutu organisasi kepemudaan
Persentase organisasi olahraga yang memiliki
2 sertifikat standar mutu oraganisasi % 0 25 50 75
keolahragaan
Unit/
3 Cakupan gedung olahraga di setiap kecamatan 1,38 1,54 1,54 1,54
kecamatan
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
GAMBAR: 5.16. CAPAIAN BIDANG PEMUDA DAN OLAH RAGA
Derasnya penetrasi budaya dan pengaruh global akibat cepatnya perkembangan dan
kemajuan teknologi, telekomunikasi dan transportasi cenderung mempengaruhi pola pikir,
sikap dan perilaku pemuda di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Di samping itu,
pranata pembangunan kepemudaan juga belum sepenuhnya kuat yang dicerminkan dari
banyaknya organisasi kepemudaan yang belum mandiri dan konsisten dalam
menyelenggarakan visi dan misinya.
Upaya mempersiapkan, membangun, dan memberdayakan pemuda agar mampu berperan
serta sebagai pelaku-pelaku aktif pembangunan bangsa dihadapkan pada berbagai
permasalahan. Munculnya berbagai permasalahan sosial yang melibatkan atau dilakukan
pemuda seperti tawuran dan kriminalitas lainnya, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan
zat adiktif (NAPZA), minuman keras, penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya
yang diderita pemuda.Perwujudan penduduk yang berkualitas antara lain ditentukan oleh
derajat kesehatan, kesegaran dan kebugaran jasmani serta perilaku terpuji seperti kejujuran
dan sportivitas. Namun demikian, penerapan hidup sehat dan kebiasaan olahraga secara
teratur dan berkesinambungan belum sepenuhnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
oleh sebagian penduduk Kota Tangerang.
Kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga antara lain dipengaruhi oleh
belum mantapnya kelembagaan olahraga. Terbatasnya jumlah dan sebaran pelatih yang
berkualitas serta kurangnya kejuaraan kelompok umur baik dalam skala nasional maupun
regional turut menyebabkan pembibitan dan pembinaan prestasi olahraga tidak mengalami
kemajuan yang berarti. Di samping itu, Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat menjadi basis
pembibitan dan pembinaan prestasi belum mampu melaksanakan fungsinya. Sementara itu,
sebagai suatu industri, olahraga belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi
olahragawan, masyarakat luas termasuk dunia usaha. Hal ini sangat terkait erat dengan belum
mantapnya kelembagaan olahraga dan manajemen olahraga yang belum sempurna.

Anda mungkin juga menyukai