Anda di halaman 1dari 50

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

MODEL KOLABORASI PENGELOLAAN


SUMBERDAYA ALAM PESISIR

FITRI OKTAVIANI S

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “MODEL
KOLABORASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM PESISIR” benar-benar
hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari Pustaka yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.

Bogor, Desember 2014

FITRI OKTAVIANI S
NIM. I34110148
iii

ABSTRAK
FITRI OKTAVIANI S. Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir. Di
bawah bimbingan DR IR SAHARUDDIN, MS
Pengelolaan sumberdaya alam disini mencakup mengelola suatu benda atau
potensi yang ada di kawasan tersebut serta mengelola stakeholder agar mampu
membangun keterpaduan antar setiap stakeholder. Dalam persoalan tersebut
pengelolaan kolaborasi menjadi jalan keluar dalam usaha mengelola dan melestarikan
sumberdaya alam serta mampu mengakomodasikan dan menjadikan keterpaduan antar
stakeholder untuk ikut serta dalam setiap tahapan yang digunakan untuk keberhasilan
pengelolaan kolaborasi tersebut. Begitupun dengan pengelolaan sumberdaya alam
pesisir, dibutuhkan suatu pengelolaan yang mampu mengakomodasikan kebutuhan dari
berbagai pihak sekaligus mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam pesisir. Hal ini
diperlukan karena kegiatan pengelolaam sumberdaya alam yang bersifat terbuka akan
melibatkan beragam stakeholder dengan kepentingan yang berbeda.

Kata kunci: Pengelolaan sumber daya alam pesisir, pengelolaan kolaborasi, stakeholder

ABSTRACT

Fitri Oktaviani S. Collaboration Management Model of Coastal Area Natural


Resources. Supervised by DR IR SAHARUDDIN, MS
In this case, the natural resources management includes an object or potention
that exists in that particular area and also managing stakeholder which could build an
integration between every stakeholder. In that matter, collaboration management
becomes a way out as an effort to manage and preserve natural resources, also
accomodate and use that integration between stakeholders to make them participate in
every step used for collaboration management’s success. It also applies on natural
resources of coastal area management. It needs a management which could
accomodate the needs of various party, and also capable of preserving natural
resources of coastal area. This is needed because opened natural resources
management activity will involve various stakeholder with different interests.

Keywords: management of coastal area natural resources, collaboration management,


stakeholder
iv

MODEL KOLABORASI PENGELOLAAN


SUMBERDAYA ALAM PESISIR

Oleh:

Fitri Oktaviani S
I34110148

Laporan Studi Pustaka

Sebagai syarat kelulusan (KPM 403)

Pada

Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN


MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v

LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Fitri Oktaviani S
Nomor Pokok : I34110148
Judul : Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, MS
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc


Ketua Departemen

Tanggal Pengesahan:
vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis mampu menyeleseikan Studi Pustaka yang berjudul “Model
Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir” yang ditujukan untuk memenuhi
syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 430). Setiap detik yang penulis gunakan
untuk menyelesaikan studi putaka ini merupakan atas berkat rahmat-Nya. Salawat serta
salam tidak lupa juga penulis hanturkan kepada nabi besar Muhammad SAW, beserta
keluarganya, sahabat serta kita selaku umatnya.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Saharuddin, MS
selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan saran,
kepada penulis terkait penulisan studi pustaka ini. Penulis juga berterimakasih kepada
kedua orang tua beserta kakak-kakak yang menjadi sumber motivasi dalam setiap waktu
dan kegiatan yang penulis habiskan sebagai mahasiswa. Terimakasih juga kepada
keluarga Mabs sebagai sahabat yang luar biasa.Tidak lupa terimakasih juga kepada Ike,
Romanna, dan Dheva selaku teman-teman satu bimbingan yang juga selalu memberikan
motivasi kepada penulis dalam penulisan studi pustaka ini. Dan terimakasih kepada
SKPM 48 dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu atas
kebersamaan dan dukungannya selama ini.
Semoga laporan studi pustaka dengan judul “Model Kolaborasi Pengelolaan
Sumberdaya Alam Pesisir” ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2014

Fitri Oktaviani S
I34110148
vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... ix
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
Metode Penulisan .......................................................................................................... 2
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA................................................................... 4
Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih Di Papua
....................................................................................................................................... 4
Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan
Nelayan (Studi Kasus Community-Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten
Tuban) ........................................................................................................................... 6
Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis
Masyarakat .................................................................................................................... 9
Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional Kutai........................... 12
Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas
Pengelolaan Wilayah Pesisir ....................................................................................... 14
Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum.............. 16
Studi Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir Kabupaten Minahasa Selatan ........... 19
Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Barru Melalui Klaster Pengkapan Ikan
Laut ............................................................................................................................. 20
Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kasus Pengelolaan Hutan Di
Sulawesi Selatan.......................................................................................................... 23
Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Peisisir
Dan Lautan Secara Terpadu ........................................................................................ 25
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 27
Batasan Wilayah Pesisir .............................................................................................. 27
Peraturan Pengelolaan SDA Pesisir ............................................................................ 27
Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pengelolaan Pesisir............................................ 29
Manajemen Kolaborasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ................................. 30
Stakeholder dalam Pengelolaan SDA ......................................................................... 33
Partisipasi Stakeholder ................................................................................................ 35
SIMPULAN .................................................................................................................... 36
Model Kolaborasi Pengelolaan SDA Pesisir............................................................... 36
Kerangka Analisis Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir .......... 37
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian .......................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 40
LAMPIRAN.................................................................................................................... 41
viii

Riwayat Hidup ............................................................................................................ 41


ix

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Konsep-Konsep Studi Pustaka Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya
Alam Pesisir................................................................................................................... 3
Tabel 2. Empat Strategi Umum Untuk Pengelolaan Hubungan Stakeholder............... 34

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman


Nasional Teluk Cendrawasih Di Papua......................................................................... 5
Gambar 2. Bagan Alur Pemikiran Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan
Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-Based
Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban)..................................................... 8
Gambar 3. Bagan Alur Pemikiran Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam
Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat................................................................ 11
Gambar 4. Bagan Alur Pemikiran Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif
Taman Nasional Kutai................................................................................................... 13
Gambar 5. Bagan Alur Pemikiran Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam
Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah Pesisir............................. 16
Gambar 6. Bagan Alur Pemikiran Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Citarum...................................................................................... 18
Gambar 7. Bagan Alur Pemikiran Studi Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir
Kabupaten Minahasa Selatan......................................................................................... 20
Gambar 8. Bagan Alur Pemikiran Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Barru
Melalui Klaster Pengkapan Ikan Laut........................................................................... 23
Gambar 9. Bagan Alur Pemikiran Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam: Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan.................................................. 24
Gambar 10. Bagan Alur Pemikiran Kebutuhan Riset Untuk Mendukung
Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Peisisir Dan Lautan Secara
Terpadu.......................................................................................................................... 26
Gambar 11. Bagan Proses Belajar Bersama Masyarakat (Dialog/Analisis).............. 31
Gambar 12. Proses Manajemen Kolaboratif.................................................................. 31
Gambar 13. Usulan Kerangka Pemikiran Model Kolaborasi Pengelolaan
Sumberdaya Alam Pesisir.............................................................................................. 38
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suatu sumberdaya alam memiliki pengaruh besar dalam mendukung memenuhi
kebutuhan manusia. Maka untuk tetap mempertahankan daya dukung sumberdaya alam
tersebut dalam memenuhi kebutuhan manusia dibutuhkan pengelolaan yang juga
mampu mendukung keberlanjutan sumberdaya alam tersebut. Begitupun dengan
ekosistem pesisir yang merupakan suatu wilayah dengan beragam sumberdaya yang
dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan dan kesejahteraan hidup manusia. Wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah antara darat dan laut dengan bats kearah darat meliputi
bagian daratan yang kering maupun basah yang masih terpengaruhi sifat-sifat laut,
seperti angin laut, pasang surut, perembesan air dan juga terdapat vegetasi yang khas,
sedangkan batasan kearah laut dengan ciri perairan yang masih dipengaruhi sifat-sifat
daratan seperti sedimentasi air tawar dan aktivitas manusia (Sara 2014). Pesisir
memiliki beragam sumberdaya alam yang dapat menjadi potensi untuk menunjang
kebutuhan manusia, sumberdaya tersebut berupa sumberdaya hayati seperti terumbu
karang, rumput laut, dan biota-biota lainnya, serta sumerdaya non hayati seperti untuk
pariwisata.
Dalam pemanfaatan serta pengelolaan sumberdaya pesisir melibatkan beragam
pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh serta kepentingan yang berbeda.
Pengelolaan pesisir sebagai salah satu sumberdaya alam pada dasarnya telah diatur
seperti tercantum pada UUD 1945 pasal 33 ayat (3), “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal ini menjelaskan bahwa negara memiliki hak
penguasaan terhadap segala kegiatan pengelolaan sumberdaya alam untuk kemakmuran
rakyat termasuk didalamnya adalah pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Selain
pasal 33 ayat (3), terdapat pula UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan
kepada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk provinsi dan 4
mil untuk kabupaten. Pasal tersebut sejalan dengan era otonomi daerah yang
berkembang saat ini. Sistem pengelolaan yang seperti ini memberikan peluang kepada
pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang secara langsung lebih memahami
potensi yang dimiliki pesisir sebagai sumberdaya alam. Akan tetapi pada kegiatan
pengelolaan pesisir ini masih sering ditemukan permasalahan-permasalahan yang kerap
muncul hal tersebut dapat dikarenalan tumpang tindihnya peraturan yang ada,
perbedaan kepentingan dari masing-masing pemangku kepentingan, perbedaan persepsi
atas sumberdaya serta kurangnya koordinasi diantara para pemangku kepentingan
tersebut yang apabila terus terjadi tentunya akan mengacam keberlanjutan pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya alam wilayah pesisir itu sendiri. Dengan kondisi demikian
diperlukan suatu pengelolaan yang mampu menyeimbangkan peran dan posisi para
pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan berbeda yang berhubungan dengan
sumberdaya pesisir agar mampu berjalan berdampingan dalam pengelolaan lingkungan
dan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Pengelolaan yang tepat dalam kondisi
demikian adalah model pengelolaan kolaborasi.
Pengelolaan kolaborasi dikenal juga sebagai suatu pendekatan yang mampu
mengakomodasikan berbagai kepentingan dari para stakeholder sehingga dalam
prakteknya banyak digunakan untuk penyeleseian sengketa antara pemangku
kepentingan. Pendekatan kolaborasi ini sering juga disebut sebagai jembatan untuk
meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam (Supohardjo 2005 dalam Winara dan
Mukhtar 2011). Pengelolaan kolaborasi telah digunakan dalam beberapa pengelolaan
2

sumberdaya alam di Indonesia, salah satunya seperti dilakukan di Taman Nasional


Gunung Halimun Salak, berdasarkan penelitian yang dilakukan di TNGHS oleh
Wulandari dan Sumarti (2011) menunjukan adanya kolaborasi antara pihak TNGHS,
masyarakat lokal, dan LSM. Dalam penelitian dilihat kemitraan yang terjalin antar
stakeholder dalam perannya mengelola dan mengambil manfaat berkaitan dengan
kawasan TNGHS. Pengelolaan kolaborasi yang dilakukan di TNGHS memberikan
manfaat meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis di kawasan TNGHS, dengan
adanya pengelolaan kolaborasi kepentingan dari berbagai pihak menjadi lebih
terkoordinasi dan meminimalisir tumpang tindih peran dan aktivitas berkaitan
pengelolaan TNGHS.
Model pengelolaan kolaborasi juga dianggap sesuai dengan rezim desentralisasi
yang memiliki empat tipe yaitu dekonsentrasi (penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat ke lembaga atau intansi daerah), delegasi (penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat ke staf pemerintah daerah), devolusi (penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab
khusus dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah), swastanisasi (penyerahan
wewenang dari pemerintah ke lembaga non pemerintah). Hal tersebut dikarenakan pada
rezim desentralisasi akan lebih melibatkan banyak pihak yang berkolaborasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam dengan tidak adanya keputusan yang sentralistik dari
pemerintah pusat.
Pada pengelolaan pesisir sebagai sebuah kawasan dengan berbagai sumberdaya
tentunya melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah daerah, masyarakat setempat,
perusahaan swasta, LSM, biro perjalanan dan pihak-pihak lain yang berhubungan
dengan kawasan tersebut. Oleh sebab itu pada pelakasaan model pengelolaan kolaborasi
dilihat bagaimana keikutsertaan para pemangku kepentingan dalam aktivitas
pengelolaan termasuk juga dalam proses perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir.
Hal ini dianggap penting karena peran serta koordinasi para pemangku kepentingan
merupakan kunci utama keberhasilan dalam model pengelolaan kolaborasi. Untuk itu
akan ditelaah lebih lanjut mengenai model pengelolaan kolaborasi yang dilakukan di
kawasan pesisir.

Tujuan Penulisan
1) Menganalisis landasan peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan
pesisir.
2) Menganalisis tahapan pelaksanaan model pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan
kawasan pesisir.
3) Menganalisis kendala-kendala dalam pelaksanaan kolaborasi kawasan pesisir.
4) Menganalisis kedudukan dan peran skateholder terhadap sumberdaya alam

Metode Penulisan
Penulisan studi pustaka ini merupakan penelitian data sekunder dimulai dengan
mengumpulkan dan membaca literatur berupa buku dan jurnal ilmiah yang berkaitan
dengan kajian pengelolaan kolaborasi. Metode yang digunakan selanjutnya adalah
analisis data sekunder dari bahan pustaka yang menjadi literatur tersebut. Bahan pustaka
berupa jurnal diringkas dan dianalisis dan kemudian dalam bab rangkuman dan
pembahasan hasil dari ringkasan dan analisis jurnal dibandingkan dengan teori-teori dan
konsep dari literatur lain yang berupa buku untuk kemudian menjadi acuan dalam
pembuatan tinjauan teoritis. Dari setiap literatur tersebut diperoleh konsep-konsep yang
terkait dengan topik kajian untuk dijadikan kerangka pemikiran yang digunakan untuk
3

penelitian selanjutnya, konsep-konsep tersebut dijabarkan pada Tabel 1. Konsep-


Konsep Studi Pustaka Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir.

Tabel 1. Konsep-Konsep Studi Pustaka Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya


Alam Pesisir
Konsep Literatur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pesisir     
Pengelolaan SDA    
pesisir
Desentralisasi dan    
otonomi daerah
Pengelolaan
Pesisir
Manajemen       
kolaborasi
Stakeholder   
dalam
pengelolaan
pesisir
Partisipasi 

Keterangan judul literatur:


Literatur 1 (jurnal) : Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk
Cendrawasih Di Papua
Literatur 2 (jurnal) :Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya
Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-
Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban)
Literatur 3 (jurnal) : Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan
Ekowisata Berbasis Masyarakat
Literatur 4 (jurnal) : Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
Kutai
Literatur 5 (jurnal) : Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam Peningkatan Efisiensi
dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah Pesisir
Literatur 6 (jurnal) : Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Citarum
Literatur 7 (jurnal) : Studi Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir Kabupaten
Minahasa Selatan
Literatur 8 (jurnal) : Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Barru Melalui
Klaster Pengkapan Ikan Laut
Literatur 9 (jurnal) : Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kasus
Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan
Literatur 10 (jurnal) : Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan
Sumberdaya Peisisir Dan Lautan Secara Terpadu
Literatur 11 (buku) : Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin
Literatur 12 (buku) : Wilayah Pesisir. Gagasan Memelihara Aset Wilayah Pesisir
dan Solusi Pembangunan Bangsa
Literatur 13 (buku) : Manajemen Kolaborasi Memahami Pluralisme Membangun
Konsensus.
4

RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA

1. Judul : Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional


Teluk Cendrawasih Di Papua
Tahun : 2011
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Aji Winara dan Abdullah Syarief Mukhtar
Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
Volume (Edisi) : 08(03): 217-226
Halaman
Alamat URL : http://forda-
mof.org/files/02.Potensi_kolaborasi_TN_Papua_OK_.pdf
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Penelitian berjudul Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Teluk Cendrawasih Di Papua menceritakan mengenai penerapan sistem pengelolaan
kolaborasi di Taman Nasional Teluk Cendrawasih di Papua dan potensi yang mampu
mendukung pengembangan manajemen kolaborasi yang dilakukan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi penerapan manajemen kolaborasi dalam
pengelolaan TN Teluk Cendrawasih di Papua. Penelitian dilaksanakan di kawasan TN
Teluk Cendrawasih meliputi wilayah administrasi Distrik Rumberpon, Roon, dan
Wasior yang terletak di Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat serta Distrik
Nabire di Kabupaten Nabire Provinsi Papua.
Objek kajiannya adalah para pemangku kepentingan (stakeholder) yang
berkaitan dengan penegelolaan TN Teluk cendrawasih. Pengumpulan data mengunakan
metode pengumpulan data primer dengan wawancara kepada responden kunci. Data
yang dikumpulkan meliputi aspek kelembagaan dari setiap responden, interaksi
lembaga dengan taman nasional serta presepsi terhadap taman nasonal. Analisis
dilakukan dengan melalui dua pendekatan yaitu analisis realitas manajeman kolaborasi
dan analisis potensi pengembangan manajemen kolaborasi.
Pemangku kepentingan di TN Cendrawasih terdiri atas delapan kategori yaitu
pemerintah pusat, pemerintah daerah. lembaga pendidikan, LSM, lembaga swasta dan
BUMD, TNI/POLRI, masyarakat adat, dan lembaga keagamaan. Dari setiap pemangku
kepentingan tersebut menunjukan adanya persamaan kepentingan yaitu: 1) pengelolaan
kawasan: 2) pemanfaatan kawasan: dan 3) pendukung pengelolaan. Kepentingan yang
kerap terjadi berbenturan adalah kepentingan perlindungan ekosistem dan pemanfaatan
ekonomi. Terdapat dua pihak yang memiliki tiga kesamaan peran, peran tersebut adalah
berupa perlindungan ekosistem, pemberdayaan ekonomi dan pembinaan ekonomi
kemasyarakatan. Dua pihak tersebut adalah Balai TN dan LSM yang merupakan
lembaga proaktif pengelolaan dari sejak awal proses pemebentukan TN. Sebagian besar
peran pemangku kepentingan bersifat positif meskipun tidak terkoordinasi. Para
pemangku kepentingan memiliki derajat kekuatan yang berbeda-beda dan derajat
potensi yang berbeda. Terdapat empat tipe kekuatan pemangku kepentingan yaitu
kepentingan tinggi dan pengaruh tinggi (optimalisasi membangun kolaborasi: Balai TN,
pemerintah daerah, masyarakat adat, dan LSM) pihak-pihak tersebut tergolong
5

pemangku kepentingan utama langsung, kepentingan tinggi dan pengaruh rendah


(pengawasan: pihak swasta), kepentingan rendah dan pengaruh rendah (membangun
kapasitas untuk pelibatan: TNI/POLRI, Lembaga Penelitian dan Pemetaan, Lembaga
Keagamaan) pihak-pihak tersebut tergolong pihak utama tidak langsung, dan terakhir
kepentingan rendah dan pengaruh rendah (pengurangan dampak).
Pada penelitian ini menunjukan bahwa semua program pengelolaan TN
berpotensi untuk diditribusikan pada pihak lain dalam sebuah sinergi manajemen
kolaborasi, selain hal tersebut peran positif pemangku kepentingan yang meskipun
belum terkoordinasi namun dapat menjadi potensi untuk penerapan kolaborasi antar
pemangku kepentingan sehingga manajemen kolaborasi sangat potensial untuk
diterapkan meskipun perlu didukung dengan kelembagaan yang kuat. Luasnya cakupan
TN yang terbagi dalam dua kabupaten dan dua provinsi memerlukan energi yang kuat
serta komunikasi dalam mengakomodasi berbagai kepentingan. Membangun kolaborasi
dalam pengelolaan TN Cendrawasih ini dapat dilakukan dengan langkah; 1)
Membangun kesamaan pandangan berkolaborasi dari para pemangku kepentingan, 2)
Membangun kelembagaan kolaborasi yang kuat termasuk nota kesepahaman dan
kesepakatan kerja kolaborasi dari semua pihak yang terlibat, 3) Membangun iklim
kolaborasi yang kondusif, 4) Menghadirkan pihak yang mampu menjadi inisiator dalam
mengawal proses kolaborasi. Kepentingan stakeholder yang sering terjadi benturan
adalah kepentingan pelestarian kawasan dan kepentingan pemanfaatan kawasan untuk
Analisis realitas pelaksanaan manajemen kolaborasi dilakuakan dengan tahapan:
1) identifikasi pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan TN meliputi
lembaga pemerintah dan non pemerintah, 2) analisis kepentingan dan peran aktual para
pemangku kepentingan terhadap pengelolaan TN serta pola hubungan terhadap fungsi
pengeloaan TN. Analisis potensi pengembangan manajemen kolaborasi dilakukan
melaui analisis kekuatan pemangku kepentingan menurut Meyers (2001) dan Permenhut
nomor P.19/Menhut-II/2004 dengan tahapan: 1) pembobotan pada setiap lembaga
pemangku kepentingan terkait dengan nilai penting pemangku kepentingan bagi
pengelolaan TN dan nilai penting TN bagi pemangku kepentingan, 2) pengelompokan
setiap lembaga yang berada pada skala bobot nilai penting dilakukan dengan bantuan
matrik kuadran, para pemangku kepentingan yang berada dalam kuadran paling penting
atau primer adalah lembaga yang memiliki nilai penting tinggi. Peran positif dari setiap
pemangku kepentingan serta program kegiataan pengelolaan dari setiap pihak menjadi
potensi untuk peneraman kolaborasi di TN Teluk Cendrawasih.

Analisis pemangku kepentingan Potensi pengelolaan kolaborasi


- Peran
- kekuatan

Analisis pelaksanaan manajemen


kolaborasi

Keterangan:
: berhubungan dengan
Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran Potensi Kolaborasi Dalam
Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih Di Papua
6

Analisis:
Analisis kepentingan kekuatan serta pengaruh stakeholer terhadap sumberdaya
alam dilakukan dalam penelitian potensi kolaborasi di TN Teluk Cendrawasih. Dalam
tulisan dikelompokan stakeholder sesuai dengan kekuatan serta pengaruhnya terhadap
sumberdaya alam. Dalam pengelolaan kolaborasi di TN Cendrawasih kepentingan yang
seringkali berbenturan dan menjadi kendala dalam pengelolaan kolaborasi adalah
kepentingan pelestarian lingkungan dan kepentingan pemanfaatan pengambilan ikan
yang menggunakan bom yang merusak lingkungan. Akan tetapi secara garis besar
pengelolaan manajemen kolaborasi di TN Cendrawasih memiliki potensi yang tinggi
karena aktivitas para pemangku kepentingan sebagian besar berjalan dengan tidak
menimbulkan benturan terhadap pemangku kepentingan lain dan tidak menimbulkan
konflik walaupun terdapat kesamaan dan perbedaan dalam setiap peran berupa
kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan pada pengelolaan TN
Cendarwasih. Hal ini menunjukan manajemen kolaboratif didukung dengan kejelasan
kepentingan dari setiap pemangku kepentingan. Hal tersebut sesuai dengan poin nilai
etik dan prinsip dalam pengelolaan kolaboratif yang dikemukakan Borrini-Feyerabend,
et al (2000) dalam PHKA-Dephut (2002) dalam Wulandari dan Sumarti (2011) yaitu
pada poin mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan
komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat dan menghubungkan
keterkaitan hak dengan tanggung-jawab dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.
Pada penelitian ini penulis dengan jelas menjelaskan kepentingan, peran, dan pengaruh
para pemangku kepentingan yang terkait dengan kawasan TN Cendrawasih sehingga
dapat dengan mudah menganalisis potensi dalam pelaksanaan model pengelolaan
kolaborasi.

2. Judul : Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan


Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan
(Studi Kasus Community-Based Management
Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban)
Tahun : -
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Shofwan, Moh. Khusaini, dan Nurul Badriyah
Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan
Volume (Edisi) : -
Halaman
Alamat URL : http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/view/147
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Penelitian berjudul Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya
Peningkatan Pendapatan Nelayan dilatarbelakangi oleh kesadaran terhadap potensi yang
dimiliki oleh wilayah pesisir. Wilayah pesisir dengan berbagai sumberdaya baik hayati
dan non hayati masih terlihat memiliki permasalahan yang terkait dengan pengelolaan
sumberdayanya yaitu lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkeptingan dalam
pelaksanaan pengembangan kelautan di wilayah pesisir. Permasalah ini disebabkan
7

lemahnya sistem koordinasi antar stakeholder dan belum adanya dukungan dari sistem
hukum yang mengatur kegiatan tersebut serta lemahnya sumberdaya manusia dalam
proses partisipatif pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Hal ini kemudian berdampak
pada munculnya ketidaksepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder.
Pengelolaan wilayah pesisir dibahas dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 yang
memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12
mil untuk provinsi dan 4 mil untuk kabupaten. Hal ini dapat memberikan peluang
pengelolaan wilayah pesisir dengan model Community-Based Management (CBM) atau
juga co-management. Terdapat tiga tipe dalam pengelolaan pesisir dan pantai yaitu:
1) Integrated coastal management (ICM)
Model pengelolaan dengan tipe pemerintahan yang sentralistik dimana pengelolaan
bersifat top-down. Dalam pengelolaan pesisir tersebut berdasarkan keputusan-
keputusan dari otoritas pemerintah pusat. Tujuan dari tipe ini adalah meningkatkan
aktivitas pembangunan, manusia, biofisik, dan sektoral dengan lingkungan.
2) Community-based coastal resource management
Model ini merupakan pendekatan bottom-up, masyarakat mengelola sumberdaya
secara bertanggung jawab dan berkelanjutan dengan keputusan yang berasal dari
masyarakat.
3) Collaborative or Co-Management of Coastal Resources
Model ini melibatkan pemerintah dan masyarakat sebagai gabungan dari pendekatan
top-down dan bottom-up, pemerintah yang dilibatkan adalah pemerintah lokal
(pemda) yang bertanggungjawab pada kebijakan koordinasi dan dengan atas dasar
partisipasi antar pihak yang terlibat.
Dalam penelitian mengenani pengelolaan pesisir disini penulis berusaha untuk
menguji secara sistematik penerapan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan berbasis
masyarakat di lima kecamatan di Kabupaten Tuban yang dilewati garis pantai sepanjang
65 km yang terdiri atas kecamatan Palang, Tuban, Jenu, Tambakboyo, dan Bancar.
Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian di bidang perikanan berupa
penangkapan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran. Pemilihan lokasi dikarenakan
sebagian besar nelayan terkonsentrasi di lima kecamatan tersebut. Tujuan penelitian
yakni: 1) Menganalisis praktek-praktek pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis
masyarakat (Community-Based Management/CMB) di lima kecamatan tersebut
khususnya dalam program peningkatan pendapatan nelayan; 2) Menganalisis pengaruh
pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat (Community-Based
Management) terhadap tingkat pendapatan nelayan tersebut; 3) Menganalisis faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi berjalannya CBM di lima kecamatan tersebut.
Kajian teoritis yang digunakan adalah berkaitan dengan kebijakan pengelolaan
di wilayah pesisir yang bertujuan untuk keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir,
karakteristik masyarakat pesisir, pembangunan berbasis lokal menitikberatkan pada
masyarakat dan bersifat holistik, dan kajian partisipasi masyarakat. Sasaran penelitian
ini adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tuban, Ketua kelompok
nelayan di lima kecamatan, anggota kelompok nelayan, masyarakat yang bukan anggota
kelompok nelayan, dan ibu-ibu yang tinggal di sekitar wilayah pantai. Penelitian
dilakukan dengan metode kualitatif studi kasus. Dalam studi kasus digunakan metode
PRA (Partisipatory Rural Appraisal) menggunakan teknik pengumpulan data berupa
Focus Group Discussion (FGD), wawancara mendalam, serta telaahan arsip dan
dokumentasi. Dan untuk teknis analisis data dilakukan dengan deskriptif analitik
kualitatif.
8

Dari lima kecamatan yang dilpilih sebagai tempat penelitian menujukan bahwa
masyarakat pesisir masih berada dibawah garis kemiskinan. Masyarakat pesisir tersebut
memiliki keunggulan berupa potensi kegiatan perekonomian yang dapat dikembangkan
baik dari sisi sosial ekonomi maupun poltik. Sedangkan kelemahannya adalah terkait
pemberdayaan masyarakat pesisir yang masih sangat tergantung pada peran pemerintah
serta pihak lain khususnya bank BUMN maupun swasta. Program pengelolaan berbasis
masyarakat di lima kecamatan di Tuban tersebut memfokuskan pada tiga pendekatan
spesifik yakni: 1) Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat tingkat desa; 2)
Rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat tingkat-
desa; 3) Aturan-aturan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat
tingkat desa. Pelakasanaan program tersebut ditopang oleh bantuan teknis dan pedanaan
dari instansi pemerintah kabupaten dan provinsi ataupun melalui swadaya masyarakat.
Sedangkan tujuan dari program ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan
pedoman yang disepakati pemerintah kabupaten setempat. Konsep kerja proses
perencanaan dan pelaksanaan bebrbasis masyarakat ini memalui langkah-langkah yakni:
1) Identifikasi isu yang berkembag di masyarakat; 2) Persiapan perencanaan yang
dilakukan oleh perwakilan dari setiap kelompok inti yang sudah diberikan pelatihan
sebelumnya, mencoba membuat draft rencana pengelolaan; 3) Persetujuan perencanaan
dan pendanaan, proses kesepakatan ini harus transparan dan adil oleh semua mayoritas
masyarakat dan stakeholder, dalam masalah pendanaan dirumuskan untuk dibuat
musyawarah yang kemudian dianggarkan dalam APBN/APBD; 4) Pelaksanaan dan
penyesuaian oleh masyarakat yang bertindak sebagaai pengelola sumberdaya utama; 5)
Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desa yang juga
diintegrasikan dalam dokumen rencana pembangunan dan pengelolaan.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan tersebut dapat dilihat pula dalam penigkatan
kesadaran dan pemahaman mengenai isu-isu pengelolaan pesisir dari masyarakat,
konsensus dan dukungan dari anggota masyarakat dan pemimpin mengenai isu-isu
prioritas yang perlu segera dilakukan untuk menjawab permasalahan dan
mengembangkan potensi dan peluang, perubahan perilaku menyangkut masyarakat
dalam melindungi dan memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, menguatnya
kapasitas masyarakat dan lembaga desa dalam pengelolaan sumberdaya, serta dukungan
pemerintah terhadap upaya perencanaan dan pengelolaan berbasis masyarakat.

Peluang dan kendala:


teknis, dana, dan SDM

Pemberdayaan masyarakat Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan:


untuk pengelolaan berbasis Potensi sumberdaya hayati dan non hayati,
masyarakat serta potensi kegiatan perekonomian
masyarakat

Keterangan :
: mempengaruhi
Gambar 2. Bagan Alur Pemikiran Pengelolaan Potensi Sumberdaya
Kelautan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi
Kasus Community-Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten
Tuban)
9

Analisis:
Penelitian mengenai pengelolaan berbasis masyarakat diatas kurang
menekankan pada pendekatan stakeholder, sehingga kurang menjelasakan bagaimana
keterkaitan atas stakeholder dalam penerapan community-based management tersebut.
Serta penetapan sasaran penelitian yang tidak dijelaskan secara spesifik. Penelitian ini
lebih menjelaskan pada pelaksanaan kegiatan dan manfaat dari commyunity-based
management yang telah dilaksanakan.

3. Judul : Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam


Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat
Tahun : 2011
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Wulandari dan Titik Sumarti
Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia
Volume (Edisi) : 05(01) 32-50
Halaman
Alamat URL : http://journal
.ipb.ac.id/index.php/solidality/article/viewFile
Tanggal Unduh : 9 September 2014
.
Ringkasan:
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan dibidang pariwisata yang terjadi
cenderung berubah dari pariwisata yang bersifat eksploitataif ke arah pariwisata
berkelanjutan. Ekowisata menjadi alternatif bentuk pariwisata yang memperhatikan
dampak sosial dan ekologis. Penelitian dilakukan terhadap Taman Nasional Gunung
Halimun Salak sebagai salah satu taman nasional yang dijadikan tujuan ekowisata.
Jumlah pengunjung TNGHS mengalami peningkatan setiap tahunnya, oleh karena
itulah diperlukan upaya ekowisata dimana tidak hanya memperhatikan aspek bisnis
akan tetapi tetap memperhatikan aspek konservasi bagi kawasan. TNGHS menyimpan
banyak keragaman hayati yang menjadi daya tarik pengunjung, selain itu di dalam
kawasan pun terdapat 314 kampung yang menyimpan beragam karakter perkampungan.
Tahun 1995 munculah konsep ekowisata berbasis masyarakat, untuk menunjang hal
tersebut maka beberapa perkampungan disana dikembangkan menjadi home-stay. Ada
banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di TNGHS, pihak-pihak
tersebut diantaranya adalah puhak taman nasional, masyarakat setempat, Yayasan
Ekowisata Halimun (YEH), dan berbagai travel agent. Berbagai pihak ini melakukan
beragam kerja sama yang dikenal dengan istilah manajemen kolaboratif dengan harapan
dapat mewujudkan pengelolaan TNGHS yang lebih baik dan bermanfaat optimal baik
dalam segi ekologis, sosial dan ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti
pelakasanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat
di TNGHS atau secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses
kolaborasi serta mengkaji manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata di kawasan
TNGHS. Penelitian dilaksanakan di Kampung Citalahab, lokasi dipilih karena kampung
ini menjadi salah satu kampung yang turut mengembangkan home-stay.
10

Konsep-konsep yang dipilih sebagai pendekatan teoritis adalah konsep


ekowisata, taman nasional, ekowisata sebagi konsep pengembangan kawasan taman
nasional, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan taman nasional, dan
manajemen kolaboratif. Penelitian membahas mengenai hubungan antara stakeholder
(pihak TNGHS, masyarakat lokal, dan LSM) dengan obyek dan daya tarik ekowisata
Kampung Citalahab. Serta melihat proses tahapan manajemen kolaboratif beserta
prinsip kolaborasi dan kemudian melihat bagaimana manfaat dari ekowisata berbasis
masyarakat di Kampung Citalahab tersebut. Penelitian dilakukan secara kualitatif
dengan strategi penelitian studi kasus intrinsik dengan orbsevasi yang digunakan berupa
wawancara mendalam dan penelusuran data stakeholder. Subyek penelitian dibedakan
menjadi subyek kasus dan informan. Subyek kasus dalam penelitian terdiri dari multi
pihak yang merupakan tim kolaborasi dalam pelaksanaan program ekowisata di
Kampung Citalahab yaitu Bina Cinta Alam (BCA) dan Yayasan Ekowisata Halimun
(YEH). Dan informan kunci dalam penelitian adalah pihak Bina Cibta Alam (BCA).
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan
penelusuran data sekunder.
Secara administratif TNGH berada pada tiga wilayah admisitratif yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Masyarakat yang
tinggal sebagai penduduk sudah tinggal dikawasan tersebut sejak lama, jauh sebelum
areal tersebut dijadikan sebagai taman nasional. Sejak dicanangkan sebagai kawasan
taman nasioanl, pihak pengelola telah berupaya merangkul penduduk sekitar taman
nasional khususnya Citalahab Sentral dalam mengelola TNGHS dengan melalui
berbagai pendekatan. Masyarakat Citalahab Sentral pada umumnya telah menyadari
pentingnya konservasi dan mereka pun menyadari keberadaan TNGHS yang telah
memeberikan keuntungan langsung bagi mereka. Masyarakat dilibatkan langsung
program ekowisata yakni sebagai pengelola fasilitas-fasilitas ekowisata, adapula yang
berprofesi sebagai pemandu atau interpreter. Masyarakat di Citalahab Sentral ini
digolongkan dalam masyarakat lokal non kasepuhan. Dalam TNGHS terbentuk
Konsorium Program Pengembangan Ekowisata Taman Nasional Gunung Halimun
(KPPETNGH) yang terdiri dari unsur LSM, pemerintah, universitas, swasta dan LSM
internasional, pada tahun 1995-1998 KPPETNGH terdiri dari Dirjen Perlindungan
Hutan dan Pengawetan Alam (PHPA), Wildlife Preservation Trust International
(WPTT), Biological Sciences Club (BScC), Pusat Konservasi Biodiversitas Universitas
Indonesia dan McDonalds Indonesia Family Restaurant. Setelah program ini berakhir
belum ada lembaga donor yang memberikan bantuan. Universitas berperan dalam
pengembangan ekowisata dan melakukan pelatihan kepada masyarakat tentang
pengembangan ekowisata. Mitra kolaborasi dalam pengembangan ekowisata di TNGHS
adalah balai Taman Nsional Gunung Halimun Salak (BTNGHS), KSM Warga Selayu,
Pemerintahan Desa Malasari, LSM Yayasan Ekowisata Halimun, Perguruan Tinggi dan
biro perjalanan. BTNGHS berperan dalam rencana pengelolaan pemanfaatan
sumberdaya alam. KSM Warga Selayu berkegiatan dalam meningkatkan pendapatan
anggotanya. Pemerintahan Desa Malasari dalam kegiatan ekowisata ini mendapat
pemasukan dari kegiatan ekowisata. LSM Yayasan Ekowisata Halimun (YEH)
memiliki kepentingan dalam hal pendampingan dan membantu promosi. Perguruan
tinggi memiliki kepentingan dalam penelitian. Biro perjalanan wisata memiiliki
kepentingan dalam menjadikan daerah ini sebagai tujuan ekowisata.
Manajemen kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi menurut
PHKA-Dephut (2002), didefinisikan sebagai kemitraan berbagai pihak yang berbagi
fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola sumber daya alam
11

yang ada sebagai sumberdaya yang dikonservasi. Menurut Marshall (1995) dalam
Tadjudin (2000), kolaborasi merupakan suatu konsep pengelolaan SDA sebagai bentuk
resolusi konflik yang dapat mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi
dari setiap pihak. Pendekatan kolaboratif meliputi tiga tahap utama yaitu, (1)
mempersiapkan kemitraan, (2) mengembangkan kesepakatan, dan (3) melaksanakan
dan mereview kesepakatan. Borrini-Feyerabend, et al (2000) dalam PHKA-Dephut
(2002) menyatakan bahwa dalam praktik pengelolaan kolaboratif setidak-tidaknya
terdapat nilai etik dan prinsip- prinsip sebagai berikut: a) Mengakui perbedaan nilai,
kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat dalam mengelola wilayah atau
kesatuan sumber daya alam, baik di luar maupun di dalam komunitas lokal; b) Terbuka
bagi berbagai model hak pengelolaan sumber daya alam selain pengelolaan yang secara
legal telah ada dimiliki pemerintah atau pihak; c) Mengusahakan terciptanya
transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam; d) Memperkenankan
masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan tanggung-jawab yang lebih punya
arti; e) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan
komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat. Menghubungkan keterkaitan
hak dengan tanggung-jawab dalam konteks pengelolaan sumber daya alam ; f) Lebih
menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik jangka pendek ; g)
Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan
sumber daya alam.
Tahapan pelaksanaan kolaborasi yang dilakukan di wilayah TNGHS yakni: 1)
Mempersiapkan Kemitraan, kemitraan diperlukan untuk mengatasi tumpang tindih
kepemilikan lahan; 2) Mengembangkan kesepakatan untuk pengembangan ekowisata,
kesepakatan antara BTNGHS dengan masyarakat ini dijembatani oleh YEH sebagai
fasilitator. Kesepakatan mencakup pembagian peran, hak dan kewajiban masing-masing
pihak; 3) Melaksanakan dan mereview kesepakatan, namun kenyataannya adalah sejak
tahun 1999 hingga penelitian ini berlangsung belum pernah dilakuakan review
kesepakatan. Belum terlaksana dengan baik kolaborasi di TNGHS dikarenakan belum
adanya kepastian hukum dalam kesepakan yang dibuat, kurangnya sumberdaya
manusia, belum terlibatnya semua pihak yang berkepentingan, dan lemahnya
kelembagaan. Manfaat dari pengelolaan kolaboratif TNGHS dalam segi ekonomi adalah
dengan memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat walaupun pekerjaan tersebut
bukan menjadi pekerjaan inti mereka. Dalam segi sosial manfaat yang dirasakan adalah
manfaat langsung berupa meningkatnya pengetahuan, dan manfaat tidak langsung
berupa pelestarian budaya lokal. Sementara manfaat ekologisnya adalah perilaku
masyarakat yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan kelestarian kawasan
TNGHS.

Pengelolaan kolaboratif TNGHS

Analisis stakeholder Keterlibatan Manfaat bagi


Tahapan pelaksanaan kolaborasi masyarakat masyarakat
Kendala pelaksanaan kolaborasi lokal lokal

Keterangan:
: mempengaruhi
Gambar 3. Bagan Alur Pemikiran Implementasi Manajemen
Kolaboratif Dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat
12

Analisis :
Pelaksanaan kolaborasi di Kampung Citalahab hanya sebatas pelaksanaan saja
tetapi belum diadakan kegiatan review kesepakatan. Manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan kolaboratif ini meliputi manfaat ekonomi, sosial dan ekologis bagi
lingkungan TNGHS khususnya Kampung Citalahab. Penelitian ini dengan baik
memaparkan siapa saja stakeholder yang memiliki hubungan dengan TNGHS dan
kemudian melihat tahapan manajemen kolaboratif dengan berdasarkan tahapan Borrini-
Feyerbend (1996) dan kemudian melihat hubungan dari tahapan tersebut dengan prisip
kolaborasi (borrini-Feyerbend, et al (2000) untuk selanjutnya dapat menyimpulkan dan
melihat manfaatdari penerapan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab.
Penulis melakukan analisis tahapan kolaboratif berdasar pada pendapat Marshall (1995)
dalam Tadjudin (2009) terdiri tiga tahap utama yaitu, (1) mempersiapkan kemitraan, (2)
mengembangkan kesepakatan, dan (3) melaksanakan dan mereview kesepakatan.
Sedangkan menurut Supohardjo () tahapan terbagi atas: (1) menetapkan problem, (2)
menetapkan arah kolaborasi, (3) menetapkan arah pelaksanaan kolaborasi. Pendapat
Supohardjo terlihat lebih sesuai dengan terlebih dahulu menetapkan problem,
sedangkan mempersiapkan kemitraan termasuk pada tahap menetapkan arah kolaborasi.

4. Judul : Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif


Taman Nasional Kutai
Tahun : 2012
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Faiqotul Falah
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif
Volume (Edisi) Halaman : -
Alamat URL : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-
litbang/index.php/JAKK/article/view/318
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan :
Kawasan Taman Nasioan Kutai (TNK) tak luput dari ancaman yang juga
dialami sebagian besar kawan konservasi di Indonesia, yakni: klaim dan okupasi oleh
masyarakat lokal, perambahan oleh industri, dan konflik antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Perubahan tata guna lahan sekitar TNK meningkatkan akses dan
tekanan pihak luar terhadap kawasan, otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah
merasa memiliki hak penuh dan eksploitasi sumberdaya alam, serta lemahnya
penegakan hukum. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan informasi mengenai
efektivitas kelembagaan kolaboratif pengelolaan TNK, berdasarkan relasi fungsi
kawasan, kesepahaman dan kesepakatan bersama, aturan main yang berlaku, struktur
kolaborasi, realisasi peran, partisipai, serta persepsi dan aspirasi para pemangku
kepentingan. Penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan metode survei
dengan tahapan: 1) Identifikasi peraturan, identifikasi kesepakatan, dan identifikasi
kondisi fisik, ekologis, sosial budaya, serta ekonomi kawasan; 2) Analisis isi kebijakan
kolaboratif; 3) Identifikasi persepsi, partisipasi, dan realisasi peran para pihak dalam
pengelolaan kolaboratif: 4) Analisis persepsi, partisipasi, dan realisasi peran para pihak
dalam pengelolaan kolaboratif secara kualitatif; 5) interpretasi data, analisi SWOT dan
perumusan rekomendasi.
13

Aturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan TNK adalah UU No 5


Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan
Daerah, UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Permenhut No P.19 Tahun
2004 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Permenhut No
P.56 Tahun 2006 tentang Zonasi Taman Nasional, dan Permenhut No P. 64 Tahun 2006
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Mitra Kutai yang berfungasi sebagai
penggalang dana CSR ternyata tidak terlalu diketahui masyarakat. Terdapat tiga
kelompok stakeholder dalam pengelolaan TNK, yaitu: 1) Pemangku kepentingan utama
yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program,
atau proyek; 2) Pemangku kepentingan pendukung (sekunder), yang tidak memiliki
kaitan kepentingan langsung, tetapi memiliki kepedulian sehingga turut bersuara dan
berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan pemerintah; dan 3) Pemangku
kepentingan kunci, yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan
keputusan. Pemangku kepentingan tersebut dapat memberikan kontribusi positif atau
negatif yang didasari oleh kepentingan apa yang dilakukan apakah ekologi atau
ekonomi. Pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan pengaruh dan
kepentingan dikelompokan sebagai berikut: 1) Pengaruh rendah dan kepentingan rendah
(lembaga penelitian dan pers); 2) Pengaruh tinggi dan kepentingan rendah (kementrian
ESDM, Pemprop Kaltim, Pemkab Kutai Kertanegara, Pemkot Bontang); 3) Pengaruh
rendah dan kepentingan tinggi (masyarakat lokal, perusahaan Mitra kutai, LSM lokal
dan internasional); 4) Pengaruh tinggi dan kepentingan tinggi (kementrian kehutanan,
pemkab Kutai Timur, investor tambang, dan tokoh masyarakat). Dari hasil pengambilan
data fungsi TNK yang paling tinggi yang dirasakan adalah fungsi penelitian sedang kan
fungsi terendah adalah fungsi ekonomi. Permasalahan yang menjadi kendala adalah
belum adanya penyamaan presepsi mengenai status kawasan TNK, yang merupakan
modal dasar bagi kolaborasi pengelolaan TNK.
Dalam pengelolaan kolaboratif berbasis ekosistem di kawasan TNK untuk dapat
berjalan efektif dan berkelanjutan terdapat beberapa syarat, antara lain: 1) Prinsip
holistik, yaitu pengelolaan kawasan harus memperhatikan seluruh fungsi ekologis,
ekonomis, dan sosial dalam ekosistem; 2) Prinsip integratif, yaitu pengelolaan berdasar
kerjasama seluruh pihak, aspirasi pihak-pihak yang terlibat tertampung, kesepakatan
dan kesepahaman bersama, terdapat pembagian kewenangan dan tanggungjawab
pengelolaan kawasan, partisipasi dari pemangku kepentingan, dan adanya fasilitator
serta dewan penasehat dalam kelembagaan kolaborasi.

Pengelolaan kolaboratif

Persepsi stakeholder Aturan yang berlaku


Partisipasi stakeholder mengenai pengelolaan
Relasi stakeholder kolaborasi
Kesenjangan antar stakeholder

Keterangan:
: mempengaruhi
: dipengaruhi
Gambar 4. Bagan Alur Pemikiran Kajian Efektivitas Pengelolaan
Kolaboratif Taman Nasional Kutai
14

Analisis:
Judul penelitian Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional
Kutai menganalisis mengenai pengelolaan kolaboratif yang telah dilaksanakan di TNK
untuk dilihat apakah dalam pelaksanaan pengelolaan kolaboratif tersebut sudah dapat
dikatakan efektif atau tidak. Permasalahan pada pengelolaan kolaboratif di TNK adalah
belum tercapainya kesamaan presepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang status
kawasas dan kualitas komunikasi dan koordinasi antar pihak yang masih lemah. Hal
tersebut mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif di TNK masih berjalan
belum efektif dapat dilihat dari manfaat yang dihasilkan dimana baik manfaat ekonomi
maupun sosial belum memperlihatkan manfaat yang besar. Serta dalam pengamanan
kawasan pun masih belum efektif. Belum adanya kesamaan persepsi dari para
pemangku kepentingan sehingga aspirasi dari beberapa pihak pun belum terkoordinir
dengan baik. Penulis melakukan analisis stakeholder dilakukan dengan membagi
stakeholder menjadi tiga yakni stakeholder utama, stakeholder pendukung, dan
stakeholder kunci. Untuk analisis stakeholder telah jelas karena terdapat pula analisis
pembobotan dan pengaruh setiap stakeholder.

5 Judul : Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam Peningkatan


. Efisiensi dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah Pesisir
Tahun : -
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Gatot Dwi Hendro Wibowo
Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Jurnal Hukum
Volume (Edisi) : 16(01) 127 – 144
Halaman
Alamat URL : http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/G
atot%20Dwi%2
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Tulisan berjudul Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam Peningkatan Efisiensi
Dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah Pesisir membahas mengenai aspek-aspek hukum,
kelembagaan, dan efektifits dalam pengelolaan wilayah pesisir. Hukum bukan hanya
dilihat sebagai kaidah melainkan juga lembaga serta proses dan prosedur yang
mewujudkan hukum dalam kenyataan. Hubungan antara lembaga dan hukum dilihat
dari legitimasi dan wewenang dimana tanpa legitimasi dan wewenang lembaga tidak
memiliki arti apa-apa. Sedangkan efektifitas dan efisiensi merupakan hasil dari sebuah
pendekatan kelembagaan tersebut. konsep wewenang terdiri dari tiga komponen yaitu
pengaruh, hukum, dan konformitas hukum. Dalam hukum administrasi terdapat dua
cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (3) menyebutkan :” bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan penggunaan
kata “dikuasai” tersebut maka melegitimasikan kekeuasaan negara atas pengelolaan
sumberdaya alam. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, mengatur tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
15

Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Dalam undang-undang ini, negara mempunyai


kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, selain itu negara juga
mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alam sesuai kebijaksanaan
lingkungan dan tetap pada kewajuban dalammelindungi dan melestarikan. Dibidang
penataan ruang, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
walaupun tidak secara ekplisist menerangkan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan
perairan. Maka untuk menemukan dasar hukum dan wewenang dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir diperlukan metode penafsiran hukum. Pasal 8 (ayat 1)
menyebutkan bahwa “sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta pengaturannya ditentukan oleh
Pemerintah”, berdasarkan undang-undang tersebut mengandung arti bahwa pengelolaan
bersifat sentralistik. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1), pemerintah
pusat dapat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah melalui pemberian
mandat dan wewenang. Terdapat perbedaan pada aspek muatan antara Undang Undang
nomor 5 Tahun 1990 yang mengedepankan aspek “conservation”, sedangkan undang-
undang perikanan yakni Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tampaknya lebih
mengedepankan “sustainable use”.
Terdapat peluang untuk melimpahkan wewenang tertentu baik secara mandat
kepada perangkat wilayah yang ada di daerah maupun pemberian secara delegasi
kepada Pemerintah Daerah. Pasal 12 ayat (1), menyebutkan, bahwa :”untuk
mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang
pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan
dapat : a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada
perangkat wilayah (mandat), b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk
membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan di daerah
(mandat)”. Pasal 13 ayat (1) menegaskan,: ”dalam rangka pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah
Daerah menjadi urusan rumah tangganya (delegasi)”. Berkaitan dengan wewenang
daerah dalam pengelolaan sumberdaya lautan, tercantum dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004,
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437). Ketentuan Pasal 18 ayat (1)
menyebutkan : Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
mengelola sumberdaya di wilayah laut. Dengan demikian, dilihat dari hukum tatanegara
mapun hukum administrasi negara, perumusan norma Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 menunjukkan adanya desentralisasi di bidang lautan,
dan daerah memperoleh kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut secara
“atributif”.
Berdasarkan hasil inventarisasi, institusi yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan, antara lain : Departemen Energi dan Sumberdaya
Mineral, Departemen Perhubungan, Kementerian Negara Pariwisata Seni dan Budaya,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Luar Negeri,
Departemen Pertahanan, TNI AL, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan,
Kementerian negara Koperasi dan PPK, Bdan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Tenaga Kerja dan Administrasi,
Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Menko EKUIm Bappaenas, Kepolisian
(Polairud), Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional (LEMHANAS), masing-
masing stakeholder tersebut berhubungan dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan
16

pesisir dengan kewenangan dan tanggung jawab serta cakupan teritorial laut yang
berbeda satu sama lain.

Hukum perundang-undangan Wewenang dan legitimasi Desentralisasi

Kelembagaan Keterpaduan dan koordinasi


pengelolaan pesisir

Keterangan :
: mempengaruhi
Gambar 5. Bagan Alur Pemikiran Aspek Hukum Dan Kelembagaan
Dalam Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah
Pesisir

Analisis:
Terdapat beberapa undang-undang yang menjelaskan pengelolaan sumberdaya
pesisir dilakukan secara setralistik oleh pemerintah pusat dengan tujuan untuk
kesejahteraan rakyat. Akan tetapi pada era otonomi daerah muncul undang-undang
yang memberikan legitimasi dan wewenang kepada pemerintah daerah utuk melakukan
pengelolaan secara mandiri. Harus terdapat kesamaan pandangan terhadap undang-
undang sebagai landasan hukum untuk melakukan pengelolaan pesisir ini, karena
perbedaan pemahaman mengenai undang-undang terkadang akan menimbulkan
tumpang tindih peraturan yang akan menghamabat pengelolaan kawasan pesisir dan
memberikan dampak negatif terhadap kawasan pesisir.
Permasalahannya adalah kebijakan mengenai kelautan masih berjalan sendiri-
sendiri, dan beberapa institusi negara yang berkepentingan dengan pesisir dan laut
cenderung hanya membuat kebijakan yang bersifat sektoral. Kebijakan yang tumpang
tindih dan berjalan sendiri-sendiri ini mengakibatkan konflik kepentingan serta
kerusakan lingkungan dan ekosisistem laut dan pesisir akibat kegiatan eksploitasi.

6. Judul : Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan


Daerah Aliran Sungai Citarum
Tahun : 2010
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Sam’in Jaja Raharja
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Jurnal Bumi Lestari
Volume (Edisi) Halaman : 10(02) 222 – 235
Alamat URL : http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/1
25
Tanggal Unduh : 9 September 2014
17

Ringkasan:
Relasi antar organisasi pengelola DAS Citarum dan pendekatan kolaborasi
dalam pengelolaan DAS Citarum merupakan hal yang dibahas dalam penelitian ini.
Konsep kolaborasi dinilai sesuai untuk pengelolaan daerah aliran sungai karna
kolaborasi dilihat sebagi konsep yang mampu memecahkan konflik dan membangun
kerjasama antar stakeholder. Sementara untuk melihat relasi atau network dijelaskan
sebagai cara para stakeholder berinteraksi satu sama lain untuk mempengaruhi
kebijakan, pola struktur yang muncul dalam sistem sosial politik sebagai upaya
intervensi dan interaksi seluruh aktor yang terlibat, koordinasi secara formal dan
informal, serta konsep yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial dan peran
negara di dalamnya. Pengelolaan pada tulisan ini merupakan padanan dari kata
manajemen yang merupakan tindakan-tindakan perencanaan pengorganisasian,
menggerakkan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan sasaran melalui
pemanfaatan sumderdaya manusia dan sumberdaya lainnya. Pengelolaan daerah aliran
sungai diartikan sebagai kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawsan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang berkaitan dengan daerah aliran
sungai terseut. Stakeholder dalam pengelolaan daerah aliran sungai dikelompokan
menjadi: 1) Penyedia layanan; 2) Pengatur; 3) Perencana; 4) Organisasi pendukung; 5)
Para pemakai. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan fokus
analisis organisasi. Data diperoleh dengan kuisioner, wawancara mendalam, dan diskusi
stakeholder.
Daerah Aliran Sungai Citarum terletak di Jawa Barat dengan organisasi
pengelola dikelompokan dalam 7 kelompok besar; 1) Instansi Pusat; 2) Instansi
Provinsi; 3) Instansi Kabupaten/Kota/Desa; 4) BUMN; 5)BUMD; 6)LSM Regional; 7)
LSM Lokal. Dalam pengelolaan DAS Citarum ditemukan persoalan kekosongan peran,
tumpang tindih peran dan pemanfaatan, dan konflik perencanaan, hal tersebut
dikarenakan keterlibatan stakeholder yang belum optimal, serta koordinasi stakeholder
yang juga belum optimal. Terkait efektivitas pelaksanaan pengelolaan DAS Citarum
hasil penelitian menunjukan pelaksanaan pengelolaan tumpang tindih karena hubungan
kerja yang belum tertata baik, komunikasi yang belum efektif, tidak ada sistem
imabalan dan hukuman sehingga pengawasan belum berjalan efektif, kesepakatan tidak
memiliki sangsi dan konsekuensi. Dalam hal kerjasama yang kolaboratif, hasil
penelitian menunjukan bahwa pengelolaan DAS Citarum terkotak-kotak pada instansi
yang ego sektoral dan menguntungkan organisasinya sendiri, kesulitan merumuskan
kesepakatan yang memuaskan semua pihak, tidak semua kepentingan organisasi
tertampung dalam tujuan kerjasama.
Pada proses perencanaan keterlibatan stakeholder tidak imbang maka keputusan
yang muncul berasal dari instansi yang dominan. Dalam proses pengorganisasian
terlihat kurang efektifnya komunikasi antar organisasi yang mengakibatkan masing-
masing organisasi menjadi kurang memahami pembagian tata kerja. Dalam pelaksanaan
terlihat tumpang tindih dan menunjukan pengelolaan yang masih bersifat sektoral.
Kemudian pada proses pengawasan dan pengendalian terlihat kurang efektif karena
kurangnya koordinasi partisipatif multi sektor dan ketidakmampuan untuk memantau
ketataan dan kosistensi organisasi lain. Dan pada proses kolaborasi menujukan
organisasi-organisasi yang terlibat masih sangat mengedepankan kepentungan
organisasi mereka sendiri, kurangnya komitmen kerja sama, serta interaksi antar aktor
yang juga belum berjalan dengan baik.
Untuk melakukan pendekatan kolaborasi dalam pengelolaan DAS Citarum maka
dilakukan dengan perubahan mindset tiap organisasi untuk merumuskan tujuan bersama
18

dengan stakeholder yang saling mendukung dengan syarat komitmen yang tinggi, saling
percaya, struktur kapasitas memadai, tujuan bersama yang jelas, pengambilan keputusan
yang demokratif, dan tata kelola kolaboratif.
Kolaborasi menurut Tadjudin (2000) adalah tindakan bersama beberapa pihak
atas suatu sumberdaya yang sulit apabila dilakukan secara individual dan didasarkan
dengan prinsip menang-menang. Mashal (1995) evektivitas kolaborasi didasarkan pada
asumsi: 1) Keterlibatan semua pihak dalam tahap stratejik hingga implementasi; 2)
Kesejajaran tujuan dan pandangan; 3) Komitmen pada transformasi seluruh aspek
organisasi; 4) Tindakan berdasarkan “result driven”; 5) Real work done real time.
Untuk menjalankan proses kolaborasi, menurut Huxham Vangen (1996) terdapat enam
hal, yaitu : (a) Managing aims (menetapkan maksud, tujuan, dan sasaran); (b)
Compromise (cara, gaya, norma dan kultur); (c) Communication (komunikasi untuk
menumbuhkan pemahaman yang sama dan untuk menghindari tragedi of commons); (d)
Democracy and equality (memperjelas siapa saja stakeholder yang terlibat, melihat
kesetaraan dan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pengambilan keputusan);
(e) Power and trust (kesejajaran dan kontribusi yang sesuai dengan kapasitas serta
pengendalian diri); (f) Determnaton commitment and stamina (komitmen untuk
bekerjasama. Analisis keefektifan kekegiatan kolaborasi dilihat pada tahapan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian).

Pendekatan kolaborasi Sungai Citarum

Analisis stakeholder Analisis relasi antar stakeholder


Pengelompokan stakeholder Sinkroniasi pelaksanaan
Kewenagan stakeholder Komunikasi efetif
Keterlibatan stakeholder Sistem imbalan dan hukuman
Koordinasi stakeholder Implementasi kesepakatan

Keterangan :
: dilakukan dengan
Gambar 6. Bagan Alur Pemikiran Pendekatan Kolaboratif dalam
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum

Analisis:
Penelitian ini memaparkan dengan jelas analisis stakeholder, pelaksnaan
pengelolaan kolaborasi, serta kendala dalam pengelolaan DAS Citarum. Namun dalam
pengelolmpokan stakeholder, penulis mengelompokan stakeholder menjadi 1) Penyedia
layanan; 2) Pengatur; 3) Perencana; 4) Organisasi pendukung; 5) Para pemakai,
pengelompokan ini kurang tepat untuk dapat membedakan siapa saja yang menjadi
stakeholder primer dan siapa saja yang menjadi stakeholder sekunder.
Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan kolaborasi yang dilakukan pada
sungai Citarum adalah organisasi-organisasi pengelola masih memiliki perbedaan
presepsi visi dan misi pengelolaan sehingga kerap terjadi benturan kepentingan
pemanfaatan dan pengendalian hal ini terjadi karena belum adanya kesepakatan
kerangka kerja sama dari setiap organisasi pengelola, organisasi kurang bekerja sama
dan kurang berkomitmen serta tidak semua organisasi memiliki kapasitas kerja sama.
19

Dalam pengelolaan kolaborasi di Citarum pada tahap perencanaan, partisipasi


masyarakat masih kurang dan terlihat adanya suatu instansi yang dominan. Pada tahap
pengorganisasian terdapat ketidakjelasan pembagian kerja. Pada tahapan pelaksanaan
terjadi tumpang tindih dan pelakasanaan pengelolaanya bersifat sektoral.

7. Judul : Studi Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir


Kabupaten Minahasa Selatan
Tahun : 2010
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Swenekhe Sandra Durand
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Jurnal Perikanan dan Kelautan
Volume (Edisi) Halaman : 06(01) 1 – 7
Alamat URL : http://download.portalgaruda.org/article.php?arti
cle=16731&val=1044
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Sumberdaya pesisir terdiri dari suberdaya alam yang dapat pulih dan tidak pulih,
sumberdaya pulih berupa sumberdaya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska,
krustasea, mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu
karang. Dan yang tidak dapat pulih antara lain minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah,
bauksit, mineral, dan bahan tambang lainnya (Dahuri, 2014).
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan letak geografis yang sangat
strategis dan memiliki kekayaan sumberdaya alam baik hayati dan non hayati yang
sangat tinggi. Seperti terumbu karang, mangrove, estuaria, padang lamun, mineral,
minyak bumi dan lainnya yang telah menjadi sumber pendapatan masyarakat. Kekayaan
sumberdaya alam yang berada pada perikanan dan kelautan di Sulawesi Utara menjadi
salah satu program unggulan pembangunan ekonomi Sulawesi Utara, salah satunya di
Minahasa Selatan yang merupakan daerah otonomi baru dari pemekaran Kabupaten
Minahasa. Sebagai daerah otonom baru, Minahasa Selatan harus dapat
mengembangakan wilayahnya dengan dukungan sumberdaya alam yang ada salah
satunya dengan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir. Permasalahan yang dibahas
dalam tulisan ini adalah potensi sumberdaya alam di kawasan pesisir serta bagaimana
strategi pengembangan dalam rangka menujang pertumbuhan ekonomi daerah.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan peneliti mengembangkan konsep
serta menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan uji hipotesa. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara berstruktur dan tidak berstruktur, observasi dan studi
dokumentasi terkait data data yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Analisis data
dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan cara interpretasi terhadap data,
fakta, dan informasi memalui pemahaman intelektual atas dasar pengalaman empiris.
Sumberdaya laut tidak hanya terbatas pada ikan, tetapi masih terdapat unsur
lainnya. Untuk melakukan pemanfaatan serta pengelolaan yang efisien terhadap
sumberdaya alam pesisir diperlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang mengedepatkan
keberlanjutan guna mendukung perkembangan ekonomi di kawasan pesisir Minahasa
Selatan. Potensi yang dapat dikembangan di wilayah ini diantaranya adalah mangrove
yang dapat ditemukan hampir di sepanjang sungai di Kabupaten Minahasa Selatan, dan
terumbu karang yang dapat juga ditemukan di sepanjang pantai akan tetapi terumbu
20

karang tersebut banyak terdapat kerusakan akibat pemboman, pembiusan dan


pengambilan untuk bahan bangunan, kemudian terdapat pula padang lamun yang
merupakan habitat ikan duyung dan penyu hijau akan tetapi ekosistem inipun telah
mengalami banyak kerusakan yang diakibatkan oleh pengembangan sarana pariwisata
seperti jalan air bagi perahu pembawa wisatawan maupun nelayan setempat.
Masayarakat perikanan di Minahasa selatan secara umum melakukan 4 kegiatan
perikanan yaitu budidaya, penangkapan, pedagang dan pengolah ikan. Komodti hasil
olahan ikan di Minahasa adalah Ikan Kayu, Ikan Asap, Ikan Asin, dan hasil fermentasi.
Untuk kegiatan bududaya banyak dilakukan di sungai-sunagi atau waduk sebagai
tempat budidaya kolam maupun keramba jaring apung. Masih terdapat banyak
sumberdaya pesisir yang belum termanfaatkan dengan baik seperti rumput laut,
teripang, mutiara dan komoditi ikan lainnya. Kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir
di Minahasa Selatan ini masi berupa kegiatan yang bersifat tradisional. Daerah
Perlindungan Laut (DPL) dinilai tepat guna meningkatkan produksi perikanan serta
melindungi keanekaragaman makhluk hidup di daerah perlindungan laut.

Potensi smberdaya alam pesisir Pengembangan dan

pertumbuhan ekonomi daerah

Sumberdaya manusia

Keterangan:
: mempengaruhi
Gambar 7. Bagan Alur Pemikiran Studi Potensi Sumberdaya di
Kawasan Pesisir Kabupaten Minahasa Selatan

Analisis:
Minahasa Selatan sebenarnya memiliki beragam potensi yang dapat
dikembangakan dalam meningkatkan efektifitas dan efisensi sumberdaya alam pesisir.
Akan tetapi kegiatan masyarakat masih belum luas dalam melakukan pemanfaatan serta
masih terdapat kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang berdampak pada kerusakan
lingkungan. Untuk melihat bagaimana strategi pengembangan sumberdaya alam di
kawsan pesisir Minahasa selatan seperti yang diutarakan pada perumusan masalah,
penelitian ini dirasakan kurang mendetail karna tidak menjelaskan sisi stakeholder yang
berperan dan strategi pembangunan tersebut. Penelitian mengenai stakeholder dirasa
perlu dikaitkan dalam penelitian ini guna lebih memperdalam bagaimana strategi
pembangunan yang seharusnya dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di
Minahasa Selatan, siapa dan bagaimana peran serta tanggungjawab setiap stakeholder
guna mengembangkan kawasan pesisir dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi
daerah.

8. Judul : Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Barru


Melalui Klaster Pengkapan Ikan Laut
Tahun : 2008
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
21

Nama Penulis : Supomo


Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Ekuitas
Volume (Edisi) : 12(02) 274 – 294
Halaman
Alamat URL : http://www.stiesia.ac.id/jurnal/index.php/article/
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Tulisan ini membahas mengenai pengembangan wilayah pesisir pada era
otonomi daerah dimana daerah memeiliki kewenangan untuk mengambil keputusan
lebih cepat dan tepat serta mengutamakan kondisi wilayah. Dengan berlakunya undang-
undang otonomi daerah maka pembangunan daerah menjadi tanggung jawab
pemerintahan Kabupaten atau Walikota. Undang-undang No 22 Tahun 1999
memberikan kesempatan untuk pemerintah daerah menjadi lebih besar dalam mengelola
wilayahnya, pengelolaan menjadi tugas dan tanggung-jawab Pemerintah Daerah
Kabupaten atau Walikota setingkat kabupaten. Otonomi daerah merupakan rangkaian
suatu upaya pembangunan daerah tanpa terlepas dari tujuan pembangunan nasional.
Otnomi daerah mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih cepat, tepat, dan
mengutamakan kondisi wilayah daerah tersebut sesuai potensi dan permasalahan
wilayah dengan memperhitungkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia kapabilitas masyarakat dan dunia usaha, produk unggulan daerah yang
potensial untuk dikembangkan, maupun basis ekonomi rakyat.
Untuk mengoptimalkan sumberdaya pesisir yang telah ada perlu diimbangi
dengan kemapuan daya saing produk unggulan daerah, dan untuk wilayah kabupaten
Barru ini salah satunya dicapai melalui kluster industri. Dalam penelitian, penulis
melakukan penelitian yang difokuskan pada analisis kluster penangkapan ikan laut
karena jumlah nelayan lebih banyak dibandingkan jumlah budidaya tambak dan
budidaya laut. Rumusan masalah yang dibahas adalah seberapa jauh keberhasilan
Pemda Kabupaten Barru bersama dengan stakeholder dalam mengembangkan sektor
kelautan dengan klaster sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan
sampai seberapa jauh komitment Pemda Kabupaten Barru dalam amanat pembangunan
daerah dengan mengembangkan sektor yang berbasis pada ekonomi rakyat. Tujuan dari
tulisan ini adalah nanatinya untuk memancing perhatian masayarakat, para pejabat
eksekutif dan legislatif yang mempunyai otoritas agar konsekwen dengan tugas
pembangunan daerah berbasis ekonomi rakyat untuk nantinya dapat menemukan
alternatif arah kebijakan untuk pembangunan wilayah.
Pada landasan teori dijelaskan pengembanuangn wilayah sebagai konsep untuk
mengembangkan kapasitas wilayah dengan mengoptimalkan sumberdaya dan peranan
stakeholder dalam peningkatan produktifivitas daerah sesuai dengan sumberdaya
unggulan daerah tersebut. strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan
dengan pendekatan struktural dan non struktural. Pendekatan struktural yang merupakan
pendekatan yang melibatkan pihak yang berwenang dilihat lebih efektif pada tahap
awal, dan pendekatan non struktural yang lebih menitik beratkan pada pemberdayaan
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat ikut serta dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Pada pendekatan struktural dibutuhkan langkah-langkah
berupa pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumberdaya laut, sumberdaya
ekonomi, proses pengambilan keputusan, serta informasi. Selain itu juga perlu
22

pengembangan kapasitas kelembagaan dan pengembangan jaringan pendukung. Pada


pendekatan non struktural yang dibutuhkan adalah peningkatan pengetahuan dan
wawasan lingkungan, pengembangan keterampilan masyarakat pesisir, pengembangan
kapasitas masyarakat pesisir, pengembangan kualitas diri, peningkatan motivasi
masyarakat pesisir untuk berperan serta, dan penggalian serta pengembangan nilai
tradisional masyarakat pesisir.
Kluster industri didefinisikan sebagai jaringan dari sehimpunan industri, pihak
lembaga serta institusi yang terkait dengan suatu sumberdaya yang memiliki hubungan
baik bisnis maupun non bisnis. Industri-industri dalam kluster industri ini dikelompokan
menjadi: 1) Industri inti yang merpakan titik kajian dan sentra produksi, dan sebagai
industri yang maju; 2) Industri pemasok yang merpakan pemasok produk khusus seperti
bahan baku, bahan tambahan dan aksesoris yang merupakan pendukung kemajuan
kluster; 3) Pembeli yang dapat berupa distributor atau pemakai langsung; 4) Industri
pendukung; 5) Industri terkait yang merupakan bersifat berhubungan bisnis tidak
langsung berupa kompetitor, komplementer, dan distributor yang menggunakan
infrastruktur sama dengan industri inti; 6) Lembaga pendukung. Pengembangan model
kluster industri ini dinilai lebih baik untuk mengelola industri unggulan di suatu wilayah
karena dinilai mampu melibatkan seluruh stakeholder yang terkait dan setiap
stakeholder akan bertindak proposional.
Penelitian ini dimulai dengan studi literatur kemudian bekerja sama dengan
pemerintah daerah Kabupaten Barru menyelenggarakan forum grup diskusi dengan
beberapa pakar kluster industri, pejabat-pejabat pemerintah daerah, dan pelaku usaha di
bidang perikanan laut. Penduduk di Kabupaten Barru ini sebagian besar bekerja pada
sektor perikanan dan pertanian, maka kedua sektor inilah ynag dikembangankan terlebih
dahulu sebagai basis ekonomi rakyat. Dalam tulisan yang membahas mengenai klaster
penangkapan ikan laut ini dapat dilihat adanya kolaborasi pihak-pihak yang mendukung
model kluster industri di wilayah Kabupaten Barru ini, yakni 1) Industri inti yaitu
penangkapan ikan laut yang merupakan jenis usaha perorangan yang masih
menggunakan peralatan tradisional; 2) Industri terkait yakni budidaya perikanan laut
dan perikanan tambak sebagai industri pesaing tetapi bisa juga sebagai industri
pelengkap; 3) Industri pemasok yakni industri pembuat kapal ikan, bengkel kapal,
bahan bakar, pembuat jaring, toko sembako, dan pabirk es; 4) Lembaga pendukung
yakni Pemda Kab Barru, Koprasi Nelayan, Kadin, USP, ponggawa bonto, Siss contact,
dan Kadin; 5) Industri pendukung yakni BPR, BRI, BDS,dan AFl yang melakukan
pendampingan dan mencarikan pemasaran; 6) Pembeli yakni Phili-cold storage, pasar
lokal dan domestik, sentra pengeringan ikan, industri kerupuk ikan, dan industri pakan
ikan. Model kluster industri ini dinilai efektih jarena para stakeholder mengetahui posisi
dan daya tawarnya masing-masing sehingga tidak akan bersikap saling merugikan.
Akan tetapi terlihat pula beberapa faktor yag menjadi faktor penghambat model klaster
industri ini yaitu pendidikan nelayan yang relatif masih rendah dan kurang mampu
menyerap informasi, para buruh nelayang yang bekerja pada pemilik kapal dengan upah
rendah, musim angin berat yang menghambat aktivitas nelayan, dan mutu produk belum
memadai penanganannya.
Untuk mengoptimalisasi model kluster industri ini maka pemerintah daerah
melakukan pendampingan terhadap masyarakat pesisir guna meningkatkan kualiatas
nelayan serta meningkatkan mutu hasil produk. Selain itu pemerintah pun berperan
dalam upaya meningkatkan partisipasi stakeholder agar kegiatan kolaborasi saling
menunjang.
23

Otonomi daerah Pengembangan sektor perikanan kelautan


melalui model klaster industri

Komitmen Pemda Kendala lain Stakeholder


untuk peningkatan Kondisi alam Pengelompokan stakeholder
partisipasi stakeholder Potensi stakeholder

Keterangan :
: mempengaruhi
Gambar 8. Bagan Alur Pemikiran Pengembangan Wilayah Pesisir
Kabupaten Barru Melalui Klaster Pengkapan Ikan Laut

Analisis:
Penelitian mengenai pengelolaan klaster wilayah laut ini dapat dijadikan sebagai
suatu bentuk pengelolaan kolaborasi sumberdaya pesisir dimana dalam penulisan
penelitian pun telah dianalisis stakeholder serta pengelompokan stakeholder dalam
mengelola dan memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dalam hal in adalah ikan
laut. Akan tetapi penelitian ini kurang memaparkan bagaimana tahapan-tahapan
kolaborasi dalam pengelolaan klaster ini berlangsung.
Permasalahan yang ada pada pengelolaan ini adalah pendidikan dan pendpatan
nelayan yang masih rendah dan metode penangkapan ikan dengan bom yang dapat
merusak lingkungan. Maka pemerintah daerah harus lebih turun tangan untuk
melakukan.

9. Judul : Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya


Alam: Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan
Tahun : -
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Baharudin Nurkin
Kota dan Nama : -
Penerbit
Nama Jurnal : Perrenial
Volume (Edisi) : 2(1) 25 – 30
Halaman
Alamat URL : http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennial/article
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Otonomi daerah dinilai baik untuk mendukung percepatan pembangunan bagi
masyarakat setempat. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia terwujud dimulai dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
tahun 1999 yang mengatur keuangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. kedua
peraturan perundang-undangan tersebut mempertegas desentralisasi berada pada tingkat
kabupaten. Tulisan ini dibuat dengan studi literatur yang menyangkut desentralisasi dan
memilih lokasi Provinsi Sulawesi Selatan sebagai studi kasus. Desentralisasi diharapkan
24

menjadi penyeleseian dalam permasalahan pembuatan keputusan yang kurang tepat


dengan kebutuhan daerah dimana negara mentransfer kekuasaanya dalm pengambilan
keputusan dari tingkat pusat ke tingkat daerah dan kemudian kebutuhan masyarakat
dapat termobilisasi lebih baik. Begitupun halnya dengan pengelolaan sumberdaya alam
dengan adanya desentralisasi maka pemerintah daerah diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya serta menerapkan pengelolaan sumberdaya
alam dengan keputusan yang lebih dekat dengan masyarakat. Sehingga desentralisisasi
dapat mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif dan pemerataan pendapatan
masyarakat lokal dari pemanfaat sumberdaya alam yang ada. Kelemahan dari
desentralisasi yang dapat menyebabkan penyimpangan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam adalah: 1) Tanggung jawab yang lemah dari pemerintah
daerah terkait kewenangan dan kemampuan dalam pengelolaan dan kelembagaan lokal
yang kurang memadai; 2) Eksploitasi sumberdaya alam karena obsesi meningkatkan
pendapatan daerah; 3) Eksternalitas yang memihak pada satu sektor. Penelitian ini
memilih sumberdaya hutan untuk diteliti karena hutan dinilai sebagi suatu sumberdaya
yang strategis. Pada PP No. 25 tahun 2000 pemerintah mengatur kewenangan provinsi
sebagai daerah otonom dalam mengelola hutan, provinsi bertugas dalam melakukan
pengawasan pengelolaan hutan yang dilakukan kabupaten. Studi yang dilakukan oleh
CIFOR dan UNHAS mengungkapkan terjadi berbagai kerancuan dalam pelaksaan
desentralisasi demana pemerintah kabupaten menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu
keuntungan untuk pemerintahan daerah sehingga pemerintah daerah cenderung
membuat perda yang menguntungkan pemerintah daerahnya sendiri. Di Provinsi
Sulawesi Selatan terjadi perselisihan anatara pemerintahan atau dinas kehutanan tingkat
provinsi dengan tingkat kabupaten. Contoh kasusnya dalah program reboisasi dan
konversi lahan yang ditetapkan pemerintah provinsi yang tidak diketahui pemerintah
kabupaten. Desentralisasi pun menjadikan pemanfaatan sumberdaya menjadi tidak
terkendali bahkan keputusan pemerintah daerah yang memperbolehkan pemanfaatan
bahan tambang golongan C, perizinan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
daerah seperti yang terjadi di kabupaten Gowa yang mendapat penerimaan lebih dari
Rp. 5 milyar pertahun. Akan tetapi hal ini menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Untuk mengatasi dampak negtaif dari penyimpangan desentralisasi ini maka diperlukan
pengendalian dengan cara: 1) Pembuatan pedoman yang jelas dan rinci tentang hak,
kewajiban, dan peranan dari pemerintah, swasta, dan masyarakat; 2) Membuat pedoman
yang menjamin pengelolaan yang berkelanjutan dan melibatkan masyarakat maupun
swata secara aktif; 3) Membuat pedoman yang menjamin pelestarian sumberdaya alam.

Otonomi daerah Pengelolaan SDA oleh Pemda

Positif Negatif

Keterangan :
: mempengaruhi
: berakibat
Gambar 9. Bagan Alur Pemikiran Otonomi Daerah Dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kasus Pengelolaan Hutan Di
Sulawesi Selatan
25

Analisis:
Penelitian menunjukan adanya dampak positif dan negatif dari penerapan
desentralisasi. Dalam penelitian kurang melakukan analisis pendakatan stakholder
sehingga kurang mendalam dalam menganalisis permasalahan apa yang sebenarnya
terjadi dalam sistem desentralisasi pada otonomi daerah ini. Dengan menganalisis
stakeholder tentunya akan terlihat pihak mana yang paling berpengaruh pada berjalan
baik atau terjadi penyimpanagn pada desentralisiasi dalam mengelola sumberdya alam.

10. Judul : Kebutuhan Riset Untuk Mendukung


Implementasi Pengelolaan Sumberdaya
Peisisir Dan Lautan Secara Terpadu
Tahun : 1998
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Rokhmin Dahuri
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Pesisir dan Lautan
Volume (Edisi) Halaman : 2(1) 61-77
Alamat URL : www.crc.uri.edu
Tanggal Unduh : 9 September 2014

Ringkasan:
Penulis penelitian ini menilai wilayah pesisir sebagai wilayah yang paling padat
dihuni manusia sekitar 60% penduduk dunia tinggal di wlayah ini. Padatnya penduduk
yang menempati wilayah pesisir ini dikarenakan: 1) Pesisir merupakan wilayah yang
secara biologis paling produktif di permukaan bumi; 2) Wilayah pesisir memiliki
kemudahan aksesibilitas bagi indsutri, pemukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya;
3) Wilayah pesisir memiliki panorama keindahan untuk rekreasi dan pariwisata.
Begitupun dengan wilayah pesisisir di Indonesia, wilayah pesisir di Indonesia banyak
menjadi tujuan pariwisata namun hal tersebut menyebabkan kerusakan di wilayah
pesisir karena pengelolannya yang cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi.
Maka untuk menanggulangi hal tersebut perlu adanya pengelolaan pesisir secara
terpadu. Untuk menerapkan prinsip pengelolaan tersebut maka memerlukan informasi
yang akurat baik dari sisi permintaan terhadap sumberdaya alam pesisir dan dari sisi
kemampuan menyediakan permintaan yang dimaksud.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir yang pertama harus dilakukan adalah
menentukan batas wilayah yang akan dikelola. Terdapat dua batas yaitu batas sejajar
garis pantai dan batas tegak lurus garis pantai tetapi untuk batas garis tegak lurus garis
pantai belum ada kesepakatan. Untuk melakukan pengelolaan wilayah pesisir sebaiknya
tidak menggunakan batasan wilayah pesisir secara kaku namun pembatasan ditetapkan
atas dasar tujuan pengelolaan itu sendiri. Misalnya batas daerah perencanaan dan batas
pengaturan atau pengelolaan. Karakteristik wilayah pesisir: 1) memiliki kekayaan hayati
dan non hayati; 2) biasanya terdapat lebih dari 2 sumberdaya alam dan jasa; 3) terdapat
lebih dari satu kelompok masyarakat dengann keterampilan yang berbeda; 4)
pemanfaatan secara monokultur sangat rentan; 5) umumnya merupakan sumberdaya
milik bersama dan open accses. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu
memiliki tujuan untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan yang didefinisikan oleh World Commision on Environment and
development (1987) “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
26

merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi


kebuthannya”. Dalam mewujudkan pengelolaan pesisir secara terpadu sumberdaya
manusia didalamnya diarahkan untuk mengatasi: 1) lemahnya pengelolaan eksplorasi
dan produksi sumberdaya alam; 2) lemahnya pengelolaan terhadap pencemaran; 3)
pengelolaan perubahan bentang alam; 4) pendekatan sistem interdisipliner untuk
perencanaan dan pengelolaan pesisir terpadu.

Informasi
Karakteristik wilayah pesisir Tata ruang pengelolaan
Persyaratan ekologis pembangunan
Potensi SDA
Pemanfaatan SDA
Daya dukung lingkungan Pengelolaan Pesisir terpadu

Keterangan :
: mempengaruhi
Gambar 10. Bagan Alur Pemikiran Kebutuhan Riset Untuk
Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Peisisir Dan
Lautan Secara Terpadu

Analisis:
Tulisan penelitian tersebut mengedepankan aspek-aspek apa yang mendukung
utuk penguatan informasi guna penelitian terkait pengelolaanvwilayah pesisir secara
terpadu . Namun sama sekali tidak menyinggung manajemen kolaborasi sebagai model
pengelolaan pesisir secara terpadu, padahal manajemen kolaborasi mampu dijadikan
model pengelolaan untuk menghasilkan pesisir yang berkelanjutan.
27

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN


Batasan Wilayah Pesisir

Pesisir merupakan suatu wilayah yang berada sepanjang garis pantai dimana
mendapat pengaruh daratan dan lautan.Sara (2014) wilayah pesisir merupakan wilayah
antara darat dan laut dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan yang kering
maupun basah yang masih terpengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air dan juga terdapat vegetasi yang khas dan batasan kearah laut dimana ciri
perairan ini masih dipengaruhi sifat-sifat daratan seperti sedimentasi air tawar dan
aktifitas manusia. Beatley, et al. (2002) dalam Sara (2014) mendefinisikan wilayah
pesisir sebagai wilayah dinamik daratan, air, dan udara saling berhubungan dalam
keseimbangan yang mudah terganggu dan terpengaruh oleh aktifitas alam dan manusia.
Menurut Dahuri, dkk (2001) dalam Sara (2014) terdapat tiga pendekatan dalam
menentukan batas wilayah pesisir, yaitu:
1) Pendekatan ekologis: wilayah daratan yang masih terpengaruhi kondisi lautan, dan
wilayah lautan yang masih dipengaruhi wilayah daratan
2) Pendekatan administrasi: wilayah yang secara administrasi pemerintah batas terluar
sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah
laut sejauh 12 mil garis pantai untuk provinsi atau 1/3 untuk kabupaten/kota.
3) Pendekatan perencanaan: wilayah perencanaan pengelolaan yang difokuskan pada
penanganan yang bertanggung jawab.
Wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya baik hayati dan non hayati, baik
sumberdaya yang terbarukan ataupun tidak terbarukan. Sumberdaya-sumberdaya
tersebut memiliki pengaruh pada setiap pihak yang terlibat dan juga berpengaruh
terhadap keberlanjutan dalam segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Masyarakat sekitar
pesisir akan sangat terpengaruh oleh potensi sumberdaya alam yang ada di pesisir untuk
keberlangsungan kehidupannya. Begitupun dengan aktivitas manusia di sekitar pesisir
akan sangat berpengaruh pada kelestarian pesisir.

Peraturan Pengelolaan SDA Pesisir

Pesisir adalah salah satu wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah di
Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan tentunya memiliki garis pantai yang luas
dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat maka untuk pengelolaan SDA pesisir
seperti halnya pengelolaan sumberdaya alam lainnya berlandaskan pada UUD 1945,
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (3) yang menyebutkan: ”bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam undang-undang
tersebut menyebutkan bahwa negara memiliki wewenang tertinggi dalam mengelolaan
suberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya pesisir. Pengelolaan disini
bertujuan agar pesisir memberikan manfaat bagi masyarakat baik dalam segi sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Pengelolaan yang dimaksud disini menurut Beattley, et al
(2002) dalam Sara (2014) bukanlah mengelola isi alamiah melainkan juga mengatur
tingkah laku manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi isi alamiah tersebut.Hal
tersebut pun sesuai dengan pendapat Sara (2014) yang menjelaskan pengelolaan
wilayah pesisir merupakan kegiatan manusia dalam upaya melindungi sumberdaya
wilayah pesisir untuk melindungi manusia dari bahaya pesisir. Selain tercantum dalam
28

Pasal 33 UUD 1945 tersebut, peraturan mengenai pengelolaan pesisir juga tercantum
pada:
1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, mengatur tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut). Dalam peraturan ini pun menguatkan kewajiban atas negara
untuk mengelola pesisir, dimana negara berkewajiban dalam melindungi dan
melestarikan lingkungan laut. Selain kewajiban tersebut negara pun memiliki hak
berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alam sesuai dengan kebijaksanaan yang
berlaku.
2) Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH). UULH dijadikan sebagai payung dalam peraturan
mengenai pengelolaan lingkungan dalam konteks pembangunan nasional. Dalam
UULH pun tertera pada Pasal 10 yang menjelaskan bahwa sumberdaya alam dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara juga
mengatur antara lain mengenai penggunaan, pengembangan, serta perbuatan hukum
dan hubungan hukum antara subjek hukum yang berkaitan dengan kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam.
3) Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 3
menyatakan bahwa “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas
tanggung jawab negara, berkelanjutan, dan asas manfaat”
Peraturan dan perundang-undangan diatas memaparkan bahwa negara memiliki
kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir.
Namun kemudian muncul peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi kewengangan wilayah daerah, peraturan
tersebut adalah:
1) Undang-Undang No. 22 tahun 1999 kewenangan pada pengelolaan pesisir dan
lautnya diberikan kepada daerah dalam mengelola pesisir dan laut sejauh 12 mil
untuk profinsi dan 4 mil untuk kabupaten.
2) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Melaui undang-undang ini sebagai intrumen perizinan yang
dapat memberikan kewenangan secara sepihak kepada masyarakat termasuk
didalamnya perizinan dalam kegiatan atau usaha yang memanfaatkan lingkungan
hidup.
Selain undang-undang diatas tersebut terdapat pula peraturan yang berkaitan
mengenai pengelolaan pesisir yakni Undang-Undang No 5 Tahun 1990 dan Undang-
undang No 31 Tahun 2004 yang didalamnya menunjukan muatan yang berbeda
,perbedaan terdapat pada aspek muatan antara Undang Undang nomor 5 Tahun 1990
yang mengedepankan aspek “conservation”, sedangkan undang-undang perikanan yakni
Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tampaknya lebih mengedepankan “sustainable
use”.
Tiga tipe dalam pengelolaan pesisir dan pantai menurut Shohwan et,al yaitu:
1) Integrated coastal management (ICM)
Model pengelolaan dengan tipe pemerintahan yang sentralistik, bersifat top-down.
Keputusan-keputusan yang muncul merupakan keputusan dari otoritas pemerintah
pusat. Tujuan dari tipe ini adalah meningkatkan aktivitas pembangunan, manusia,
biofisik, dan sektoral dengan lingkungan.
2) Community-based coastal resource management
29

Model ini merupakan pendekatan bottom-up, masyarakat mengelola sumberdaya


secara bertanggung jawab dan berkelanjutan dengan keputusan yang berasal dari
masyarakat.
3) Collaborative or Co-Management of Coastal Resources
Model ini melibatkan pemerintah dan masyarakat sebagai gabungan dari pendekatan
top-down dan bottom-up, pemerintah yang dilibatkan adalah pemerintah lokal
(pemda) yang bertanggungjawab pada kebijakan koordinasi dan dengan atas dasar
partisipasi antar pihak yang terlibat.
Dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir terdapat prinsip-prisnip
pengelolaan pesisir menurut Belfiore et al. (2006) dalam Sara (2014) adalah
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan baik dalam hal ekonomi, sosial dan
budaya tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan.
Pengelolaan pesisir melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan
kepentingan-kepentingan yang berbeda maka diperlukan landasan yang menjadi
patokan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir agar setiap kepentingan dapat
terakomodasi dengan baik dan tetap menjaga kelestarian lingkunan pesisir.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pengelolaan Pesisir

Meskipun pengelolaan SDA secara hukum atas landasan UUD 1945 yang
menyebutkan pengelolaan menjadi wewenang negara sehingga setiap kebijakan
keputusan dibuat secara sentralistik, namun dalam upaya mendorong pembangunan
nasional maka diwujudkanlan sistem otonomi daerah. Sistem pemerintahan otonomi
daerah dilaksanakan atas kesadaran bahwa masyrakat setempat lebih memahami
karakteristik wilayahnya maka keputusan yang dibuatpun akan lebih sesuai dengan
kebutuhan wilayah tersebut. Otonomi daerah sebagai upaya untuk mendorong
pembangunan nasional dimana daerah diberikan wewenang untuk dapat mengambil
keputusan yang lebih cepat, tepat dan mengutamakan kondisi wilayahnya. Maka
keberhasilan otonomi daerah dipengaruhi oleh kinerja aparatur daerah otonomi dimana
pembangunan daerah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten
atau Walikota setingkat kabupaten (Supomo, 2008).
Desentralisasi diartikan sebagai proses transfer atau pendistribusian wewenang
dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau organisasi
pemerintah bahkan swasta atau lebaga masyarakat agar keputusan lebih tanggap dengan
masyarakat. Sistem desentralisasi ini menjadi salah satu syarat keberhasilan manajemen
kolaboratif sumberdaya alam karena lembaga pemerintahan di tingkat daerah dinilai
lebih tanggap terhadap aspirasi masyarakat serta memiliki interaksi lebih intensif
dengan masyarakat (Tadjudin, 2000).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, menyebutkan :”Daerah berwenang
mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Begitupun untuk pengelolaan wilayah pesisir pada era desentralisasi berkaitan dengan
wewenang daerah dalam pengelolaan sumberdaya lautan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2004, Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) pada ketentuan Pasal
18 ayat (1) menyebutkan daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Pengelolaan wilayah pesisir juga diatur
dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1990 yang berlaku sejak tahun 2001 tentang
otonomi daerah, dalam peraturan perundang-undangan tersebut memberikan
30

kesempatan kewenangan lebih besar kepada daerah otonomi dalam mengelola pesisir
dan laut sejauh 12 mil untuk provinsi dan 4 mil untuk kabupaten.
Pemerinah daerah memiliki kewenangan dalam mengelola potensi yang dimiliki
daerahnya. Begitupun dalam pengelolaan pesisir, pemerintah daerah memiliki
kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengaturan kebijakan
mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan pesisir.

Manajemen Kolaborasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Menurut Wibowo (tanpa tahun) pengelolaan pesisir perlu melibatkan berbagai


kelembagaan, tidak mungkin hanya oleh satu instansi. Hal ini terjadi karena pesisir
mempengaruhi berbagai aktivitas manusia dengan pemanfaatan yang berbeda. Maka
diperlukan suatu pengelolaan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan
yang berbeda dari berbagai pihak tersebut, selain itu model pengelolaan pesisir yang
mampu menyatukan pandangan dari berbagai piha agar mampu bersama-sama
mengelola pesisir untuk keberlanjutan. Dari pernyataan tersebut maka pengelolaan
dengan model manajemen kolaborasi dinilai menjadi jalan keluar dari pengelolaan yang
seharusnya dilakukan dalam pengelolaan pesisir.
Marshal (1995) dalam Tadjudin (2000) memberi penjabaran mengenai
manajemen kolaborasi, kolaborasi diartikan sebagai suatu bentuk resolusi konflik yang
mengakomodasi sikap koorperatif dan responif yang tinggi dan mengutamakan tujuan
menang-menang. Tadjudin (2000), kolaborasi bukan diartikan seperti halnya istilah
gotong royong ataupun kemitraan akan tetapi lebih didefinisikan sebagai asuatu bentuk
yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan stakeholder secara adil dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Manajemen kolaboratif dalam pengelolaan kawasan
konservasi menurut PHKA-Dephut (2002) dalam Wulandari dan Sumarti (2011)
didefinisikan sebagai kemitraan berbagai pihak yang berbagi fungsi, wewenang dan
tanggungjawab manajemen dalam mengelola sumber daya alam yang ada sebagai
sumberdaya yang dikonservasi. Sehingga dapat diartikan pengelolaan kolaborasi adalah
pengelolaan yang mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder yang berbeda yang
terkait dengan suatu sumberdaya alam.
Walaupun dalam bukunya, Tadjudin lebih menjabarkan manajemen kolaborasi
sebagai suatu bentuk pengelolaan hutan akan tetapi sistem pengelolaan seperti inipun
akan mampu diterapkan pada sumberdaya lain termasuk sumberdaya pesisir. Kemudian
Tadjudin menjabarkan tujuan dari manajemen kolaborasi, yaitu:
1) Menyediakan instrumen untuk mengenali stakeholder dengan setiap atribut yang
melekat pada stakeholder tersebut berupa hak, aspirasi, tujuan individual,
kelembagaan, dan potensi konfliknya. Setiap stakeholder diakui secara adil tanpa
ada kepentingan tertentu untuk memenangkan stakeholder terntentu.
2) Meningkatkan potensi kerjasama secara egaliter dengan prinsip “sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat” dan prinsip kelestarian lingkungan.
3) Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat untkuk mengaktualisasi
kearifan lokal yang ada serta pendistribusian manfaat dan resiko yang adil.
4) Menciptakan mekanisme pembelajaran yang dialogik dan pola pendayagunaan
sumberdaya yang produktif dan lestari.
5) Memperbaiki tindakan perlindungan melalui mekanisme internalisasi hal-hal
ekternal yang mengancam sumberdaya yang bersangkutan.
6) Menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan perbaikan pada setiap
tahapan manajerialnya.
31

Menurut Tadjudin (2000) terdapat enam azas dalam manajemen kolaboratif


yang membangun interaksi interdependensi pada manajemen kolabotif, yaitu azas
kesederajatan, azas keadilan, azas saling menghidupkan, azas saling membesarkan, azas
keberlanjutan, dan azas keterbukaan. Manajemen kolaborasi seperti manajemen yang
lainnya terdiri dari tahapan berupa: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3)
pelaksanaan, 4) pengendalian. Tadjudin menggambarkannya dalam bagan manajemen
kolaboatif sebagai proses pembelajaran seperti pada Gambar 11.

Pembina: Masyarakat:
3) Konsep - Refleksi persoalan
4) Informasi DIALOG/ - Pertimbangan
5) Analisis NEGOSIASI - Tata nilai
6) Alternatif - Proses pengambilan
keputusan
- Aksi nyata

Gambar 11. Bagan Proses Belajar Bersama Masyarakat


(Dialog/Analisis)
Setiap tahapan tidak dipandang linear melainkan sebagai siklus yang
mengakomodasikan adanya umpan balik, seperti ditunjukan pada Gambar 12.

PERENCANAAN

PENGORGANISASIAN

PELAKSANAAN

Gambar 12. Proses Manajemen Kolaboratif

Manajemen kolaboratif menurut Tadjudin dilihat sebagai suatu pembelajaran dimana


introduksi tahapannya ditempatkan dalam konteks pengembangan masyarakat yang
berjalan sebagai aksi kolektif.
Pendapat Suporahardjo (2005) dalam membangun kolaborasi dari setiap
stakeholder maka terdapat tahapan dam proses kolaborasi sebagai berikut:

1) Menetapkan problem
Sebagai tahap pra negosisai dengan mempertemukan para stakeholder dalam satu meja
tujuannya adalah membentuk situasi eksplisit antar stakeholder mengenai situasi serta
tindakan yang kan dilakukan oleh masing-masing stakeholder. Tahapan ini berisi:
a) Mendifinisikan problem bersama
b) Membangun komitmen untuk bermitra
c) Menemukenali stakeholder
d) Memperjelas legitimasi stakeholder
e) Mengenal ciri pelaksana pertemuan
f) Menemukenali sumberdaya
32

2) Menetapkan arah kolaborasi


Sebagai tahapan menetapkan jalan keluar yang berkaitan dengan isu yang bersifat
prosedur dan substansi, tujuan dari tahapan ini adalah untuk mencapai tujuan bersama.
Tahapan ini berisi:
a) Menetapkan aturan main
b) Menyusun agenda
c) Pengorganisasian sub kelompok
d) Penyelidikan informasi bersama
e) Mengeksplorasi pilihan
f) Pencapaian kesepakatan dan penutupan transaksi

3) Menetapkan arah pelaksanaan


Tahapan ini adalah tahapan yang mendapat perhatian penting agar kesepakatan yang
telah dibuat dapat tercapai. Tahapan ini berisi:
a) Menangani konstituen
b) Membangundukungan eksternal
c) Strukturalisasi
d) Monitoring, kesepakatan dan jaminan perpaduan

Sedangkan Winara dan Mukhtar (2011) dalam realitas melakukan manajemem


kolaborasi dilakukan dengan tahapan:
1) Identifikasi pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pengelolaan TN meliputi
lembaga pemerintah dan non pemerintah,
2) Analisis kepentingan dan peran aktual para pemangku kepentingan terhadap
pengelolaan TN serta pola hubungan terhadap fungsi pengeloaan TN.
Borrini-Feyerabend, et al (2000) dalam PHKA-Dephut (2002) dalam Wulandari
dan Sumarti (2011) menyatakan bahwa dalam praktik pengelolaan kolaboratif setidak-
tidaknya terdapat nilai etik dan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat
dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumber daya alam, baik di luar maupun di
dalam komunitas lokal.
2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumber daya alam selain pengelolaan
yang secara legal telah ada dimiliki pemerintah atau pihak
3) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber
daya alam
4) Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan tanggung-jawab
yang lebih punya arti
5) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif
dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat. Menghubungkan keterkaitan hak
dengan tanggung-jawab dalam konteks pengelolaan sumber daya alam
6) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik jangka
pendek
7) Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan
sumber daya alam.
Menurut Falah (2012) terdapat 2 syarat untuk pengelolaan kolaboratif berbasis
ekosistem dapat berjalan efektif dan berkelanjutan, yaitu:
1) Prinsip holistik, yaitu pengelolaan kawasan harus memperhatikan seluruh fungsi
ekologis, ekonomis, dan sosial dalam ekosistem.
33

2) Prinsip integratif, yaitu pengelolaan berdasar kerjasama seluruh pihak, aspirasi


pihak-pihak yang terlibat tertampung, kesepakatan dan kesepahaman bersama,
terdapat pembagian kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan kawasan,
partisipasi dari pemangku kepentingan, dan fasilitator serta dewan penasehat dalam
kelembagaan kolaborasi.
Untuk menjalankan proses kolaborasi, menurut Huxham Vangen (1996) dalam
Raharja (2010) terdapat enam hal yang mempengaruhi, yaitu : (a) Managing aims
(menetapkan maksud, tujuan, dan sasaran); (b) Compromise (cara, gaya, norma dan
kultur); (c) Communication (komunikasi untuk menumbuhkan pemahaman yang sama
dan utuk menghindari tragedi of commons); (d) Democracy and equality (memperjelas
siapa saja stakeholder yang terlibat, melihat kesetaraan dan pertanggungjawaban yang
berkaitan dengan pengambilan keputusan); (e) Power and trust (kesejajaran dan
kontribusi yang sesuai dengan kapasitas serta pengendalian diri); (f) Determnaton
commitment and stamina (komitmen untuk bekerjasama analisis keefektifan kekegiatan
kolaborasi dilihat pada tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian).
Menurut Suporahardjo (2005) dalam pelaksanaan manajemen kolaborasi dalam
mengelola sumberdaya alam terdapat beberapa kendala yakni:
1) Komitmen kelembagaan yang menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi
2) Memiliki sejarah hubungan permusuhan diantara pemangku kepentingan
3) Dinamika kelembagaan yang berada pada situasi zero sum atau ketika kebijakan
yang muncul memiliki perhatian yang rendah pada pengelolaan sumberdaya
4) Perbedaan persepsi dari para pemangku kepentingan mengenai resiko
5) Terdapat kerumitan yang bersifat teknis
6) Budaya kelembagaan dan politik

Stakeholder dalam Pengelolaan SDA

Menurut Hobley (1996) dalam Tadjudin (2000) mendifinisikan stakeholder


sebagai orang atau organisasai yang terlibat dalam suatu kegiatan atau program
pembangunan serta orang atau organisasi yang terkena dampak dari kegiatan yang
besangkutan. Stakeholder dalam pandangan Suporahardjo (2005) adalah orang oran-
orang yang mempunyai hak dan kepentingan dalam sistem, berupa perorangan,
komunitas, kelompok sosial, atau organisasi yang dipengaruhi atau terpengaruh oleh
sistem Kemudian Tadjudin (2000) menuliskan pendapat Grimble et al. (1994) dalam
Hobley (1996) yang menyebutkan lima kategori yang berkaitan dengan stakeholder:
1) Primary Stakeholder: adalah orang, tumbuhan, binatang yang sangat bergantung pada
sumberdaya.
2) Secondary Stakehoder: adalah orang atau organisasi yang memiliki hak atau
kepentingan terhadap sumberdaya, termasuk industri dan pemerintah.
3) Micro-level Stakeholder: adalah kelompok kecil yang menggunakan sumberda dalam
kegiatan kesehariannya
4) Macro-level Stakeholder: adalah perencana wilayah dan nasional, instansi
pemertintah pusat.
5) Stakeholder Analysis: adalah proses yang menjabarkan sifat, ciri, dan atribut yang
terdapat pada stakeholder.
Tadjudin (2000) yang membahas manajemen kolaborasi dalam pengelolaan
sumberdaya hutan berpendapat sekurang-kurangnya terdapat lima stakeholder yang
saling berinteraksi dengan hak dan tujuan yang berbeda, para stakeholder tersebut
34

berkedudukan pada derajat yang sama. Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat,
pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga.
Menurut Meyers (2001) dan Permenhut nomor P.19/Menhut-II/2004 dalam
Winara dan Mukhtar (2011) untuk menganalisis kekuatan para pemangku kepentingan
dalam manajemen kolaboratif sumberdaya Taman Nasional dilakukan dengan tahapan:
1) Pembobotan pada setiap lembaga pemangku kepentingan terkait dengan nilai penting
pemangku kepentingan bagi pengelolaan TN dan nilai penting TN bagi pemangku
kepentingan, 2) Pengelompokan setiap lembaga yang berada pada skala bobot nilai
penting dilakukan dengan bantuan matrik kuadran, para pemangku kepentingan yang
berada dalam kuadran paling penting atau primer adalah lembaga yang memiliki nilai
penting tinggi. Menurut Suporahardjo (2005) dalam melakukan anaslisis kekuatan
stakeholder dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1) Kebangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal setiap sistem;
2) Lakukan identifikasi mengenai siapa yan menjadi stakeholder kunci
3) Lakukan investigasi mengenai kepentingan, karakteristik, dan lingkugan stakeholder;
4) Lakukan identifikasi pola dan konteks interaksi antar stakeholder;
5) Menimbang kekuatan dan peran potensial stakeholder;
6) Menimbang opsi-opsi dan gunakan temuan untuk kemajuan.
Dalam mengkategorikan kekuatan dan potensi stakeholder menurut Suporahardjo
(2005) dapat dilakukan dengan empat strategi umum pelibatan seperti digambarkan
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Empat Strategi Umum Untuk Pengelolaan Hubungan Stakeholder

Kekuatan/Potensi Potensi Tinggi Potensi Rendah


Stakeholder
Kekuatan Tinggi Berkolaborasi dengan Pengurangan impak,
bertahan melawan
Kekuatan Rendah Keterlibatan, membangun Memonitor atau tidak
kapasitas dan mempedulikan
mengamankan kepentingan

Hasil inventarisasi Wibowo (tanpa tahun) melihat para pemangku kepentingan


atau stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
antaralain: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Perhubungan,
Kementerian Negara Pariwisata Seni dan Budaya, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kehutanan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, TNI AL,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Kementerian negara Koperasi dan
PPK, Bdan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Departemen Kehakiman dan HAM,
Departemen Tenaga Kerja dan Administrasi, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup,
Menko EKUINm Bappaenas, Kepolisian (Polairud), Lembaga Pertahanan dan
Keamanan Nasional (LEMHANAS), masing-masing stakeholder tersebut berhubungan
dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir dengan kewenangan dan tanggung
jawab serta cakupan teritorial laut yang berbeda satu sama lain.
Analisis stakeholder dibutuhkan dalam pengelolaan kolaborasi guna
mendapatkan keefektifan dalam setiap tahapan kolaborasi sebagai tujuan dari
pengelolaan kolaborasi agar segala kepentingan stakeholder dapat terakomodasi dan
meminimalisir konflik yang dapat mengganggu keseimbangan sumberdaya alam pesisir.
35

Partisipasi Stakeholder

Dalam manajemen kolaboratif, keberhasilan ditentukan pula oleh partisipasi


aktif para pemangku kepentingan. Menurut Tadjudin (2000) partisipasi dalam
manajemen kolaborasi ibarat sebuah orkestra diamana semua pemain alat musik
memainkan alat musiknya secara harmonik. Partisipasi masyarakat dalam manajemen
kolaborasi yang dituliskan Tadjudin (2000) yaitu terdapat tujuh tipologi partisipasi:
1) Partisipasi manipulatif: masyarakat ditempatkan sebagai wakil lembaga resmi akan
tetapi tidak memiliki kewenangan yang jelas.
2) Partisipasi pasif: masyarakat diberitahu informasi akan tetapi informasi yang
dihiraukan hanya dari para profesional
3) Partisipasi konsultatif: terdapat pihak luar yang merumuskan permasalahan,
mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Akan tetapi pihak tersebut tidak
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
4) Partisipasi dengan imbalan material: masyarakat berpartisipasi dengan memberikan
kontribusi berupa tenaga kerja, makanan, atau uang. Namun masyarakat tidak terlibat
dalam prosesnya.
5) Partisipasi fungsional: masyarakat hanya dijadikan sebagai tenaga proyek,
masyarakat tersebut terlibat dalam pengambilan keputusan akan tetapi setelah
keputusan dibuat oleh pihak luar.
6) Partisipasi interaktif: masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan, pembentukan,
dan pemberdayaan. Masyarakat memiliki kendali mengenai keputusan yang dibuat.
7) Mobilisasi swakarsa: masyarakat secara mandiri mampu mengambil inisiatif.
Partisipasi aktif dari setiap stakeholder dibutuhkan dalam setiap tahapan
pengelolaan kolaborasi agar dalam setiap tahapan setiap stakeholder mampu secara
imbang memiliki kendali dalam pengelolaan pesisir sehingga tidak menimbulkan
pengelolaan yang hanya menguntungkan pihak tertentu.
36

SIMPULAN
Model Kolaborasi Pengelolaan SDA Pesisir

Pesisir merupakan wilayah dengan keberagaman dan kekayaan hayati


yang khas, wilayah yang berdada di antara darat dan laut ini dengan batasan
wilayah daratan yang masih dipengaruhi ciri lautan dan wilayah lautan yang
masih dipengaruhi ciri daratan. Wilayah inipun sangat terpengaruh oleh aktivitas
manusia dimana manusia beraktivitas dan mengambil manfaat dari sumberdaya
pesisir yang ada. Dengan wilayah seperti ini akan melibatkan banyak
stakeholder dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam di wilayah pesisir ini. Untuk
pengelolaan sumberdaya alam pesisir ini secara umum berlandaskan pada
peraturan pada UUD 1945, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (3) yang
menyebutkan :” bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat”. Dari kalimat tersiratkan sistem pengelolaan yang
sentralistik dimana negara memiliki kuasa penuh atas pengelolan dan
pemanfaatan sumberdaya alam teramsuk sumberdaya alam pesisir. Namun
seiring dengan tujuan pembangunan Indonesia pun mengarah ke arah sistem
pemerintahan yang melibatkan daerah untuk mengelola sumberdaya alam yang
ada di wilayahnya atau dengan kata lain memberikan wewenang pada daerah
untuk mengelola wilayah daerahnya (desentralisasi). Untuk pengelolaan wilayah
pesisir pun maka daerah memiliki batas admistratif dalam pengelolaan pesisir
batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai
laut dan ke arah laut sejauh 12 mil garis pantai untuk provinsi atau 1/3 atau 4 mil
untuk kabupaten/kota hal ini sesuai dengan UU No 22 tahun 1999. Tujuan dari
desentralisasi ini adalah untuk mendorong pembangunan nasional dan
pengambilan keputusan yang lebih cepat dan mengutamakan kondisi wilayah.
Dalam pengelolaan suatu sumberdaya, pengelolaan secara kolaborasi
yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan dari setiap stakeholder yang
terkait dengan sumberdaya tersebut dinilai sebagai suatu pengelolaan yang baik
karena pengelolaan tersebut pun mampu menjadi resolusi konflik. Hal tersebut
pun dikemukkan oleh Marshal (1995) dalam Tadjudin (2000) bahwa
pengelolaan kolaborasi ini menjadi resolusi konflik karena mengutamakan
tujuan menang-menang atas setiap kepentingan stakeholder.
Menurut Tadjudin (2000) terdapat empat pendekatan dalam
mengakomodasi berbagai kepentingan:
1) Pengelolaan kolaboratif, yang digambarkan oleh Borrini-Feyebend sebagai
suatu metode untuk mengelola kawasan hutan lindung, pengelolaan ini
merujuk pada suatu kemitraan dimana setiap sakeholder berbagi menegnai
fungsi, hak, dan tanggung jawabpengelolaan suatu kawasan. Pengelolaan ini
sebagi penanda ‘pengelolaan inklusif’ oleh lembaga-lembaga yang mengakui
dan membawa kepentingan masyaraka lokal dalam negosiasi atas konservasi
sumberdaya alam.
2) Pembelajaran kolaboraif untuk pengelolaan kawasan rekreasi, pendekatan ini
dikembangkan oleh Daniels dan Walker. Pendekatan ini dirancang untuk
mengatasi komplekstisitas dan kontroversi dalam pengelolaan lahan publik
37

yang dijadikan sebagai kawasan rekreasi dengan menggabungkan elemen-


elemen mediasi atau resolusi peresengketaan.
3) RAAKS (Rappid Apprasial of Agricultural Knowledges System), pendekaan
yang dikembangkan oleh Engel dan Salomon untuk menangani koordinasi
dan inovasi antar stakeholder pada bidang pertanian.
4) Pembelajaran lokal yang berhubungan,pendekatan untuk memudahkan
pengakomodasian muktistakeholder pada desentralisasi pelayanan pertanian
Untuk mendukung berjalannya pengelolaan kolaborasi ini tentunya perlu
dukungan dari para stakeholder untuk memiliki peran aktif dalam setiap tahapan
kolaborasi. Pengelolaan kolaborasi menurut Tadjudin memiliki tujuan untuk
membuat setiap stakholder mendapatkan keuntungan secara adil tanpa berpihak
pada satu stakeholder terntentu, pengelolaan yang mengedepankan kelestarian
lingkungan agar mampu memberikan manfaat keberlanjutan baik pada aspek
lingkungan, ekonomi, dan sosial, memberdayakan masyarakat, pendayagunaan
sumberdaya yang produktif dan lestari, memperbaiki tindakan perlindungan
sumberdaya alam, dan memperbaiki setiap tahapan manajerialnya. Model
pengelolaan kolaborasi terbagi menjadi tahapan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengendalian. Sedangkan menurut Supohardjo (2005) tahapan
dalam kolaborasi terbagi atas menetapkan problem, menetapkan arah
kolaborasi, dan menetapkan arah pelaksanaan. Analisis stakeholder dilakukan
untuk menilai dan mengelompokan kepentingan masing-masing stakeholder.
Menurut Supohardjo, hal yang menjadi kendala dam kolaborasi adalah:
1) Komitmen kelembagaan yang menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi
2) Memiliki sejarah hubungan permusuhan diantara pemangku kepentingan
3) Dinamika kelembagaan yang berada pada situasi zero sum atau ketika
kebijakan yang muncul memiliki perhatian yang rendah pada pengelolaan
sumberdaya
4) Perbedaan persepsi dari para pemangku kepentingan mengenai resiko
5) Terdapat kerumitan yang bersifat teknis
6) Budaya kelembagaan dan politk.
Stakeholder dalam pengelolaan kolaborasi dapat dianaliis melalui
pembobotan dan pengelompokan berdasarkan kepentingan mereka terhadap
sumberdaya alam di kawasan, Menurut Suporahardjo (2005) dalam melakukan
anaslisis kekuatan stakeholder dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1) Kebangkan tujuan dan prosedur analisis dan pemahaman awal setiap sistem;
2) Lakukan identifikasi mengenai siapa yan menjadi stakeholder kunci
3) Lakukan investigasi mengenai kepentingan, karakteristik, dan lingkugan
stakeholder;
4) Lakukan identifikasi pola dan konteks interaksi antar stakeholder;
5) Menimbang kekuatan dan peran potensial stakeholder;
6) Menimbang opsi-opsi dan gunakan temuan untuk kemajuan.

Kerangka Analisis Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam


Pesisir

Tanggung jawab pengelolaan pemanfaatan dan pengembangan lahan


wilayah pesisir menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sesuai dengan UU
No. 22 Tahun 1990 yang berlaku sejak tahun 2001 tentang otonomi daerah, yang
38

dalam peraturan perundang-undangan ini memberikan kesempatan kewenangan


lebih besar kepada daerah otonomi dalam mengelola pesisir dan laut sejauh 12
mil untuk profinsi dan 4 mil untuk kabupaten. Maka untuk mengatur
pengelolaan wilayah pesisir pemerintah daerah lah yang memiliki wewenang
dalam pengambilan keputusan terkait bagaimana dan siapa yang terlibat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Dalam era desentralisisi inipun
pemerintah daerah dituntut untuk lebih mengenali potensi wilayahnya,
bertanggung jawab atas kelestarian, dan memberdayakan masyarakat lokal untuk
keberlanjutan baik dalam ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Wilayah pesiir
tentunya melibatkan banyak stakeholder dalam pemanfaatan serta
pengelolaanya. Masing-masing stakeholder memiliki kepentingan dan kekuatan
yang berbeda. Setiap stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan pesisir
tentunya diharapkan untuk memiliki partisipasi sesuai dengan peran mereka
untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Dalam
mengakomodasi kepentingan yang berbeda dari para stakeholder tersebut maka
pendekatan yang tepat dilakukan adalah pendekatan kolaborasi. Kolaborasi
sebagai suatu model pengelolaan sumberdaya alam terdiri atas tahapan-tahapan
yang dalam setiap tahapannya memerlukan partisipasi dari setiap stakeholder
untuk mendukung keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Berikut
kerangka pemiliran Model Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya Alam Pesisir

Pengelolaan SDA Pesisir

Pengelolaan SDA di Era Desentralisasi

Stakeholder Pengelolaan SDA di Kawasan Pesisir

Partisipasi Setiap Stakeholder


Peran Setiap Stakeholder
Analisis Kepentingan Setiap Stakeholder

Pengelolaan Kolaboratif

Hasil dan Kendala

Keterangan:
: mempengaruh

Gambar 13. Kerangka Pemikiran Model Kolaborasi Pengelolaan


Sumberdaya Alam Pesisir
39

Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dari hasil seluruh bahasan pustaka yang diringkas penulis berminat


untuk selanjutnya mengkaji model kolaborasi pengelolaan sumberdaya alam di
kawasan pesisir. Minat tersebut juga terkait karena alasan bahan pustaka yang
membahas mengenai kolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagian
besar membahas mengenai pengelolaan kolaborsi pada sumberdaya hutan,
sedangkan untuk pengelolaan kolaborasi pada wilayah pesisir masih jarang
ditemukan. Perumusan masalah dan pertanyaan penelitian ini pun berdasarkan
kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka perumusan pertanyaan penelitian
dari studi pustaka ini adalah:
1) Bagaimana kekuatan dan peran stakeholder terhadap pengelolaan
sumberdaya di kawasan pesisir?
2) Bagaimana tahapan pelaksanaan model pengelolaan kolaborasi dalam
pengelolaan kawasan pesisir?
3) Apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kolaborasi kawasan
pesisir?
40

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri R. 1998. Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan


Sumberdaya Peisisir Dan Lautan Secara Terpadu. Pesisir dan Lautan [Internet].
[Diunduh 9 September 2014]; 2(1): 61-77. Dapat diunduh dari: www.crc.uri.edu
Durand SS. 2010. Studi Potensi Sumberdaya di Kawasan Pesisir Kabupaten Minahasa
Selatan. Urnal Perikanan dan Kelautan [Internet]. [Diunduh 9 September 2014];
06(01): 1-7. Dapat diunduh dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=16731&val=1044
Falah F. 2012. Kajian Efektivitas Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional Kutai.
Kajian Efktivitas Pengelolaan Kolaboratif [Internet]. [Diunduh 9 September
2014]; Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-
litbang/index.php/JAKK/article/view/318
Nurkin B. [tidak ada tahun]. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam:
Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan. Perrenial [Internet]. [Diunduh 9
September 2014]; 2(1): 25-30. Dapat diunduh dari:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennial/article
Raharja SJ. 2010. Pendekatan Kolaboratif dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Citarum. Jurnal Bumi Lestari [Internet]. [Diunduh 9 September 2014]; 10(02):
222-235. Dapat diunduh dari:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/125
Sara La. 2014. Pengelolaan Wilayah Pesisir. Gagasan Memelihara Aset Wilayah Pesisir
dan Solusi Pembangunan Bangsa. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Shofwan, Khusnaini M, Badriyah N. [tidak ada tahun]. Pengelolaan Potensi
Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi
Kasus Community-Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban).
Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan [Internet]. [Diunduh 9 September
2014]. Dapat diunduh dari: http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/view/147
Supohardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi Memahami Pluralisme Membangun
Konsensus. Bogor: Pustaka Latin.
Supomo. 2008. Pengembangan Wilayah Pesisir Kabupaten Barru Melalui Klaster
Pengkapan Ikan Laut. Ekuitas [Internet]. [Diunduh 9 September 2014]; 12(02):
274-294. Dapat diunduh dari: http://www.stiesia.ac.id/jurnal/index.php/article/
Tadjudin Djuhendi. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin
Wibowo GDH. [tidak ada tahun]. Aspek Hukum Dan Kelembagaan Dalam Peningkatan
Efisiensi dan Efektifitas Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jurnal Hukum [Internet].
[Diunduh 9 September 2014]; 16(01): 127-144. Dapat diunduh
dari:http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/Gatot%20Dwi%2
Winara A, Mukhtar AS. 2011. Potensi Kolaborasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Teluk Cendrawasih Di Papua. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam [Internet].
[Diunduh 9 September 2014]; 08(03): 217-226. Dapat diunduh dari: http://forda-
mof.org/files/02.Potensi_kolaborasi_TN_Papua_OK_.pdf
Wulandari, Sumarti T. 2011. Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan
Ekowisata Berbasis Masyarakat. Solidality [Internet]. [Diunduh 9 September
2014]; 05(01): 32-50. Dapat diunduh dari: http://journal
.ipb.ac.id/index.php/solidality/article/viewFile
41

LAMPIRAN
Riwayat Hidup

Fitri Oktaviani Sutrisno dilahirkan di Lebak pada tanggal 31 Oktober 1993 dari
pasangan Sutrisno dan Theresia Sumarni. Pendidikan formal yang pernah dijalani
adalah tahun 1999 – 2005 sebagai murid di SDN Labuan 3 Kabupaten Pandeglang,
tahun 2005 – 2008 sebagai murid SMPN 1 Labuan Kabupaten Pandeglang, tahun 2008
– 2011sebagai murid SMA Taruna Andigha Kota Bogor, dan pada tahun 2011 penulis
memasuki jenjang sebagai mahasiswi di Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui
jaur Ujian Talenta Masuk (UTM). Selain aktif dalam kegiatan perkuliahan, penulis juga
pernah aktif dalam tim paduan suara Agria Swara, dan turut aktif dalam kepanitian
kegiatan mahasiswa di kampus seperti ESPENT dan OMI.

Anda mungkin juga menyukai