Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. pengertian, obyek, fungsi, hubungan


Ushul Fiqih dengan fiqih

1. Pengertian Ushul Fiqih


Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata; ushul dan fiqih. Kata Ushul jamak dari ashlun, yang
berarti; Pangkal, Pokok, Dasar dll. Sedangkan fiqih, secara bahasa berarti: Pemahaman. Secara
istilah, fiqih: “Ilmu yang menjelas-kan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang digali melalui dalil-dalilnya yang terperinci”.
Adapun pengertian Ushul Fiqih adalah;
‫أ للعلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الي الساتفادة من الحاكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية‬
“Ilmu pengetahuan yang menyajikan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan
sebagai dasar dalam menetapkan hukum syariat mengenahi perbuatan manusia dari dalil-dalilnya
secara terperinci”.

Yang dimaksud “dari dalil-dalilnya secara terperinci” dalam pengertian di atas adalah dalil-dalil
dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana yang menjadi dasar penetapan hukum
Islam. Inti Ushul Fiqih adalah seperangkat kaidah (metode berpikir) guna mendukung cara atau
upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari dalil-dalil ataupun sumber-sumbernya.
Jadi ilmu Ushul Fiqih pada hakekat-nya adalah metodologi hukum Islam (suatu metode yang
memuat prosedur dan tehknik bagaimana hukum syariat dapat dirumuskan untuk pedoman hidup
dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum Islam tersebut).

2. Obyek Ushul Fiqih


Pada intinya obyek kajian ilmu Ushul Fiqih adalah penjelasan tentang metode instinbath dan
system mempergunakan dalil syara’ (Istidlal) guna merumuskan hukum tentang perbuatan
manusia dari dalil-dalilnya secara terperinci. Lebih jelasnya ruang lingkup pembahasan Ushul
Fiqih meliputi hal-hal di bawah ini:
a. Pengenalan terhadap istilah-istilah tehnis yang lazim dipakai dalam lalu lintas pembahasan
syariah. Seperti fardlu, sah, fasid, syarat dll.
b. Dalil-dalil hukum Islam -baik yang pokok seperti al-Quran ataupun yang ijtihadi seperti
mashlahah mursalah- berikut penetapan rangking kehujahan masing-masing dalil.
c. Penjelasan tentang cara/metode “bagaimana menetapkan hukum” dari suatu dalil. Metode
yang dimaksud terdiri atas Qaidah (cara berpikir) dalam menarik petunjuk hukum dari Nash (al-
Quran Hadis) melalui pendekatan tekstual (kebahasaan) di samping menggunakan pula
perangkat-perangkat metode yang lain.
d. Mujtahid, ijtihad, fatwa, taklid dll.

3. Fungsi Ushul Fiqih


Pertanyaan: “Untuk apakah mempelajari ilmu Ushul Fiqih?”. Fungsi mendasar ilmu ini –secara
singkat- dapat dijelaskan; Menetapkan suatu hukum baru harus mempunyai dasar dan harus ada
sistem metodenya.
Adapun fungsi Ushul Fiqih secara umum antara lain:
a. Perkembangan zaman telah menghadirkan setumpuk permasalahan baru yang memerlukan
jawaban kepastian hukum Islam. Untuk memecahkan hal tersebut belum tentu terjangkau oleh
rumusan fiqih yang terhimpun dalam kitab-kitab kuning, oleh karenanya dibutuhkan cara praktis
dalam menggali hukum Islam. Untuk itu mutlak dibutuhkan perangkat metodologisnya.
b. Untuk melindungi hukum Islam (protection) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
lantaran dalam menetapkan hukum Islam terlepas dari prosedur metodologis tehnik penyimpulan
hukum dari dalil-dalilnya.
c. Untuk menganalisa dan menyeleksi hukum-hukum fiqih yang sudah ada, memetakan
formula hukum fiqih manakah yang boleh berubah oleh karena perubahan zaman dan manakah
hukum fiqih yang tidak boleh berubah.
d. Diharapkan dengan adanya ilmu Ushul Fiqih dapat memperkecil gejala pertentangan umat
Islam akibat terjadi ikhtilaf pada masalah furu’iyah. Melalui ilmu ini, terbuka kemungkinan
menetralisir ikhtilaf negatif tersebut.

4. Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih


Ushul Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum
fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan
antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain:
a. Ushul Fiqih ibarat rantai penghubung antara fiqih dengan sumbernya
b. Ushul Fiqih merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para
pakar fiqih terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih.
c. Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqih yang telah dirintis oleh
ulama generasi pendahulu,

Wallahu A’lam
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Ushul Fiqih

Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun
pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah /
metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini
tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.

Masa Nabi SAW


Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu
Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan
pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin
Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat,
Nabi bertanya kepada Muadz:
‫ب ا‬
ٍٍ ‫اف يقايل فيإ فلن ليلم ييككلن ففي‬ ‫ضي بفيما ففي فكيتا ف‬‫ضي فييقايل أيلق ف‬ ‫ث كميعاذذا إفيلىَ الليييمفن فييقايل يكلي ي‬
‫ف تيلق ف‬ ‫اك يعليليفه يويسالايم بييع ي‬
‫صالىَ ا‬
‫اف ي‬ ‫أيان يركساويل ا‬
‫اك يعليليفه يويسالايم يقايل أيلجتيفهكد يرلأفيي يقايل‬
‫صالىَ ا‬‫اف ي‬‫اك يعليليفه يويسالايم يقايل فيإ فلن ليلم ييككلن ففي كسانافة يركساوفل ا‬‫صالىَ ا‬ ‫اف ي‬ ‫اف يقايل فيبفكسنافة يركساوفل ا‬
‫ب ا‬
‫فكيتا ف‬
‫اك يعليليفه يويسالايم‬
‫صالىَ ا‬ ‫الليحلمكد فالف الافذيِ يوفا ي‬
‫ق يركساويل يركساوفل ا‬
‫اف ي‬
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada
Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya
putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di
dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi
bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh
beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan
kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad.

Masa Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti beliau adalah para sahabatnya. Periode ini dimulai pada
tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para
pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini
pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka
gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit. Para sahabat menggunakan “al-
Ra’yu” dalam melakukan ijtihad.
Istilah “al-Ra’yu” dalam pandangan sahabat –seperti yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam
kitab I’lam al-Muwaqqi’in- adalah sesuatu yang dilihat oleh hati setelah terjadi proses pemikiran,
perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang
membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini mencakup qiyas, istihsan dan
istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian hukum seperti ini
dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya.

Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, penggalian hukum Islam semakin meluas, oleh sebab berbagai permasalahan
baru muncul ke permukaan. Hal ini tidak terlepas dari imbas meluasnya daerah kekuasaan Islam,
lalu para ulama tersebar ke pelosok-pelosok negeri dan mereka banyak melakukan ijtihad. Selain
itu juga disebabkan orang-orang non-Arab yang banyak yang memeluk Islam.
Pada periode ini terdapat pengembangan dari metode yang telah digunakan para sahabat. Tokoh-
tokoh dan Pembesar tabi’in yang sering berijtihad dan memberikan fatwa antara lain: Said bin
Musayyab di kawasan Madinah dan Ibrahim al-Nakha’i di kawasan Irak. Sebagai dasar pijakan
di dalam proses berijtihad dan memberikan fatwa, mereka mengembangkan dan menambah dari
berbagai metode yang pernah dirintis oleh sahabat, seperti Qawl Sohabi (fatwa sahabat). Namun
demikian ilmu Ushul Fiqih pada periode ini juga masih belum terbukukan.

Masa Tabi’ Tabi’in (Periode Imam Madzhab)


Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya.
Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis
penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi
ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan
berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau
menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat
dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal
(tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-
imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu
ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode
penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-
sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh
generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang
bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit antara fiqih ahli Madinah
dan fiqih ahli Irak.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam
Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah
yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas,
yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang
benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama
Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul
Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan
syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang
membukukan ilmu Ushul Fiqih.

Masa Pasca Imam Syafi’i


Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan
berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi
Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi
Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul
al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih
(wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama,
Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah
bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatarbelakangi beragam corak ilmu ini antara
lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman
terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadis.

Wallahu A’lam

BAB II
HUKUM SYARA’

Pembahasan Hukum Syara’ merupakan salah satu dari obyek kajian ilmu Ushul Fiqih. Di dalam
pembahasan ini materi yang akan di kaji meliputi; al-Hakim (Pembuat hukum Syara’/Allah),
Pengertian hukum syara’, Pembagian hukum syara’, Mahkum Fiih (Perbuatan mukallaf) dan
Mahkum ‘Alaih (orang mukallaf)
Skema pembahasan hukum syara’

1. Al-Hakim (Pembuat hukum)


Lafad Hakim berasal dari kata hakama yang berarti memutuskan perkara. Secara bahasa Hakim
adalah “Pihak yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqih ada persamaan pengertian antara
Hakim dan Qadli, yang berarti “Orang yang memberiakan putusan hukum di dalam pengadilan”.
Namun di dalam kajian Ushul Fiqih, Hakim adalah Pembuat/pemutus hukum secara hakiki,
yakni Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa yang menjadi sumber dalam
memutuskan hukum secara hakiki adalah Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam
surat al-An’am ayat 57:
‫ق يوهكيو يخليكر الليفا ف‬
‫صفليين‬ ‫ص الليح ا‬
ُ‫قكلل إفبني يعيلىَ بييبنيٍة فملن يرببي يويكاذلبتكلم بففه يما فعلنفديِ يما تيلستيلعفجكلوين بففه إففن اللكحلككم إفال فالف ييقك ص‬
“Katakanlah, sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata dari Tuhanku sedang kamu
mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk
disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”

2. Pengertian Hukum Syara’


Secara bahasa yaitu “memutuskan”, secara istilah hukum syara’ adalah:
“Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah
(mengerjakan/meninggalkan), tahyir (pilihan), atau penetapan sesuatu menjadi sebab, syarat,
atau penghalang”.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan bahwa hukum syara’ merupakan Kalam Allah yang
mengatur segala tingkah laku dan perbuatan manusia yang mukallaf (islam, baligh dan berakal).
Kalam Allah bisa berupa:

1. Perintah mengerjakan sesuatu ex.: sholat 5 waktu.


2. Anjuran mengerjakan sesuatu ex.: Kesopanan dalam bergaul
3. Larangan mengerjakan sesutu ex.: Minum Khomer
4. Anjuran meninggalkan sesuatu ex.: Berkumur pada saat berpusa
5. Memberi pilihan: antara melakukan dan tidak melakukan ex.: Makan
6. Menetapkan sesuatu sebagai sebab ex.: Tergelincirnya matahari sebagai sebab dari kewajiban
menunaikan Sholat Dluhur
7. Menetapkan sesuatu sebagai syarat ex.: Berwudlu sebagai syarat jika orang hendak melakukan
sholat
8. Menetapkan sesuatu sebagai penghalang (mani’) ex.: seseorang yang membunuh orang
tuanya, menjadi penghalang ia mendapatkan warisan.
9. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
10. Menetapkan seuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshoh

Dengan demikian hukum syara’ dalam wacana Ushul Fiqih merupakan keputusan dan ketetapan
hukum atas perbuatan orang mukallaf yang bersumber dari teks al-Quran dan Hadis, baik secara
langsung ataupun tidak langsung.

3. Pembagian Hukum Syara’


Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syara’ menjadi dua bagian; Hukum Taklifi dan Hukum
Wadl’i.
1. Hukum Taklifi.

Hukum taklifi adalah “Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan
kepada seorang mukallaf”.
* Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunat.
* Larangan Allah terbagi menjadi dua: Haram dan Makruh
* Pilihan terbagi menjadi dua: boleh mengerjakan boleh meninggalkan.

* Wajib

Menurut bahasa wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah wajib adalah: “sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf, jika
dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan jika ditinggalkan diancam dengan dosa”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkara yang diwajibkan oleh Allah harus
dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Jika melaksanakan perkara wajib maka ia akan mendapat
pahala disisi Allah SWT. Tidak ada balasan kecuali surga di akhirat kelak, suatu tempat yang
kenikmatannya tidak pernah dilihat dan dirasakan di dunia yang sementara ini. Ia akan kekal di
dalamnya. Namun jika perintah Allah yang berupa “wajib” ditinggalkan maka ia berdosa dan
nerakalah tempatnya, terkecuali ia bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:


a. dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah
b. dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar
c. dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat

• Wajib Ain: kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali. Kewajiban
ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat dll.
• Wajib Kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur
manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
• Wajib Mu’ayyan: suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf,
seperti puasa di bulan ramadlan dll.
• Wajib Mukhoyyar: suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa
alternative. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia
wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
• Wajib Mutlak: suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Seperti mengqadlo’ puasa ramadlan yang tertinggal dll.
• Wajib Muaqqat: suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti
sholat lima waktu dll.

* Sunat

Hukum sunat merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sunat menurut istilah adalah: “Suatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah, jika dilaksanakan akan diberi pahala dan
jika ditinggalkan tidak berdosa”. Istilah sunat bisa disebut dengan istilah mandub, nafilah,
mustahab, tathowwu’, ihsan, dan fadhilah.

Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:


1. Sunat Muakkad
2. Sunat Ghairu Muakkad
3. Sunat Zawaid.
• Sunat Muakkad: sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh Nabi
SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya sholat sunnat sebelum fajar.
• Sunat Ghoiru Muakkad: sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh
Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang yang
tidak dalam kondisi terdesak.
• Sunat Zawaid: Sunnat yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa,
seperti adapt kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian dll.

* Haram

Haram secara bahasa adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Adapun menurut istilah
haram adalah: “Sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah, dimana orang yang
melanggarnya akan berdosa dan durhaka, sementara orang yang meninggalkannya (dengan niat
menaati perintah Allah) akan mendapatkan pahala”
Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa
kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan
dan kedamaian.

Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:


1. Haram Li-Dzatihi
2. Haram Li-Ghoirihi

• Haram Li-Dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya mengandung
kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina.
• Haram Li-Ghoirihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun
karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jum’at, bermain-main di
tempat maksiat dll.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terkadang susutu bisa haram karena
esensinya memang diharamkan oleh agama dan terkadang sesuatu bisa diharamkan karena
sesuatu tersebut dapat menyebabkan melakukan sesuatu yang diharamkan. Dalam kaidah fiqih
disebutkan :
‫ما ل يتم الحرام إل به فهو حارام‬
“Sesuatu yang diharamkan tidak bisa terjadi/sempurna terkecuali dengan suatu hal maka suatu
hal tersebut hukumnya haram”

* Makruh

Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah:
“Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan
terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.

* Mubah

Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah:
“sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak
ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.

2. Hukum Wadl’i

Hukum Wadl’i adalah: “Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat atau sebagai mani’ (penghalang)”. Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3
macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).

# Sebab
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak
adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak
ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: - Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur
- Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya
- Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk
- Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya
- Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
“Sebab”, dibagi menjadi 2 macam: Kadang tidak berada dalam jangkauan mukallaf, terkadang
Berada dalam jangkauan mukallaf.
# Syarat

Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar
hakekat sesuatu itu.
Contoh: - Wudlu sebagai syarat sahnya sholat
- Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu
di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas
- Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di pesma al-Hikam.
“Syarat”, dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan
Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf)

# Mani’

Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: - Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri.
- Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat
- Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat
- Tidak cakap berorganisasi sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak terpilih sebagai
ketua BEM
“Mani’”, dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.

4. Mahkum Fiih (Perbuatan Mukallaf)


Mahkum fiih berarti perbuatan orang mukallaf. Perbuatan tersebut merupakan obyek dari hukum
fiqih.

Syarat perbuatan mukallaf adalah:


1. perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf. Misal: kuwajiban sholat subuh diketahui oleh
mukallaf
2. Harus dalam batas kemampuannya.

5. Mahkum ‘Alaih (Orang Mukallaf)


Orang mukallaf berarti seseorang yang beragama Islam baligh dan berakal. Syarat kewajiban
dalam melaksanakan hukum Allah adalah: Memahami hukum dan Mampu melakukannya.
Wallahu A’lam
BAB III
SUMBER DAN DASAR HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum yang Disepakati

Sumber hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada
sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar
hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat
istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Untuk memudahkan, lihat skema di bawah ini:
1. Al-Quran

Menurut bahasa al-Quran berarti “bacaan”, dan menurut ilmu Ushul Fiqih al-Quran adalah:
“Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad dengan bahasa arab dan terkategorikan beribadah jika membacanya”.
Al-Quran pertama kali diturunkan di Gua Hira (Makkah) pada tahun 611 M, dan berakhir di
Madinah pada tahun 633 H (al-Quran turun selama kurun waktu 22 tahun beberapa bulan). Surat
yang pertama kali turun adalah al-‘Alaq dan yang terakhir kali –terdapat perbedaan pendapat-
menurut sebagian ulama adalah ayat 281 surat al-Baqarah.
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran mencakup tiga ajaran pokok:
1. Ajaran yang berkenaan dengan akidah (al-Ahkam al-I’tiqodiyyah), seperti Tawhid, malikat,
hari akhir dll.
2. Ajaran yang berkenaan dengan akhlaq (al-Ahkam al-Khuluqiyyah), seperti tuntunan bergaul
secara sopan, tutur kata yang baik dll.
3. Ajaran yang berkenaan dengan perbuatan (al-Ahkam al-‘Amaliyyah), seperti tuntunan
kewajiban dan larangan berbuat sesuatu. Dari ajaran inilah kemudian timbul ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih.

# Hukum Amaliah (fiqih) terdiri dari 2 cabang,


1. Hukum Ibadah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya, seperti
sholat, puasa, haji dll.
2. Hukum Muamalah; hukum yang mengatur hubungan antara hamba dengan hamba, seperti jual
beli, menikah, dll.

Abdul Wahab Kholaf memerinci macam ayat al-Quran yang berhubungan dengan hukum
muamalah sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga: seperti prosesi akad nikah, talak, ruju’, iddah warisan dll terdapat di dalam
al-Quran –sekitar- 70 ayat.
2. Hukum Perdata: seperti utang piutang, perjanjian sewa menyewa jual beli dll terdapat di
dalam al-Quran –sekitar- 70 ayat.
3. Hukum Pidana: seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan tindak kekerasan dll
terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 30 ayat.
4. Hukum Acara: seperti peradilan, kesaksian, sumpah, barang bukti dll terdapat di dalam al-
Quran –sekitar- 13 ayat.
5. Hukum Ketata-Negaraan: ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan, seperti
mengatur hak pribadi dan hak masyarakat dll, terdapat di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.
6. Hukum Antar Bangsa: seperti hukum yang mengatur hubungan antara Negara Islam dan
Negara non-Islam, tata cara pergaulan dengan non muslim dll, terdapat di dalam al-Quran –
sekitar- 25 ayat.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan: seperti hak-hak faqir miskin, pembagian zakat dll, terdapat
di dalam al-Quran –sekitar- 10 ayat.

Menurut Imam Ghozali, ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum amaliyah (fiqih)
kurang lebih 500 ayat.

Wallahu A’lam

2. Al-Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang baik perilaku yang baik ataupun yang buruk”.
Adapun menurut istilah, al-Sunah adalah: “segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan
hukum, baik berupa ucapan (qawliyyah), perbuatan (fi’liyyah) ataupun pengakuan (taqririyah)”.

Contoh:
1. Sunnah yang berupa ucapan (qawliyyah) Nabi Saw:
‫ضىَ أيلن يل ي‬
‫ضيرير يويل ف‬
(‫ضيراير )رواه ابن ماجه‬ ‫اك يعليليفه يويسالايم قي ي‬
‫صالىَ ا‬ ‫ت أيان يركساويل ا‬
‫اف ي‬ ‫يعلن كعيبايدةي لبفن ال ا‬
‫صافم ف‬
“Dari Ubadah bin Samit sesungguhnya Rasulullah Saw memutuskan bahwa tidak boleh
melakukan kemudaratan (kerusakan / bahaya) dan tidak boleh pula mendatangkan kemudaratan”
(HR. Ibn Majah)

2. Sunnah yang berupa perbuatan (fi’liyyah) dari Nabi Saw:


‫صصُلوين يل أيلنيهىَ أييحاذدا يك ي‬
‫صبلي بفليليٍل يويل نييهاٍر يما‬ ‫ت أي ل‬
‫صيحافبي يك ي‬ ‫اك يعليليفه يويساالم يقال أك ي‬
‫صبلي يكيما يرأيلي ك‬ ‫صالىَ ا‬ ‫يعلن البفن كعيمير يقايل أيان يركساويل ا‬
‫اف ي‬
(‫س يويل كغكروبييها )رواه البخارى‬ ‫يشايء يغليير أيلن يل تييحارلوا طككلويع الاشلم ف‬
“Dari Ibn Umar berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: saya sholat seperti sahabat-
sahabatku melaksanakan sholat, aku tidak melarang seseorang di antara mereka melakukan
sholat baik siang maupun malam sesuai yang dikehendakinya kecuali mereka sengaja sholat pada
saat terbit dan tenggelamnya matahari” (HR. Bukhari)

3. Sunnah yang berupa pengakuan (taqririyah) seperti:


‫صيلتففه يما يكاين ففي الليولق ف‬
‫ت يوليلم يكفعلد الليخكر‬ ‫ضأ ي أييحاكدهكيما يويعايد لف ي‬‫ت فيتييو ا‬ ‫صلاييا ثكام يويجيدا يماذء ففي الليولق ف‬‫يعلن أيفبي يسافعيٍد أيان يركجليليفن تييياميما يو ي‬
‫ك فملثكل يسالهفم يجلمٍع )رواه‬ ‫ك يويقايل لفلليخفر أياما أيلن ي‬
‫ت فيلي ي‬ ‫صيلتك ي‬‫ك ي‬ ‫ت الصُسناةي يوأيلجيزأيلت ي‬ ‫اك يعليليفه يويسالايم فييقايل لفلافذيِ ليلم يكفعلد أي ي‬
‫صلب ي‬ ‫صالىَ ا‬
‫ي ي‬‫فييسأ ييل النابف ا‬
(‫النسائ‬
“Dari Abu Sa’id, sesungguhnya ada dua orang laki-laki yang bertayamum dan keduanya
melaksanakan sholat, kemudian keduanya mendapatkan air pada saat -waktu sholat yang mereka
kerjakan- belum habis maka salah seorang dari keduanya berwudlu dan mengulangi sholatnya
karena waktu belum habis, sedangkan seseorang yang lain tidak melakukannya, maka keduanya
brtanya kepada Nabi Saw dan beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulang sholatnya:
engkau telah melakukan sunnah dan telah cukup sholatmu itu. Dan kepada yang mengulangi
sholatnya beliau bersabda: bagimu pahala dua kali lipat ganda” (HR. Nasai).

Dalam kajian Ushul Fiqih, Hadis dari segi sanadnya terbagi menjadi 2 macam: Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad.
1. Hadis Mutawatir; Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh sekelompok perawi (minimal 4
sahabat) yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong.
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua:
- Mutawatir Lafdzi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang makna dan lafadznya
sama. Misalnya Hadis tentang seseorang yang berbuat dusta atas diri nabi maka hendaknya ia
mengambil tempat dineraka (HR.Muslim)
- Mutawatir Ma’nawi: Hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang maknanya sama
namun lafadznya berbeda. Misalnya Hadis tentang nabi mengangkat tangan pada saat berdoa
(HR. Tirmidzi)

2. Hadis Ahad; Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih (maximal 3 sahabat) dan tidak
sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga:
- Hadis Masyhur: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi. Contoh
Hadis tentang amal tergantung kepada niat (HR. Bukhori Muslim)
- Hadis ‘Aziz: Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 2 orang perawi. Contoh
menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang islam (HR. al-Baihaqi)
- Hadis Ghorib: Hadis yang diriwayatkan oleh orang 1 orang perawi. Contoh belum sempurna
iman seseorang sehingga ia lebih mencintai rasulullah melebihi cintanya kepada orang tuanya,
anaknya dan seluruh manusia (HR. Bukhori Muslim)

Fungsi Sunnah terhadap al-Quran adalah:


1. Menjelaskan isi al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan tata cara sholat dll
2. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis, yang mana pokok-pokoknya telah
disebutkan dalam al-Quran; ex.: Hadis yang menjelaskan suami istri yang li’an (sumpah empat
kali dan yang kelima sumpah laknat Allah jika ia berdusta), maka keduanya telah bercerai
selama-lamanya (HR.Ahmad dan Abu Daud)
3. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Quran; keharaman binatang buruan
yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar yang tajam (HR. An-Nasai)

Wallahu A’lam

3. Ijma’ (Konsensus Ulama)


A. Pengertian Ijma’
Kata ijma’ secara bahasa berarti kesepakatan tentang suatu masalah. Adapun ijma’ menurut
istilah Ushul Fiqih adalah: “Kesepakatan para mujtahid tentang hukum syara’ (hukum Islam)
pada suatu masalah dalam satu masa setelah Rasulullah Saw wafat”.
Kata ijma’ juga dapat diartikan sebagai konsensus mujtahid dalam menetapkan hukum pada
suatu masalah. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua
mujtahid, kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka ini disebut ijma’.
Contoh; kesepakatan para sahabat yang melarang seorang laki-laki madu (poligami) dengan bibi
istri dari jalur ayahnya ataupun ibunya. Begitu pula mereka sepakat bahwa saudara seayah dapat
menempati posisi saudara sekandung jika saudara sekandung tidak ada. Keputusan hukum ini
tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.

B. Dalil keabsahan ijma’


1. Berdasarkan al-Quran, antara lain dalam surat an-Nisa’ ayat 115:
‫صيذرا‬
‫ت يم ف‬ ‫ق الاركساويل فملن بيلعفد يما تيبيياين ليهك اللهكيدى يوييتابفلع يغليير يسافبيفل اللكملؤفمفنيين نكيولبفه يما تييوالىَ يونك ل‬
‫صلففه يجهينايم يويساايء ل‬ ‫يويملن يكيشاقف ف‬
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang yang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali”.
Argumentasi: dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-
orang mukmin, antara lain mengikuti kesepakatan mereka. Jika tidak maka ia akan diancam
dengan neraka jahannam.

2. Berdasarkan Hadis Nabi, antara lain:


‫اك يعليليفه يويسالايم يعيلىَ ي‬
‫ضيلليٍة يوييكد‬ ‫اي يل ييلجيمكع أكامفتي أيلو يقايل أكامةي كميحامٍد ي‬
‫صالىَ ا‬ ‫اك يعليليفه يويسالايم يقايل إفان ا‬
‫صالىَ ا‬ ‫يعلن البفن كعيمير أيان يركساويل ا‬
‫اف ي‬
‫اف يميع الليجيمايعفة يويملن يشاذ يشاذ إفيلىَ الانافر‬
‫ا‬
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw Bersabda: sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan
umatku, atau beliau berkata umat Muhammad, atas kesesatan ………..”. (HR. Tirmidzi).
Argumentasi: Rasulullah menjamin bahwa Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad
untuk bersepakat dalam hal kesesatan. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang telah mereka
sepakati hendaknya dipatuhi. Sebab tidak mungkin mereka bersepakat dalam kesesatan.

C. Rukun Ijma’
Rukun Ijma’ ada 4 (empat):
1. Adanya beberapa pendapat yang kemudian mengerucut menjadi satu pendapat dalam masa
tertentu
2. Adanya kesepakatan semua mujtahid terhadap keputusan hukum pada suatu masalah tanpa
memandang kebangsaan, tempat ataupun kelompok mereka
3. Kesepakan itu nyata, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan
4. Kesepakatan tersebut direalisasikan oleh semua ahli fiqih

D. Macam-macam Ijma’
* Ditinjau dari cara penetapannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):
1. Ijma’ Shorih; Para mujtahid sepakat atas suatu hukum terhadap suatu masalah dengan
terlebih dahulu menyampaikan pendapatnya masing-masing, yang kemudian mengerucut
menjadi satu pendapat.
2. Ijma’ sukuti; Sebagian mujtahid mengemukakan pendapat dan keputusan hukum dalam
suatu masalah, dan sebagian lain diam tidak mengemukakan pendapatnya. Maka diamnya ini
dapat diartikan sebagai tanda setuju.

* Ditinjau dari segi kekuatannya, ijma’ terbagi menjadi 2 (dua):


1. Ijma’ Qath’i; ijma’ yang betul-betul terjadi dan tidak ada kemungkinan lain yang
menyangkalnya. Ijma’ ini terjadi di dalam ijma shorih.
2. Ijma’ Dzonni: Ijma’ yang masih ada kemungkinan penyangkalan atasnya.

E. Kedudukan Ijma’
Para ulama menetapkan bahwa Ijma menduduki peringkat ketiga setelah al-Quran dan Hadis
Nabi. Namun demikian suatu ijma tidak boleh menyalahi Nash al-Quran dan Hadis yang bersifat
qath’I (nash yang sudah jelas, gamblang dan tidak membutuhkan penafsiran).
Seluruh ulama sepakat bahwa “Ijma’ shorih” dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar pijakan
hukum.
Namun demikian mereka berbeda pendapat mengenahi “ijma’ sukuti”, apakah dapat dijadikan
sebagai hujjah atau tidak?.
• Imam Syafi’i dan mayoritas ulama: tidak dapat dijadikan sebagai hujjah / dasar hukum.
Argumentasi pendapat ini antara lain:
- Orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang telah mengemukakan pendapat.
- Diam tidak dapat dipandang sebagai tanda setuju. Sebab dalam diamnya terdapat banyak
kemungkinan. Mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia khawatir dengan pendapatnya dan
kemungkinan-kemungkinan yang lain

• Madzhab Hanafiah: dapat dijadikan sebagai hujjah.


Argumentasi pendapat ini antara lain sbb:
- Memang pada dasarnya diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Namun jika diamnya
tersebut setelah merenung, berfikir dan menganalisa maka diamnya tersebut adalah sikapnya,
yakni diam yang berarti setuju
- Pada umunya tidak semua mujtahid memberi fatwa. Sebab biasanya sang pemberi fatwa
hanya satu orang dan yang lain menyetujuinya.
- Jika seorang mujtahid diam terhadap pendapat mujtahid lain, sementara pendapat itu
bertentangan dengan pendapatnya yang dianggap benar, maka haram ia berdiam diri tanpa ada
penyangkalan.
• Sebagian ulama lain: dapat dijadikan sebagai hujjah namun tidak masuk dalam kategori
ijma’.
Argumentasi:
- Ijma’ sukuti tidak terkategorikan ijma’ lantaran tidak memenuhi Kriteria ijma’. Meskipun
demikian tidak setiap orang alim mau mengemukakan pendapatnya oleh karena beberapa hal.
- Ijma’ sukuti ini dapat dijadikan sebagai hujjah oleh karena diamnya seorang ulama lebih kuat
menunjukkan arti setuju dibandingkan dengan tidak setuju

F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’


Terdapat beberapa pendapat menganehai kemungkinan terjadinya Ijma’ pada masa pasca periode
sahabat sampai sekarang. Sebagian ulama mengatakan tidak mungkin terjadi lagi, melihat para
ulama sudah tinggal berjauhan dan sangat sulit untuk mengumpulkan mereka dalam satu tempat
dan waktu, selain juga mengingat begitu banyanya jumlah mereka.
Namun demikan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa ijma’ sangat mungkin terjadi,
dengan syarat aktivitas ini ditangani langsung oleh Negara. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh ulama-ulama kontemporer seperti Abdul wahab kholaf, Qordlowi dll.

Catatan: Untuk melihat hasil-hasil ijma’ para ulama, dapat dilihat dalam beberapa buku yang
mengumpulan hasil ijma’, seperti bukunya Ibn Hazm dll.
4. Qiyas (Analogi)

A. Pengertian Qiyas
Qiyas (analogi) merupakan dasar hukum islam yang disepakati, ia menduduki peringkat ke 4
setelah al-Quran, Hadis dan Ijma’.
Secara bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui
persamaan antara keduanya”. Sedangkan Qiyas menurut istilah adalah: “Menyamakan sesuatu
yang tidak ada hukumnya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya karena ada
persamaan ‘illat (penyebab) antara keduanya”.
Qiyas dilakukan oleh seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis dari rumusan hukum pada
suatu masalah yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis, dan setelah itu dicari ‘illat /
penyebabnya, yang kemudian dibandingkan dengan masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya. Bila ada kesamaan “illat / sebab” maka hukumnya sama. Ulama pertama kali yang
merumuskan Qiyas adalah Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i w. 820 M).

B. Rukun Qiyas
Qiyas dianggap sah dan benar apabila telah memenuhi rukun-rukunnya. Seluruh ulama sepakat
bahwa rukun Qiyas ada 4:
1. Al-Ashlu (pokok masalah yang ada dalam Nash dan sebagai tempat menganalogikan
sesuatu), misal: khamr.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal), misal: Haram
3. Al-Far’u (cabang masalah yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash), misal: ganja.
4. Illat (faktor penyebab). Misal: memabukkan.

Misal: Firman Allah dalam Surat al-Maidah 90:


‫طافن يفالجتينفكبوهك لييعلاككلم تكلفلفكحوين‬ ْ‫ب يوالليلزيلكم فرلج س‬
‫س فملن يعيمفل الاشلي ي‬ ‫ييا أيصُييها الافذيين آييمكنوا إفنايما الليخلمكر يوالليمليفسكر يوالليلن ي‬
‫صا ك‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”

Firman Allah dalam Surat al-Nahl 67


‫ك يليييةذ لفقيلوٍم ييلعقفكلوين‬ ‫ت النافخيفل يوالليلعينا ف‬
‫ب تيتافخكذوين فملنهك يسايكذرا يوفرلزذقا يحايسذنا إفان ففي يذلف ي‬ ‫يوفملن ثييميرا ف‬
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang memikirkan”

Keterangan:
1. Al-Ashlu (Asal masalah) dari ayat diatas adalah khamr. Khamr adalah minuman keras yang
dibuat dari perasan kurma atau buah-buahan.
2. Hukm al-Ashli (keputusan hukum Asal) dari ayat di atas adalah “Jauhilah”, yang berarti
perintah wajib untuk menjauhi dan Haram dikerjakan.
3. al-‘Illat (faktor penyebab / motivasi) keharamannya adalah Memabukkan.
4. Al-Far’u (cabang masalah yang dianalogikan) misalnya; kokoin. Karena kokoin
memabukkan maka hukum kokoin sama dengan hukum khomr.

Anda mungkin juga menyukai