Anda di halaman 1dari 2

Prevalensi infeksi hepatitis C virus (HCV) pada pasien thalassemia mayor di

Kabupaten Banyumas

1. Latar Belakang

Thalassemia mayor adalah gangguan monogenik yang paling umum di dunia.


Hal ini terjadi pada lebih dari 60 negara di dunia dengan populasi carier hingga
150 juta jiwa di seluruh dunia (Quratul-Ain et al, 2011).. Thalasemia merupakan
gangguan autosomal resesif dari sintesis hemoglobin yang disebabkan oleh
downregulation dalam sintesis dari rantai β -globin, terbentuk rantai tetramer
α-globin (α4) serta interaksi dengan membran sel merah, yang menimbulkan
gejala utama berupa anemia hemolitik dan peningkatan produksi eritroid [10].
Oleh karena itu, penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang
teratur dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan
Yuki 2008). Secara umum, pasien thalassemia menerima transfusi sel darah padat
pada interval setiap 2-4 minggu.

Transfusi darah pada thalassemia merupakan pengobatan yang bertujuan


untuk memperbaiki kondisi anemia agar tumbuh kembang anak dapat
dipertahankan secara optimal. Komplikasi utama pengobatan thalassemia adalah
terjadinya infeksi virus yang ditransmisikan melalui transfusi darah dan
terjadinya penimbunan besi dalam jaringan.1-4 Penyakit hati pada thalassemia
dapat diakibatkan oleh timbunan besi pada sel hati sebagai penyebab tunggal atau
sebagai faktor yang memperberat kerusakan hati apabila terjadi bersamaan
dengan infeksi virus hepatitis. 5-7

Transfusi darah secara teratur jelas dapat meningkatkan harapan hidup


namun memiliki kerentanan yang tinggi terhadap Infeksi Menular Lewat
Transfusi Darah (IMLTD) [27,28]. Infeksi yang sering terjadi antara lain hepatitis
B, hepatitis C, Cytomegalovirus dan HIV [13,27,28,30]. Di Indonesia, untuk
mengurangi angka kejadian IMLTD sudah diberlakukan pemeriksaan uji saring
terhadap infeksi HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan sypilis pada kantong darah
yang masuk di Unit Donor Darah PMI setiap Kabupaten/Kota. Uji ini dilakukan
dengan metode berbasis ELISA atau immuno fluorescence yang memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tinggi [14]. Namun, banyak rumah sakit
non-pemerintah dan swasta terkadang menggunakan metode imunokromatografi
yang cepat dan murah untuk penyaringan donor darah dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih rendah [20]. Selanjutnya, diagnosis hepatitis virus pada
fase infeksius masih belum lazim dilakukan di Indonesia karena tingginya biaya
untuk melakukan skrining yang sensitif menggunakan RT-PCR pada semua kasus
[21], tidak terdeteksinya HCV akibat tingkat viremia rendah atau strain mutan
yang tidak terdeteksi dengan teknik ELISA juga dapat menjadi salah satu faktor
yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian IMLTD [27,29]. Transmisi
HCV pasca transfusi tetap menjadi masalah kesehatan utama pada pasien
multitransfusi yang dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai