Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN NY. S DENGAN KASUS PENYAKIT CHRONIC MYELOID LEUKIMIA


DI RUANG 28 RSU Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018

DISUSUN OLEH :

SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN KASUS PENYAKIT CHRONIC MYELOID LEUKIMIA
DI RUANG 28 RSU Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018

DISUSUN OLEH :

SUGENG YULIAWAN
NIM. 201501038

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar Pengesahan Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan ini dibuat berdasarkan Praktik
Klinik Keperawatan dengan kasus CHRONIC MYELOID LEUKIMIA di RSU Dr. Saiful
Anwar ( RSSA ) Malang di Ruang 28 yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juli – 03 Agustus
2018.

Malang, ………………………….

Mahasiswa

Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038

Disetujui Oleh :

Pembimbing Rumah Sakit Pembimbing Institusi

…………………………… ……………………………

Mengetahui
Kepala Ruangan

……………………………
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar Pengesahan Asuhan Keperawatan ini dibuat berdasarkan Praktik Klinik Keperawatan
dengan kasus CHRONIC MYELOID LEUKIMIA pada pasien Ny. S di RSU Dr. Saiful Anwar (
RSSA ) Malang di Ruang 28 yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juli – 03 Agustus 2018.

Malang, ………………………….

Mahasiswa

Sugeng Yuliawan
NIM. 201501038

Disetujui Oleh :

Pembimbing Rumah Sakit Pembimbing Institusi

…………………………… ……………………………

Mengetahui
Kepala Ruangan

……………………………
LEMBAR KONSULTASI

No Tanggal REVISIAN TANDA TANGAN


CHRONIC MYELOID LEUKIMIA (CML)

1. Konsep Chronic Myeloid Leukimia (CML)


1.1. Definisi
CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan
peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan
selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit (Atul & Victor, 2015).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau Chronic Myeloid Leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal
(clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan
mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu Chronic Myelogenous
Leukemia dan Chronic Myelocytic Leukemia (I Made, 2013).
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas,
menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi
menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2013).
Chronic Myeloid Leukemia (CML) adalah salah satu bentuk dari leukemia yang
ditandai dengan meningkatnya dan pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di
dalam sum-sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah. Chronic myeloid
Leukemia adalah gangguan pda sum-sum tulang dimana terjadi proliferasi dari
granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). Chronic Myeloid Leukemia
adalah leukemia kronik yang karakteristik dengan didapatkan peningkatan jumlah
leukosit dan penumpukan semua bentuk matur dan immatur dari granulosit, namun
yang dominan adalah sel-sel dari seri mieloid. Walaupun kadangkadang pada limfosit-
T. CML adalah penyakit pada manusia yang pertama dengan abnormalitas spesi dari
karyotype yaitu adanya Philadelphia kromosom, mungkin karena keadaan linked to
pathogenetic of leukemogenesis. Diagnosis dari CML adalah didapatkan dengan
identifikasi sitogenetik atau adanya ekspansi klonal molekuler dari hematopoietic stem
cell melalui proses reciprocal translocation antara kromosom 9 dan 22. Hasil translokasi
ini pada kepala-ekor gen bagian dari breakpoint cluster region (BCR)dari kromosom 22
pada cabang q 11 dengan lokasi gen ABL pada kromosom 9 pada cabang q 34, secara
simultan gen C-Cis dari kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Kromosom Philadelphia
mengkode protein leukemia spesifik yang dinamakan P210. Adanya protein ini
membuat sel tidak tergantung dari stimulasi faktor pertumbuhan ekstrasel, mungkin
menyebabkan aktivasi transkripsi dari gen sehingga sel terlindung dari kematian.
1.2. Klasifikasi
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2013); Agung (2014) dibagi
menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik
Pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit kurang dari 5%
di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over produksi
granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala ringan
dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional. 85% pasien dengan
CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka didiagnosa dengan CML.
Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala
ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi
dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang
digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit
dapat berkembang menuju ke fase akselerasi.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut
Fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari
30%. Pada fase ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh
eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari
satu (selain Philadelphia kromosom). Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi
sulit dikendalikan dan abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria
diagnosa dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi.
Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson
Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu
:
• 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang.
• >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang.
• Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.
• Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.
• Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia.
• Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.
Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda yang
telah disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan
perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan.

3. Fase Blast (Krisis Blast)


Pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada darah serta sumsum
tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum
tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau
Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia akut,
dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast
didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :
• >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang.
• Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang.
• Perkembangan dari chloroma.
1.3. Epidemiologi
I Made (2013) dan Victor et al., (2015) mengungkapkan bahwa CML merupakan
15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering di jumpai di
Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia kronik lebih banyak dijumpai dalam
bentuk CLL (Chronic Lymphocytic Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-
1,4/100.000/tahun. Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita
sebesar 1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur
40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.
1.4. Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan.
Beberapa sumber lain menyebutkan penyebab leukemia myeloid kronis (CML)
adalah tirosin konstitutif BCR-ABL aktif kinase. Hal ini menghambat kinase ini, dan
dalam studi jangka pendek lebih unggul daripada interferon alfa plus sitarabin untuk
baru didiagnosis CML dalam tahap kronis. Pada CML dijumpai Phladelphia chromosom
(Ph1 chr) suatu reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada hampir 90% penderita,
kromosom Ph1 dengan translokasi t(9;22) ditemukan di semua progeni sel asal myeloid
multipoten yang sedang membelah (yaitu, prekursor granulositik, eritroid, dan
megakariositik). Pada kasus lainnya, dapat dideteksi penyusunan ulang gen bcr-c-abl.
Tidak seperti leukemia akut, diferensiasi sel asal leukemik tidak terhambat dan darah
perifer mengandung sel dewasa.
Pada t(9:22) terjadi translokasi sebagian materi genetic pada lengan panjang
kromosom 22 ke lengan panjang kromosom 9 yang bersifat respilokal. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami
juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22.
Akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr – abl oncogen
Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein
(protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal
terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan
proliferasi pada sel – sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan
proliferasi pada seri myeloid.
Peningkatan massa sel myeloid tubuh total dalam jumlah besar bertanggung
jawab terhadap sebagian besar gambaran klinis penyakit ini. Pada sedikitnya 70%
pasien, terjadi suatu metamorphosis terminal menjadi leukemia akut yang seringkali
didahului oleh suatu fase akselerasi. Secara morfologi, fase kronis menyerupai CML
ekspansi jinak myelopoiesis. Namun, fase kronis genetis tidak stabil, dan tingkat
proliferatif yang tinggi memungkinkan untuk akumulasi tambahan molekul dan
kromosom kelainan, proses ini disebut "evolusi klonal." Evolusi klonal menyebabkan
penurunan nilai hematopoietik diferensiasi, akhirnya menghasilkan akut leukemia
(ledakan-fase CML). Sekitar satu leukemia akut ketiga mirip B-keturunan Akut Limfositik
leukemia (ALL), sedangkan sisa kasus-kasus tersebut mirip dengan Leukemia myeloid
akut (AML), sering dengan fenotipe dibeda-bedakan.
Fase Perjalanan Penyakit. Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 2 fase, yaitu
:
o Fase kronik: Fase ini berjalan selama 2 – 5 tahun dan responsif terhadap
kemoterapi.
o Fase akselerasi atau transformasi akut:
 Pada fase ini perangai klinik CML berubah mirip leukemia akut.
 Proporsi sel muda meningkat dan akhirnya masuk kedalam “blast crisis”
atau krisis blastik.
 Sekitar 2/3 menunjukkan sel blast seri myeloid, sedangkan 1/3
menunjukkan seri limfoid
1.5. Faktor Resiko
Agung (2014) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu
faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor
predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada
saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara
lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang
menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia
terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan
insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung
,2014).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah
kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan
sindrom turner.
b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai
penyebab leukemia (Agung ,2014).
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis
dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 %
penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap
sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali
lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan
bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih
banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati
dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali
lebih banyak (Agung ,2014).
b. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan
dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam
jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian
Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang
kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA .
Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat,
tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen
dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2014).
c. Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human
T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim
RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2014).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin,
strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif.
Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia
pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian
yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme
reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C,
yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung
,2014).
1.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2013) dan Victor et al., (2015)
tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat
pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat,
dispneu dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up
atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
2. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di
sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah,
nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi
menurun, lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi
abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis,
menorhagia).
3. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa
pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.
1.7. Patofisiologi
Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal
translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22 abnormal
yang disebabkan oleh translokasi sebagian materi genetik pada bagian lengan panjang
(q) kromosom 22 ke kromosom 9, dan translokasi resiprokal bagian kromosom 9,
termasuk onkogen ABL, ke region klaster breakpoint (breakpoint cluster region, BCR)

yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik
terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada
lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR
pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2.
Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di region kelompok titik putus
utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang
bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein
(protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal
terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan
proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan
proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2015).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat.
Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan
tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan
membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik).
Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi,
virus onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum
tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen
(kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibentuk dalam
sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka
dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat
radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang
berlebihan dan imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel
mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan
kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada
banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai
berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai
struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam
tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya
sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila
struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut
akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat
tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A
(Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik,
sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang lain
tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi
granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di
sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang.
Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat
pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat
leukemia meningeal.
1.8. Pathway (Terlampir)

1.9. Pemeriksaan Diagnostik


I Made (2013) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,
yaitu :
1. Laboratorium
a. Darah rutin :
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian
biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast
sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil
(hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga
dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih
sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
c. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip
dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid,
dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast
kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 %
kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).
Gambar 1 Gambar 2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 3 Gambar 4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang
dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak
ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan suatu
diagnosis.
 Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
o Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
o Basofil darah tepi >20%.
o Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan
terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
o Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
o Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2013).

 Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :


o Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
o Proliferasi blast ekstrameduler.
o Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada
trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML
selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang selalu
ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia
mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al., 2015).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus
penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien
berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb
janin, trombositopenia, monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang
mengalami transformasi blastik dan meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ
akibat sebukan monosit dan makrofag (Victor et al., 2015).
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2014), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari
SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor
eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
c. David et al., (2015) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi
adanya kromosom Philadelphia.
1.10. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap
minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya.
Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik
menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang
berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made,
2013).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2015). Dosis mulai
dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping
lebih sedikit (I Made, 2013).
3) Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi
1-2 tahun (Atul & Victor, 2015). IFN-α biasanya digunakan bila jumlah
leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan
bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua
untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum
tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU
/ d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan
jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien
menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama
pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan
sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi
jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik
walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et
al., 2015).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang
diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang
menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein
ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid.
Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum tulang
menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi
lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan
interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2015; Emmanuel, 2010; Victor et al.,
2005; I Made, 2013)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT)
sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang
pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2015).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti
leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat
diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan
yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat
perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).
2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga
tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala
atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum
tulang (Atul & Victor, 2005).
1.11. Komplikasi
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya. Banyak
penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya
terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis
blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi
kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung,
2014).
2. Konsep Asuhan Keperawatan
2.1. Pengkajian
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1) Pucat
2) Kelemahan
3) Sesak
4) Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1) Demam
2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1) Ptechiae
2) Purpura
3) Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1) Limfadenopati
2) Hepatomegali
3) Splenomegali
f. Kaji adanya :
1) Hematuria
2) Hipertensi
3) Gagal ginjal
4) Inflamasi disekitar rectal
5) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2014 : 178)
2.2. Daftar Masalah Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus CML, antara lain:
a. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
1) Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
2) Gangguan kematangan sel darah putih
3) Peningkatan jumlah limfosit imatur
4) Imunosupresi
5) Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)
b. Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan :
1) Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan
2) Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia
c. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :
1) Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang diinvasi
dengan sel leukemia.
2) Agen kimia ; pengobatan antileukemia.
2.3. Rencana Keperawatan
NANDA NOC NIC
Resiko infeksi Infection severity Infection Protection
NO Indikator 1 2 3 4 5 1. Monitor tanda dan
1. Kemerahan gejala infeksi
2. Demam 2. Monitor kerentanan
3. Hipotermia infeksi
4. Temperature 3. Mempertahankan
tidak stabil asepsis untuk pasien
5. Nyeri yang berisiko
6. Kemerahan 4. Menganjurkan
Keterangan: beristirahat
1. Gangguan parah/severe deviation 5. Menganjurkan minum
2. Gangguan berat/subtantial deviation sesuai kebutuhan
3. Gangguan sedang/moderate 6. Anjurkan pasien untuk
deviation meminum antibiotic
4. Gangguan ringan/mild deviation yang sesuai
5. Tidak ada gangguan/no deviation
Kekurangan Fluid Balance Fluid management
volume cairan NO Indikator 1 2 3 4 5 1. Monitor berat sehari-hari
1. Tekanan 2. Monitor status hidrasi
darah 3. Monitor tanda vital
2. Keseimbangan 4. Monitor hasil
cairan masuk hemodinamik,
dan keluar peningkatan CVP, MAP,
selama 24 jam PAP, dan PCWP yang
3. Turgor kulit sesuai
4. Berat badan 5. Monitor indikasi
5. Perasaan kelebihan cairan
haus
6. Tekanan
darah
Keterangan:
6. Gangguan parah/severe deviation
7. Gangguan berat/subtantial deviation
8. Gangguan sedang/moderate
deviation
9. Gangguan ringan/mild deviation
10. Tidak ada gangguan/no deviation
Nyeri Akut Pain Level Pain Management
NO Indikator 1 2 3 4 5
1. Monitor dan kaji
7. Melaporkan karakteristik dan lokasi
nyeri nyeri.
8. Lama nyeri 2. Monitor tanda-tanda vital
9. Ekspresi (tekanan darah, nadi,
wajah saat respirasi, kesadaran).
nyeri 3. Anjurkan pada pasien agar
10. Menangis segera melaporkan bila
11. RR terjadi nyeri dada.
12. TD 4. Ciptakan suasana
Keterangan: lingkungan yang tenang dan
11. Gangguan parah/severe deviation nyaman.
12. Gangguan berat/subtantial deviation 5. Ajarkan dan anjurkan pada
13. Gangguan sedang/moderate pasien untuk melakukan
deviation tehnik relaksasi.
14. Gangguan ringan/mild deviation 6. Kolaborasi dalam:
15. Tidak ada gangguan/no deviation 7. Pemberian oksigen.
8. Obat-obatan (analgesic)
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2012.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Brunner& Suddarth. 2012.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC.

ES Jaffe et al.2013.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon, ARC Press,

Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser, Stephen L.;

Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2015. Harrison's Principles of Internal Medicine

17th edition. USA: McGraw-hill,

Guyton.2012. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC.

JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.

Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI

Price, S A dan Wilson, L M. 2012.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses penyakit . Jakarta :

EGC, .

Whaley’s and Wong. 2012.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013. Nursing

Intervention Classification (NIC). Elsevier

Heslop, H. E. 2013. Leukemia myeloid kronik. Jakarta: EGC

Lanzkowsky, P. 2016. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 4th Edition. London;

Elsevier Academic Press

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. 2013. Nursin Outcomes Classification

(NOC): Measurement of Health Outcomes. Elsevier

Roberts, I. A.G. 2014. Chronic myeloid leukemia. London: Blackwell

Sondheimer, J. M. 2015. Myeloproliferative disease. London: Lange

Wiley, A. J., & Sons. 2012. Nursing Diagnoses: Definitions and Classification. Wiley-Blackwell

Anda mungkin juga menyukai