Anda di halaman 1dari 51

RESUME SKENARIO 4

BLOK 15

Oleh:
Tutorial E

Ayu Dilia Novita S 122010101009


Ardi Perkasa 122010101011
Muhammad Nur Arifin 122010101023
Ongky Dyah Anggraini 122010101025
Dimes Atika Permanasari 122010101045
Laily Rahmawati 122010101054
Intan Palupi 122010101056
Dzurrotul Athiyat 122010101057
Gilang Vigorous Akbar Eka C. 122010101058
Habibbur Rochman Salim 122010101082
Siti Sarah Hajar 122010101085
Yessie Elin Santoso 122010101094
Putri Erlinda Kusumaningarum 122010101098

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Daftar Isi
Halaman Judul
Daftar Isi
Skenario
Penyakit kulit alergi
Urtikaria atau angioderma
Syndrome Steven Johnson
Dermatitis
i. Atopic
ii. Kontak
iii. Suboroid
Infeksi virus
Varicela
Herpes simplex
Moluskum kontangiosum
Kondiloma akuminatum
Infeksi parasit
Scabies
Pediculosis
i. Capitis
ii. Pubis

Farmakologi
Dermatopikal
Anti-histamin

2
Skenario 4 : Alergi Pada Kulit

Seorang anak, berusia 4 tahun, dibawa berobat ke klinik UMC UNEJ karena keluhan gatal di
seluruh tubuh sejak 1 hari yang lalu. Awalnya timbul bentol kemerahan pada wajah yang sangat
gatal, makin lama makin banyak dan meluas seperti ada air di dalamnya. Karena gatal lalu
digaru, sehingga pecah dan lama-lama bernanah. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien
memiliki riwayat alergi telur dan ikan laut. Karena tidak ada perbaikan setelah diberi obat dari
apotik, orangtuanya membawanya ke UMC UNEJ. Dari pemeriksaan dermatologis di region
infra orbitalis dekstra tampak papul eritema dengan batas tegas, bentuk bulat dengan tepi tidak
beraturan.

3
1.Penyakit Kulit Alergi

A. URTIKARIA

1. DEFINISI

Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subyektif
biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Reaksi vaskuler tersebut muncul karena adanya respon dari pelepasan molekul oleh sel mast
mediator Urtikaria disebut juga Hives, nettle rash, rash, cnidosis, biduran, kaligata.
Dalam perjalanan penyakitnya dikenal 2 macam urtikaria, yaitu :urtikaria akut yang timbul
mendadak dan hilang dengan cepat Jenis urtikaria ini bias any a mengenai kelompok dewasa
muda dan penyebabnya mudah diketahui serta urtikaria kronis yang timbul berulang-ulang atau
berlangsung tiap hari selama lebih dari 6 minggu dan biasanya mengenai orang berusia
pertengahan dan cenderung Kambuh ulang.

Urtikaria kronik ditandai dengan bengkak yang edema, diikuti dengan rasa gatal, papul
atau plak pada kulit. Kalau urtikaria akut seringkali dihubungkan dengan keadaan alergi,
sebaliknya pada urtikaria kronik ternyata 90-95% penyebabnya tidak diketahui.

2. EPIDEMIOLOGI

Urtikaria dapat terjadi pada semua ras. Kedua jenis kelamin dapat terkena, tapi lebih
sering pada wanita usia pertengahan. Urtikaria kronik idiopatik terjadi 2 kali lebih sering pada
wanita daripada laki-laki.Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan urtikaria
kronik lebih sering terjadi pada usia dewasa.

3.ETIOLOGI
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria
bermacam-macam, diantaranya:
1. Makanan

Pada urtikaria akut, makanan adalah penyebab yang tersering sedangkan pada urtikaria
kronis makanan sebagai penyebab sangat jarang terjadi. Bermacam-macam pendapat
dikemukakan tentang peranan makanan dalam urtikaria kronik. Makanan – makanan yang paling
bersifat alergenik adalah coklat, kerang, kacang-kacangan, mentega, tomat, strawberry, melon,
keju, bawang dan rempah-rempah. Selain makanan – makanan yang bersifat alergenik diatas,
masih banyak makanan biasa yang pada sebagian orang menimbulkan alergi.

Metode yang paling bagus untuk menentukan suatu alergi makanan pada urtikaria kronis
adalah dengan eliminasi diet. Selain makanan, bahan-bahan lain yang dicampurkan ke makanan

4
sepertyi zat pewarna, pengawet dan lain-lain, juga sering menimbulkan urtikaria.
2. Obat-obatan

Obat-obatan yang paling sering menimbulkan urtikaria adalah penisilin. Dilaporkan juga
tingginya angka insidensi terjadinya urtikaria yang disebabkan aspirin.
Obat-obat lain yang dapat menyebabkan urtikaria antara lain :
sulfonamid, narkotik, AINS, vitamin, estrogen, insulin, kuinin, fenilbutazon, salisilat, ACE
inhibitor, diuretik, fenotiazin, probenesid, nitrofurantoin, prokain, thiouracil, isoniazid dan lain-
lain.
3. Infeksi

Peranan fokal infeksi kronis terhadap urtikaria masih belum dipastikan. Akan tetapi
kemungkinan adanya infeksi kronis sebagai penyebab urtikaria masih diteliti lebih lanjut.
Dalam suatu penelitian, 39,5 % dari total kasus urtikaria berhubungan dengan suatu ISPA atau
infeksi virus. . Agen infeksius yang dilaporkan menyebabkan urtikaria adalah : virus hepatitis B,
spesies streptococcus dan mikoplasma, Helicobacter pylori, Mycobacterium tuberculosis dan
virus herpes simplek.
4. Stres Emosional

Pada urtikaria kolinergik, stres adalah salah satu pencetus timbulnya urtikaria selain
penyebab yang lain.
5. Faktor-faktor fisik

Faktor-faktor fisik adalah etiologi tersering yang telah diketahui sebagai pencetus
timbulnya urtikaria kronik yaitu sekitar 20 %. Urtikaria fisik diagnosanya ditegakkan dengan
challenge testing.

Beberapa tipe urtikaria fisik diantaranya adalah :


a. Dermografisme (factitious urticaria)
Adalah suatu udem setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem
yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.
Perbedaan dengan reaksi fisiologis normal adalah adanya respon yang berlebihan terhadap
rangsangan yang relatif kecil.
b. Urtikaria tekanan (pressure urticaria)
Ditandai dengan berkembangnya pembengkakan dengan disertai rasa nyeri yang berlangsung 3-
12 jam setelah terjadi tekanan lokal. Biasanya terjadi pada kaki setelah berjalan atau pada pantat
setelah duduk lama.
c. Urtikaria akuagenik (aquagenik urticaria)
Pertama kali dijelaskan oleh Shelley dan Raunsley tentang urtikaria yang disebabkan oleh air dan
air laut pada bermacam-macam suhu.

5
Disebutkan pula bahwa air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-
antigen epidermal yang larut air.
d. Urtikaria kolinergik
Disebut juga heat-induced urticaria atau stress-induced urticaria. Terjadi karena aksi asetilkolin
terhadap sel mast. Meskipun rangsangan fisik yang dianggap sebagai pencetus adalah panas,
tetapi pencetus sebenarnya adalah karena berkeringat. Jadi hal-hal yang menimbulkan
rangsangan untuk berkeringat seperti olahraga, aktivitas yang berlebihan, suhu yang meningkat,
makanan yang pedas, mandi sauna, stres emosional dan hemodialis dapat menimbulakan
serangan pada beberapa orang.
e. Urtikaria adrenergik
Terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor
pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi dan coklat.
f. Urtikaria dingin (Cold urticaria)
Cold urticaria adalah salah satu bentuk urtikaria fisik yang mungkin bersifat primer (idiopatik)
atau sekunder karena penyakit hematologis atau infeksi.
Pemaparan dingin dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang bermanifestasi sebagai udem
dan urtika pada area yang terekspos. Wajah dan tangan merupakan tempat yang sering terjadi.
Mediator dari urtikaria jenis ini adalah histamin.
g. Urtikaria sinar (Solar urticaria)
Tipe urtikaria ini muncul segera sesudah pemaparan kulit langsung dari sinar matahari. Dapat
berupa reaksi hipersensitivitas yang relatif ringan seperti eritem, dapat pula berupa urtikaria yang
berat malaise dan shock.
h. Urtikaria panas (Heat urticaria)
Biasanya muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43o C. area yang terekspos menjadi
seperti terbakar dan tersengat dan jadi merah, bengkak dan indurasi.
i. Urtikaria getaran (vibratory urticaria)
Biasanya terjadi pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda.

Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria diantaranya yaitu :
1. Berdasarkan onset serangan
a. Urtikaria akut
Serangan berlangsung dalam beberapa jam sampai 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu
tapi muncul tiap hari.
b. Urtikaria kronis
Serangan berlangsung berulang-ulang dan terjadi selama lebih dari 6 minggu, berbulan-bulan
atau berlangsung beberapa tahun dengan interval bebas dari gejala klinik dalam beberapa hari
saja.
2. Berdasarkan morfologi klinis
a. Urtikaria papular

6
b. Urtikaria gutata
c. Urtikaria girata
3. Berdasarkan mekanisme terjadinya
a. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik Tergantung pada IgE
b. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
Langsung memacu sel mast, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya obat golongan opiat
dan bahan kontras)
Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakhidonat (misalnya aspirin, obat anti
inflamasi nonsteroid, golongan azodyes)
Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar dan bahan
kolinergik.
c. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan idiopatik.

4. PATOFISIOLOGI

Gangguan urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah dermal di bawah kulit
dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sell perivaskular, di antaranya yang paling
dominan adalah eosinofil. Kelainan ini disebabkan oleh mediator yang lepas, terutama histamin,
akibat degranulasi sell mast kutan atau subkutan, dan juga leukotrien dapat berperan. Histamin
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit sehingga kulit berwarna merah
(eritema). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
cairan dan sel, terutama eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan
pembengkakan kulit lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit
sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal. Bila pembuluh darah yang
terangsang adalah pembuluh darah jaringan subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka
edema yang terjadi tidak berbatas tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung
sedikit ujung saraf perifer, dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka
(periorbita dan perioral).

Urtikaria sering terjadi dan merupakan akibat dari degranulasi sel mast (reaksi
imunolpgis tipe 1) sebagai respons terhadap antigen, dengan pelepasan histamin dan mediator
vasoaktif lainnya, yang menyebabkan timbulnya eritema dan edema. Pasien-pasien dengan
kondisi ini, 70% diantaranya mengalami urtikaria idiopatik (dimana antigennya tidak diketahui),
sisanya mengalami bentuk urtikaria lain. Urtikaria, jika berat juga dapat mengenai jaringan
subkutan dan mengakibatkan terjadinya angioedema (pembengkakan pada tangan, bibir, sekitar
mata, dan walaupun jarang tetapi penting untuk diperhatikan yaitu pada lidah atau laring).

Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat terjadi melalui
mekanisme imun atau nonimun. Degranulasi sel mast dikatakan melalui mekanisme imun bila
terdapat antigen (alergen) dengan pembentukan antibodi atau sel yang tersensitisasi. Degranulasi
sel mast melalui mekanisme imun dapat melalui reaksi hipersensitivitas tipe I atau melalui
aktivasi komplemen jalur klasik. Beberapa macam obat, makanan, atau zat kimia dapat langsung

7
menginduksi degranulasi sel mast. Zat ini dinamakan liberator histamin, contohnya kodein,
morfin, polimiksin, zat kimia, tiamin, buah murbei, tomat, dan lain-lain. Masih belum jelas
mengapa zat tersebut hanya merangsang degranulasi sel mast pada sebagian orang saja, tidak
pada semua orang. Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang
saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya, aktivasi
dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast
menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Bahan-bahan ini meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast dan merangsang peningkatan aktivitas ELAM dan VCAM,
yang memicu migrasi limfosit dan granulosit menuju tempat terjadinya lesi urtikaria. Peristiwa
ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema lokal yang
dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan bengkak pada lapisan dermal kulit.
Urtikaria akut bisa terjadi secara sistemik jika allergen diserap kulit lebih dalam dan mencapai
sirkulasi. Kondisi ini terjadi pada urtikaria kontak, misalnya urtikaria yang terjadi karena
pemakaian sarung tangan latex, dimana latex diserap kulit dan masuk ke aliran darah, sehingga
menyebabkan urtikaria sistemik. Urtikaria akut juga bisa terjadi pada stimulasi sel mast tanpa
adanya ikatan IgE dengan allergen. Misalnya, pada eksposure pada media radiocontrast, dimana
pada saat proses radiologi berlangsung, akan terjadi perubahan osmolalitas pada lingkungan yang
mengakibatkan sel mast berdegranulasiFaktor imunologik maupun nonimunologik mampu
merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik
mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivate amidin, obat-
obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotic berperan pada keadaan ini.
Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang
mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan
mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol
dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada
yang kronik, biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel,
sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara
klasik maupun secara alternative menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan
dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada
keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak terjadi pemakaian bahan
serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.

8
5. PATOGENESIS dan HISTOPATOLOGIS

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang


menyebabkan trsnsudasi cairan dan protein. Transudasi cairan menyebabkan pengumpulan
cairan setempat sehingga secara klinis tampak udem dan kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
seperti histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxic (SRSA), prostaglandin
dan substansi-substansi lain oleh sel mast atau basofil. Sedangkan penyebab pelepasan mediator-
mediator tersebut dapat berupa faktor imunologik maupun non imunologik yang merangsang sel
mast dan atau basofil.

Faktor non imunologik berperan dengan cara memacu sel mast secara langsung, dan
mungkin terkait dengan peranan siklik AMP. Selain lewat pelepasan mediator, ada juga beberapa
keadaan seperti demam, panas, emosi dan alkohol yang berpengaruh pada pembuluh darah
secara langsung sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.

Faktor imunologik berperan pada urtikaria baik melewati peranan igE (reaksi alergik tipe
I), lewat peran komplemen (reaksi alergi tipe II dan III) maupun lewat kontak langsung (reaksi
alergi tipe IV). Defisiensi C1 esterase inhibitor secara genetik juga berpengaruh terhadap
urtikaria.

Selain melalui mekanisme-mekanisme diatas masih banyak mekanisme timbulnya


urtikaria yang lain yang masih belum bisa dijelaskan atau diketahui prosesnya.
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan
epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen
karena dipisahkan oleh udem dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler dan
pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik
perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang
bersangkutan.

6. DIAGNOSIS

Faktor pencetus urtikaria, antara lain adalah makanan tertentu (terutama telur, ikan,
kerang-kerangan, kacang-kacangan, susu, bahan pengawet makanan, bahan kimia yang
ditambahkan ke dalam makanan, dan zat pewarna makanan), obat-obatan, bahan hirupan
(inhalan), infeksi, gigitan serangga, faktor fisik, faktor cuaca (terutama dingin tapi bisa juga
panas berkeringat), faktor genetik, bahan-bahan kontak (misalnya: arloji, ikat pinggang, karet
sandal, karet celana dalam, dll) dan faktor psikis. Urtikaria terjadi sebagai akibat pelebaran
pembuluh darah dan peningkatan kepekaan pembuluh darah kecil (kapiler) sehingga
menyebabkan pengeluaran cairan dari dinding pembuluh darah, akibatnya terjadi bentol pada
kulit. Kondisi ini dikarenakan adanya pelepasan histamin yang dipicu oleh paparan allergen.
Urtikaria mudah dikenali yaitu bentol atau bercak meninggi pada kulit, berwarna merah dan
berwarna keputihan jika ditekan, gatal, dengan berbagai variasi bentuk dan ukuran. Penampakan

9
urtikaria beragam, mulai yang ringan berupa bentol merah dan gatal hingga bengkak pada
kelopak mata (bisa satu mata atau keduanya), bibir, daun telinga dan adakalanya disertai demam

Diagnosis urtikaria ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis


harus dilakukan dengan lengkap dan teliti serta lebih menekankan pada faktor-faktor etiologi
yang dapat menimbulkan urtikaria.

ManifestasiKlinis
Gejala urtikaria ini dapat terjadi segera atau beberapa hari setelah kontak dengan bahan
penyebab.
Keluhan subyektif kadang-kadang gatal, rasa terbakar dan rasa tertusuk. Klinis tampak eritem
dan udem setempat berbatas tegas (urtika), bentuknya dapat papular besarnya dapat lentikular,
numular sampai plakat. Ruam yang khas untuk urtikaria adalah urtika.

Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan subkutan atau submukosa
dan juga mengenai alat-alat dalam seperti saluran pencernaan dan nafas disebut angioedema.
Pada urtikaria akut, lesi dapat polimorfik dan bermacam-macam ukurannya dari beberapa
milimeter sampai plak yang luas. Plak mempunyai permukaan yang halus dengan batas kurva
yang polisiklik. Lesi menunjukkan eritem pada yang masih baru dan diikuti daerah pucat pada
area yang lama. Central clearing dapat membentuk suatu konfigurasi target pada plak yang
meluas. Lesi berlangsung kurang dari 24 jam dan tidak terbentuk scar.
Pada urtikaria kolinergik lesi dapat timbul di semua tempat kecuali telapak tangan dan telapak
kaki serta jarang di aksila. Kadang-kadang muncul beberapa urtika yang gatal berukuran 1-4
milimeter yang sekelilingnya berwarna kemerahan.
Pada dermografisme lesi khas berupa edem dan eritem yang linear di kulit yang timbul sekitar 30
menit terkena goresan benda tumpul.
Pada adrenergik urtikaria, urtika dikelilingi oleh vasokonstriksi dan berespon positif terhadap
epinefrin atau norepinefrin.

B. Steven Johnson Syndrome (SJS)

Steven Johnson Syndrome merupakan salah satu reaksi hipersensitivitas tipe 2. Reaksi ini
menyerang keratinosit sehingga menimbulkan gejala.
Steven Johnson Syndrome lebih banyak terjadi pada dewasa daripada anak-anak karena
sistem imun pada individu dewasa sudah baik. Penyebab dari SJS dapat berupa alergi obat,
infeksi, malignancy (keganasan), dan idiopatik. Pada dewasa penyebab paling sering adalah
reaksi alergi obat, dan pada anak-anak adalah infeksi.

10
Obat-obatan golongan sulfa, fenitoin, dan penisilin dilaporkan menjadi riwayat
pengobatan pada 2/3 kasus yang dilaporkan.

Patofisiologi
Pada reaksi alergi obat terjadi aktivitas sel T, CD4, CD8, dan IL-5 yang meningkat.
Sistem imun tubuh mendestruksi kulit dari dalam, menyebabkan kerusakan sebagai berikut :
1. Kegagalan fungsi kulit yang dapat berujung pada dehidrasi
2. Kegagalan fungsi imun kulit
3. Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi insulin
4. Kegagalan thermoregulasi
5. Infeksi.

Gejala
Gejala yang dapat ditemukan berupa pruritus seluruh badan pasien, pasien mengeluhkan
sensasi terbakar, penurunan kesadaran yang dapat timbul menjadi kondisi gawat darurat.

Terapi
SJS merupakan keadaan gawat darurat. Penanganan ABC (Airway, Breathing,
Circulation) harus menjadi penanganan pertama pada pasien. Apabila ABC dari pasien sudah
membaik, dapat dilanjutkan ke terapi selanjutnya.
SJS merupakan reaksi hipersensitivitas, pemberian kortikosteroid dengan dosis tinggi
diharapkan dapat menekan kerja dari sistem imun tubuh, namun hal ini masih kontroversial.
Pilihan terapi lain yang dapat diberikan adalah IVIG (intravenous immunoglobulin).

II. DERMATITIS ATOPIC

Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berulang dan kronis dengan disertai gatal. Pada
umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak dan sering berhubungan dengan peningkatan
kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Sinonim dari penyakit ini
adalah eczema atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo
Besnier

a. Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan: Pasien datang dengan keluhan gatal yang bervariasi lokasinya tergantung pada jenis
dermatitis atopik (lihat klasifikasi).

11
- Gejala utama DA adalah pruritus (gatal), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk.
- Pasien biasanya mempunyai riwayat juga sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau
merasa tertekan.

b. Faktor Risiko
1) Wanita lebih banyak menderita DA dibandingkan pria (rasio 1.3 : 1).
2) Riwayat atopi pada pasien dan atau keluarga (rhinitis alergi, konjungtivitis alergi/vernalis,
asma bronkial, dermatitis atopik, dll).
3) Faktor lingkungan: jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu semakin tinggi, penghasilan
meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik.
4) Riwayat sensitif terhadap wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung, dan sejenisnya.

c. Faktor Pemicu
- Makanan: telur, susu, gandum, kedelai, dan kacang tanah.
- Tungau debu rumah
- Sering mengalami infeksi di saluran napas atas (kolonisasi Staphylococus aureus)

d. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective) 1)


Pemeriksaan FisikPatognomonis
Kulit penderita DA:
- Perabaan Kering,
- Pucat/redup,
- Jari tangan teraba dingin.
- Terdapat papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi dan krusta pada lokasi
predileksi.

2) Predileksi
- Tipe bayi (infantil)
 Dahi, pipi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai, serta lutut (pada anak
yang mulai merangkak).
 Lesi berupa eritema, papul vesikel halus, eksudatif, krusta.
- Tipe anak
12
 Lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian dalam, kelopak mata, leher, kadang-
kadang di wajah.
 Lesi berupa papul, sedikit eksudatif, sedikit skuama, likenifikasi, erosi. Kadang-
kadang disertai pustul.
- Tipe remaja dan dewasa
 Lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi, sekitar mata, tangan dan pergelangan
tangan, kadang-kadang ditemukan setempat misalnya bibir mulut, bibir kelamin
puting susu, atau kulit kepala.
 Lesi berupa plak papular eritematosa, skuama, likenifikasi, kadang-kadang erosi dan
eksudasi, terjadi hiperpigmentasi.

3) Berdasarkan derajat keparahan terbagi menjadi


- DA ringan: apabila mengenai < 10% luas permukaan kulit.
- DA sedang: apabila mengenai kurang dari 10-50% luas permukaan kulit.
- DA berat: apabila mengenai kurang dari > 50% luas permukaan kulit.

4) Tanpa penyulit (umumnya tidak diikuti oleh infeksi sekunder).


5) Dengan penyulit (disertai infeksi sekunder atau meluas dan menjadi relekalsitran (tidak
membaik dengan pengobatan standar).
6) Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan dan dapat dilakukan di pelayanan primer):
- Pemeriksaan IgE serum

e. Penegakan Diagnosis (Assessment)


1) Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan Pemeriksaan Fisik harus terdiri dari 3
kriteria mayor dan 3 kriteria minor dari kriteria Williams (1994) di bawah ini.
- Kriteria Mayor:
 Pruritus
 Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
 Dermatitis di fleksura pada dewasa
 Dermatitis kronis atau berulang
 Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
- Kriteria minor:
13
 Xerosis.
 Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus atau virus herpes simpleks).
 Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis piliaris.
 Pitriasis alba.
 Dermatitis di papilla mamae.
 White dermogrhapism dan delayed blanch response.
 Kelilitis.
 Lipatan infra orbital Dennie-Morgan.
 Konjunctivitis berulang.
 Keratokonus.
 Katarak subskapsular anterior.
 Orbita menjadi gelap.
 Muka pucat atau eritem.
 Gatal bila berkeringat.
 Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak.
 Aksentuasi perifolikular.
 Hipersensitif terhadap makanan.
 Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh factor lingkungan dan atau emosi.
 Tes kulit alergi tipe dadakan positif.
 Kadar IgE dalam serum meningkat.
 Mulai muncul pada usia dini.

Pada bayi, kriteria Diagnosis dimodifikasi menjadi:


- kriteria mayor berupa:
 Riwayat atopi pada keluarga.
 Dermatitis pada muka dan ekstensor.
 Pruritus.
- ditambah 3 kriteria minor berupa:
 Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular.
 Fisura di belakang telinga.
 Skuama di scalp kronis.

f. Diagnosis Banding
14
- Dermatitis seboroik (terutama pada bayi),
- Dermatitis kontak,
- Dermatitis numularis,
- Skabies,
- Iktiosis,
- Psoriasis (terutama di daerah palmoplantar),
- Sindrom Sezary,
- Dermatitis herpetiformis.

Pada bayi, Diagnosis banding, yaitu:


- Sindrom imunodefisiensi (misalnya sindrom Wiskott-Aldrich),
- Sindrom hiper IgE.

g. Komplikasi
- Infeksi sekunder
- Perluasan penyakit (eritroderma)

h. Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


1) Penatalaksanaan
- Penatalaksanaan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yaitu:
 Menemukan faktor risiko
 Menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan termasuk pakaian sepert wol atau
bahan sintetik
 Memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab
 Menjaga kebersihan bahan pakaian
 Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan
 Membilas badan segera setelah selesai berenang untuk menghindari kontak klorin
yang terlalu lama
 Menghindari stress psikis
 Menghindari bahan pakaian terlalu tebal, ketat, kotor
 Pada bayi, menjaga kebersihan di daerah popok, iritasi oleh kencing atau feses, dan
hindari pemakaian bahan-bahan medicatedbaby oil
 Menghindari pembersih yang mengandung antibakteri karena menginduksi resistensi
15
- Untuk mengatasi keluhan, farmakoterapi diberikan dengan:
 Topikal (2x sehari)
Pada lesi di kulit kepala, diberikan kortikosteroid topikal, seperti: Desonid krim
0.05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonidkrim 0.025%)
selama maksimal 2 minggu.
Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat
diberikan golongan betametason valerat krim 0.1% atau mometason furoat krim
0.1%).
Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal atau
sistemik bila lesi meluas.
 Oral sistemik
• Antihistamin sedatif yaitu: hidroksisin (2 x 1 tablet) selama maksimal 2 minggu,
atau
• Loratadine 1x10 mg/ hari atau antihistamin non sedatif lainnya selama maksimal 2
minggu

2) Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)


Pemeriksaan untuk menegakkan atopi, misalnya skin prick test/tes uji tusuk pada kasus
dewasa.
- Konseling dan Edukasi
 Penyakit bersifat kronis dan berulang sehingga perlu diberi pengertian kepada seluruh
anggota keluarga untuk menghindari faktor risiko dan melakukan perawatan kulit
secara benar.
 Memberikan informasi kepada keluarga bahwa prinsip pengobatan adalah
menghindari gatal, menekan proses peradangan, dan menjaga hidrasi kulit.
 Menekankan kepada seluruh anggota keluarga bahwa modifikasi gaya hidup tidak
hanya berlaku pada pasien, juga harus menjadi kebiasaan keluarga secara
keseluruhan.

- Rencana Tindak Lanjut

16
 Diperlukan pengobatan pemeliharaan setelah fase akut teratasi. Pengobatan
pemeliharaan dengan kortikosteroid topikal jangka panjang (1 kali sehari) dan
penggunaan krim pelembab 2 x sehari, sepanjang waktu.
 Pengobatan pemeliharaan dapat diberikan selama maksimal 4 minggu.
 Pemantauan efek samping kortikosteroid. Bila terdapat efek samping, kortikosteroid
dihentikan.

- Kriteria Rujukan
 Dermatitis atopik luas, dan berat
 Dermatitis atopik rekalsitran atau dependent steroid
 Bila diperlukan skin prick test/tes uji tusuk
 Bila gejala tidak membaik dengan pengobatan standar selama 4 minggu
 Bila kelainan rekalsitran atau meluas sampai eritroderma

i. Sarana Prasarana
- Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan KOH.
- Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Gram.

j. Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, dapat terkendali dengan pengobatan pemeliharaan.

II. Dermatitis Kontak Alergi


Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis atau peradangan kulit yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitasi.
Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan
berat kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang
timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di
kulit.

17
Dermatitis kontak alergik terjadi bila alergen atau senyawa sejenis menyebabkan reaksi
hipersensitvitas tipe lambat pada paparan berulang. Dermatitis ini biasnaya timbul sebagai
dermatitis vesikuler akut dalam beberapa jam sampai 72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit
memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila tidak terjadi paparan ulang.
Reaksi yang paling umum adalah dermatitis rhus, yaitu reaksi alergi terhadap poison ivy dan
poison cak.
Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV.
Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dlam
waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu
mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya
kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang terikat dengan protein,
membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan ntigten yang telh
diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensisi dan
berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-
sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga
menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama
sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat
kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi.
Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-
bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul
setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat
terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis
disebut fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam(Djuanda, Adhi. 2004)
Gejala
Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritema berbatas tegas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini
sulit dibedaknn dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.
Gejala yang umum dirasakan penderita adalah pruritus yang umumnya konstan dan
seringkali hebat (sangat gatal). DKA biasanya ditandai dengan adanya lesi eksematosa berupa
eritema, udem, vesikula dan terbentuknya papulovesikula; gambaran ini menunjukkan aktivitas
tingkat selular. Vesikel-vesikel timbul karena terjadinya spongiosis dan jika pecah akan
mengeluarkan cairan yang mengakibatkan lesi menjadi basah. Mula-mula lesi hanya terbatas
pada tempat kontak dengan alergen, sehingga corak dan distribusinya sering dapat meiiunjukkan

18
kausanya,misalnya: mereka yang terkena kulit kepalanya dapat curiga dengan shampo atau cat
rambut yang dipakainya. Mereka yang terkena wajahnya dapat curiga dengan cream, sabun,
bedak dan berbagai jenis kosmetik lainnya yang mereka pakai. Pada kasus yang hebat, dermatitis
menyebar luas ke seluruh tubuh.
Diagnosis
Diagnosis didasarakan pada hasil diagnosis yang cermat dan pemeriksan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya ada kelainan kulit berupa lesi numularis disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifiksi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memeakai kancing
celana atau kepala ikat pinggan yang terbuat dari logam(nikel). Data yang berrsal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui dapat menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalissasssi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemugnkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran,
di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemerikassaan hendaknya
dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena
sebab-sebab endogen.
Diagnosis didasarkan pada riwayat paparan terhadap suatu alergen atau senyawa yang
berhubungan, lesi yang gatal, pola distribusi yang mengisyaratkan dermatitits kontak. Anamnesis
harus terpusat kepada sekitar ppaparan tehadap alergen yan gumum. Untuk mengidentifikasi
agen penyebab mungkin diperlukan kerja mirip detektif yang baik.
Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya
kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada
dermatitis kontak alergik akut yang ditandai dengan eritema, edema. Bula atau vesikel, serta
ekskluatif, misalnya predinson 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah
beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Secara bertahap, dpat diakukan hal-hal dibawah ini :
a. Identifikasi agen-agen penyebab dan jauhlan pasien dari paparan, walaupun seringkal hal
ini sukar, khususnya pada kasus kronik.
b. Tindakan simtomatik untuk mengontrol rasa gatal degan penggunaaan tunggal atau dalam
bentuk kombinasi:
c. Antihistamin oral
Hidroksizin hidroklorida 10-50 mg setiap 6 jam bilamana perlu.
d. Lasio topikal yang mengandung menol, fenol, atau premoksin sangat berguna
untuk meringankan rasa gatal sementara, dan tidak mensensitisasi, tidak seperti
benzokain dan difenhidramin. Obat-obatan bebas yang dapat digunakan antara lain lasio

19
atau obat semprot sarna dan lasio Prax Cetapil dengan mentol 0,25% dan fenol 0,25%
dapat dibeli dengan resep dokter.
e. Kortikosteroid topikal, berguna bila daerah yang terkena terbatas atau bila kortikosteroid
oral merupakn kontraindikasi. Kortikosteroid topikal poten diperlukan untuk mengurangu
reaksi dermatitis kontak alergi.
f. Kortikosteroid oral : berguna untuk dermatitis kontak alergik sistemik atau yang
mengenai wajah atau pada kasus di man rasa gatal tidak dapat dikontrol dengan tindakan-
tindakan lokal. Obati setiap infeksi bakteri sekunder.
g. Pasien dengan penyakit kronik yang tidak membrikan respons terhadap terapi dan
penghindaran semua penyebab yang dicurigai harus dirujuk ke ahli kulit atau ahli lergi
untuk tes tempel.
Pemeriksaan Penunjang
adapun pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan eosinofil darah tepi
b. Pemeriksaan imminoglobulin E
1). Uji tempel (patch test)
Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup
dengan bahan impermeabel, kemudian ditrekat degan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi
dibuka setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam atau 96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan
baru memebrri reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtika
sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reakssi karena alergi kontak atau krena
iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam( reksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergik
kontak makin meningkat.
2). Uji tusuk (prick test)
3). Uji gores (scratch test)
Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
didingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen.

II. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)

Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur,
ras dan jenis kelamin. Penyebab munculnya dermatitis jenis iritan ini adalah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan
kulit ini dipengaruhi oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, dan vehikulum, lama kontak,
kekerapan terkena dermatitis kontak, adanya oklusi menyebabkan kulit permeabel, demikian
pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembapan lingkungan juga ikut berperan. Faktor
individu juga berpengaruh, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan

20
perbedaan permeabilitas; usia misalnya anak di bwah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah
teriritasi; ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih; jenis kelamin (DKI lebih banyak
terjadi pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang di alami misalnya dermatitis atopik.

Patogenesis :

Pada lapisan tanduk terjadi denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan
mengubah daya ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid
membrane) keratinosit, tetapi bisa juga menembus membran sel dan merusak lisososm,
mitokondria atau komponen inti. Pada kontak dengan iritan , keratinosit juga melepaskan TNF
alfa yang merupakan suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktivasi sel-T, makrofag dan
granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.

Kejadian diatas bisa menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit
berupa eritema, edema, panas, nyeri bila iritan kuat.

Gejala klinis yang terjadi beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut,
sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga karena faktor individu dan faktor
lingkungan .

Perbedaan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan Dermatitis Kontak Iritan (DKI)

Dermatitis Kontak Iritan :

- Penyebab : iritan primer

- Permulaan : pada kontak pertama

- Penderita : semua orang bisa terkena

- Lesi : batas lebih jelas, eritema jelas, monomorf

- Uji tempel : sesudah di tempel 24 jam, bila iritan diangkat, reaksi akan berhenti.

- Dermatitis Kontak Alergi (DKA) :

- Penyebab : alergen kontak S. sensitizer

- Permulaan : pada kontak ulang

21
- Penderita : hanya orang yang alergi

- Lesi : batas tidak begitu jelas, eritema tidak ada, polimorf

- Uji tempel : Bila sudah 24 jam, bahan alergen diangkat, reaksi menetap,meluas dan akhirnya
akan berhenti juga.

Diagnosis dan diagnosis banding Dermatitis Kontak

* Diagnosis dan diagnosis banding DKI

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut
lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih
ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta
mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak alergi. Untuk itu diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.

Diagnosis banding : dermatitis kontak alergi

Gambar dermatitis kontak iritan

22
III. Dermatitis Seboroik

Definisi

Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamatoir kulit yang biasanya dimulai pada kulit kepala,
dan kemudian menjalar ke muka, kuduk, leher dan badan. Istilah dermatitis seboroik (D.S.)
dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat
predileksi di tempat-tempat seboroik. Penyakit ini sering kali dihubungkan dengan peningkatan
produksi sebum (seborrhea) dari kulit kepala dan daerah muka serta batang tubuh yang kaya
akan folikel sebaceous. Dermatitis seboroik sering ditemukan dan biasanya mudah dikenali.
Kulit yang terkena biasanya berwarna merah muda (eritema), membengkak, ditutupi dengan
sisik berwarna kuning kecoklatan dan berkerak. Penyakit ini dapat mengenai semua golongan
umur, tetapi lebih dominan pada orang dewasa. Pada orang dewasa penyakit ini cenderung
berulang, tetapi biasanya dengan mudah dikendalikan. Kelainan ini pada kulit kepala umumnya
dikenal sebagai ketombe pada orang dewasa dan “keluar saraf’ (cradle cap) pada bayi.

Insidens dan Prevalensi

Tidak ada data pasti yang tersedia pada insiden dan prevalensi, tetapi penyakit ini
diyakini lebih banyak ditemukan daripada psoriasis, misalnya, mempengaruhi minimal 2-5 %
dari populasi. Dermatitis seboroik sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki dan berusia kepala
dua, satu di bayi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan yang kedua sekitar dekade keempat
sampai ketujuh kehidupan. Prevalensinya 40-80 % pada pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome. Sedangkan di Amerika Serikat prevalensi dari Dermatitis seboroik
adalah sekitar 1-3% dari jumlah populasi umum, dan 3-5% terjadi pada dewasa muda.

Etiopatogenesis

23
Penyebabnya belum diketahui pasti. Faktor presdiposisinya ialah kelainan konstitusi
berupa status seboroik (seborrhoic state) yang rupanya diturunkan, bagaimana caranya belum
dipastikan. Penderita pada hakekatnya mempunyai kulit yang berminyak (seborrhoea), tetapi
mengenai hubungan antara kelenjar minyak dan penyakit ini belum jelas sama sekali. Ada yang
mengatakan kambuhnya penyakit ini (yang sering menjadi chronis-recidivans) disebabkan oleh
makanan yang berlemak, tinggi kalori, akibat minum alkohol dan gangguan emosi.

Penyakit ini berhubungan dengan kulit yang berminyak (seborrhea), meskipun


peningkatan produksi sebum tidak selalu dapat di deteksi pada pasien ini. Seborrhea merupakan
faktor predisposisi terjadinya dermatitis seboroik, namun dermatitis seboroik bukanlah penyakit
yang terjadi pada kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea tersebut aktif pada bayi baru lahir,
kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormone androgen dari ibu
berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang
pada usia sebelum akil balik dan insidensinya mencapai puncaknya pada umur 18 – 40 tahun,
dan kadang-kadang pada umur tua. Tingginya insiden dermatitis seboroik pada bayi baru lahir
setara dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usia tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa bayi yang baru lahir memiliki kelenjar sebasea dengan tingkat sekresi sebum yang tinggi.
Pada masa kecil, terdapat hubungan yang erat antara dermatitis seboroik dengan peningkatan
produksi sebum. Kondisi ini dikenal sebagai dermatitis seboroik pada bayi, hal tersebut normal
ditemukan pada bulan pertama kehidupan, berbeda dengan kondisi dermatitis seboroik yang
terjadi pada masa remaja dan dewasa. Pada dewasa sebaliknya, tidak ada hubungan yang erat
antara peningkatan produksi sebum dengan dermatitis seboroik, jika terjadi puncak aktivitas
kelenjar sebasea pada masa awal pubertas, dermatitis seboroik mungkin terjadi pada waktu
kemudian. Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor predisposisi
timbulnya Dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara
keaktifan kelenjar tersebut dengan sukseptibilitas untuk memperoleh Dermatitis seboroik.

Tempat terjadinya dermatitis seboroik memiliki kecenderungan pada daerah wajah,


telinga, kulit kepala dan batang tubuh bagian atas yang sangat kaya akan kelenjar sebasea. Dua
penyakit yang memiliki tempat predileksi yang sama di daerah ini yaitu dermatitis seboroik dan
Acne.

Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi
oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan
P.ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya
yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri, melalui aktivasi sel
limfosit T dan sel Langerhans. Penelitian di Rosenberg telah menunjukkan bahwa 2%
ketokonazole kream dapat mengurangi jumlah dari organism yang terdapat pada lesi di kulit
kepala atau kulit yang berminyak, pada saat yang bersamaan juga dapat menghilangkan gejala
dermatitis seboroik. Penjelasan ini dimana jamur yang menjadi penyebabnya dapat dilkakukan
pencegahannya. Akan tetapi, penelitian lain menunjukkan bahwa P. ovale dapat terjadi pada kulit
kepala yang tidak menunjukkan gejala klinis dari penyakit ini. Status seboroik sering berasosiasi
24
dengan meningginya sukseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi tidak terbukti bahwa
mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatitis seboroik.

Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti
psoariasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya.
Pada orang yang telah mempunyai factor predisposisi, timbulnya D.S. dapat disebabkan oleh
faktor kelelahan, stress, emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

Kondisi ini dapat diperburuk dengan meningkatnya keringat. Stress emosional dapat
mempengaruhi penyakit ini juga. Dermatitis seboroik dapat juga menjadi komplikasi dari
Parkinsonisme, yang berhubungan dengan seborrhoea. Pengobatan dari parkinson dengan
levodopa mengurangi ekskresi sebum sejak seborrhea pertama kali ditemukan, tetapi tidak ada
efeknya pada kecepatan ekskresi sebum yang normal. Obat neuroleptik yang digunakan untuk
menginduksi parkinsonsnisme, salah satunya haloperidol, dapat juga menginduksi terjadinya
dermatitis seboroik.

Histopatologis

Gambaran histologi bermacam-macam sesuai dengan stadium penyakitnya. Pada dermatitis


seboroik akut dan subakut, tersebar superficial infiltrat perivascular dari limfosit dan histiosit,
dari spongiosis yang ringan sampai yang berat, hiperplasia bentuk psoriasis ringan, Pinkus’s
“spurting papilla” hampir sering terlihat sebgai cirri khas dari dermatitis seboroik sama seperti
psoariasis, tetapi abses Munro tidak ada. Penyumbatan folikel oleh karena orthokeratosis dan
parakeratosis dan kerak-kerak yang mengandung neutrofil. Pada dermatitis seboroik yang kronis
terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler dan vena pada plexus superficial.

Gejala klinis

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang ringan hanya mengenai kulit kepala
berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh
kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan kasar. Kelaianan tersebut pitiriasis sika
(ketombe, dandruff). Bentuk yang berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai
eritema dan krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan
rontok, mulai di bagian vertex dan frontal.

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak
disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela, telinga postaurikular dan leher.
Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering cembung.

25
Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor,
dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debris-
debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cradle cap.

Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit di
bawahnya eritematosa dan gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula
blefaritis, yakni pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus. Pada tepi bibir bias
kemerahan dan berbintik-bintik (marginal blefaritis). Daerah konjungtiva pada saat bersamaan
juga dapat terkena. Lipatannya dapat berwarna kekuningan, dengan kerak, dengan batas yang
tidak jelas. Pruritus juga bias terlihat. Jika area glabela juga terkena, disana juga mungkin
terdapat kerak pada kerutan mata yang berwarna kemerahan. Pada lipatan bibir mungkin terdapat
perubahan warna berupa kerak yang kekuningan atau kemerahan, kadang-kadang dengan
lubang-lubang. Pada pria, radang folikel rambut pada kumis juga bisa terjadi.

Selain tempat-tempat tersebut dermatitis seboroik juga dapat mengenai liang telinga luar,
lipatan nasolabial, daerah sternum, areola mamae, lipatan di bawah mamae pada wanita,
interskapular, umbilicus, lipat paha, dan daerah anogenital. Pada daerah pipi, hidung, dan dahi,
kelainan dapat berupa papul-papul.

Pada telinga, dermatitis seboroik sering disalahartikan dengan radang daun telinga ayng
disebabkan oleh jamur (otomikosis). Disana terdapat kulit terkelupas pada lubang telinga, dan
disekitar meatus auditivus, dan depan daun telinga. Pada daerah ini kulit biasanya berubah
menjadi kemerahan, dengan lubang-lubang dan bengkak. Eksudasi serosa, pembengkakan pada
telinga dan daerah sekitarnya. Pemberian tetes cortipsorin otic, berisi polymyxin B-
hydrocortisone, 4 tetes pada saluran telinga, biasanya untuk membersihkan. Tridesilon Otic
lotion, 0,5 persen desonide dan 2 persen asam asetat, juga efektif.

Dermatitis seboroik pada wajah juga bisa berbentuk erupsi popular pada pipi, hidung dan
dahi. Kemerahan yang tampakpada area alar-malar disebut dyssebacea. Sodium sulfacetamide,
bisa digunakan pada 10% krim yang cocok diantaranya desonide (Tridesilon), hamper menajdi
pengobatan yang spesifik untuk dyssebacea.

Pada bibir dan mukosa tidak biasanya terkena, tapi kadang-kadang terdapat perubahan
pada bibir, yang disebut cheilits exfoliativa. Tampak bibir berwarna merha terang, kering,
terkelupas, dan berlobang.

Dermatitis seboroik biasa pada lipat paha dan bokong, dimana terlihat seperti kurap,
psoariasis, atau jamuran. Garinya terlihat seperti kulit terkelupas pada keduanya dan simetris.
Pada lokasi ini lobang-lobang dapat ditemukan dan mungkin juga terdapat garis psoariformis
dengan kulit kering pada beberapa kasus.

Dermatitis seboroik dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika meluas dapat
menjadi eritroderma, pada bayi disebut penyakit Leiner.

26
Diagnosis banding

Gambaran klinis yang khas pada dermatitis seboroik ialah skuama yang berminyak dan
kekuningan dan berlokasi di tempat-tempat seboroik.

Psoariasis berbeda dengan dermatitis seboroik karena terdapat skuama-skuama yang


berlapis-lapis, disertai tanda tetesan lilin dan Auspitz. Tempat predileksinya juga berbeda. Jika
psoariasis mengenai scalp dibedakan dengan dermatitis seboroik Perbedaannya ialah skuamanya
lebih tebal dan putih seperti mika, kelaianan kulit juga pada perbatasan wajah dan scalp dan
tempat-tempat lain sesuai dengan tempat predileksinya. Psoariasis inversa yang mengenai daerah
fleksor juga dapat menyerupai dermatitis seboroik.

Pada lipatan paha dan perianal dapat menyerupai kandidosis. Pada kandidosis terdapat
eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di sekitarnya.

Dermatitis seboroik yang menyerang saluran telinga luar mirip otomikiosis dan otitis
eksterna. Pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sediaan langsung. Otitis eksterna
menyebabkan tanda-tanda radang, jika kaut terdapat pus.

Diffrensial diagnosis dari penyakit ini beragam di setiap tempatnya.

Kepala : dandruff, psoriasis, dermatitis atopic, impetigo

Saluran telinga : psoriasis atau dermatitis kontak, irritant atau alergi

Wajah : rosacea, dermatitis kontak, psoriasis, impetigo

Dada dan punggung : pityriasis versicolor, pityriasis rosea, psoriasis

Kelopak mata : dermatitis atopic, psoriasis, demodex folliculorum (demodicosis)

Daerah intertriginosa : psoriasis dan candidiasis

Pengobatan

Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agak sukar disembuhkan, meskipun
penyakitnya dapat terkontrol. Faktor predisposisi hendaknya diperhatikan, misalnya stres
emosional dan kurang tidur. Mengenai diet, dianjurkan miskin lemak.

Pada Bayi

1. Kulit kepala

27
Pengobatan terdiri dari 3-5% asam salisilat dalam minyak zaitun atau air, diaplikasikan
emollientngan glukokortikosteroid dalam cream atau lotion selama beberapa hari, sampo bayi,
perawatan kulit yang teratur dengan emollient, cream, dan pasta.

2. Area intertriginosa

Pengobatan meliputi lotion pengering, seperti 0,2-0,5 % clioquinol dalam zinc lotion atau zinc
oil. Pada kandidiasis lotion atau cream nistatin atau amphotericin B dapat dicampur dengan pasta
lembut.

Pada dewasa

1. kulit kepala

Dianjurkan sampo yang mengandung selenium sulfide, imidazoles, zinc pyrithion, benzoyl
peroxide, asam salisilat, tar atau deterjen. Keraknya dapat diperbaiki dengan pemberian
glucocorticosteroid pada malam hari, atau asam salisilat dalam larutan air. Tinctura, larutan
alkohol, tonik rambut, dan produk sejenis biasanya memicu terjadinya inflamasi dan harus
dihindari.

2. Wajah dan badan

Pasien harus menghindari salep berminyak dan mengurangi penggunaan sabun. Larutan alkohol,
penggunaan lotion sebelum dan sesudah cukur tidak dianjurkan. Glucocorticosteroid dosis
rendah (hydrocortison) cepat membantu pengobatan penyakit ini, penggunaan yang tidak
terkontrol akan menyebabkan dermatitis steroid, rebound phenomenon steroid, steroid rosacea
dan dermatitis perioral.

Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien dengan
AIDS. Sehingga merupakan salah satu lesi tanda dan harus lebih hati-hati dalam menangani
pasien dengan resiko tinggi.

3. Antifungal

Pengobatan antifungal seperti imidazole dapat memberikan hasil yang baik. Biasanya digunakan
2 % dalam sampo dan cream. Dalam pengujian yang berbeda menunjukkan 75-95 % terdapat
perbaikan. Dalam percobaan ini hanya ketokonazol dan itakonazol yang dipelajari, imidazole
yang lain seperti econazole, clotrimazol, miconazol, oksikonazol, isokonazol, siklopiroxolamin
mungkin juga efektif. Imidazol seperti obat antifungal lainnya, memiliki spektrum yang luas, anti
inflamasi dan menghambat sintesis dari sel lemak.

4. Metronidazole

Metronidazol topikal dapat berguna sebagai pengobatan alternatif untuk dermatitis seboroik.
Metronidazol telah berhasil digunakan pada pasien dengan rosacea. Tidak ada studi yang formal,

28
dan obat ini hanya terdaftar sebagai pengobatan untuk rosacea. Rekomendasi ini berdasarkan
pengalaman pribadi.

Pengobatan sistemik

Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 20-30 mg sehari. Jika
telah ada perbaiakn, dosis diturunkan perlahan-lahan. Kalau disertai infeksi sekunder diberi
antibiotic.

Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya mengurangi aktivitas
kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%, akibatnya terjadi
pengurangan produksi sebum. Dosinya 0,1-0,3 mg per kg berat badan per hari, perbaikan tapmak
setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg per hari selama beberapa
tahun yang ternayta efektif untuk mengontrol penyakitnya.

Pada D.S. yang parah juga dapat diobati dengan narrow band UVB (TL-01) yang cukup
aman dan efektif. Setelah pemberian terapi 3 x seminggu selama 8 minggu, sebagian besar
penderita mengalami perbaikan.

Bila pada sediaan langsung terdapat P. ovale yang banyak dapat diberikan ketokonazol,
dosisnya 200 mg per hari.

Pengobatan topical

Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2 – 3 kali scalp dikeramasi selama 5 – 15 menit,
misalnya dengan selenium sufida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta diberi emolien,
misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk D.S. ialah :

- ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar


- resorsin 1-3%
- sulfur praesipitatum 4 – 20%, dapat digabung dengan asam salisilat 3 - 6%
- Kortikostreroid, misalnya krim hidrokortison 2½ %. Pada kasus dengan inflamasi yang
berat dapat dipakai kostikosteroid yang lebih kuat, misalnya betametason valerat, asalkan
jangan dipakai terlalu lama karena efek sampingnya.
- Krim ketokonasol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat banyak P.
ovale.
Obat-obat tersebut sebaiknya diapakai dalam krim.

Prognosis

Seperti telah dijelaskan pada sebagian kasus yang mempunyai factor konstitusi penyakit ini agak
sukar disembuhkan, meskipun terkontrol.

29
2. Penyakit Kulit Akibat Infeksi Virus

VARICELLA

Infeksi akut primer oleh virus Varicellazoster yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat
gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.Masa inkubasi
14-21 hari. Penularan melalui udara (air-borne) dan kontak langsung.

a. Hasil Anamnesis (Subjective)


- Keluhan:
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem
yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa gatal.

b. Faktor Risiko
- Anak-anak.
- Riwayat kontak dengan penderita varisela.
- Keadaan imunodefisiensi.

c. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana (Objective)


1) Pemeriksaan Fisik
- Tanda Patognomonis
 Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel
akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung,
timbul lagi vesikel-vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk
varisela.
 Penyebaran terjadi secara sentrifugal, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut, dan saluran napas atas.

2) Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel Tzanck yaitu sel datia
berinti banyak.

30
d. Penegakan Diagnosis (Assessment)
- Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.
- Diagnosis Banding
 Variola.
 Herpes simpleks disseminata.
 Coxsackievirus.
 Rickettsialpox.

e. Komplikasi
Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan gangguan imun. Varisela
pada kehamilan berisiko untuk menyebabkan infeksi intrauterin pada janin, menyebabkan sindrom
varisela kongenital.

f. Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


1) Penatalaksanaan
- Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel. Selain itu,
dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain.
- Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena dapat
menyebabkan Reye’s syndrome.
- Losio kelamin dapat diberikan untuk mengurangi gatal.
- Pengobatan antivirus oral, antara lain:
- Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg),
atau Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama
setelah timbul lesi.

2) Konseling dan Edukasi


Edukasi bahwa varisella merupakan penyakit yang self-limiting pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh karena itu,
pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh. Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah
penularan.

31
3) Kriteria rujukan
- Terdapat gangguan imunitas
- Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.

g. Sarana Prasarana
1) Lup
2) Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan sel Tzanck

h. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam, sedangkan pada pasien dengan
imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad bonam.

Herpes Zooster

Definisi

Herpes zoster adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster
yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer (varicella)

Patogenesis

Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepid an ganglion kranialis.
Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion
tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis
sehingga memberikan gejala gangguan motorik.

Gejala Klinik

1. Gejala Prodormal

- Lokal : nyeri oto, tulang

- Sistemik : demam, pusing, malaise

32
2. Setelah gejala prodormal, timbul eritema yang dalam waktu singkat berubah menjadi vesikel
yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa. Vesikel berisi cairan jernih yang lama
lama menjadi keruh kemudian menjadi pustule dan menjadi krusta.

Jenis Herpes Zoster

1. Herpes Zoster Oftalmika

Disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga menimbulkan


kelainan pada mata, selain itu cabang kedua dan ketiga menyebabkan kulit pada daerah
persarafannya.

2. Herpes Zoster Abortif

Penyakit ini berlangsung dalam waktu yang singkat dan kelainan kulitnya hanya
beberapa vesikel dan eritem.

3. Herpes Zoster Generalisata

Kelainan kulitnya unilateral dan segmental, dan kelainan kulitnya menyebar secara
generalisata berupa vesikel yang solitary dan ada umbilikasi.

4. Neuralgia Pascaherpetik

Rasa nyeri yang timbul pada bekas daerah penyembuhan, lebih dari sebulan setelah
penyakitnya sembuh.

Pengobatan

- Antiviral
1. Asiklovir 5x800mg/hari selama 7 hari
2. Valasiklovir 3x1000mg/hari
- Analgesik
- Pregabalin untuk neuralgia pascaherpetik

MOLUSKUM KONTAGIOSUM

I. DEFINISI

Moluskum kontagiosum merupakan suatu penyakit infeksi virus pada kulit yang
disebabkan oleh virus golongan poxvirus genus Molluscipox dengan wujud klinis berupa

33
benjolan pada kulit atau papul-papul multiple yang berumbilikasi di tengah, mengandung
badan moluskum, serta dapat sembuh dengan sendirinya. 1

II. EPIDEMIOLOGI

Moluskum kontagiosum dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara tropis.


Penyakit ini terutama menyerang anak-anak. Biasanya pada dewasa oleh karena hubungan
seksual. Media penularan penyakit ini melalui kontak langsung. Penyakit ini menyebar
dengan cepat pada suatu komunitas yang padat dengan higienitas yang kurang. 2

Pada negara tropis, insiden paling tinggi pada anak-anak dengan rentang usia 2 dan 3
tahun. Sedangkan pada negara maju, biasanya pada anak-anak sekolah karena penggunaan
kolam renang yang bersama-sama. Studi di Jepang pada tahun 2008, menyatakan bahwa
terdapat 7000 anak terserang moluskum kontagiosum dengan 75% di antaranya memiliki
riwayat penggunaan kolam renang bersama. 2,3 Di Amerika Serikat, pada tahun 2003, hanya
ditemukan 5% anak-anak yang terkena moluskum kontagiosum, dan kira-kira antara 5-20%
menyerang dewasa dengan AIDS. 1

III. ETIOLOGI

Moluskum kontagiosum disebabkan oleh suatu virus dari golongan poxvirus. Dalam
taksonomi, virus ini termasuk dalam ordo Poxviridae, famili Chordopoxvirinae, genus
Molluscipox virus, spesies Molluscum contagiosum virus (MOCV). Virus ini termasuk
golongan double strained DNA (dsDNA).

Virion dari MOCV ditemukan dengan struktur beramplop, berbentuk seperti bata
dengan ukuran 320x250x200 nm. Partikel virus ini terdiri dari 2 bentuk infeksius yang
berbeda, yaitu internal mature virus (IMV) dan external enveloped virus (EEV).

Gambar 1. MOCV Dilihat Melalui Mikroskop Elektron

Gambar 2. Virion MOCV

Virus ini memiliki struktur genome linier, dengan dsDNA kira-kira 190 kB, genome
linier diapit degan sekuens inverted terminal repeat (ITR) yang secara kovalen saling terikat
pada ujung-ujungnya.

Proses replikasi virus ini terjadi di sitoplasma. Virus akan menyisip ke


glycosaminoglycans (GAGs) pada permukaan sel target atau oleh komponen matriks
ekstraseluler, kemudian memicu fusi membran, dan melepaskan inti virus ke dalam
sitoplasma. Pada fase awal, gen awal ditranskripsi di sitoplasma oleh polymerase RNA
virus, ekspresi gen awal akan terbentuk 30 menit pascainfeksi. Ekspresi paling akhir adalah

34
tidak terselubungnya inti virus dan genom virus sekarang sudah benar-benar bebas di
sitoplasma. Fase intermediet, gen intermediet akan diekspresikan di sitoplasma, memicu
terjadinya replikasi DNA genom kira-kira 100 menit pascainfeksi. Dan yang terakhir adalah
fase akhir, gen akhir diekspresikan dalam waktu 140 menit sampai dengan 48 jam
pascainfeksi, memproduksi struktur protein virus lengkap.

Pembentukan virion progenik dimulai saat terdapat penyatuan antara membran


internal sel yang terinfeksi, dan menghasilkan partikel sferis imatur. Partikel ini kemudian
menjadi matur dengan menjadi struktur IMV yang menyerupai bata. Virion IMV dapat
dilepas melalui lisisnya sel, kemudian dapat memperoleh membran dobel kedua dari trans-
Golgi dan tunas yang kemudian dikenal sebagai EEV. 4

Menurut subtipe MOCV, terdapat 4 subtipe, yaitu MOCV I, MOCV II, MOCV III,
dan MOCV IV. Subtipe MOCV I yang lebih sering menyebabkan infeksi, kira-kira sekitar
75-90%. Sedangkan MOCV II, III, dan IV akan menyebabkan moluskum kontagiosum jika
pada orang-orang dengan keadaan imunitas immunocompromised. 1

IV. PENULARAN
Secara umum, memang penularan moluksum kontagiosum adalah melalui kontak
langsung dari orang ke orang melalui barang-barang, seperti misalnya pakaian, handuk, alat
cuci atau alat mandi. Selain itu, moluskum kontagiosum juga dapat ditularkan melalui
kontak olahraga. Saat seseorang menyentuh lesi di suatu bagian tubuh, kemudian dia
menyentuhkannya ke bagian tubuh lainnya, makanya akan dapat menyebarkan MOCV juga,
proses ini disebut sebagai autoinokulasi. Jika yang terkena adalah daerah wajah, saat
mencukur kumis atau jenggot juga dapat menyebarkan virus. Meskipun penularannya secara
umum tergolong rendah, tetapi tidak diketahui berapa lama seseorang yang terinfeksi dapat
menularkan atau menyebarkan virus tersebut. 3 Tungau juga bisa menjadi kemungkinan
penyebaran virus penyebab moluskum kontagiosum. 1

Jika terdapat suatu kejadian luar biasa atau wabah moluskum kontagiosum, maka
perlu diperhatikan beberapa kemungkinan penularannya, yaitu :

1. Kolam renang
2. Kontak saat olahraga (misalnya gulat)
3. Proses pembedahan (tangan seorang ahli bedah yang terkena moluskum
kontagiosum)
4. Proses tato (jarang)
5. Hubungan seksual; lesi moluskum kontagiosum oleh karena hubungan seksual
biasanya berkembang dalam jangka waktu 2-3 bulan setelahnya. Jika ada anak-
anak dengan lesi moluskum kontagiosum di daerah genital, maka bisa curiga ke
arah kekerasan seksual pada anak.

35
V. PATOGENESIS

Inkubasi rata-rata moluskum kontagiosum adalah 2-7 minggu, dengan kisaran


ekstrim sampai 6 bulan. Infeksi dan infestasi MOCV menyebabkan hyperplasia dan
hipertrofi epidermis. Inti virus bebas dapat ditemukan pada epidermis. Jadi pabrik MOCV
berlokasi di lapisan sel granular dan malphigi. Badan moluskum banyak mengandung virion
MOCV matur yang banyak mengandung struktur collagen-lipid-rich saclike intraseluler
yang diduga berperan penting dalam mencegah reaksi sistem imun host untuk mengenalinya.
Ruptur dan pecahnya sel yang mengandung virus terjadi pada bagian tengah lesi. MOCV
menimbulkan tumor jinak selain juga menyebabkan lesi pox nekrotik. 1

VI. MANIFESTASI KLINIS

Pada kulit akan tampak lesi umbilikata yang multipel. Lesi tersebut papul berbatas
tegas, licin, dan berbentuk kubah (dome shaped) sewarna kulit. Ukuran papul bervariasi dari
2-6 milimeter. Di bagian tengah lesi, biasanya terdapat lekukan (delle) kecil, berisi bahan
seperti nasi dan berwarna putih yang merupakan cirri khas dari moluskum kontagiosum.

Gambar 3. Moluskum Kontagiosum pada Lengan dan Badan

Gambar 4. Moluskum Kontagiosum pada Penis

Benjolan biasanya tidak terasa gatal, tidak terasa nyeri. Namun papul bisa meradang,
misalnya karena garukan, sehigga teraba hangat dan berwarna kemerahan. Jika terjadi
infeksi sekunder, bisa terjadi supurasi. Lokasi bisa di wajah, badan, kadang-kadang pada
perut, bagian bawah perut, dan genitalia. 1

Pasien anak dengan dermatitis atopik, 10% mengalami moluskum kontagiosum, dan
bisa mengalami perluasan. Namun, prevalensi moluskum kontagiosum pada anak dengan
dermatitis atopik, memiliki hubungan langsung yang rendah. Walaupun luas daerah yang
terkena moluskum kontagiosum pada anak dengan dermatitis atopik lebih besar
dibandingkan dengan anak tanpa dermatitis atopik, tetapi dalam suatu penelitian Seize, dkk
tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik. 5

VII. DERMATOPATOLOGI

Gambaran histopatologi pada sediaan kulit dengan moluskum kontagiosum adalah


proliferasi sel-sel stratum spinosum membentuk lobuli. Lobuli dipisahkan oleh septa
jaringan ikat, di dalamnya terdapat badan moluskum berupa sel-sel bulat atau lonjong yang
berbentuk seperti telur, berdinding licin homogen. Sediaan diambil pada inti sentral yang
paling tebal, kemudian diwarnai dengan Giemsa, Gram, atau Wright, atau Papanicolaou. 1

36
Gambar 5. Gambaran Histopatologi Moluskum Kontagiosum

VIII. DIAGNOSIS BANDING

1. Veruka vulgaris : vegetasi lentikular, permukaan kasar, kering, warna keabu-


abuan, kulit di sekitarnya tidak meradang
2. Keratoakantoma : biasanya nodula-nodula keras, pada bagian tengah didapati
sumbatan keratin, bisa ditemukan di wajah, telinga, punggung, dan tangan
IX. TERAPI

Terapi yang diberikan intinya adalah mengeluarkan massa yang mengandung badan
moluskum. Bisa menggunakan teknik cryosurgery, evisceration, curettage,
elektrokauterisasi, adhesive tape stripping.

Selain itu bisa juga dicoba obat-obatan, seperti misalnya podophyllin dan podofilox.
Berupa suspensi 25% dalam bentuk larutan benzoin atau alkohol dapat diterapkan seminggu
sekali. Pengobatan ini memerlukan beberapa tindakan pencegahan. Mengadung dua
mutagen, quercetin dan kaempherol. Beberapa efek samping termasuk kerusakan erosif
parah pada kulit normal yang berdekatan yang dapat menyebabkan jaringan parut dan efek
sistemik seperti neuropati perifer, kerusakan ginjal, illeus, leukopenia, dan trombositopenia,
terutama jika digunakan pada permukaan mukosa. Podofilox adalah alternatif yang lebih
aman untuk podofilin dan dapat digunakan oleh pasien di rumah. Penggunaan yang
direkomendasikan biasanya terdiri dari penerapan 0,05 ml podofiloks 5% dalam etanol
berbufer laktat dua kali sehari selama 3 hari. Agen aktif ini mutlak dikontraindikasikan pada
kehamilan.

Cantharidin (larutan 0,9% dari collodian dan aseton) telah digunakan dengan sukses
dalam pengobatan moluskum kontagiosum. Agen ini diterapkan hati-hati ke kubah dari lesi
dengan atau tanpa oklusi dan dibiarkan di tempatnya selama sedikitnya 4 jam sebelum
dicuci. Cantharidin bisa menyebabkan pelepuhan parah. Ini harus diuji pada satu lesi dahulu
sebelum mengobati sejumlah besar lesi. Tidak boleh digunakan pada wajah. Ketika dapat
ditoleransi, pengobatan ini diulang setiap minggu. Biasanya diperlukan perawatan 1-3 kali.

Iodine solution dan salicylic acid plaster, berupa sebuah larutan iodin 10%
ditempatkan pada papula moluskum dan, saat kering, ditutupi dengan potongan-potongan
kecil dari plester asam salisilat 50% dan tape. Proses ini diulang setiap hari setelah mandi.
Setelah lesi telah menjadi eritematosa dalam 3-7 hari, hanya larutan iodin yang diterapkan.
Hasil telah dilaporkan rata-rata 26 hari. Dapat mengakibatkan maserasi dan erosi.

Krim tretinoin 0,1% telah digunakan dalam pengobatan moluskum kontagiosum. Hal
ini diterapkan dua kali sehari ke lesi. Hasil telah dilaporkan rata-rata 11 hari. Efek samping

37
berpa eritema. Tretinion krim 0,05% juga telah digunakan dengan sukses dan terdapat
penurunan iritasi.

Cidofovir. Sidofovir adalah analog nukleosida yang memiliki sifat antiviral yang
manjur. Beberapa studi kecil dan laporan kasus menggambarkan keberhasilan penggunaan
sidofovir yang dioleskan atau dengan injeksi intralesi di beberapa penyakit kulit virus. Krim
sidofovir 3% telah berhasil digunakan untuk mengobati moluskum kontagiosum dalam
studi, dengan rentang waktu dalam 2-6 minggu. Namun biaya tinggi, butuh banyak
persiapan, dan karsinogenik dalam hasil dari beberapa studi. telah membatasi
penggunaannya.1

Imiquimod krim 5% telah digunakan secara topikal untuk mengobati moluskum


kontagiosum dengan menginduksi tingkat tinggi IFN-α dan sitokin lain secara lokal.
Diterapkan ke area tiap malam selama 4 minggu. Hasil yang diperoleh dapat tercapai hingga
3 bulan. 6

X. PROGNOSIS
Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, maka jarang atau tidak akan residif.

KONDILOMATA AKUMINATA (Kutil kelamin)

Kondilomata akuminata adalah kelainan berupa kutil yang berlokasi di mukosa


maupun kulit genital, disebabkan oleh virus HPV tipe tertentu yang umumnya
ditularkan melalui kontak seksual. Penularan mungkin pula dapat terjadi dari
ibu kepada bayi saat proses persalinan..
Keluhan berupa adanya kutil pada kelamin, yang kadang-kadang disertai rasa
gatal ringan, nyeri, rasa panas, atau berdarah. Pada wanita hamil kutil cepat
membesar dan terjadi regresi spontan setelah melahirkan. Kutil juga cepat
membesar pada pasien imunokompromais.
Bila tejadi pada wanita, umumnya disertai duh tubuh abnormal. Lokasi
tersering pada laki-laki ialah penis, skrotum, meatus uretra, dan daerah
perianal, sedangkan pada wanita ialah introitus, vulva, perineum, dan daerah
perianal. Dapat juga berlokasi di serviks dan dinding vagina, pubis, paha
bagian atas.
Terdapat 4 tipe morfologi,yaitu: serupa kembang kol, papular, keratotik, dan
papul datar. Lesi papular tampak sebagai papul berbentuk kubah, sewarna
kulit, dengan diameter 1-4 mm. Lesi keratotik tampak sebagai kutil dengan
permukaan yang keras atau tampak seperti keratosis seboroik.Varian papul

38
kubah dan papul datar disebut sebagai papulosis bowenoid yang
hiperpigmentasi.
Diagnosis diferensial antara lain: skin tags, pearly penile papule, papila
vestibular, nevus melanositik, moluskum kontagiosum, keratosis seboroik,
liken planus, liken nitidus, dan kondilomata lata.
Pemeriksaan penunjang: lesi subklinis dapat dideteksi dengan bantuan cairanasam asetat 5%;
kolposkopi untuk wanita dengan kutil pada alat kelamindalam; anuskopi untuk pasien wanita dan
pria dengan kutil perianal berulangdan adanya riwayat hubungan seksual anogenital; uretroskopi
untuk pasienpria dengan kutil pada meatus uretra dan adanya riwayat hematuria sertaPap Smear
untuk wanita dengan riwayat kondilomata akuminata pada serviks.

Penatalaksanaan
Periksa pasangan seksual
Tinctura podophylin 25 %
Solusio asam trikloroasetat 50-90% (untuk wanita hamil)
Gel atau solusio Podofilox 0.5%
Krim imiquimod
Gel 5 FU
Interferon intralesi
Krioterapi
Electrosurgery

Gambar 84. T
Gambar 85. Tampak vegetasi papul multipe
yang bertangkai maupun tidak permukaan ve
bertangkai glans penis dan pada daerah a
sulkus koronarium
39
3. Infeksi Kulit akibat Infeksi Virus

SKABIES

DEFINISI

Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal agogo.

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes
scabiei varian hominis dan produknya.

EPIDEMIOLOGI
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Daerah endemik skabies
adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara.

Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi daerah, semua
kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah yang padat
dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan perekonomian yang
kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung. (skin-to-skin) maupun tak langsung
(pakaian, tempat tidur, yang dipakai bersama).

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: higiene yang buruk, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam P.H.S. (Penyakit
akibat Hubungan Seksual).

ETIOLOGI

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya.

Sarcoptes scabiei adalah parasit manusia obligat yang termasuk filum Arthopoda, kelas
Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes. Bentuknya lonjong, bagian chepal depan kecil
dan bagian belakang torakoabdominal dengan penonjolan seperti rambut yang keluar dari dasar
kaki.

Tungau skabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3 mm. Sehingga tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau ini tidak dapat terbang atau melompat dan hanya
dapat hidup selama 30 hari di lapisan epidermis.

40
Skabies betina dewasa berukuran sekitar 0,4 mm dengan luas 0,3 mm , dan jantan dewasa lebih
kecil 0,2 mm panjang dengan luas 0,15 mm. Tubuhnya berwarna putih susu dan ditandai dengan
garis melintang yang bergelombang dan pada permukaan punggung terdapat bulu dan dentikel.

Terdapat empat pasang kaki pendek, di bagian depan terdapat dua pasang kaki yang berakhir
dengan perpanjangan peduncles dengan pengisap kecil di bagian ujungnya. Pada tungau betina,
terdapat dua pasang kaki yang berakhir dengan rambut (Satae) sedangkan pada tungau jantan
rambut terdapat pada pasangan kaki ketiga dan peduncles dengan pengisap pada pasangan kaki
keempat.

. DIAGNOSIS

1. Gambaran Klinis

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei sangat
bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis berupa keluhan
subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal ada 4 tanda utama atau cardinal sign pada
infestasi skabies, yaitu :

1. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau skabies, kelainan kulit seperti
pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi yang berulang menyebabkan
ruam dan gatal yang timbul hanya dalam beberapa hari. Gatal terasa lebih hebat pada
malam hari. Hal ini disebabkan karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang
lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan
penderita menjadi gelisah.

2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam sebuah keluarga
biasanya mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam sebuah pemukiman yang
padat penduduknya, skabies dapat menular hampir ke seluruh penduduk. Didalam
kelompok mungkin akan ditemukan individu yang hiposensitisasi, walaupun terinfestasi
oleh parasit sehingga tidak menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi
pembawa/carier bagi individu lain.

41
3. Adanya terowongan
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada kemampuannya
meletakkan telur, larva dan nimfa didalam stratum korneum, oleh karena itu parasit
sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum yang relative lebih longgar
dan tipis.

Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang sering
ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pada pergelangan tangan dan lateral
telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia dan pada areola wanita. Bila ada
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).

4. Menemukan Sarcoptes scabiei


Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh kemungkinan besar kita
dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa maupun skibala dan ini merupakan hal
yang paling diagnostik. Akan tetapi, kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan
karena hampir sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat
variatif dan tidak spesifik. Pada kasus skabies yang klasik, jumlah tungau sedikit
sehingga diperlukan beberapa lokasi kerokan kulit. Teknik pemeriksaan ini sangat
tergantung pada operator pemeriksaan, sehingga kegagalan menemukan tungau sering
terjadi namun tidak menyingkirkan diagnosis skabies.

2. Pemeriksaan penunjang

Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan. Tetapi penderita sering
datang dengan lesi yang bervariasi sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada umumnya
diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan dua dari empat cardinal sign. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk menemukan tungau dan produknya yaitu :

1. Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH 10% lalu
dilakukan kerokan dengan meggunakan scalpel steril yang bertujuan untuk mengangkat
atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas objek dan ditutup
dengan kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop.
2. Mengambil tungau dengan jarum
Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam terowongan
yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya kemudian dikeluarkan. Bila
positif, Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai parasit yang sangat kecil dan transparan.
Cara ini mudah dilakukan tetapi memerlukan keahlian tinggi.

3. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)


Identifikasi terowongan bisa dibantu dengan cara mewarnai daerah lesi dengan tinta
hitam. Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit. Setelah tinta
dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut akan kelihatan lebih gelap

42
dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta didalam terowongan. Tes
dinyatakan positif bila terbetuk gambaran kanalikuli yang khas berupa garis menyerupai
bentuk zigzag.
4. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
Diagnosis pasti dapat melalui identifikasi tungau, telur atau skibala secara mikroskopik.
Ini dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan telunjuk kemudian dibuat irisan
tipis, dan dilakukan irisan superficial secara menggunakan pisau dan berhati-hati dalam
melakukannya agar tidak berdarah. Kerokan tersebut diletakkan di atas kaca objek dan
ditetesi dengan minyak mineral yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis bandingnya skebies merupakan the great imitator karna dapat banyak menyerupai
banyak penyakit kulit:
1. Urtikaria Akut
2. Prurigo, biasanya berupa papul-papul yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor
ekstremitas.
3. Gigitan serangga,
4. Folikulitis berupa pustul miliar dikelilingi daerah yang eritem.
5. Dll

PENATALAKSANAAN
Syarat obat yang ideal adalah:
1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau
2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik
3. Tidak bau atau kotor serta tidak merusak warna pakaian
4. Mudah diperoleh dan harga murah
Jenis obat:
a. Presipitat Sulfur 2-10%
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan, sejak 25 M.
Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2% -10%) dan umumnya salep
konsentrasi 6% lebih disukai. Cara aplikasi salep sangat sederhana, yakni
mengoleskan salep setelah mandi ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama
tiga hari berturut-turut. Keuntungan penggunaan obat ini adalah harganya yang
murah dan mungkin merupakan satu-satunya pilihan di negara yang
membutuhkan terapi missal.
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk hydrogen
sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germicid dan fungicid.
Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh anak-anak, wanita hamil
dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian

43
pemakaian obat ini adalah bau tidak enak, mewarnai pakaian dan kadang-kadang
menimbulkan iritasi.
b. Benzyl benzoate
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang merupakan
bahan sintesis balsam peru. Benzil benzoate bersifat neurotoksik pada tungau
skabies. Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada
usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil
benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan teratur dan secara
kosmetik bisa diterima. Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan
dermatitis iritan pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan
untuk tidak menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat
menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada wanita hamil
dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzil benzoate
lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted scabies. Di negara-negara
berkembang dimana sumber daya yang terbatas, benzil benzoate digunakan dalam
pengelolaan skabies sebagai alternatif yang lebih murah.
d. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)

Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah sebuah ang
bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau. Lindane diserap masuk ke mukosa
paru-paru, mukosa usus, dan selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh
tungau dengan konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme
dan diekskresikan melalui urin dan feses.
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh dari
leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion. Setelah
pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini
untuk memusnahkan larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh
pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan Lindane
selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan
dalam 7 hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1%.
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang, dan
bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda
klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing,
muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata,
kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti
menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah
seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia.

PEDICULOSIS CAPITIS

44
I. PENDAHULUAN
Pedikulosis kapitis adalah suatu infeksi kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh Pediculus
humanus var. capitis.1-4 Selain menyerang kulit dan rambut kepala, pedikulosis dapat pula
menyerang badan oleh Pediculus humanus var corporis dan menyerang daerah pubis oleh
Phtyrus pubis.1,5,6
Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia tanpa adanya batasan umur, jenis kelamin, ras,
status ekonomi & status sosial.7-9 Gejala utama yang sering ditemukan adalah gatal pada kulit
kepala terutama pada bagian belakang telinga dan tengkuk. Pedikulosis kapitis disebut juga kutu
kepala atau head lice,10

II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit pedikulosis kapitis dapat ditemukan di seluruh dunia pada semua usia terutama pada
anak-anak dan dewasa muda. Insidens tertinggi pada usia sekitar 3 – 12 tahun. Pedikulosis
kapitis lebih sering timbul pada wanita dibandingkan pria.7,8
Penularan penyakit ini lebih sering melalui kontak kepala dengan kepala, namun dapat juga
melalui benda-benda seperti sisir, topi, bantal, dan asesoris rambut yang dipakai secara
bergantian.3,8 Higienitas yang buruk juga dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini,
misalnya jarang membersihkan rambut atau rambut yang panjang pada wanita.5,9,11

III. ETIOLOGI
Penyakit pedikulosis kapitis disebabkan oleh parasit subspecies Pediculus humanus var. capitis.
Parasit ini termasuk dalam golongan filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, subordo
Anoplura, family Pediculidae dan species Pediculus humanus.7,12

Siklus hidup Pediculus humanus capitis melalui stadium telur, larva, nimfa dan dewasa. Satu
kutu kepala betina dapat hidup selama 16 hari dan menghasilkan 50 – 150 telur. Telur berbentuk
oval dan umumnya berwarna putih atau kuning.13 Telur diletakkan di sepanjang rambut dan
mengikuti tumbuhnya rambut, yang berarti makin ke ujung makin terdapat telur yang lebih
matang. Telur kutu membutuhkan 8 – 9 hari untuk menetas.2,4
Telur yang menetas akan menjadi nimfa. Bentuknya menyerupai kutu dewasa, namun dalam
ukuran kecil. Nimfa akan menjadi dewasa 9 – 12 hari sesudah menetas. Untuk hidup, nimfa
harus memperoleh makanan berupa darah.2
Pediculus humanus capitis berbentuk seperti biji wijen dengan panjang sekitar 1 – 2 mm, tidak
bersayap, memipih di bagian dorsoventral dan memanjang. Parasit ini memiliki 3 pasang kaki
yang disesuaikan sebagai pengepit rambut dan mulut pengisap kecil di bagian anterior yang
menjadi bagian untuk mendapatkan darah. Kutu kepala dapat merayap dengan cepat, di atas 23
cm/menit. Kutu dewasa dapat bertahan hidup sekitar 30 hari di kepala manusia. Kutu dapat mati
dalam 1 – 2 hari setelah jatuh dari rambut.1,14
Kutu kepala terdiri atas kutu jantan dan betina. Kutu betina dibedakan dengan kutu jantan
berdasarkan ukuran tubuh yang lebih besar dan adanya penonjolan daerah posterior yang
membentuk huruf V yang digunakan untuk menjepit sekeliling batang rambut ketika bertelur.
Kutu jantan memiliki pita berwarna coklat gelap yang terbentang di punggungnya.1
45
IV. PATOGENESIS
Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk rmenghilangkan rasa gatal. Sepanjang
siklus kehidupannya, larva dan kutu dewasa menyimpan kotorannya di kulit kepala, yang akan
menyebabkan timbulnya rasa gatal. Selain itu gatal juga ditimbulkan oleh liur dan ekskreta dari
kutu yang dimasukkan ke dalam kulit waktu menghisap darah. Garukan yang dilakukan untuk
menghilangkan gatal akan menyebabkan terjadinya erosi dan ekskoriasi sehingga memudahkan
terjadinya infeksi sekunder.1,9

V. GAMBARAN KLINIS
Gejala awal yang dominan adalah rasa gatal pada kulit kepala. Rasa gatal dimulai dari yang
ringan sampai rasa gatal yang tidak dapat ditoleransi.1,5 Lesi papul yang gatal biasanya terdapat
pada daerah belakang telinga dan bagian tengkuk leher, akibat garukan pada kulit kepala akan
terjadi erosi dan ekskoriasi. Adanya infeksi sekunder yang berat menyebabkan terbentuknya
pustul, abses.6
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis :
- Pemeriksaan mikroskop dapat mengkonfirmasi diagnosis. Dengan pemeriksaan mikroskop
dapat terlihat kutu dewasa dengan 6 kaki, yang tebalnya 1-4 mm, tidak bersayap, berwarna abu-
abu berkilat sampai merah jika menghisap darah.3,7
- Pemeriksaan dengan lampu wood pada daerah yang terinfestasi memperlihatkan fluoresensi
kuning-hijau dari kutu dan telur.3, 4

Pemeriksaan histologi: Pemeriksaan histologi jarang dilakukan untuk menegakkan diagnosis.


Hasil dari biopsi memperlihatkan perdarahan intradermal dan infiltrat yang dalam berbentuk baji
dengan banyak eosinofil dan limfosit.7
VII. DIAGNOSA
Diagnosis pedikulosis kapitis dapat ditegakkan melalui inspeksi pada kulit kepala dan rambut,
dengan menemukan kutu atau telur berwarna abu-abu berkilat. Kutu dan telur tersebut dapat
dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskop

VIII. PENATALAKSANAAN
1.Pedikulosid
a. Permethrin(1%)
Permethrin 1% cream rinse diberikan ke kulit kepala dan rambut. Awalnya rambut dicuci dengan
shampoo nonconditioner kemudian dikeringkan dengan handuk. Lalu diberikan Permethrin 1%
cream rinse selama 10 menit kemudian dibilas. Hal ini diperkirakan dapat membasmi sekitar
20%-30% dari telur. Tetapi, disarankan agar pemakaiannya diulang apabila kutu masih terlihat
pada 7-10 hari setelahnya. Permethrin mempunyai keuntungan efek toksin yang rendah dan
pengobatannya cepat.16,17
b. Pyrethrin
Pyrethrin diperoleh dari suatu sari alami bunga chrysanthemum. Pyrethrin yang dikombinasi
dengan piperonyl butoxide adalah neurotoksik untuk kutu tetapi kurang toksik terhadap manusia.
46
Produk ini seperti shampoo dimana diberikan pada rambut yang kering dan didiamkan selama 10
menit sebelum dibilas. Penggunaan dapat diulang 7-10 hari kemudian untuk membasmi kutu
kepala yang baru.16,17
c. Malathion
Obat malathion organophosphate adalah suatu penghambat cholinesterase dan telah digunakan
selama 20 tahun untuk pengobatan kutu kepala9. Malathion 0,5% atau 1% yang digunakan
dalam bentuk losio atau spray. Caranya : malam sebelum tidur rambut dicuci dengan sabun
kemudian dipakai losio malathion, lalu kepala ditutup dengan kain. Keesokan harinya rambut
dicuci lagi dengan sabun lalu disisir dengan sisir yang halus dan rapat (serit). Pengobatan ini
dapat diulang lagi seminggu kemudian, jika masih terdapat kutu atau telur.1,7,10
d. Lindane(1%)
Lindane adalah organochloride yang mempunyai efek toksik terhadap CNS (Central Nervous
System) apabila penggunaannya tidak benar. Penggunaannya seperti shampoo dan dapat
didiamkan kurang lebih selama 10 menit dengan pemakaian yang berulang dalam 7-10 hari.
Dalam beberapa tahun kasus resisten pernah dilaporkan diseluruh dunia. Oleh karena adanya
efek toksik terhadap CNS yang dapat menyebabkan serangan dan kematian,sehingga
penggunaan lindane terhadap pasien harus dibatasi.16,17
e. Krotamiton(10%)
Krotamiton 10% dalam bentuk losion digunakan untuk terapi skabies, dan beberapa penelitian
menunjukkan krotamiton 10% juga efektif untuk kutu kepala dimana diberikan ke kulit kepala
dan didiamkan selama 24 jam sebelum dibilas. Aman untuk anak, dewasa, dan wanita hamil.16
f. Ivermectin oral
Ivermectin adalah suatu agen antiparasitik yang efektif untuk kutu kepala. Ivermectin diberikan
dengan dosis tunggal secara oral 200 mikrogram/oral dengan dosis pemberian 2 kali setelah 7-10
hari. Ivermectin tidak boleh diberikan ke anak yang berat badannya kurang dari 15 kg.
Penggunaaan Ivermectine oral belum diakui oleh FDA ( Food and Drug Administration ) sebagai
pedikulosid.16
g. Trimethoprim-sulfamethoxazole oral
Antibiotik ini biasa juga disebut cotrimoxazole digunakan dalam dosis otitis media, sama efektif
pemberiannya untuk kutu kepala. Antibiotik ini dapat membasmi simbiosis bakteri dalam gerak
kutu atau berhubungan langsung dengan efek toksik dari kutu. Penggunaan Trimethoprim-
sulfamethoxazole belum diakui sebagai pedikulosid oleh FDA (Food and Drug Administration)

Pediculosis pubis

Pediculosis adalah infeksi yang disebabkan oleh infestasi dari lice (kutu). Pediculosis
pubis adalah pediculosis yang tempat kejadiannya di daerah sekitar pubis. Dapat merambat
hingga ke rambut dada dan abdomen, hingga kumis dan jenggot. Kebersihan yang kurang dapat
menjadi faktor pendukung terjadinya infeksi ini.
Transmisinya dapat melalui hubungan seksual, tempat duduk toilet yang terkontaminasi,
dan tempat tidur yang terkontaminasi.

47
Gejala
Gejala khas yang ditemukan berupa pruritus dengan bentukan maculae cerulae (macula
berwarna kebiruan atau keabu-abuan yang ditemukan di abdomen atau pubis).

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya lice (kutu) atau telur dari kutu tersebut
menggunakan wood’s lamp.

Terapi
Penderita pediculosis pubis dapat diberikan permethrin 1% cream, oral ivermectin selama
1 minggu. Terapi tidak hanya diberikan pada pasien, pasangan seksual dan keluarga dapat
diterapi juga. Pencegahan transmisi dapat dilakukan dengan terus menjaga kebersihan pasien,
tidak saling meminjam pakaian atau alat yang berkontak langsung dengan kulit seperti handuk.
Terapi diberikan lotion lebih disarankan daripada keramas untuk menghindari terjadinya
resistensi.

4.Farmakologi

Topical Antibacterial Agents


Introduction
Antibiotik topical adalah antibiotik yang cara pemberiannya langsung ke tempat
terjadinya infeksi, dapat berupa lotion, guttae (obat tetes), gel, dan salep. Pemberian antibiotik
topical dapat bertujuan sebagai terapi atau pencegah dari infeksi sekunder. Kortikosteroid dapat
diberikan sebagai kombinasi karena efek terapinya yang lebih kuat. Obat topical yang baik
adalah obat yang sulit masuk ke dalam peredaran sistemik melalui kulit, semakin sulit dia
menembus kulit, semakin baik untuk digunakan sebagai terapi.

1. Bacitracin
Merupakan antibiotik dengan struktur peptida. Digunakan untuk terapi bakteri gram
positif (streptococus, staphylococus, neisseriae), tetanus bacilli, dan diphteria bacilli.
Efek samping dapat berupa urtikaria dan sulit diabsorbsi melalui kulit.
2. Mupirocin
Merupakan antibiotik pseudomonic acid A. Digunakan untuk terapi bakteri gram positif
aerobic dan methicillin-resistant S. Aureus (MRSA).

48
Dapat menyebabkan iritasi nasal apabila diberikan sebagai obat tetes hidung dan kurang
diserap melalui kulit.
3. Retapamulin
Merupakan pleromutilin semisintetis. Digunakan untuk terapi infeksi yang disebabkan
group αβ-hemolytic streptococci dan S. Aureus (selain MRSA).
4. Polymyxin B Sulfate
Merupakan antibiotik peptida. Digunakan untuk terapi gram negatif (pseudomonas, E.
Coli, Enterobacter, Klebsiella). Untuk menghindari efek samping, pemberian dalam satu
hari tidak boleh melebihi 200mg. Efek samping berupa dermatitis kontak alergi.
5. Neomycin & Gentamicin
Merupakan antibiotik aminoglikosida. Digunakan untuk terapi bakteri gram negatif
(pseudomonas, E. Coli, Enterobacter, Klebsiella). Dapat larut dalam air dan
diekskresikan utamanya lewat urin, apabila terapi diberikan terlalu lama dapat
menyebabkan nefrotoksisitas dan neurotoksisitas. Efek samping dermatitis kontak alergi
jarang ditemukan, tetapi apabila ditemukan dapat dilakukan penggantian terapi (dari
neomycin ke gentamicin, atau sebaliknya).

ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam
tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah
efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi
histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin
dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari
pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai
efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang
mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
v Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi
v Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan
penderita pada tukak lambung

49
v Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam
penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan
alergi dan kelainan mental
Antagonis Reseptos H-1
Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada
reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia untuk
dijual bebas, baik sebagai tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu dan pil
untuk membantu tidur.
Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1
menghambat efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H-
1. Mereka mempunyai kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H-
3, contohnya : induksi kontraksi yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun
saluran cerna dapat dihambat secara lengkap oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi
asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi
pertama dan generasi kedua.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen generasi
pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-1
generasi kedua kurang bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam sistem
saraf pusat.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan dengan
penghambatan terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan dari
kesamaan struktur umumnya dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor
muskarinik, adrenoreseptor-α, serotonin dan situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek
tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa lainnya tidak dikehendaki.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :

1. Efek sedasi

Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi intensitas efek
tersebut bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur
dan tidak cocok digunakan di siang hari. Efek tersebut menyerupai beberapa obat
antimuskarinik.

1. Efek antimual dan antimuntah

Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah


terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.

1. Kerja antikolinoreseptor

50
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna pada
muskarinik perifer.

1. Kerja penghambatan adrenoreseptor

Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1, namun
penghambatan terhadap reseptor beta tidak terjadi. Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut
dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah Promethazine.

1. Kerja penghambatan serotonin

Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen antagonis H-1
generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.

1. Efek parkinsonisme

Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek antikolinergik.
Contoh obat antagonis H-1 generasi pertama dan mekanismenya adalah :

1. Doxylamine

Doxylamine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1, mengeblok


kemoreseptor, mengurangi stimulasi vestibular dan menekan fungsi labyrinthine melalui
aktivitas kolinergik pusatnya.

1. Clemastine

Clemastine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1 pada efektor di
saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan

51

Anda mungkin juga menyukai