Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah keganasan dari serviks yang disebabkan oleh virus
HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini merupakan jenis
kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan.1

Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita
1
kanker serviks dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat
tinggi (high grade dysplasia)2. Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat
lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker serviks,
90% diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi ditemukan
di negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur, Asia selatan,
Asia tenggara dan Melanesia. 1,2,3

Di Indonesia, kanker serviks merupakan keganasan yang paling banyak


ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tiga
dasa warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar 100 per
100.000 penduduk.4

Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankanker yang
apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi kanker serviks. Dalam beberapa
dekade, angka penderita kanker serviks di negara-negara maju mengalami
penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir insidens kanker
serviks turun sekitar 70%.7 Hal tersebut dimungkinkan karena adanya program
deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2 Sebaliknya, di negara-negara berkembang,
angka penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan justru meningkat
akibat populasi yang meningkat.1,2, 8

Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita.


Diantara alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi
baik mulai dari deteksi dini sampai penanganan kanker serviks stadium lanjut.9
Selain itu terbatasnya sarana dan prasana -termasuk tenaga ahli- yang kompeten

1
menangani penyakit ini secara merata1,2,9 menjadi tantangan tersendiri. WHO
menggariskan 4 komponen penting dalam program penanganan kanker serviks
nasional yaitu pencegahan primer, deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan
dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan
paliatif untuk kasus lanjut.1

Deteksi dini kanker serviks meliputi program skiring yang terorganisasi


dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sistim rujukan yang efektif di
semua tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa metode skrining yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan sitologi berupa Pap tes konvensional atau sering
dikenal dengan Tes Pap dan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base cytology
/LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi visual
dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI).1 Metode
yang disebut terakhir tidak memerlukan fasilitas laboratorium, sehingga dapat
dijadikan pilihan untuk masyarakat yang jauh dari fasilitas laboratorium dan dapat
dilakukan secara masal. Sedangkan untuk masyarakat kota dan daerah-daerah
dengan akses pelayanan kesehatan yang memadai, metode skrining dengan
pemeriksaan sitologi akan lebih tepat.

2
BAB II
KANKER SERVIKS

2.1. Definisi
Kanker serviks adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan serviks.10
Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya
perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal
(membrana basalis).

2.2. Etiologi
Penyebab primer kanker serviks adalah infeksi kronik serviks oleh satu atau
lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi
menyebabkan kanker serviks yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually
transmitted disease).3,4,7 Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan
tahun, sampai tigapuluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20
tahun sesudahnya.9 Infeksi virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah
tipe 16, 18, 45, 56 dimana HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus.1
Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-sel serviks menjadi lesi
intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang
merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah
menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35,
39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55.13

2.3. Epidemiologi
Pada tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000
kasus.1 Data ini didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi, registrasi
data vital, dan data otopsi verbal dari 187 negara dari tahun 1980 sampai 2010. Per
tahun insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus pada tahun
1980. Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks, dan 46.000
diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang
berkembang.2

3
Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7
secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke-6 di negara kurang
berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian (menyumbangkan 3,2%
mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat leukemia). Kanker serviks
menduduki urutan tertinggi di negara berkembang, dan urutan ke 10 pada negara
maju atau urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan
kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010
dengan insidens sebesar 12,7%.
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita
penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk dan
setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jambi mencatat 284 perempuan
terdeteksi positif kanker serviks setelah melalui pemeriksaan Inveksi Visual Asam
(IVA) yang dilakukan dalam kurun waktu 2016-2017 di daerah itu.
"Dari 8.525 wanita menikah dengan usia subur atau rentang 30-50 tahun yang
diperiksa melalui deteksi dini kanker mulut rahim (serviks) di antaranya 284
positif," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinkes
Provinsi Jambi Eva Susanti di Jambi.
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari
penderitanya dan keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor
pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya
penanganan kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan deteksi dini
sangat diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.

2.4. Predisposisi
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia
dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan
yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda,
sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor yang
memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker serviks adalah:1

4
a) Faktor HPV :
 Tipe virus

 Infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan

 Jumlah virus (viral load)8

b) Faktor host/ penjamu :


 Status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV
positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi
prekanker dan kanker.

 Jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker

c) Faktor eksogen
 Merokok

 Ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya

 Penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral

2.5. Perjalanan Alamiah Kanker Serviks

Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar


junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan
endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel
ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel
kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh faktor usia,
aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium uteri
eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam
kanalis serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ yang berada di luar ostium
uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu
displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ
terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
(1,2,6)

5
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor
penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam
nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga
menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat
berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut
displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan
karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat
displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.1,2,6
Virus human papiloma adalah virus jenis DNA dengan dua rantai ganda yang
mempunyai panjang 8000 pasang basa (pb), serta mengekspresikan tujuh protein
virus yaitu E1-E7, dimana E6 dan E7 adalah onkogen yang diekspresi oleh
karsinoma serviks uteri 18. Onkogen E6 dan E7 ini berperan dalam proses
keganasan karena mempunyai kemampuan untuk mengikat dan mendegradasi
protein gen supresor tumos yaitu p53 dan retinoblastoma (pRb) pada sel inang yang
terinfeksi. Kedua jenis protein gen supresor tumor ini berfungsi menghentikan laju
siklus dan proliferasi sel. Onkogen E6 yang berikatan dengan p53 akan
mendegradasi dan menekan fungsi represi p53. Hilangnya fungsi p53 yang normal
akan mengganggu kemampuan merespon kerusakan DNA akibat mutagen radiasi
atau kimiawi, menghambat transkripsi dan replikasi DNA (untuk memperbaiki
DNA yang rusak) dan menurunkan kemampuan sel kanker untuk melakukan proses
apoptosis, sedangkan onkogen E7 berikatan dengan pRb. Interaksi ini
mengakibatkan pRb menjadi tidak aktif, menghentikan fase G1, di mana kendali
pertumbuhan yang utama sebelum dimulainya sintesis DNA berada pada fase ini,
dan mendorong siklus sel masuk ke fase S (fase sintesis DNA) dengan
mempengaruhi aktivitas inhibitor siklin dependen kinase, yang kemudian pada
akhirnya sel akan berproliferasi secara berlebihan.1,2,6

6
Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel
skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi infeksi HPV, maka akan terbentuk sel
baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA sel. Bila hal ini
berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut menjadi kanker.
Sebagian besar kasus displasia sel servix sembuh dengan sendirinya, sementara
hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. 50% kasus
displasia berat berubah menjadi karsinoma.1

Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi displasia menjadi keganasan


adalah 10-20 tahun. Kanker serviks invasif berawal dari lesi displasia sel-sel serviks
yang kemudian berkembang menjadi displasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekursor kanker
adalah lesi displasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian kecilnya
akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara displasia
tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi spontan.2,9,10

Gambar 1. Patofisiologi Kanker1

7
Catatan:

NIS: Neoplasma Intraepitel Serviks Nasiell et.al.10 melaporkan waktu yang


dibutuhkan untuk progresivitas lesi tipe NIS2 menjadi karsinoma in-situ paling
cepat terjadi pada kelompok perempuan usia 26-50 tahun yaitu 40-41 bulan,
sementara pada kelompok perempuan usia dibawah 25 tahun dan diatas 50 tahun
berturut-turut adalah 54-60 bulan, dan 70-80 bulan.

2.6. Klasifikasi dan Stadium


A. Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker
Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini,
dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya.

Tabel 1. Klasifikasi Lesi Prakanker:4

Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)

8
Pap Sistem Bethesda NIS (Neoplasia Klasifikasi
Intraepitel Deskriptif WHO
Serviks)

Kelas I Normal Normal Normal

Kelas II ASC-US ASC-H Atypia Atypia

Kelas III LISDR NIS1termasuk Koilositosis


kondiloma

Kelas III LISDT NIS 2 Displasia sedang

Kelas III LISDT NIS 3 Displasia berat

Kelas IV LISDT NIS 3 Karsinoma in situ

Kelas V Karsinoma Karsinoma Karsinoma invasif


Invasif Invasif

(Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential


Practice, Geneva: WHO, 2006).

Keterangan:

 ASC-US: atypical squamous cell of undetermined significance.

 ASC-H: atypical squamous cell: cannot exclude a high grade squamous


epithelial lesion.

 LISDR: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah.

 LISDT: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi

B. Stadium Kanker Rahim

9
International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging System
for Cervical Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan stadium kanker sebagai
berikut.10,17

Tabel 2. Stadium Kanker Rahim

Stadium Karakteristik

0 Lesi belum menembus membrana basa

I Lesi tumor masih terbatas di serviks

IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan


diameter permukaan tumor < 7 mm

IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi < 5 mm dengan
dengan diameter permukaan tumor < 7 mm

IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer < 4 cm

IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4 cm

II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga


proksimal vagina)

IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina

IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding


panggul

III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)

IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal

IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul

10
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia

IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria

IVB Lesi meluas ke mukosa rektum an atau meluas ke organ jauh

Gambar 2 perjalanan penyakit kanker serviks

Gambar 3 Staging

11
2.6. Gejala dan Tanda
Gejala klinis dari kanker serviks sangat tidak khas pada stadium dini.
Biasanya sering ditandai sebagai fluos dengan sedikit darah, perdarahan postkoital
atau perdarahan pervaginam yang disangka sebagai perpanjangan waktu haid. Pada
stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas untuk kanker serviks, baik
berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofilik), fluor albus yang
berbau dan rasa sakit yang sangat hebat.
Pada fase prakanker, sering tidak ditandai dengan gejala atau tanda-tanda
yang khas. Namun, kadang dapat ditemui gejala-gejala sebagai berikut:
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari
vagina ini makin lama makin berbau busuk karena adanya infeksi dan
nekrosis jaringan.
b. Perdarahan setelah senggama ( post coital bleeding) yang kemudian
berlanjt ke perdarahan yang abnormal.
c. Timbulnya perdarah setelah masa menopause
d. Pada tahap invasif dapat muncul cairan berwarna kekuning-kuningan,
berbau dan dapat bercampur dengan darah
e. Timbul gejala-gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal
f. Timbul nyeri pada daeah panggul (pelvic) atau pada daerah perut bagian
bawah bila terjadi peradangan pada panggul. Bila nyeri yang terjadi dari
daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu
masih mungkin terjadi nyeri pada tempat-tempat lainnya.
g. Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan gizi,
edema pada kaki, timbul iritasi pada kandung kemih dan poros usus besar
bagian bawah (rectum), terbentuknya viskelvaginal dan rektovaginal, atau
timbul gejala-gejala lain yang disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker
serviks itu sendiri.

2.7. Pencegahan
Karena pada umumnya kanker serviks berkembang dari sebuah kondisi pra-
kanker, maka tindakan pencegahan terpenting harus segera dilakukan.

12
a. Pencegahan Primer
- Menghindari faktor-faktor risiko yang sudah diuraikan di atas.
Misalnya: Tidak berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan,
penggunaan kondom (untuk mencegah penularan infkesi HPV), tidak
merokok, selalu menjaga kebersihan, menjalani pola hidup sehat,
melindungi tubuh dari paparan bahan kimia (untuk mencegah faktor-
faktor lain yang memperkuat munculnya penyakit kanker ini).
- Vaksinasi
Vaksin merupakan cara terbaik dan langkah perlindungan paling
aman bagi wanita dari infeksi HPV tipe 16 dan 18. Vaksin akan
meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk mengenali
dan menghancurkan virus ketika masuk ke dalam tubuh, sebelum terjadi
infeksi. Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP (virus
like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang
mempunyai sifat imunogenik kuat. Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin:
1. Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat
terlindung dari infeksi HPV.
2. Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel
yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan.
Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang
kuat, bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan
bersifat melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini,
antibodi humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus
neutralising antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan
invitro maupun invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase
seroconversion dan kemudian menurun.
Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang
bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada
infeksi ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari
virus HPV dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel
epitel tanpa ada proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi
oleh antigen presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan

13
kapsidnya terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di
mana kedua organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses
kekebalan tubuh. Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut
bersifat protektif terhadap infeksi virus HPV.
Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji
klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :
1. Cervarix
Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang
diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada
preparat ini, Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant
baculovirus vector dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian
dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat
merangsang sistem imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler
dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan
bulan ke 1 dan ke 6 masing-masing 0,5 ml
2. Gardasil
Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV (
GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe
6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces
cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40
μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung
225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga
mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan
antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 C

14
Yang sebaiknya dimiliki oleh vaksin HPV pencegah kanker serviks
adalah
1. Memberikan perlindungan yang adekuat terhadap infeksi HPV
penyebab kanker serviks.
- Melawan virus tersering dan agresif penyebab kanker
- Memberikan perlindungan tambahan dari tipe virus HPVlain
yang juga menyebabkan kanker.
2. Respon imun tubuh yang baik akan menghasilkan neutralizing
antibodies yang tinggi.
3. Dapat memberikan perlindungan yang jangka panjang.
4. Memberikan perlindungan tinggi hingga ke lokasi infeksi (serviks).
5. Profil keamanan yang baik
6. Affordable (Terjangkau lebih banyak perempuan).
Rekomendasi pemberian vaksin
Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan
sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada
wanita usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita
usia 10-26 tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin
dapat diberikan sampai usia 55 tahun
Dosis dan cara pemberian vaksin:

15
Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk
Cervarix diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6
(Dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster
(vaksin ulangan), respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan,
untuk menilai efektifitas vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon
antibodi rendah dan tidak mempunyai efek penangkalan maka diperlukan
pemberian Booster. Vaksin dikocok terlebih dahulu sebelum dipakai dan
diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan sebaiknya disuntikkan pada lengan
(otot deltoid)
Contoh :
1. Penyuntikan 1 : Januari
2. Penyuntikan 2 : Februari / Maret
3. Penyuntikan 3 : Juli

b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dini dan
skrining kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus
kanker serviks secara dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat
ditingkatkan. Perkembangan kanker serviks memerlukan waktu yang lama.
Dari prainvasif ke invasive memerlukan waktu sekitar 10 tahun atau lebih.
Pemeriksaan sitologi merupakan metode sederhana dan sensitif untuk
mendeteksi karsinoma prakanker. Bila diobati dengan baik, karsinoma
prakanker mempunyai tingkat penyembuhan mendekati 100%. Diagnosa
kasus pada fase invasif hanya memiliki tingkat ketahanan sekitar 35%.
Program skrining dengan pemeriksaan sitologi dikenal dengan Pap mear test
dan telah dilakukan di Negara-negara maju. Pencegahan dengan pap smear
terbuki mampu menurunkan tingkat kematian akibat kanker serviks 50-60%
dalam kurun waktu 20 tahun (WHO,1986).

16
C. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier yang dapat dilakukan berupa mempertahankan
kualitas hidup orang yang positif menderita kanker dengan cara pemberian
asupan gizi yang baik, memberi dukungan kepada penderita baik dari
keluarga maupun dari petugas kesehatan. Pencegahan lainnya berupa
pengobatan dan penatalaksanaan medis untuk mencegah atau
memperlambat proses penyebaran kanker ke bagian tubuh yang lain.
Penyuluhan terhadap pasangan penderita kanker serviks yang telah
menjalani histerektomi total agar tetap mempertahankan keharmonisan
hubungan suami istri (Hidayanti, 2001).

2.9. Deteksi dini kanker serviks

Kanker serviks adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang
merubah sel-sel serviks sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada
gilirannya akan tubuh menjadi kanker serviks.4 Prinsip dasar kontrol penyakit ini
adalah memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas lesi displasia sel-
sel serviks (disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bila lesi displasia
ditemukan sejak dini dan kemudian segera diobati, hal ini akan mencegah terjadinya
kanker serviks dikemudian hari.9
Lesi prakanker yang perlu diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi
intraepitelial skuamosa derajat tinggi), adapun jenis LISDR (lesi intraepitelial
skuamosa derajat rendah) dianggap lesi yang jinak dan sebagian besar akan
mengalami regresi secara spontan.7 Perempuan yang terkena lesi prakanker
diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara kanker yang ditemukan pada

17
stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya deteksi sedini mungkin
sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker serviks.7
WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam
penanganan kanker serviks, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui
peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan
tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut.1, 9
Deteksi dini kanker
serviks meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan
kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat
pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia
produktif1 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker)
memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan
penatalaksanaan kanker serviks.

Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi


dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi
dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang
terbatas.

1.Sasaran yang akan menjalani skrining


WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut:1
a) Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun
sebelumnya atau lebih.

b) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap


sebelumnya.

c) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan


pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan
gejala abnormal lainnya.

d) Perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada serviksnya.

18
Amerika Serikat dan Eropa merekomendasikan sasaran dan interval
skrining kanker servik seperti tampak pada tabel berikut:10

Tabel 4. Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika

Europea ACS ACOG ASCCP US


n (American (American (American Preventive
guideline Cancer College of Society for Service
s for Society); Obstetricians Colposcopy Task Force;
quality 2007 &Gynecologist); & Cervical 2003
assuranc 2003 Pathology); http://www.
e in http://www.acog. 2006 preventives
cervical org ervices.ahr
cancer q.gov
screening
; 2007

Waktu Usia 20– Kira-kira 3 Kira-kira 3 tahun Tidak ada Kira-kira 3


awal 30 tahun tahun setelah aktivitas laporan tahun
skrining setelah seksual yang setelah
dengan aktivitas pertama, namun aktivitas
tes Pap seksual tidak lebih dari seksual yang
yang usia 21 tahun pertama,
pertama, namun tidak
namun lebih dari
tidak lebih usia 21
dari usia tahun
21 tahun

Interval
Skrining

- Tes Pap Tiap 3–5 Tiap tahun; Tiap tahun; atau Tidak ada Sekurang-
konvensi tahun atau tiap tiap 2–3 tahun laporan kurangnya
onal 2–3 tahun untuk wanita usia tiap 3 tahun
untuk ≥ 30 tahun
wanita usia dengan 3 kali
≥ 30 tahun berturut-turut
dengan 3 hasil skrining
kali negatif
berturut-
turut hasil
skrining
negatif

19
-skrining Tidak ada Tiap 3 Tiap 3 tahun bila Tidak ada Tidak cukup
dengan laporan tahun bila hasil tes HPV dan laporan evidens
tes HPV hasil tes sitologi negatif
HPV dan
sitologi
negatif

Penghent Setelah Wanita Dari bukti-bukti Tidak ada Untuk


ian usia 60– usia ≥ 70 yang ada tidak laporan wanita usia
skrining 65 tahun tahun dapat ditarik ≥ 65 tahun
dengan ≥ dengan ≥ 3 kesimpulan untuk dengan hasil
3 kali kali menentukan batas tes negatif,
berturut- berturut- usia penghentian yang bukan
turut hasil turut hasil skrining . risiko tinggi
skrining tes negatif kanker
negatif dan tanpa serviks
hasil tes
abnormal
dalam 10
tahun
terakhir

Manajem ASC-US: Tidak ada Tidak ada laporan ASC-US: Tidak ada
ent hasil reflex laporan HPV tes, laporan
skrining HPV atau ulang
yang testing; tes sitologi,
abnormal LSIL: atau
- ASC ulang lakukan
-US pemeriksa kolposkopi
- ASC an sitologi pada wanita
-H atau ≥ 20 tahun;
- LSIL kolposkop ASC-H:
- HSIL i; ASC-H: kolposkopi
kolposkop LSIL:
i; HSIL: kolposkopi
kolposkop HSIL:
i dan segera
biopsi. lakukan
LEEP atau
kolposkopi
dengan
endocervica
l
assessment.

20
2. Interval skrining
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining
dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.7 Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah
3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama.7 Interval yang ideal untuk dilakukan
skrining adalah 3 tahun.9 Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama
dengan skrining tiap tahun.9 ACS merekomendasikan skrining tiap tahun dengan
metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan
sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang pertama.7 Setelah
perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil
negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali.7 Bila dana sangat terbatas
skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap
memberikan hasil yang signifikan.9 WHO merekomendasikan:1
 Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.

 Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan,


skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.

 Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun


sekali.

 Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia


diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.

 Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun


sekali

3. Metode skrining yang akan digunakan

21
Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari
ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa
persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah
dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang
diakui WHO adalah sebagai berikut:1
1. Metode Sitologi
a) Tes Pap Konvensional
Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George
Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian serviks di negara-
negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur
pemeriksaan yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis
melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu
7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan
yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan
interpretasi.20,38, 39,40,41
b) Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah
mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan cara
optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel
dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi
larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal
lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah
dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide
dan biaya yang lebih mahal.2
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai
cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ,
Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara
pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif.2,4
3. Metode inspeksi visual

22
a) Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)

b) Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)

Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan
servikografi. Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
berbeda. Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan
spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap
wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent).
Tabel 5. Perbedaan beberapa metode skrining1

Metode Prosedur Kelebihan Kekurangan Status

Sitologi Sampel  Metode yang  Hasil tes tidak  Telah lama


konvensi diambil oleh telah lama didapat dengan digunakan di
onal tenaga dipakai segera banyak
(Tes kesehatan  Diterima secara  Diperlukan negara sejak
Pap) dan diperiksa luas sistem yang tahun 1950
oleh  Pencatatan hasil efektif untuk  Terbukti
sitoteknisi di pemeriksaan follow up menurunkan
laboratorium permanen wanita yang angka
 Training dan diperiksa kematian
mekanisme setelah ada akibat
kontrol kualitas hasil kanker
telah baku pemeriksaan serviks di
 Investasi yang  Diperlukan negara-
sederhana pada transport bahan negara maju
program yang sediaan dari
telah ada dapat tempat
meningkatkan pemeriksaan ke
pelayanan laboratorium,
 Spesifisitas transport hasil
tinggi pemeriksaan ke
klinik
 Sensitivitas
sedang

Liquid Sampel  Jarang  Hasil tes tidak


Base diambil oleh diperlukan didapat dengan
Citology tenaga pengambilan segera
kesehatan, sample ulang  Fasilitas
dimasukkan bila bahan laboratorium

23
dalam cairan sediaan tidak lebih mahal
fiksasi dan adekuat dan canggih
dikirim untuk  Waktu yang
diproses dan dibutuhkan
di periksa di untuk
laboratorium pembacaan hasil
lebih singkat
bila dilakukan
oleh sitoteknisi
yang
berpengalaman
 Sampel dapat
digunakan juga
untuk tes
molekuler
(misalnya HPV
tes)

Tes Tes DNA  Pengambilan  Hasil tes tidak  Digunakan


DNA HPV secara sampel lebih didapat dengan secara
HPV molekuler. mudah segera komersial di
Pengambilan  Proses  Biaya lebih negara-
sampel dapat pembacaan mahal negara maju
dilakukan otomatis oleh  Fasilitas sebagai
sendiri oleh alat khusus laboratorium tambahan
wanita dan  Dapat lebih mahal pemeriksaan
dibawa ke dikombinasi dan canggih sitologi
laboratorium dengan Tes Pap  Perlu reagen
untuk khusus
meningkatkan  Spesifitas
sensitivitas rendah pada
 Spesifitas tinggi perempuan
terutama pada muda (,35
perempuan >35 tahun)
tahun

Metode Pemulasan  Mudah dan  Spesifitas  Belum


Visual serviks dapat murah rendah, cukup data
(IVA dilakukan  Hasil didapat sehingga dan
dan oleh tenaga dengan segera berisiko penelitian
VILI) kesehatan  Sarana yang overtreatment yang
yang terlatih dibutuhkan  Tidak ada mendukung,
(bidan/ sederhana dokumentasi terutama

24
dokter/peraw  Dapat hasil sehubungan
at) dikombinasi pemeriksaan dengan
dengan  Tidak cocok efeknya
tatalaksana untuk skrining terhadap
segera lainnya pada penurunan
yang cukup perempuan angka
dengan pasca kejadian dan
pendekatan menopause kematian
sekali  Belum ada kanker
kunjungan standarisasi serviks
(single visit  Seringkali  Saat ini
approach) perlu training hanya
ulang untuk direkomenda
tenaga sikan pada
kesehatan daerah
proyek

Test Pap / Pap Smear


Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik
atau sikat untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau serviks.
Kemudian sel-sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat
menyingkapkan apakah ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut
laporan sedunia, dengan secara teratur melakukan tes Pap smear telah
mengurangi jumlah kematian akibat kanker serviks. Pap smear dapat
digunakan sebagai screening tools karena memiliki sensitivitas: sedang (51-
88%) dan spesifisitas: tinggi (95-98%)
Rekomendasi skrining
Syarat:
- Tidak menstruasi. Waktu terbaik adalah antara hari ke-10 sampai ke-20
setelah hari pertama menstruasi.
- 2 hari sebelum tes, hindari pembilasan vagina, penggunaan tampon,
spermisida foam, krim atau jelly atau obat-obatan pervagina
- Tidak melakukan hubungan seksual paling sedikit 24 jam sebelum
dilakukan tes Pap smear
Indikasi:

25
- Dalam 3 tahun setelah berhubungan seksual pervagina, tidak melebihi
umur 21 tahun.
- Setiap tahun dengan sitilogi konvensional atau setiap 2 tahun dengan
peralatan liquid-based.
- Setiap 2-3 tahun pada wanita > 30 tahun jika 3 hasil tes berurutan
normal.
- Pada wanita dengan risiko tinggi seperti infeksi HPV, jumlah mitra
seksual yang banyak, suami atau mitra seksual yang berisiko tinggi,
imunitas yang terganggu seperti infeksi HIV, transplantasi organ,
kemoterapi atau pengobatan lama kortikosteroid dan riwayat terpapar
Dietilbestrol in utero.
Alat-alat dan Bahan:
- spekulum cocor bebek
- spatula ayre
- cytobrush
- kaca objek
- alcohol 95%
Metode pengambilan Pap smear:
- Beri label nama pada ujung kaca objek

- Masukkan spekulum, dapat diberikan air atau salin jika perlu.


- Lihat adanya abnormalitas serviks
- Identifikasi zone transformasi
- Pilih ujung spatula yang paling cocok dengan mulut serviks dan
zona transformasi.
- Putar spatula 360º disekitar mulut serviks sambil mempertahankan
kontak dengan permukaan epithelial.

26
- Dengan putaran searah jarum jam diawali dan diakhiri pada jam 9,
hasil yang terkumpul dipertahankan horizontal pada permukaan
atasnya ketika instrument dikeluarkan.
- Jangan memulas sample pada saat ini jika belum akan fiksasi.
Pegang spatula antara jari dari tangan yang tidak mengambil sample,
sementara sample dari cytobrush dikumpulkan.
- Cytobrush mempunyai bulu sikat sirkumferen yang dapat kontak
dengan seluruh permukaan mulut serviks ketika dimasukkan.
- Cytobrush hanya perlu diputar ¼ putaran searah jarum jam.

- Pulas sampel pada spatula pada kaca obyek dengan satu gerakan
halus.
- Kemudian pulas cytobrush tepat diatas sampel sebelumnya dengan
memutar gagangnya berlawanan dengan arah jarum jam.
- Pulasan harus rata dan terdiri dari satu lapisan, hindari gumpalan
besar sebisanya tapi juga hindari manipulasi berlebihan yang dapat
merusak sel, pindahkan sampel dari kedua instrument ke kaca objek
dalam beberapa detik.

27
- Fiksasi specimen secepatnya untuk menghindari artefak karena
pengeringan dengan merendam kaca objek dalam tempat tertutup
yang berisi larutan ethanol 95% selama 20 menit.

- Keringkan dan kirimkan ke Bagian Sitologi Patologi Anatomi.


- Hasil pemeriksaan dibaca dengan system Bethesda.
Evaluasi sitologi:
Klasifikasi Papanicolaou.
- Kelas I : sel-sel normal
- Kelas II : sel-sel menunjukkan kelainan ringan yang
menunjukkan kelainan ringan biasanya disebabkan oleh infeksi
- Kelas III : mencurigakan kearah keganasan
- Kelas IV : sangat mencurigakan adanya keganasan
- Kelas V : pasti ganas
Interpretasi Dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Sitologi
- Vaginitis atau servisitis yang aktif dapat mengganggu interpretasi
sitologi. Jika reaksi peradangan hebat, pasien harus diobati dulu.
Setelah infeksi diatasi dilakukan pemeriksaan Pap smear ulang 6
minggu kemudian
- Jika hasil pemeriksaan sitologi tidak memuaskan atau tidak dapat
dievaluasi, harus dilakukan Pap smear ulang 6 minggu kemudian
- Jika hasil pemeriksaan sitologi mencurigakan keganasan (kelas III-
IV), selanjutnya dilakukan kolposkopi dan biopsi untuk
menegakkan diagnosis definitif.
- Pasien dengan hasil evaluasi sitologi negative dianjurkan untuk
ulang pemeriksaan Pap smear setahun sekali, sampai usia 40 tahun.
Selanjutnya 2-3 tahun sekali sampai usia 65 tahun.

28
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)
IVA adalah skrining yang dilakukan dengan memulas serviks
menggunakan asam asetat 3–5% dan kemudian diinspeksi secara kasat
mata oleh tenaga medis yang terlatih. Setelah serviks diulas dengan
asam asetat, akan terjadi perubahan warna pada serviks yang dapat
diamati secara langsung dan dapat dibaca sebagai normal atau
abnormal.
Program Skrining Oleh WHO :
- Skrining pada setiap wanita minimal 1X pada usia 35-40 tahun
- Kalau fasilitas memungkinkan lakukan tiap 10 tahun pada usia 35-
55 tahun
- Kalau fasilitas tersedia lebih lakukan tiap 5 tahun pada usia 35-55
tahun (Nugroho Taufan, dr. 2010:66)
- Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun pada wanita
usia 25-60 tahun.
- Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun atau sekali seumur
hidup memiliki dampak yang cukup signifikan.
- Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila : hasil positif (+)
adalah 1 tahun dan, bila hasil negatif (-) adalah 5 tahun
Syarat:
- Sudah pernah melakukan hubungan seksual
- Tidak sedang datang bulan/haid
- Tidak sedang hamil
- 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual
Klasifikasi IVA
Menurut (Sukaca E. Bertiani, 2009) Ada beberapa kategori yang dapat
dipergunakan, salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah:
- IVA negatif = menunjukkan serviks normal.
- IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak
lainnya (polip serviks).

29
- IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium).
Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks
dengan metode IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis
Serviks-pra kanker (dispalsia ringan-sedang-berat atau kanker
serviks in situ).
- IVA-Kanker serviks = Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan
temuan stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi
penurunan kematian akibat kanker serviks bila ditemukan masih
pada stadium invasif dini (stadium IB-IIA).
Pelaksanaan IVA
- Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung
serviks yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada
perubahan warna atau tidak muncul plak putih, maka hasil
pemeriksaan dinyatakan negative. Sebaliknya jika serviks berubah
warna menjadi merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif
lesi atau kelainan pra kanker.
- Namun jika masih tahap lesi, pengobatan cukup mudah, bisa
langsung diobati dengan metode Krioterapi atau gas dingin yang
menyemprotkan gas CO2 atau N2 ke serviks. Sensivitasnya lebih
dari 90% dan spesifitasinya sekitar 40% dengan metode diagnosis
yang hanya membutuhkan waktu sekitar dua menit tersebut, lesi
prakanker bisa dideteksi sejak dini. Dengan demikian, bisa segera
ditangani dan tidak berkembang menjadi kanker stadium lanjut.
- Kalau hasil dari test IVA dideteksi adanya lesi prakanker, yang
terlihat dari adanya perubahan dinding serviks dari merah muda
menjadi putih, artinya perubahan sel akibat infeksi tersebut baru
terjadi di sekitar epitel. Itu bisa dimatikan atau dihilangkan dengan
dibakar atau dibekukan. Dengan demikian, penyakit kanker yang
disebabkan human papillomavirus (HPV) itu tidak jadi berkembang
dan merusak organ tubuh yang lain.

30
2.10. Prognosis
Prognosis kanker serviks sangat bergantung pada seberapa dini kasus ini
terdiagnosis dan dilakukan terapi yang adekuat. Terapi yang tidak adekuat
berupa tindakan pembedahan maupun radiasi yang tidak sesuai dengan jadwal
akan mengurangi tingkat keberhasilan dari terapi

31
BAB III
KESIMPULAN

Kanker serviks adalah keganasan yang terjadi pada serviks. Gejala yang timbul
pada penderita kanker serviks, adalah :

 Pendarahan pervaginam, terutama postcoital


 Pendarahan di luar siklus menstruasi
 Keputihan yang berbau busuk
 Gangguan BAK dan BAB

Penyakit kanker serviks ini beresiko terhadap :

 Perempuan yang merokok


 Terinfeksi HPV
 Penggunaan pil KB jangka panjang
 Menikah di usia muda
 Infeksi HIV
 Kehidupan social ekonomi rendah
 Riwayat keluarga mempunyai penyakit yang sama

Dengan adanya vaksin dan skrining rutin berupa Pap Smear, angka kejadian kanker
serviks dapat dikurangi peningkatannya.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrijono, Kanker Serviks, Divisi Onkologi, Dep.Obstetri-Ginekologi


FKUI.2007.

2. Nuranna, L. Penanggulangan Kanker Serviks yang Sahih dan Andal dengan


metode Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan terapi
krio). Desertasi program Doktor. FKUI, Jakarta 2005.

3. Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta,
2001: 133;5-7.

4. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide


to Essential Practice. Geneva: WHO, 2006.

5. Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi Dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-


2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia .2001: 90-
110.

6. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging Classifications and clinical
practice guidelines of gyneecologic cancers. Int J Gynecol Cancer.
2000;70:207-312.

7. Soepardiman HM, Sianturi MHR, Lubis M. Manual Pap Smir. Jakarta.


Subbagian Sitopatologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI 1988. (89)

8. Nazeer S. Cervical cancer screening training module 2 : Aided visual inspection


of the cervix ―acetic acid test‖. Geneva Foundation for Medical Education and
Research. Diakses pada http://www.gfmer.ch/

9. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ,
Cohen C, American Cancer Society: American Cancer Society guidelines for
the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002,
52:342-362. PubMed Abstract | Publisher Full Text.

33
10. Canavan TP, Doshy NR. Cervical Cancer. Situs American Family Physician.
Diakses pada www.aafp.org.

34

Anda mungkin juga menyukai