Identifikasi Dan Evaluasi - Soskesmas
Identifikasi Dan Evaluasi - Soskesmas
Urusan Pendidikan
Urusan Kesehatan
Urusan Sosial
Urusan Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk & Keluarga Berencana
Urusan Kepemudaan & Olahraga
Selama periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2016, IPM Kota Tangerang menunjukkan
peningkatan dari 74,2 pada Tahun 2011 meningkat menjadi 76,1 pada Tahun 2016. Angka
IPM ini mempunyai makna bahwa tingkat pencapaian pembangunan manusia Kota Tangerang
adalah 76,1% dari kondisi pembangunan manusia yang ideal (di mana IPM ideal = 100).
Angka harapan hidup berbanding terbalik dengan tingkat kematian bayi, artinya semakin
tinggi angka kematian bayi maka angka harapan hidup cenderung semakin pendek, demikian
pula sebaliknya. Angka harapan hidup Kota Tangerang selama periode Tahun 2011-2016, yaitu
78,67 tahun pada Tahun 2011 meningkat menjadi 78,7 pada Tahun 2016. Artinya, rata-rata
bayi yang lahir di Kota Tangerang pada Tahun 2016 memiliki harapan hidup hingga usia 78,7
tahun.
Angka harapan lama sekolah adalah lamanya
sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan
dirasakan oleh anak pada umur tertentu (sesuai
dengan kebijakan pemerintah tentang program
wajib belajar adalah pada usia 12 tahun ke atas di
masa mendatang. Selama kurun waktu Tahun 2011-
2016, angka harapan lama sekolah Kota Tangerang
menunjukkan peningkatan dari 12,9 tahun pada
Tahun 2016. Artinya, pada Tahun 2016 setiap
penduduk Kota Tangerang yang berusia 7 tahun ke
atas memiliki harapan untuk bersekolah selama
12,9 tahun setara dengan Semester 1 kuliah di perguruan tinggi.
Angka rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 25
tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Dalam periode Tahun 2011-2016, angka
rata-rata lama sekolah Kota Tangerang menunjukkan peningkatan dari 11,9 tahun pada Tahun
2011 meningkat menjadi 12,9 tahun pada Tahun 2016. Artinya bahwa pada Tahun 2016
penduduk berusia 25 tahun ke atas di Kota Tangerang rata-rata menjalani pendidikan formal
selama 12,9 tahun.
Selama periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2016, pengeluaran per kapita disesuaikan
Kota Tangerang menunjukkan peningkatan dari Rp 13,5 juta rupiah pada Tahun 2011
meningkat menjadi Rp 17,2 juta rupiah pada Tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa daya
beli masyarakat Kota Tangerang pada Tahun 2016 cukup tinggi.
5.2. URUSAN PENDIDIKAN
5.2.1. PENDIDIKAN PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) memiliki peran strategis dalam mempersiapkan anak-anak
Indonesia menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berkarakter baik. PAUD
mempersiapkan anak sejak dini sejak usia sangat muda sehingga tumbuh kembang anak dan
perkembangan emosional dan juga psikomotorik anak menjadi terpantau dan terbina,
sehingga menjadi insan yang berkualitas di kemudian hari.
TABEL: 5.2. INDIKATOR KEBERHASILAN PAUD KOTA TANGERANG
ACUAN
NO. INDIKATOR SATUAN CAPAIAN
NILAI SUMBER
1 APK PAUD % 75,67 100,00 SDGs 2030
2 Rasio guru terhadap murid PAUD % 8,5 15,00 SDGs 2030
3 Rasio guru PAUD yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV % 60,67% 100,00 SDGs 2030
4 Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) PAUD % 14,2 25 SPM
5 Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan PAUD % 40 % 100,00 SPM
6 Cakupan Pelayanan Pendidikan PAUD bagi Masyarakat Miskin % 100 % 100,00 SPM
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
3. Rasio guru PAUD yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV adalah perbandingan jumlah guru
PAUD dengan kualifikasi S1/D-IV terhadap seluruh guru PAUD, yang menunjukkan kualitas
tenaga pengajar PAUD. Selama tiga tahun terakhir rasio guru PAUD yang memiliki
kualifikasi S1/D-IV terus mengalami peningkatan, yaitu dari 34,97% pada tahun 2013
menjadi 60,67% pada tahun 2015. Akan tetapi hal ini masih jauh dari kondisi ideal 100%,
sehingga masih perlu upaya peningkatan kualitas guru PAUD.
4. Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) PAUD adalah rata-rata jumlah peserta didik
dalam setiap rombongan belajar PAUD. Indikator ini berguna untuk menunjukkan
ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD. Rata-rata Rombel PAUD pada tahun 2015 adalah
14,2 orang per Rombel, dimana angka tersebut masih berada dibawah rata-rata yang
ditentukan oleh SPM sebesar 25 orang per Rombel, yang berarti secara umum
ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD telah mencukupi.
5. Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan PAUD yang layak dan memadai adalah
perbandingan jumlah sarana prasarana pendidikan PAUD yang layak dan memadai
terhadap jumlah seluruh sarana prasarana pendidikan PAUD. Indikator ini berguna untuk
menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan PAUD yang layak. Walaupun menunjukkan
peningkatan selama dua tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 tingkat ketersediaan
sarana prasarana pendidikan PAUD baru mencapai 40% yang berarti penyediaan sarana
prasarana pendidikan PAUD yang layak masih jauh dari kondisi ideal.
5.2.2. PENDIDIKAN DASAR
Pendidikan dasar 9 tahun merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Melalui pendidikan dasar diharapkan di masa mendatang tingkat
pendidikan minimal penduduk Indonesia adalah lulus SMP/MTs.
TABEL: 5.3. INDIKATOR KEBERHASILAN SEKOLAH DASAR 9 TAHUN KOTA TANGERANG
INDIKATOR SAT 2011 2012 2013 2014 2015 SUMBER NILAI SUMBER
APK SD/Sederajat % 107,08 108,81 101,15 101,94 112,32 LKPj 100,00 SDGs 2030
APK SMP/Sederajat % 94,95 98,30 102,34 95,85 84,03 LKPj 100,00 SDGs 2030
APK SMA/Sederajat % 82,01 83,11 99,30 95,85 99,17 LKPj 100,00 SDGs 2030
Rasio Guru/Murid PAUD ‰ 101,91 98,52 100,75 96,04 116,61 BPS 66,67 SPM
Rasio Guru/Murid SD/Sederajat ‰ 49,93 51,19 48,49 54,21 53,25 BPS 31,25 SPM
Rasio Guru/Murid SMP/Sederajat ‰ 60,65 64,84 75,06 65,16 58,00 BPS 27,78 SPM
Rasio Guru/Murid SMA/Sederajat ‰ 64,76 85,89 82,88 77,16 83,76 BPS 25,00 SPM
Rasio Guru PAUD Kualifikasi S1/D-IV % 34,97 43,88 60,67 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SD/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 73,39 77,25 84,99 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SMP/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 90,83 91,25 86,47 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Guru SMA/Sederajat Kualifikasi S1/D-IV % 95,49 96,42 96,63 Profil Pendidikan 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan PAUD dengan Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SD/Sederajat Kondisi Baik % 80,10 80,71 49,76 BPS 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SMP/Sederajat Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rasio Bangunan SMA/Sederajat Kondisi Baik % 100,00 Kondisi Ideal
Rata-rata Rombel PAUD orang 13,83 15,73 14,20 Profil Pendidikan 25 SPM
Rata-rata Rombel SD/Sederajat orang 27,80 32,24 36,68 Profil Pendidikan 32 SPM
Rata-rata Rombel SMP/Sederajat orang 25,75 32,11 32,67 Profil Pendidikan 36 SPM
Rata-rata Rombel SMA/Sederajat orang 29,95 31,90 32,62 Profil Pendidikan 40 SPM
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan PAUD yang Layak dan Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SD/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SMP/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Tingkat Ketersediaan Sarana Prasarana % 20,00 40,00 LKPj 100,00 Kondisi Ideal
Pendidikan SMA/Sederajat yang Layak dan
Memadai
Cakupan Pelayanan Pendidikan PAUD bagi % 100,00 SPM
Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SD/Sederajat % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SMP/Sederajat % 100,00 100,00 LKPj 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin
Cakupan Pelayanan Pendidikan SMA/Sederajat % 100,00 SPM
bagi Masyarakat Miskin
1. Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/sederajat adalah perbandingan jumlah siswa pada
tingkat SD/sederajat terhadap penduduk kelompok usia 7-12 tahun, sedangkan APK
SMP/sederajat adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat SMP/sederajat terhadap
penduduk kelompok usia 13-15 tahun. APK pendidikan dasar (SD/sederajat dan
SMP/sederajat) merupakan indikasi bertambahnya infrastruktur sekolah pendidikan
dasar serta peningkatan akses masuk sekolah pendidikan dasar. Jadi semakin tinggi APK
pendidikan dasar, dapat diartikan semakin baik infrastruktur pendidikan dasar yang
tersedia, dan semakin baik pula akses penduduk terhadap pendidikan dasar. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan layanan pendidikan dasar. APK SD/sederajat selama kurun waktu lima
tahun terakhir telah menunjukkan kondisi yang baik, yaitu APK diatas 100, sudah
memenuhi target SDGs untuk tahun 2030. Akan tetapi kondisi sebaliknya terjadi pada APK
SMP/sederajat, dimana selama kurun waktu tiga tahun terakhir menunjukkan kondisi yang
cenderung menurun dari APK 102,34 pada tahun 2013 menjadi APK 84,03 pada tahun
2015. Hal ini berarti akses penduduk terhadap sekolah SMP/sederajat semakin berkurang
dan hal ini tentu perlu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kota Tangerang.
2. Rasio guru terhadap murid pendidikan dasar adalah jumlah guru pendidikan dasar per
1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio guru terhadap murid pendidikan dasar
menunjukkan ketersediaan tenaga pengajar pendidikan dasar di suatu daerah. Rasio guru
terhadap murid pendidikan dasar juga dapat digunakan untuk mengukur tercapai atau
tidaknya jumlah ideal murid pendidikan dasar untuk setiap guru pendidikan dasar agar
dapat menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar yang bermutu dengan hasil yang
diharapkan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir rasio guru pendidikan dasar, baik
SD/sederajat maupun SMP/sederajat menunjukkan peningkatan dan telah memenuhi
standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (SPM), yaitu dengan capaian pada tahun
2015 adalah 116,61 guru per 1000 murid SD/sederajat dan 53,25 guru per 1000 murid
SMP/sederajat. Hal ini menunjukkan ketersediaan guru pendidikan dasar di Kota
Tangerang sudah cukup memadai.
3. Rasio guru pendidikan dasar yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV adalah perbandingan
jumlah guru pendidikan dasar dengan kualifikasi S1/D-IV terhadap seluruh guru pendidikan
dasar, yang menunjukkan kualitas tenaga pengajar pendidikan dasar. Selama tiga tahun
terakhir rasio guru SD/sederajat yang memiliki kualifikasi S1/D-IV terus mengalami
peningkatan, yaitu dari 73,39% pada tahun 2013 menjadi 84,99% pada tahun 2015, akan
tetapi hal ini masih jauh dari kondisi ideal 100%, sehingga masih perlu upaya peningkatan
kualitas guru SD/sederajat. Hal berbeda terjadi pada rasio guru SMP/sederajat yang
memiliki kualifikasi S1/D-IV yang cenderung menurun selama tiga tahun terakhir, yaitu dari
90,83% pada tahun 2013 menjadi 86,47% pada tahun 2015. Kondisi ini tentunya perlu
disikapi serius, karena bukan saja masih dibawah kondisi ideal 100% akan tetapi
kecenderungan menurun ini berarti kualitas pengajaran SMP/sederajat juga mengalami
penurunan.
4. Rata-rata Rombel (Rombongan Belajar) pendidikan dasar adalah rata-rata jumlah
peserta didik dalam setiap rombongan belajar pendidikan dasar. Indikator ini berguna
untuk menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan dasar. Rata-rata Rombel
SD/sederajat selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat sehingga pada tahun 2015
sebesar 36,68 murid per Rombel, dimana angka ini telah melampaui jumlah maksimal
sesuai SPM yaitu 32 murid per Rombel. Hal ini berarti ketersediaan Rombel untuk
SD/sederajat sudah menunjukkan kondisi yang kurang mencukupi kebutuhan. Kondisi ini
berbeda dengan rata-rata Rombel SMP/sederajat yang walaupun juga menunjukkan
peningkatan selama tiga tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 masih menunjukkan
angka 32,67 yang masih berada dibawah standar maksimal SPM yaitu 36 murid per
Rombel. Hal ini berarti kondisi ketersediaan Rombel untuk SMP/sederajat masih
mencukupi.
5. Tingkat ketersediaan sarana prasarana pendidikan dasar yang layak dan memadai
adalah perbandingan jumlah sarana prasarana pendidikan dasar yang layak dan memadai
terhadap jumlah seluruh sarana prasarana pendidikan dasar. Indikator ini berguna untuk
menunjukkan ketersediaan fasilitas pendidikan dasar yang layak. Walaupun menunjukkan
peningkatan selama dua tahun terakhir, akan tetapi pada tahun 2015 tingkat ketersediaan
sarana prasarana pendidikan dasar, baik SD/sederajat maupun SMP/sederajat, baru
mencapai 40% yang berarti penyediaan sarana prasarana pendidikan dasar yang layak
masih jauh dari kondisi ideal.
6. Cakupan pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin adalah perbandingan
jumlah penduduk miskin yang memperoleh jaminan pelayanan pendidikan dasar terhadap
jumlah seluruh penduduk miskin. Indikator ini berguna untuk menunjukkan cakupan
pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin. Selama dua tahun terakhir cakupan
pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat miskin telah menunjukkan angka yang
sempurna, yaitu 100%, yang berarti seluruh masyarakat miskin di Kota Tangerang telah
terlayani pendidikan dasar.
1. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat melalui tiga indikator, yaitu indikator angka
kematian ibu, indikator angka kematian bayi, dan indikator persentase rumah tangga
berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Indikator angka kematian ibu adalah jumlah
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Indikator angka kematian bayi adalah jumlah
kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Indikator persentase rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah perbandingan jumlah rumah tangga berperilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) terhadap jumlah seluruh rumah tangga. Capaian angka
kematian ibu pada tahun 2015 menunjukkan angka 55 kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup, sudah dibawah target SDGs tahun 2030 yaitu maksimal 70 kematian ibu
per 100.000 kelahiran hidup. Capaian angka kematian bayi pada tahun 2015
menunjukkan angka 0,42 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, sudah jauh dibawah
target SDGs tahun 2030 yaitu maksimal 12 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup.
Capaian persentase rumah tangga PHBS pada tahun 2015 menunjukkan angka 54,20%,
masih jauh dibawah SPM yaitu minimal 80%. Dari ketiga indikator tersebut
menunjukkan bahwa kondisi derajat kesehatan masyarakat masih perlu ditingkatkan
terutama dalam PHBS.
2. Status gizi masyarakat dapat dilihat melalui indikator prevalensi balita gizi kurang dan
indikator prevalensi balita gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang adalah perbandingan
balita dalam kondisi kurang gizi terhadap jumlah seluruh balita. Prevalensi balita gizi
buruk adalah perbandingan balita dalam kondisi gizi buruk (kurang gizi yang menahun)
terhadap seluruh jumlah balita. Capaian prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2015
masih menunjukkan 6,58%, yang berarti kondisi ini masih kurang baik dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0%. Begitu pula dengan prevalensi
balita gizi buruk yang pada tahun 2015 masih menunjukkan angka 0,16%, masih kurang
baik dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0%.
3. Upaya pengendalian penyakit dapat dilihat
melalui indikator cakupan kelurahan
Universal Child Immunization (UCI) dan
indikator cakupan kelurahan mengalami KLB
yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24
jam. Indikator cakupan kelurahan Universal
Child Immunization (UCI) adalah perbandingan
jumlah kelurahan yang ≥80% dari jumlah bayi
yang ada di kelurahan tersebut sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap dalam waktu satu tahun terhadap jumlah seluruh
kelurahan. Capaian cakupan kelurahan Universal Child Immunization (UCI) selama empat
tahun terakhir sudah menunjukkan angka 100% yang berarti tingkat pengendalian
penyakit melalui imunisasi sudah berjalan baik. Indikator cakupan kelurahan mengalami
KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24 jam adalah perbandingan jumlah
kelurahan yang mengalami KLB ditangani <24 jam terhadap jumlah seluruh kelurahan
yang mengalami KLB. Capaian indikator ini selama dua tahun terakhir sudah
menunjukkan angka 100%, yang berarti tingkat pengendalian penyakit melalui
penanganan KLB sudah berjalan dengan baik.
4. Pelayanan kesehatan masyarakat dapat
dinilai dari beberapa indikator, yaitu indikator
rasio dokter per satuan penduduk, indikator
rasio tenaga medis per satuan penduduk,
indikator rasio posyandu per satuan balita,
indikator rasio puskesmas dan puskesmas
pembantu per satuan penduduk, indikator
rasio rumah sakit per satuan penduduk,
indikator persentase puskesmas, puskesmas
pembantu dan jaringannya dengan kondisi
sarana dan prasarana memadai, indikator persentase ketersediaan obat dan perbekalan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan di puskesmas dan jaringannya, serta indikator
cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
- Indikator rasio dokter per satuan penduduk adalah jumlah dokter per 1.000
penduduk, dengan capaian sampai dengan tahun 2015 mencapai 7,6 dokter per 1000
penduduk, sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 0,4 dokter per 1000
penduduk.
- Indikator rasio tenaga medis per satuan penduduk adalah jumlah tenaga medis per
1.000 penduduk, dengan capaian sampai dengan tahun 2015 adalah 2,48 tenaga
medis per 1000 penduduk, sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 1,41
tenaga medis per 1000 penduduk.
- Indikator rasio posyandu per satuan balita adalah jumlah posyandu per 1.000 balita,
dengan capaian sampai dengan tahun 2015 adalah 5,24 posyandu per 1000 balita,
sudah melebihi standar yang ditentukan SPM yaitu 1 posyandu per 1000 balita.
- Untuk menilai ketersediaan pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat dilihat dari
indikator rasio puskesmas dan puskesmas pembantu per 1.000 penduduk, dimana
capaian pada tahun 2015 mencapai 0,04, sudah melebihi rasio minimal menurut SPM
yaitu 0,03.
- Sedangkan untuk menilai ketersediaan pelayanan kesehatan tingkat lanjut dapat
dilihat dari indikator rasio rumah sakit per 1.000 penduduk, dimana capaian pada
tahun 2015 adalah 0,014, masih dibawah rasio minimal menurut SPM yaitu 0,015.
- Kemudian untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dapat dilihat
dari indikator persentase puskesmas, puskesmas pembantu dan jaringannya dengan
kondisi sarana dan prasarana memadai dan indikator persentase ketersediaan obat
dan perbekalan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan di puskesmas dan
jaringannya, dimana capaian kedua indikator ini pada tahun 2015 adalah 100%, sesuai
dengan standar SPM.
- Untuk menilai cakupan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin dapat
dilihat dari indikator cakupan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dimana
capaian indikator ini pada tahun 2015 telah mencapai 100%, sesuai dengan standar
SPM.
.
TABEL: 5.6. CAPAIAN INDIKATOR KESEHATAN
CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2011 2012 2013 2014 2015 NILAI SUMBER
Angka Kematian Ibu poin 37 55 70 SDGs 2030
Angka Kematian Bayi ‰ 0,34 0,42 12 SDGs 2030
% Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) % 27,9 54,2 80 SPM
Prevalensi Balita Gizi Kurang % 6,94 6,58 0 WHO
Prevalensi Balita Gizi Buruk % 0,13 0,16 0 WHO
Cakupan Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) % 98,08 100 100 100 100 100 SPM
Cakupan Kelurahan Mengalami KLB yang Dilakukan % 100 100 100 SPM
Penyelidikan Epidemiologi <24 jam
Rasio Dokter per Satuan Penduduk ‰ 6,2 7,6 0,4 SPM
Rasio Tenaga Medis per Satuan Penduduk ‰ 1,57 2,48 1,41 SPM
Rasio Posyandu per Satuan Balita ‰ 5,8 5,51 5,3 5,26 5,24 1 SPM
Rasio Puskesmas dan Pustu per Satuan Penduduk ‰ 0,04 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 SPM
Rasio Rumah Sakit per Satuan Penduduk ‰ 0,015 0,014 0,015 0,015 0,014 0,015 SPM
Persentase Puskesmas, Pustu dan Jaringannya dengan % 80 85,71 97,14 100 100 100 SPM
Kondisi Sarana dan Prasarana Memadai
Persentase Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan % 100 100 100 100 100 100 SPM
yang Sesuai Kebutuhan di Puskesmas dan Jaringannya
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
Di berbagai kota besar, harus diakui bahwa perkembangan pesat pola kehidupan perkotaan
acapkali tidak diimbangi dengan perkembangan kemampuan kota yang berarti. Bahkan
beberapa di antaranya justru menurun, baik kualitas maupun kapasitasnya. Sebagai contoh,
semakin besarnya derajat penderitaan kaum miskin di perkotaan karena mengalami
marginalitas ekonomi, sosial maupun akses budaya. Menajamnya masalah-masalah sosial
perkotaan seperti konflik sosial, karakter kejahatan, prostitusi, anak jalanan dan endemiknya
amuk massa yang menyerang rasa tertib umum. Perubahan struktur demografi penduduk kota
dengan meningkatnya warga lanjut usia, relatif menurunnya usia produktif serta kelangkaan
penyediaan lapangan kerja menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam pengelolaan
kebijakan publik.
Kegagalan pembangunan dan proses marginalisasi yang terjadi di wilayah pedesaan, bukan
saja telah terbukti menimbulkan derasnya migrasi penduduk yang berlebihan di wilayah kota
besar, tetapi juga setumpuk masalah sosial yang menyertainya. Tetapi di saat yang sama juga
memicu munculnya berbagai permasalahan kota, seperti PKL (Pedagang Kaki Lima),
permukiman kumuh, gelandangan, pengemis, tuna wisma, anak jalanan, PSK, dan lain-lain
sebagainya. Yang namanya PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.
TABEL: 5.7. CAPAIAN INDIKATOR PMKS
CAPAIAN ACUAN
INDIKATOR SATUAN
2014 2015 NILAI SUMBER
Proporsi Penurunan Jumlah PMKS %
Persentase PMKS skala kota yang memperoleh bantuan sosial
% 80 SPM
untuk pemenuhan kebutuhan dasar
Persentase PMKS yang Menerima Program Pemberdayaan
Sosial melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) atau Kelompok % 57,59 82,81 80 SPM
Sosial Ekonomi Sejenis Lainnya
Persentase Panti Sosial Skala Kota yang Menyediakan Sarana
% 80 SPM
Prasarana Pelayanan Kesejahteraan Sosial
Persentase Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat
(WKSBM) yang Menyediakan Sarana Prasarana Pelayanan % 74,33 62,81 60 SPM
Kesejahteraan Sosial
Persentase Penyandang Cacat fisik, mental serta Lanjut Usia
% 4,63 0 40 SPM
Tidak Potensial yang Telah Menerima Jaminan Sosial
Persentase Korban Bencana Skala Kota yang Menerima
% 80 SPM
Bantuan Sosial Selama Masa Tanggap Darurat
Persentase Korban Bencana Skala Kota yang di-Evakuasi
dengan Menggunakan Sarana Prasarana Tanggap Darurat % 80 SPM
Lengkap
Sumber: Dokumen Evaluasi RPJMD, data diolah
GAMBAR: 5.6. GRAFIK DATA ANAK / BALITA TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015
GAMBAR: 5.7. GRAFIK DATA ANAK MEMERLUKAN PERLINDUNGAN KHUSUS TAHUN 2015
5.4.3. ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM (ABH)
ABH adalah anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12
(dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah :
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri
terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak
dengan sistem pengadilan pidana karena :
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya;
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran
hukum.
Anak sebagai pelaku atau anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang
disangka, didakwa, atau dinyatakan
terbukti bersalah melanggar hukum, dan
memerlukan perlindungan. Dapat juga
dikatakan anak yang harus harus mengikuti
prosedur hukum akibat kenakalan yang
telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan
disini bahwa anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai
kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan
hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya.
TABEL: 5.10. DATA ANAK ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM KOTA TANGERANG TAHUN 2015
NO KECAMATAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
1 Ciledug 4
2 Larangan 4
3 Karang Tengah 7
4 Cipondoh 25
5 Pinang 1
6 Tangerang 1
7 Karawaci 1
8 Cibodas 1
9 Jatiuwung 2
10 Periuk 10
11 Neglasari 6
12 Batuceper 21
13 Benda 17
KOTA TANGERANG 100
GAMBAR: 5.8. GRAFIK DATA ANAK ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM KOTA TANGERANG
TAHUN 2015
Peran Pemerintah Ddaerah dalam hal ini adalah upaya untuk menjalin kerjasama yang positif,
baik dengan (Lembaga Swadaya Masyarakat) LSM sebagai bagian dari upaya aparat penegak
hukum dalam melakukan diversi dan restorative justice. Sehingga diversi dan restorative
justice dapat dipromosikan dan dikembangkan sebagai solusi penyelesaian perkara anak yang
berkonflik dengan hukum.
Solusi terhadap ABH adalah dengan “Diversi” merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan anak yang sudah terlanjur masuk
kedalam ranah hukum. Pada dasarnya diversi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada pasal 7 dinyatakan bahwa pada tiap
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan diversi. Diversi wajib diupayakan apabila tindak pidana yang dilakukan diancam
dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.
Inisiatif untuk melakukan "diversi" berhubungan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku anak. Apabila tindak pidana kejahatan maka inisiatif tersebut berasal dari LSM
pendamping dan apabila tindak pidana pelanggaran inisiatif berasal dari Kepolisian.
GAMBAR: 5.9. GRAFIK DATA ANAK ANAK JALANAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015
GAMBAR: 5.10. GRAFIK ANAK DENGAN KEDISTABILITASAN KOTA TANGERANG TAHUN 2015
1 Ciledug 11
2 Larangan 3
3 Karang Tengah 16
4 Cipondoh 5
5 Pinang 9
6 Tangerang 52
7 Karawaci 19
8 Cibodas 31
9 Jatiuwung 6
10 Periuk 10
11 Neglasari 25
12 Batuceper 34
13 Benda 18
KOTA TANGERANG 239
GAMBAR: 5.11. GRAFIK DATA BEKAS NARAPIDANA KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Solusi penanganan masalah bekas narapidana diantaranya:
1. Pihak pemerintah beserta aparatur penegak hukum memberikan kesempatan kepada
narapidana yang telah bebas dari Rumah Tahanan untuk bekerja guna memenuhi
kebutuhan ekonomi, serta menghilangkan anggapan buruk tentang narapidana agar
mereka dapat bekerja dengan baik di instansi pemerintah ataupun swasta.
2. Perlunya pengiriman pegawai untuk mengikuti program kekhususan yang dilaksanakan
instansi lain yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan.
3. Perlunya kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil produk napi di Lapas,
apabila ada produk yang dihasilkan.
4. Program dan ragam pembinaan terhadap narapidana hendaknya dilaksanakan secara
efektif dan kreatif serta berdaya guna untuk pengembangan kepribadian serta peningkatan
keterampilan bagi narapidana.
5.4.7. KORBAN NAPZA
Arti dari korban penyalahgunaan Napza adalah seseorang yang menderita ketergantungan
yang disebabkan oleh penyalahgunaan Napza baik atas kemauan sendiri ataupun karena
dorongan atau paksaan orang lain. Korban Napza di Kota Tangerang menunjukan bahwa
Kecamatan Tangerang merupakan jumlah terbesar diantara ke 13 kecamatan yang ada di Kota
Tangerang.
TABEL: 5.15. DATA KORBAN NAPZA KOTA TANGERANG TAHUN 2015
KORBAN
NO KECAMATAN
NAPZA
1 Ciledug 5
2 Larangan 2
3 Karang Tengah 17
4 Cipondoh 3
5 Pinang 6
6 Tangerang 113
7 Karawaci 1
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 6
11 Neglasari 5
12 Batuceper 30
13 Benda 3
KOTA TANGERANG 191
GAMBAR: 5.12. GRAFIK DATA KORBAN NAPZA KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Penyalahgunaan narkoba dapat dicegah, adalah lebih baik mencegah dari pada mengobati
atau menanggulangi. Pencegahaan merupakan upaya yang sangat penting, bahkan terpenting.
Untuk mencegah remaja dari penyalahgunaan narkoba hal yang paling penting
adalah membentengi diri sendiri dengan imtaq (iman taqwa). Sedangkan untuk korban Napza
tindakan yang dilakukan diantaranya :
1. Memberikan program, terapi dan rehabilitasi
2. Menyediakan sarana konseling untuk para pemakain pengedar narrkoba.
3. Menciptakan rasa takut mengulang kembali.
5.4.8. ANAK MENJADI KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK)
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan
emosional, atau pengabaian terhadap anak. Tercatat hanya sekitar 11 anak yang menjadi KTK
di Kota Tangerang (Tahun 2015), dengan Kecamatan Neglasari terbanyak yaitu 6 orang.
Berikut data anak yang menjadi KTK.
TABEL: 5.16. DATA ANAK MENJADI KTK/DIPERLAKUKAN SALAH KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Kekerasan menyebabkan perkembangan fisik dan psikis dari korban terguncang dibutuhkan
penyembuhan untuk memupuk rasa percaya diri dan bangkit dari keterpurukan. Anak-anak
yang telah mengalami kekerasan memerlukan kasih dan perhatian yang ekstra dari
lingkungannya. Kepedulian dan keramahan dari saudara, teman-teman dan guru sangat
dibutuhkan demi membantu anak mengatasi traumanya guna menata kehidupan di masa
depan.
GAMBAR: 5.13. GRAFIK DATA USIA LANJUT TERLANTAR KOTA TANGERANG TAHUN 2015
Solusi pelayanan terhadap Lansia yang terlantar, diantaranya:
- Pelayanan sosial bagi kalangan lanjut usia (lansia) dilakukan dengan pendekatan panti dan
nonpanti dalam rangka untuk memberikan perlindungan dan jaminan sosial. Pelayanan
sosial bagi Lansia dilakukan baik secara home care maupun day care.
- Program bantuan Bedah kamar lansia terlantar.
- Pelayanan sosial bagi lansia untuk memperoleh perlindungan sosial maupun jaminan
sosial.
Kemensos melalui Conditional Cash Transfer (CCT) atau Program Keluarga Harapan (PKH)
memiliki program bagi lansia.
- Kehadiran para lansia di panti lansia merupkan opsi terakhir. Sebab, tetap sepenuhnya
tangung jawab berada di dalam keluarga.
- Program pemberdayaan bagi para pekerja lanjut usia (lansia) yang dapat membuat
mereka tetap produktif dan mandiri secara ekonomi. perluasan kesempatan kerja serta
wirausaha yang diwujudkan melalui pelatihan keterampilan kerja, pendampingan usaha
dan perluasan usaha yang sesuai bagi tenaga kerja lansia.
WANITA TUNA
NO KECAMATAN
SUSILA
1 Ciledug 0
2 Larangan 0
3 Karang Tengah 5
4 Cipondoh 0
5 Pinang 0
6 Tangerang 1
7 Karawaci 4
8 Cibodas 0
9 Jatiuwung 0
10 Periuk 1
11 Neglasari 0
12 Batuceper 0
13 Benda 4
KOTA TANGERANG 15
Kegiatan rehabilitasi ditujukan untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, kesadaran
dan tanggung jawab sosial para klien, agar kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya sehingga diharapkan mereka akan mampu hidup mandiri, serta
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosial mereka secara wajar dalam
tatanan hidup bermasyarakat.
Program rehabilitasi terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
a. Pendekatan awal
b. Penerimaan
c. Bimbingan sosial dan keterampilan
d. Resosialisasi
e. Bimbingan lanjutan
Faktor yang dapat menghambat keberhasilan Rehabilitasi Wanita Tuna Susila (WTS) adalah:
1) Tingkat pendidikan yang rendah dari para klien yang dibina dipanti, sehingga
memperlambat proses pembinaan dan 2) Sikap malas para klien yang dibina di panti dan
tidak pernah dikunjungi keluarga.
Kemiskinan tidak hanya dilihat dari jumlah dan persentase penduduk miskin saja, namun
banyak indikator lain yang digunakan di dalam mengukur tingkat kemiskinan di daerah
seperti Garis Kemiskinan (GK), Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan
(P2). Garis Kemiskinan merupakan representasi jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum untuk makanan, yang setara dengan 2100
kalori per kapita/hari dan memenuhi kebutuhan pokok bukan makanan. Garis kemiskinan di
Kota Tangerang cenderung meningkat (membaik) dari Tahun 2011 menuju Tahun 2015,
yaitu dari Rp 337.543 pada Tahun 2011 naik menjadi Rp 455.228,- di Tahun 2015.
Selengkapnya dilihat pada Tabel di bawah ini.
TABEL: 5.21. TABEL : DATA INDIKATOR KEMISKINAN 2015
Dimensi lain yang perlu diperhatikan dalam melihat angka kemiskinan adalah tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada Tahun 2015 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kota Tangerang tidak terjadi perubahan. Hal ini
masih terjadi kesenjangan dalam pengeluaran penduduk miskin. Indikator kemiskinan
lainnya dilihat dari keluarga sejahtera adalah keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan
hidup spiritual dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang sama, selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan, sedangkan Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan.
Keluarga Sejahtera Tahap 1 adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar secara
minimal (sesuai kebutuhan dasar pada keluarga pra sejahtera) tetapi belum dapat
memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologis keluarga seperti pendidkan, KB,
interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan.
TABEL: 5.23. CAPAIAN INDIKATOR URUSAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KOTA
TANGERANG TAHUN 2011-2015
Upaya pemerintah daerah dalam perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan
dapat dilihat dari indikator rasio KDRT, indikator cakupan perempuan dan anak korban
kekerasan yang mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam Unit
Pelayanan Terpadu, indikator cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang
mendapatkan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Puskesmas mampu tata-
laksana KTP/A dan PPT/PKT di RS, indikator cakupan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan
oleh petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam
Unit Pelayanan Terpadu, indikator cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh
petugas bimbingan rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam Unit
Pelayanan Terpadu, indikator cakupan penegakan hukum dari tingkat penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,
indikator cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan
bantuan hukum, indikator cakupan layanan pemulangan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan, dan indikator cakupan layanan re-integrasi sosial bagi perempuan dan anak korban
kekerasan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir rasio KDRT di Kota Tangerang terus
meningkat, yaitu 0,09 ‰ pada tahun 2011 menjadi 0,17 ‰ pada tahun 2015. Upaya
penanganan pengaduan, pelayanan kesehatan, re-integrasi sosial, serta layanan bantuan
hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan sudah cukup baik dan diatas standar yang
ditetapkan dalam SPM. Akan tetapi upaya rehabilitasi sosial dan bimbingan rohani bagi
perempuan dan anak korban kekerasan masih kurang baik dan berada dibawah standar yang
ditetapkan dalam SPM.
Upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat dilihat melalui indikator persentase
jumlah tenaga kerja di bawah umur. Sayangnya sampai dengan tahun 2015 pemerintah Kota
Tangerang belum melakukan pendataan terhadap pekerja anak dibawah umur, sehingga ke
depan pendataan perlu dilakukan sebagai dasar penentuan kebijakan-kebijakan dalam
perlindungan anak.
Beberapa skenari yang dapat dikembangkan dalam upaya pemberdayaan perempuan, dan
perlindungan anak diantaranya: 1) sosialisasi pencegahan tindakan kekerasaan terhadap
perempuan dan anak, 2) penguatan Kota Layak Anak (KLA), 3) pelatihan penanganan
perempuan dan anak korban kekerasan, 4) sosialisasi gerakan orang tua hebat dan
pengembangan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A).
5.5.2. PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA
Kinerja urusan pengendalian penduduk dan keluarga berencana dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:
TABEL: 5.24. CAPAIAN INDIKATOR URUSAN PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA KOTA
TANGERANG TAHUN 2011-2015
Upaya pemerintah dalam pembangunan keluarga berencana dapat dilihat melalui indikator
cakupan pasangan usia subur (PUS) yang usia istrinya < 20 tahun, indikator cakupan pasangan
usia subur menjadi peserta KB aktif, indikator cakupan pasangan usia subur yang ingin ber-KB
tidak terpenuhi (unmet need), indikator cakupan anggota bina keluarga balita (BKB) yang ber-
KB, indikator cakupan PUS peserta KB anggota usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) yang ber-KB, indikator rasio petugas lapangan keluarga berencana/
penyuluh keluarga berencana (PLKB/PKB) di setiap kelurahan, indikator rasio pembantu
pembina keluarga berencana (PPKBD) di setiap kelurahan, dan indikator cakupan penyediaan
alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat di daerah. Capaian sampai
dengan tahun 2015 yang telah cukup baik, yaitu sesuai atau melebihi standar yang ditentukan
dalam SPM, adalah indikator cakupan pasangan usia subur (PUS) yang usia istrinya < 20 tahun,
indikator cakupan pasangan usia subur menjadi peserta KB aktif, indikator rasio pembantu
pembina keluarga berencana (PPKBD) di setiap kelurahan, dan indikator cakupan penyediaan
alat dan obat kontrasepsi untuk memenuhi permintaan masyarakat di daerah. Sedangkan
capaian indikator yang masih kurang baik atau dibawah standar yang ditentukan dalam SPM
adalah indikator cakupan pasangan usia subur yang ingin ber-KB tidak terpenuhi (unmet
need), indikator cakupan anggota bina keluarga balita (BKB) yang ber-KB, indikator cakupan
PUS peserta KB anggota usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS) yang ber-
KB, dan indikator rasio petugas lapangan keluarga berencana/ penyuluh keluarga berencana
(PLKB/PKB) di setiap kelurahan. Hal ini berarti tingkat pelayanan keluarga berencana,
terutama dalam tingkat pembinaan dan penyediaan petugas lapangan, masih kurang.
Upaya pemerintah dalam pembangunan keluarga sejahtera dapat dilihat melalui indikator
cakupan penyediaan informasi data mikro keluarga di setiap kelurahan, dan indikator
persentase jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Capaian penyediaan informasi data
mikro keluarga di setiap kelurahan pada tahun 2015 telah mencapai 100%, dan sesuai dengan
standar SPM. Akan tetapi persentase keluarga pra sejahtera dan sejahtera I pada tahun 2015
masih mencapai 29,46% jauh diatas kondisi ideal 0%.