PENDAHULUAN
Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil
dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar penetapan hukum
Islam. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau
upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Jadi ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang
memuat prosedur dan tehknik bagaimana hukum syariat dapat dirumuskan untuk pedoman hidup
dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).
Wallahu A’lam
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Ushul Fiqih
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun
pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah /
metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini
tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh
beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan
kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad.
Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada
tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para
pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini
pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka
gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-
Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam
kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran,
perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang
membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan
istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini
dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.
Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan
baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam,
lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain
itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-
tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin
Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan
di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari
berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun
demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.
Wallahu A’lam
BAB II
HUKUM SYARA’
Pembahasan Hukum Syara’ merupakan salah satu dari obyek kajian ilmu Ushul Fiqih. Di dalam
pembahasan ini materi yang akan di kaji meliputi; al-Hakim (Pembuat hukum Syara’/Allah),
Pengertian hukum syara’, Pembagian hukum syara’, Mahkum Fiih (Perbuatan mukallaf) dan
Mahkum ‘Alaih (orang mukallaf)
Skema pembahasan hukum syara’
Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa hukum syara’ merupakan Kalam Allah yang
mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia yang mukallaf (islam, baligh dan berakal).
Kalam Allah bisa berupa:
Dengan demikian hukum syara’ dalam wacana Ushul Fiqih merupakan keputusan dan ketetapan
hukum atas perbuatan orang mukallaf yang bersumber dari teks al-Quran dan Hadis, baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Hukum taklifi adalah “Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan
kepada seorang mukallaf”.
* Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunat.
* Larangan Allah terbagi menjadi dua: Haram dan Makruh
* Pilihan terbagi menjadi dua: boleh mengerjakan boleh meninggalkan.
* Wajib
Menurut bahasa wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah wajib adalah: “sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf, jika
dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan jika ditinggalkan diancam dengan dosa”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkara yang diwajibkan oleh Allah harus
dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Jika melaksanakan perkara wajib maka ia akan mendapat
pahala disisi Allah SWT. Tidak ada balasan kecuali surga di akhirat kelak, suatu tempat yang
kenikmatannya tidak pernah dilihat dan dirasakan di dunia yang sementara ini. Ia akan kekal di
dalamnya. Namun jika perintah Allah yang berupa “wajib” ditinggalkan maka ia berdosa dan
nerakalah tempatnya, terkecuali ia bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT.
• Wajib Ain: kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali. Kewajiban
ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat dll.
• Wajib Kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur
manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
• Wajib Mu’ayyan: suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf,
seperti puasa di bulan ramadlan dll.
• Wajib Mukhoyyar: suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa
alternative. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia
wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
• Wajib Mutlak: suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Seperti mengqadlo’ puasa ramadlan yang tertinggal dll.
• Wajib Muaqqat: suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti
sholat lima waktu dll.
* Sunat
Hukum sunat merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sunat menurut istilah adalah: “Suatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah, jika dilaksanakan akan diberi pahala dan
jika ditinggalkan tidak berdosa”. Istilah sunat bisa disebut dengan istilah mandub, nafilah,
mustahab, tathowwu’, ihsan, dan fadhilah.
* Haram
Haram secara bahasa adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun menurut istilah
haram adalah: “Sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah, dimana orang yang
melanggarnya akan berdosa dan durhaka, sementara orang yang meninggalkannya (dengan niat
menaati perintah Allah) akan mendapatkan pahala”
Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa
kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan
dan kedamaian.
• Haram Li-Dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya mengandung
kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina.
• Haram Li-Ghoirihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun
karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jum’at, bermain-main di
tempat maksiat dll.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terkadang susutu bisa haram karena
esensinya memang diharamkan oleh agama dan terkadang sesuatu bisa diharamkan karena
sesuatu tersebut dapat menyebabkan melakukan sesuatu yang diharamkan. Dalam kaidah fiqih
disebutkan :
ما ل يتم الحرام إل به فهو حارام
“Sesuatu yang diharamkan tidak bisa terjadi/sempurna terkecuali dengan suatu hal maka suatu
hal tersebut hukumnya haram”
* Makruh
Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah:
“Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan
terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.
* Mubah
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah:
“sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak
ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
2. Hukum Wadl’i
Hukum Wadl’i adalah: “Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat atau sebagai mani’ (penghalang)”. Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3
macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).
# Sebab
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak
adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak
ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: - Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur
- Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya
- Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk
- Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya
- Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
“Sebab”, dibagi menjadi 2 macam: Kadang tidak berada dalam jangkauan mukallaf, terkadang
Berada dalam jangkauan mukallaf.
# Syarat
Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar
hakekat sesuatu itu.
Contoh: - Wudlu sebagai syarat sahnya sholat
- Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu
di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas
- Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di pesma al-Hikam.
“Syarat”, dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan
Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf)
# Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: - Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri.
- Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat
- Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat
- Tidak cakap berorganisasi sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak terpilih sebagai
ketua BEM
“Mani’”, dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.
Sumber hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada
sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar
hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat
istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Untuk memudahkan, lihat skema di bawah ini:
1. Al-Quran
Menurut bahasa al-Quran berarti “bacaan”, dan menurut ilmu Ushul Fiqih al-Quran adalah:
“Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad dengan bahasa arab dan terkategorikan beribadah jika membacanya”.
Al-Quran pertama kali diturunkan di Gua Hira (Makkah) pada tahun 611 M, dan berakhir di
Madinah pada tahun 633 H (al-Quran turun selama kurun waktu 22 tahun beberapa bulan). Surat
yang pertama kali turun adalah al-‘Alaq dan yang terakhir kali –terdapat perbedaan pendapat-
menurut sebagian ulama adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran mencakup tiga ajaran pokok:
1. Ajaran yang berkenaan dengan akidah (al-Ahkam al-I’tiqodiyyah), seperti Tawhid, malikat,
hari akhir dll.
2. Ajaran yang berkenaan dengan akhlaq (al-Ahkam al-Khuluqiyyah), seperti tuntunan bergaul
secara sopan, tutur kata yang baik dll.
3. Ajaran yang berkenaan dengan perbuatan (al-Ahkam al-‘Amaliyyah), seperti tuntunan
kewajiban dan larangan berbuat sesuatu. Dari ajaran inilah kemudian timbul ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih.
Abdul Wahab Kholaf memerinci macam ayat al-Quran yang berhubungan dengan hukum
muamalah sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga: seperti prosesi akad nikah, talak, ruju’, iddah warisan dll terdapat di dalam
al-Quran –sekitar- 70 ayat.
2. Hukum Perdata: seperti utang piutang, perjanjian sewa menyewa jual beli dll terdapat di
dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
3. Hukum Pidana: seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan tindak kekerasan dll
terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 30 ayat.
4. Hukum Acara: seperti peradilan, kesaksian, sumpah, barang bukti dll terdapat di dalam al-
Quran –sekitar- 13 ayat.
5. Hukum Ketata-Negaraan: ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti
mengatur hak pribadi dan hak masyarakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
6. Hukum Antar Bangsa: seperti hukum yang mengatur hubungan antara Negara Islam dan
Negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan non muslim dll, terdapat di dalam al-Quran –
sekitar- 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan: seperti hak-hak faqir miskin, pembagian zakat dll, terdapat
di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
Menurut Imam Ghozali, ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum amaliyah (fiqih)
kurang lebih 500 ayat.
Wallahu A’lam
2. Al-Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang baik perilaku yang baik ataupun yang buruk”.
Adapun menurut istilah, al-Sunah adalah: “segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan
hukum, baik berupa ucapan (qawliyyah), perbuatan (fi’liyyah) ataupun pengakuan (taqririyah)”.
Contoh:
1. Sunnah yang berupa ucapan (qawliyyah) Nabi Saw:
ضىَ أيلن يل ي
ضيرير يويل ف
(ضيراير )رواه ابن ماجه اك يعليليفه يويسالايم قي ي
صالىَ ا ت أيان يركساويل ا
اف ي يعلن كعيبايدةي لبفن ال ا
صافم ف
“Dari Ubadah bin Samit sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan bahwa tidak boleh
melakukan kemudaratan (kerusakan / bahaya) dan tidak boleh pula mendatangkan kemudaratan”
(HR. Ibn Majah)
Dalam kajian Ushul Fiqih, Hadis dari segi sanadnya terbagi menjadi 2 macam: Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad.
1. Hadis Mutawatir; Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi (minimal 4
sahabat) yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua:
- Mutawatir Lafdzi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang makna dan lafadznya
sama. Misalnya Hadis tentang seseorang yang berbuat dusta atas diri nabi maka hendaknya ia
mengambil tempat dineraka (HR.Muslim)
- Mutawatir Ma’nawi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang maknanya sama
namun lafadznya berbeda. Misalnya Hadis tentang nabi mengangkat tangan pada saat berdoa
(HR. Tirmidzi)
2. Hadis Ahad; Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih (maximal 3 sahabat) dan tidak
sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga:
- Hadis Masyhur: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi. Contoh
Hadis tentang amal tergantung kepada niat (HR. Bukhori Muslim)
- Hadis ‘Aziz: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 2 orang perawi. Contoh
menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang islam (HR. al-Baihaqi)
- Hadis Ghorib: Hadis yang diriwayatkan oleh orang 1 orang perawi. Contoh belum sempurna
iman seseorang sehingga ia lebih mencintai rasulullah melebihi cintanya kepada orang tuanya,
anaknya dan seluruh manusia (HR. Bukhori Muslim)
Wallahu A’lam
C. Rukun Ijma’
Rukun Ijma’ ada 4 (empat):
1. Adanya beberapa pendapat yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat dalam masa
tertentu
2. Adanya kesepakatan semua mujtahid terhadap keputusan hukum pada suatu masalah tanpa
memandang kebangsaan, tempat ataupun kelompok mereka
3. Kesepakan itu nyata, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
4. Kesepakatan tersebut direalisasikan oleh semua ahli fiqih
D. Macam-macam Ijma’
* Ditinjau dari cara penetapannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1. Ijma’ Shorih; Para mujtahid sepakat atas suatu hukum terhadap suatu masalah dengan
terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya masing-masing, yang kemudian mengerucut
menjadi satu pendapat.
2. Ijma’ sukuti; Sebagian mujtahid mengemukakan pendapat dan keputusan hukum dalam
suatu masalah, dan sebagian lain diam tidak mengemukakan pendapatnya. Maka diamnya ini
dapat diartikan sebagai tanda setuju.
E. Kedudukan Ijma’
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis
Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat
qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan
hukum.
Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”, apakah dapat dijadikan
sebagai hujjah atau tidak?.
• Imam Syafi’i dan mayoritas ulama: tidak dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar hukum.
Argumentasi pendapat ini antara lain:
- Orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah mengemukakan pendapat.
- Diam tidak dapat dipandang sebagai tanda setuju. Sebab dalam diamnya terdapat banyak
kemungkinan. Mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia khawatir dengan pendapatnya dan
kemungkinan-kemungkinan yang lain
Catatan: Untuk melihat hasil-hasil ijma’ para ulama, dapat dilihat dalam beberapa buku yang
mengumpulan hasil ijma’, seperti bukunya Ibn Hazm dll.
4. Qiyas (Analogi)
A. Pengertian Qiyas
Qiyas (analogi) merupakan dasar hukum islam yang disepakati, ia menduduki peringkat ke 4
setelah al-Quran, Hadis dan Ijma’.
Secara bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui
persamaan antara keduanya”. Sedangkan Qiyas menurut istilah adalah: “Menyamakan sesuatu
yang tidak ada hukumnya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya karena ada
persamaan ‘illat (penyebab) antara keduanya”.
Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hukum pada
suatu masalah yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis, dan setelah itu dicari ‘illat /
penyebabnya, yang kemudian dibandingkan dengan masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya. Bila ada kesamaan “illat / sebab” maka hukumnya sama. Ulama pertama kali yang
merumuskan Qiyas adalah Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i w. 820 M).
B. Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah dan benar apabila telah memenuhi rukun-rukunnya. Seluruh ulama sepakat
bahwa rukun Qiyas ada 4:
1. Al-Ashlu (pokok masalah yang ada dalam Nash dan sebagai tempat menganalogikan
sesuatu), misal: khamr.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal), misal: Haram
3. Al-Far’u (cabang masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash), misal: ganja.
4. Illat (faktor penyebab). Misal: memabukkan.
Keterangan:
1. Al-Ashlu (Asal masalah) dari ayat diatas adalah khamr. Khamr adalah minuman keras yang
dibuat dari perasan kurma atau buah-buahan.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal) dari ayat di atas adalah “Jauhilah”, yang berarti
perintah wajib untuk menjauhi dan Haram dikerjakan.
3. al-‘Illat (faktor penyebab / motivasi) keharamannya adalah Memabukkan.
4. Al-Far’u (cabang masalah yang dianalogikan) misalnya; kokoin. Karena kokoin
memabukkan maka hukum kokoin sama dengan hukum khomr.