Anda di halaman 1dari 2

"Stunting", Anak Pendek karena Kurang Gizi

KOMPAS.com — Stunting atau anak bertubuh pendek terjadi karena kurang gizi kronis sejak
dalam kandungan. Kondisi ini bukan hanya mengurangi tingkat kecerdasan anak, tetapi juga saat
dewasa anak beresiko besar terkena penyakit tidak menular seperti jantung atau diabetes.
Menurut Dr Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), dibutuhkan tata laksana gizi yang benar di
masyarakat untuk memperbaiki kondisi stunting. "Stunting adalah perawakan pendek yang
disebabkan asupan nutrisi kurang atau kondisi kesehatan kurang baik. Ini persoalan anak gagal
tumbuh seperti seharusnya karena kekurangan gizi," papar Damayanti dalam acara diskusi media
di Jakarta (18/7). Saat ini, Indonesia peringkat nomor 5 di dunia dengan angka stunting
terbanyak. Seorang anak disebut stunting bila nilai Z-skor (dalam grafik pertumbuhan menurut
WHO) mencapai -2 dan stunting berat jika skornya -3. Untuk memastikan apakah seorang anak
memang stunting atau pendek karena faktor genetik, harus dilakukan pemeriksaan berat badan
dan tinggi badan oleh dokter. "Waspadai jika setelah lahir berat badan anak turun. Jangan
dibiarkan saja jika berat badannya turun, harus dicari penyebabnya dan diintervensi," ujar pakar
penyakit nutrisi dan metabolik anak ini. Pertumbuhan otak manusia paling pesat terjadi pada 2
tahun pertama. Itu sebabnya jika anak kekurangan gizi di usia ini, perkembangan otaknya tidak
akan bisa maksimal. Baca juga: Bunda Perlu Tahu, Ini Tanda Bayi Cukup Mendapat ASI
Perbaiki gizi Menurut Damayanti, persoalan anak stunting bukan cuma ditemukan pada keluarga
tidak mampu, tapi juga anak yang orangtuanya berkecukupan. Rendahnya pengetahuan soal
memilih sumber pangan yang baik dan cara pengolahannya, seringkali membuat anak kurang
gizi. "Sejak lahir, bayi harus mendapat ASI yang cukup. Setelah bayi mendapat makanan
pendamping ASI di usia 6 bulan, penuhi kebutuhan protein hewani karena mengandung asam
amino esensial," tuturnya. Asam amino esensial lengkap hanya terdapat pada protein hewani.
Protein nabati seperti kacang kedelai juga memang mengandung asam amino esensial, tapi tidak
lengkap. "Menu MPASI bayi seharusnya bukan tepung karbohidrat atau puree sayuran.
Bukannya tidak boleh, tapi jika hanya diberi puree bayi kekurangan asam amino dari protein
hewani," paparnya. Pentingnya protein hewani dalam tumbuh kembang anak sudah dibuktikan
dalam berbagai penelitian. Misalnya pada penelitian yang dilakukan di Papua New Guinea. Di
sana, makanan utama berupa umbi-umbian. Ketika asupan makanan mereka ditambah margarin
atau sumber lemak lain, tinggi badan tidak bertambah. Ketika asupan karbohidrat yang ditambah,
tinggi naik sedikit tapi kadar lemak ikut naik. “Begitu asupan makananya ditambahkan susu,
tinggi badan naik, sebaliknya kadar lemak turun,” ujarnya. Penelitian yang dilakukan Damayanti
di Jakarta Pusat menemukan, dari 300 anak batita, 76 persen di antaranya mengasup protein
hewani kurang dari 75 gr. Protein hewani, menurut dia, bisa didapatkan dari makanan lokal yang
harganya relatif murah, seperti telur, daging unggas, ataupun ikan. "Negara kita dikelilingi oleh
laut dan air yang banyak ikannya. Buat apa membeli ikan impor seperti salmon, ikan kembung
kandungan omeganya tiga kali lebih tinggi," ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Stunting", Anak Pendek karena Kurang
Gizi", https://lifestyle.kompas.com/read/2018/07/19/124638120/stunting-anak-pendek-karena-
kurang-gizi.
Penulis : Lusia Kus Anna
Editor : Lusia Kus Anna

Anda mungkin juga menyukai