Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Infark miokardium dengan ST elevasi merupakan infark miokard


terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. Miokard
Infark akut yang lebih sering dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan
penyebab tunggal tersering kematian di industri dan merupakan salah satu
diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Kumar, 2007).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung
secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif
maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai dengan keluhan nyeri
dada, peningkatan enzim jantung, dan ST Elevasi pada hasil pemeriksaan EKG.
STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total
sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang divaskularisasi
tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati ( Kowalak, 2002).
Sindrom Koroner Akut merupakan spektrum manifestasi akut dan berat
yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah
(Kumar, 2007).
Sindrom Koroner Akut umumnya terjadi pada pasien di atas usia 40
tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda daripada 40 tahun juga dapat
menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan
usia 40-45 tahun untuk mendefinisikan “pasien usia muda” dengan penyakit
jantung koroner atau infark miokard akut. Infark miokard akut memiliki insidensi
lebih rendah pada usia muda (William, 2007).
Dari total 418 konsekutiv dengan pasien Sindrom Koroner Akut,
diantaranya 44,7% merupakan STEMI, 34,2% merupakan NSTEMI, 2,1% adalah
Unstable Angina ( Hellenic Journal of Cardiology, 2010).

1
BAB II

KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Walang 2/2 Jombor Bendosari Sukoharjo
Tanggal MRS : 28 Juni 2014 ( 10:31 WIB )
Ruang Rawat :
Nomor Rekam Medis : 252338

2. Anamnesa
Autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada
Keluhan Tambahan : Badan terasa lemas mendadak sejak 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, pusing (+)
Riwayat Penyakit Sekarang :
2 Jam sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengeluh dadanya terasa
nyeri secara tiba-tiba. Pasien juga merasa lemas dan tidak bisa melakukan
apa-apa. Pasien sering mengalami keluhan yang serupa sejak lama. Pasien
merasakan selain badan yang terasa lemas secara mendadak, pasien juga
merasakan sakit kepala namun tidak disertai dengan mual. Nyeri memberat
saat beraktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat maupun obat. Nyeri
dada tidak disertai sesak nafas. Ortopneu (-) Paroksismal Nokturnal Dispneu
(-) Pasien biasa tidur dengan 1-2 bantal. Batuk (-) Demam (-) Mual (-)
Muntah (-) Jantung berdebar-debar (-) Keringat dingin (+).

2
Riwayat Penyakit Dahulu

 Tekanan darah tinggi disangkal


 Kencing manis disangkal
 Penyakit jantung sebelumnya disangkal.
 Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal

3. Pemeriksaan Fisik
Vital Signs
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 36’C

Kepala
Conjunctiva Anemis : (-/-)
Sclera Ikterik : (-/-)
Leher : Tidak ada pembesaran limfonodi

Pemeriksaan Thoraks
Pulmo : Simetris (+/+)
Suara Dasar Vesikuler : (+/+)
Suara Tambahan : (-/-)

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apex jantung tidak tampak
Palpasi : Apex jantung tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di garis parasternalis, dan satu jari
sebelah lateral dari garis midklavikular kiri
Auskultasi : BJ: S I/II regular, murmur (-), gallop (-)

3
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+)

Pemeriksaan Ekstremitas
Hangat, edema tungkai -/-

4. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pada tanggal 29 Juni 2014
Laboratorium
Tes Hasil Nilai Normal
Leukosit 10.0 x 10^3/uL 3.8 – 10.6
Eritrosit 4.4 x 10^6/uL 4.40 - 5.90
Hemoglobin 12.6 g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 37% 40 – 52
Trombosit 269 x10^3/uL 150 - 450
NRBC 0.00 % 0-1
Neutrofil 77 % 53 -75
Limfosit 17 % 25 - 40
Monosit 4,70 % 2-8
Eosinofil 1.00 % 2.00 – 4.00
Basofil 0.70 % 0-1
Golongan Darah O
KIMIA KLINIK

Gula Darah Sewaktu 109 mg/dL 70 – 120


Ureum 26.2 mg/dL

4
Creatinin 0.82 mg/dL 0.60-1.10
SGOT 16.09 U/L
SGPT 13.9 U/L

5. Diagnosa
ST Elevasi Miocard Infark

6. Terapi
ICU : Asering (20 tpm), Ranitidin ( 1 amp/12
jam), Antalgin (1 amp/8 jam), SA (1 amp/12 jam), Isosorbitdinitrat (3x5 mg),
Chlopidogril (1x5 mg), Aspilet (1x80 mg), Clobazam (1-0-1), Nairet (3x1).

7. Follow Up Bangsal

5
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke
jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh
darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil
aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya
yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit
sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark ( Guyton, 2007)
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation
Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan
IMA dengan elevasi ST (Sudoyo & Setiahadi, 2010).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo &
Setiahadi, 2010).

2. Epidemiologi
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah
30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan
STEMI (Bassand, 2007).

6
3. Etiologi
Sindroma koroner akut ditandai oleh adanya ketidakseimbangan
antara pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard.
Etiologi SKA antara lain:
a. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada
pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal.
b. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel.
c. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus  terjadi
pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
d. Inflamasi  penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur, trombogenesis.
Makrofag, limfosit T  ↑ metalloproteinase  penipisan dan ruptur plak
e. Keadaan/factor pencetus:
1) ↑ kebutuhan oksigen miokard  demam, takikardi, tirotoksikosis
2) ↓ aliran darah koroner
3) ↓ pasokan oksigen miokard  anemia, hipoksemia

4. Patogenesis
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-
faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik

7
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang
tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang
poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi
oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas
kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi,
2006).
5. Diagnosis
Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard
ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara
elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh
elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang
menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada
sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan

8
gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan
daerah nekrotik kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika
durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di
lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan
dalam (Chou, 1996).
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara
sempurna. Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada
akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka
potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika
elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury,
maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST
depresi. ST depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda
dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST bergerak
menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST depresi (Chou, 1996).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik
menjadi lebih negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi.
Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang terletak di
daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia
subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses
repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka
gelombang T terekam sangat tinggi (Chou, 1996).

Diagnosis kerja yang ditegakkan dari kasus adalah STEMI (ST


Elevation Myocardial Infarction). Dengan dasar anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG yang menunjukkan adanya Elevasi ST ≥ 2mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau ≥ 1mm pada 2
sadapan ekstremitas. Jika dilakukan pemeriksaan enzim jantung dan hasil
troponin T yang meningkat, maka semakin memperkuat diagnosis, namun
keputusan untuk memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana Infark Miokard Akut

9
(IMA), prinsip utama pelaksanaan adalah time is muscle dengan mengejar
waktu agar prognosa lebih baik jika diberi terapi trombolitik pada jangka
waktu yang sesuai selepas serangan jantung.
 Anamnesis
Nyeri dada :
Sifat nyeri dada (angina) merupakan gejala cardinal pasien MI :
 Lokasi : substernal,retrosternal,dan perikordial
 Sifat nyeri : rasa sakit ditekan,terbakar,ditindih benda berat,
ditusuk,diperas,dipelintir.
 Penjalaran : lengan kiri,leher, punggung, interskapula,perut
 Nyeri tidak membaik/menghilang sepenuhnya dengan istirahat/
nitrat
 Factor pencetus: latihan fisik,stres emosi,udara dingin,dan sesudah
makan.
 Gejala yang menyertai: mual,muntah,sulit bernafas, keringat
dingin,cemas,lemas.
Sesak napas (Dispneu) adalah pernapasan yang disadari dan
abnormal dengan ciri napas tidak menyenangkan, sukar bernapas. Sesak
napas ini merupakan keluhan dari:
 Penyakit jantung : koroner, valvular, dan miokardial
 Penyakit paru : limitasi aliran udara masuk ke paru (gangguan
ventilasi) dan keadaan hipoksia pada keadaan restriktif, terjadi stimulasi
napas karna hipoksia.
 Penyakit deformitas dinding toraks
 Sakit otot pernapasan
 Obesitas
 Anemia, dll.
Riwayat sesak napas sangat penting untuk memperkirakan penyebab
yang mendasari.Kemungkinan penyebabnya adalah emboli paru,
pneumotoraks, udema pulmonal akut, pneumonia, atau obstruksi jalan

10
napas.Sesak napas yang hilang dengan pemakaian bronkodilator dan
kortikosteroid diperkirakan akibat asma.
Namun sesak napas yang hilang dengan istirahat, obat diuretik, dan
digitalis diperkirakan akibatgagal jantung kiri. Gradasi sesak napas akibat
gagal jantung kiri dimana ventrikel kiri dan atau atrium kiri tinggi adalah :
 Dyspnea on Effort (DOE)
 Orthopnea
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
 Dyspnea at rest
Perbedaan prinsip DOE pada individu normal dengan penderita
gagal jantung kiri adalah derajat aktivitas yang menyebabkan keluhan.Pada
individu normal beban latihan berat menyebabkan dispneu.Pada gagal
jantung kiri yang makin berat, intensitas latihan yang menyebabkan dispneu
yang tidak terjadi sebelumnya. DOE pada gagal jantung kiri merupakan
akibat dari desaturasi arteri, hipertensi vena pulmonalis, dan stiff lung.
 Pemeriksaan Fisis
Sebagia.n besar pasien cemas dan tidak bias istirahat,seringkali
ekstremitas pucat dan keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.
 EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI.Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan ini
merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis Infark Miokard Gelombang Q. Sebagian kecil tetap menetap
menjadi Infark Miokard Non Gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya

11
tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami
angina pektoris tidak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa
elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non
Q.

Gambar 1. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien STEMI


Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Lokasi
N Gambaran EKG
o
Anterior
1 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V4/V5
Anteroseptal
2 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V3
Anterolateral
3 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL
Lateral
4 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V5-V6 dan inversi
gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I
dan aVL
Inferolateral
5 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6

12
(kadang-kadang I dan aVL).
Inferior
6 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, dan aVF
Inferoseptal
7 Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3
True8 posterior Gelombang R tinggi di V1-V2
dengan segmen ST depresi di V1-V3.
Gelombang T tegak di V1-V2
RV 9Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead
(V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada
infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam
beberapa jam pertama infark.

 Biomarker kerusakan jantung


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK) MB
dan Cardiac Spesific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial.
cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot miokard, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan Elevasi ST dan gejala AMI (Infark
Miokard Akut), terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas normal,
menunjukkan ada nekrosis jantung (miokard infark).
 CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik juga dapat
meningkatkan CKMB
 cTn : ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam.

13
Enzim cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah
5-10 hari.

Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi


segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan
lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran EKG dapat dilihat di Tabel
2.1. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria us ia≥40 tahun, S TEMI
ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm
bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi
dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu
(Antman, 2005).

6. Tatalaksana
 Terapi Menurut ACC/AHA
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana
semua pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-
platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor
Blocker

14
 Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna ( Sudoyo & Setiahadi, 2010).
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit ( Antman et al, 2008).

15
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor
penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat
fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian (Sutoyo, 2010).
 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik
dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien
< 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal
dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan
tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit (Fauci et al, 2010).
 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara
lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin
(Fauci et al, 2010)
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan
skala kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in
myocardial infarction (TIMI) grading system :

16
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati
titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
arah distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran
arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena
perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan
hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan laju
mortalitas, selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan
dalam reperfusi, fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita.
Keuntungan ini lebih nyata bila streptokinase diberikan dalam 6 jam
pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran pemberian
streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang
semaksimal mungkin (Antono, 2007).
Obat Fibrinolitik :
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien
yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intrakranial yang rendah. (Fesmire et al,
2006)
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA

17
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi. (Rieves et al, 2000)
4) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang (International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics,
1995).
5) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen
activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
(Manning, 2000)

18
BAB IV

KESIMPULAN

Telah dibahas pasien dengan diagnosis ST Elevasi Miokard Infark. Pada


pasien didapatkan anamnesis dada dirasakan nyeri mendadak, badan sering terasa
lemas secara tiba-tiba disertai pusing. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak
didapatkan kelainan. Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan pasien mengalami
elevasi pada sudut ST. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien tidak memiliki
penyakit diabetes mellitus ataupun kelainan enzim serta darah. Adapun
penatalaksanaan pada kasus ini antara lain pemberian cairan infus berupa Asering
(20 tpm), Injeksi Ranitidin ( 1 amp/12 jam), Injeksi Antalgin (1 amp/8 jam),
Injeksi SA (1 amp/12 jam), Obat peroral berupa Isosorbitdinitrat (3x5 mg),
Chlopidogril (1x5 mg), Aspilet (1x80 mg), Clobazam (1-0-1), Nairet (3x1).
Setelah mendapat terapi kondisi pasien berangsur-angsur membaik.

19

Anda mungkin juga menyukai