Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus
sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau
total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan
perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus
halus. Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus
(Davidson, 2006). Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderita
ileus setiap tahunnya (Jeekel, 2003). Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus
paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat
jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan Indonesia.
Terapi ileus obstruksi biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu
kritis serta tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Obstruksi total
usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Operasi dilakukan
secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien
(Sabiston, 1995). Untuk itu penulis tertarik untuk mengakat penyakit ini untuk
bahan seminar kami.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan dari Ileus Obstruktif
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami Konsep Dasar : Anatomi, Fisiologi sistem
pencernaan
b. Mampu memahami Definisi, Etiologi, Manifestasi Klinis, Patofisiologi,
Komplikasi, Pemeriksaan Diagnostik, dan Penatalaksanaan dari illeus
Obstruktif .

1
c. Mampu melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan illeus
Obstruktif mulai dari awal Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan,
Implementasi dan Evaluasi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR
1. ANATOMI
a. Usus Halus
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum merupakan segmen yang paling proksimal, terletak
retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pancreas. Duodenum dipisahkan dari dari gaster oleh adanya pylorus dari
jejunum oleh batas ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di
intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium.
Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara jejunum dan
ileum; 40% panjang dari jejunoileal di yakini sebagai jejunum dan 60%
sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan sekum dikatup ileosekal.
(Whang. dkk, 2005)
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8
meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong atau disebut juga jejunum.
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 meter dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu
atau appendiks. Ileum memiliki pH atara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan dan garam-garam
empedu. (Whang. dkk, 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis
atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang.
Lipatan ini juga terlihat secara radiografi dan membantu membedakan
usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian
proksimal usus halus daripada distal. Hal lain yang juga dapat digunakan
untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah
4
5

sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak


mesentrial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.
Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel
limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut Peyer Patches.
(Whang. dkk, 2005)

Gambar 1. Anatomi usus halus.


(Whang. dkk, 2005)

b. Usus Besar
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum,
dimulai dair ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5m dan
lebarnya 5-6cm. Usus besar terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolon
asendens, tranversum, desenden, sigmoid, rectum, dan anus. Sisa
makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus
halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat
muskularis eksternus usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini
telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun
terdapat usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih
banyak dibandingkan dengan usus halus. Sel goblet ini juga bertambah
dari dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar ini tidak memiliki
plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar intestinal terletak
lebih dalam dari pada usus halus. (Eroschenko, V. P, 2003)
6

Gambar 2. Anatomi usu besar.


(Eroschenko, V. P, 2003)

Suplai Vaskuler
Usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang
merupakan cabang dari aorta tepat dibawah arteri soelika. Arteri ini
memperdarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang sebagian atasnya
diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis superior, suatu cabang dari
arteri gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah duodenum diperdarahi
oleh arteri pankreotikoduodenalis inferior, suatu cabang cabang arteri
mesenterika superior. Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi
jejunum dan ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk
serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh arteri
ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena mesentericus superior yang
menyatu dengan vena lienalis membentuk vena porta. (Snell, Richard S,
2004)
Pada usus besar ateri mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon ascenden, deua pertiga proksimal kolon
tranversum) : (1) Ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteri
mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon
tranversum, kolon desenden, dan sigmoid, dan bagian proksimal rectum) :
(1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior. (Whang. dkk, 2005)
7

Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan
limfe; (1) ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lympahatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi limpatici coeliacus dan
(2) kebawah melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lymphatici mesenteries superior sekitar pangkal aterteri mesenterika
superior. (Snell, Richard S, 2004)
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentricus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterikus
superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesenterikus superior.
Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
yang terletak di sepanjang perjalanan vena kolika. Untuk kolon ascendens
dan dua pertiga dari kolon tranversum cairan limfenya akan masuk ke nodi
limphatici mesenterikus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga
distal kolon tranversum dan kolon desenden akan masuk ke nodi limphatici
mesenterikus inferior. (Snell, Richard S, 2004)

Persarafan
Saraf-saraf duodenum berasl dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesenterikus superior dan pleksus coelicus. Saraf
untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) dari pleksus mesenterikus superior. (Snell, Richard S, 2004)
Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan,
sedangkan rangsang simpatis menghambat nyeri, sedangkan serabut-
serabutparasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsic, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang
terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meisener di lapisan
submukosa. (Price, 2003)
8

Persarafan usus besra dilakukan oleh system saraf otonom dengan


pengecualian pada sfingter eksterna yang berada di bawah control volunteer
(Price, 2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh
serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf
mesenterika superior. Pada kolon tranversum dipersarafi oleh saraf simpatis
nervus vagusdan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis
berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior. Serabut-serabut
nervus vagus hanya mempersarfi dua pertiga proksimal kolon tranversum;
sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus.
Sedangkan pada kolon desenden dipersarafi serabut-serabut simpatis dari
pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf parasimpatis sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan
parasimpatis mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003)

2. FISIOLOGI
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan
absorbsi nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari
dalam mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, asam klorida dan pepsin
terhadap makana yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum
terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat,
lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat
dalam sekret pancreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH
optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu
proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas untuk kerja lipase pancreas. (Evers, 2004)
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah
usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada
brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil di absorbsi.
Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat-zat yang dimakan
dengan secret pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan
peristaltic mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainya dengan
kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinyu isi
9

lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,


lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk
digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga
diabsorbsi. Pergererakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan
absorbs bahan-bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal.
Pergerakan usus halus terdiri dari; pergerakan mencampur (mixing) atau
pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim-enzim
pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi. Pergerakan polpusif
atau gerak peristaltic yang mendorong makanan kea rah usus besar.
(Sjamsuhidajat, 2005)
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktivitas otot polos usus halus
yang terdiri dari 2 lapis, yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler.
Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur
makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh
makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
menerus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan
mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya di
absorbs. (Evers, 2004)
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang
lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran
cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada
duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltic pada
usus halus mendorong makanan menuju kearah kolon dengan kecepatan 0,5
sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada
bagian distal. Gerakan peristaltic ini sangat lemah dan biasanya menghilang
setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm. (Evers, 2004)
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama
diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi
yang disebabkan oleh adanya sel-sel pace maker yang terdapat pada dinding
usus halus, diamana aktivitas dari sel-sel ini dipengaruhi oleh sitem saraf
dan hormonal. Aktivitas gerakan peristaltic akan meningkat setelah makan.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum
10

sehingga menimbulkan reflex peristaltic yang akan menyebar ke dinding


usus halus. Sebaliknya sekretindan glucagon menghambat pergerakan usus
halus. Setelah makanan mencapai katup ileocecal, makan kadang-kadang
terhambat selama beberapa jam sampai seorang makan lagi. Pada saat
tersebut, reflex gastrial meningkatkan peristaltik dan mendorong makanan
melewati katup ileocaecal menuju kolon. Makan yang menetap untuk
beberapa lama pada daerah ileum oleh sfingter ileocaecal berfungsi agar
makanan dapat diabsorbi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk
mencegah makanan kembali ke caecum masuk ke ileum. (Sjamsuhidajat,
2005)
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka
kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltic ileum
akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi
peradangan pada caecum atau pada appendiks makan sfingter ileocaecal
akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosongan ileum terhambat. (Sjamsuhidajat, 2005)

3. DEFINISI
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi
dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen
usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu. (Nobie,
2011)

Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi


intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi
Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik
parsial atau total dari usus besar dan usus halus. (Nobie, 2011)

Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana


merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu
jalannya isi usus (Sabara, 2007)
11

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif adalah


sumbatan total atau parsial yang menghalangi aliran normal melalui saluran
pencernaan atau gangguan usus disepanjang usus

4. ETIOLOGI
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil
sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang
menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan
oleh tiga mekanisme ; 1) blokade intralumen (obturasi), 2) intramural atau
lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3) kompresi lumen atau konstriksi akibat
lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan
terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme
utama. Satu pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif,
ternyata dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang ditemukan saat
dilakukan operasi. (Thompson, 2005)
12

Gambar 3. Penyebab ileus obstruktif. (Simatupang, 2010)

Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan


umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan
penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak
pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan.
Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus
obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh
adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang
terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus
komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus
obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,
pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering
daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus
merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan
karsinoma kolorektal. (Simatupang, 2010)
Tabel 1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal:
(Thompson, 2005)
Obturasi Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Intraluminal

Benda Asing Adhesi Kongenital

- Iatrogenik Benda Asing a. Atresia, stenosis, dan


- Tertelan webs
Hernia
- Batu b. Divertikulum Meckel
Empedu a. Eksternal
- Cacing b. Internal
Intususepsi Massa Inflamasi
13

Pengaruh Cairan a. Anomali organ a. Divertikulitis


atau pembuluh b. Drug-induced
a. Barium
darah c. Infeksi
b. Feses
b. Organomegali d. Coli ulcer
c. Meconium
c. Akumulasi Cairan
Neoplasma
d. Neoplasma
Post Operatif a. Tumor Jinak
b. Karsinoma
Volvulus
c. Karsinoid
d. Limpoma
e. Sarcoma
Trauma

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004):
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu
empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Berdasarkan Lokasi Obstruksi :


a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat,


2005) :
a. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
14

b. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya


penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
c. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan
masuk dan keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit
terdapat dua tempat obstruksi.

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif


dibagi dua (Ullah S, 2009) :
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.

6. PATOFISIOLOGI
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.
Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian
besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah
obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai
daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen
yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat
ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah
proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini
bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah
obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga
15

meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen


terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Ileus
obstruktif menyebabkan dilatasi proksimal usus akibat akumulasi sekresi GI
dan udara yang tertelan. Dilatasi usus ini merangsang aktivitas sekretori sel,
menyebabkan akumulasi lebih cair.
Hal ini menyebabkan peningkatan peristaltik atas dan di bawah
obstruksi, dengan diare dan flatus awal perjalanan penyakit. Distensi lumen
menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari
metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen
(12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara
bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk
berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah
berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan
pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi
kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap
rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan
sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang
serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.
Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme
sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,
atau endotoksin.
16

Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi


intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses
absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik
ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan
oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan
transudasi cairan intraperitoneal. Selain itu dapat menyebabkan kompresi
limfatik mukosa, menyebabkan dinding usus lymphedema. Muntah terjadi
jika tingkat obstruksi proksimal.
Hilangnya cairan dan dehidrasi berat dan berkontribusi terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitasPemasangan nasogastric tube malah
memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,
hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari
obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi
bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi.
Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi
motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri.

Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen
obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada
dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon
paling sering disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari
vena, kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta
thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi
17

dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi


toksin intralumen dan dapat merangsang pelepasan mediator vasoaktif
seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka terhadap iskemia
dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan
radikal bebas.
Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia
dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan
toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju
ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal
ini dapat menyebabkan iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai
dengan peritonitis dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan
terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ, seperti paru.
Volvulus
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran
mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal masih
tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi
cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.
Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih
dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.

Obstruksi Parsial Intestinal


Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali
mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat
menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.
Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
18

kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat


menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
PATWAYS Non mekanik Mekanis
(manipulasi organ abdomen, (perlengketan, neoplasma, hernia,
peritonitis, sepsis dll) benda asing striktur)

Passage usus terganggu

Akumulasi gas dan cairan dalam


lumen usus Nyeri, kram, kolik

Ventilasi paru terganggu


Gangguan absobsi H2O dan Obstruksi komplit Distensi usus akibat tekanan pada
elektrolit pada lumen usus diafragma

Gelombang paristaltik berbalik


Kehilangan H2O dan Natrium arah, isi usus terdorong ke mulut Polanafas tidak
Peningkatan tekanan Menekan vesika
efektif
intralumen urinaria
Penurunan volume cairan
ekstraseluler Mual - Muntah Gg. Pola
Iskemik dinding usus Resistensi urin eliminasi
urin
a. Syok hipovolemik
Nekrosis
b. Penurunan curah jantung Kehilangan ion H dan K dari Dehisrasi
c. Penurunan perfusi jaringan lambung, penurunan CL dan K
dalam darah Rupture
d. Hipotensi
Resiko kekurangan
e. Asidosis metabolik volume cairan Gg. Rasa nyaman : Nyeri
Alkalosis metabolik Perforasi

Asidosisis Metabolik

Pelepasan bakteri dan


toksik dari usus yang
nekrotik ke dalam Resiki tinggi penyebaran infeksi
19 dari
Perubahan nutrisi kurang peritoneum dan sirkulasi
kebutuhan tubuh systemik

Peritonitis septikemia
20

7. Manifestasi Klinis
Obstruksi dapat diklasifikasikan parsial atau totalis, sederhana atau
strangulasi. Tidak ada gambaran klinis khas untuk mendeteksi awal
obstruksi strangulasi. Nyeri perut sering digambarkan sebagai kram perut
dan sifatnya intermiten (berkala/ hilang timbul) merupakan gejala yang
paling menonjol pada obstruksi sederhana. Seringkali presentasi dapat
menunjukan lokasi perkiraan dan sifat obstruksi. Biasanya rasa sakit yang
terjadi dalam jangka waktu yang lebih singkat dan nyeri kolik disertai
dengan muntah menandakan obstruksi ileus bagian proksimal. Sedangkan
pada nyeri yang lama (beberapa hari), bersifat progresif, dan disertai dengan
distensi abdomen merupakan gejala khas pada obstruksi letaknya lebih
distal. Perubahan karakter nyeri dapat menunjukan perkembangan
komplikasi yang lebih serius misalnya nyeri yang menetap pada abdomen
yang menandakan adaya strangulasi atau tanda iskemik.

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala
merupakan ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa
merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas
intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang
terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen.
Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri
menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi
dan infark. (Whang, 2005)

Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen


yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau
distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,
dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit.
Mungkin didapatkan leukositosis ringan. (Thompson, 2005)

Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi


lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat
21

muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering
ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.
(Thompson, 2005)

Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting


untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi
masih terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah
daerah obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial. (Sheedy SP, 2006)

Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,


namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi.
Massa yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses,
ataupun strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien
menjadi tiga kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang
merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak
terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus
paralitik atau terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat
dan tanda-tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk
mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya
darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan.(Sheedy SP, 2006)

8. KOMPLIKASI
a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi
selalu lama pada organ intra abdomen.
b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik
dan cepat.
c. Syok-dehidrasi, terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena
absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan
atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
e. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
22

f. Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan


elektrolit pada usus.
g. Kematian
( Brunner and Suddarth, 2002 ) dan ( Sabara, 2007 dikutip dari
(http://www.Files-of-DrsMed.tk ).

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Pemeriksaan elektrolit
diperlukan karena pasien mual muntah tujuannya untuk mengevaluasi
elektrolitnya. Berikut adalah tes laboratorium yang penting dan
diperlukan sebagai berikut:

1) Kimia serum : hasilnya biasanya normal atau sedikit meningkat.


2) BUN (Blood Ure Nitrogen) : Jika BUN meningkat, hal ini dapat
menunjukan penurunan volume cairan tubuh (dehidrasi).
3) Kreatinin : peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya dehidrasi.
4) CBC (Complete Blood Count): Sel darah putih (WBC) mungkin
meningkat dengan pergeseran ke kiri biasanya terjadi pada ileus
obstruktif sederhana atau strangulasi, peningkatan hematokrit adalah
indikator kondisi cairan dalam tubuh berkurang (misalnya; dehidasi).
5) World Society of Emergency Surgery memperbaharui pedomana
untuk diagnosis dan manajemen dari ileus obstruksi adhesive, meliputi
hal-hal sebagai berikut: dengan tidaka adanya strangulasi dan riwayat
muntah terus menerus atau gabungan tanda-tanda pada CT scan,
pasien dengan ileus obstruksi parsial dapat dengan aman dikelola
dengan manajemen non-operativ yaitu penggunaan tabung dekompresi
atau dikenal dengan WSCM (Water Soluble Contrast Medium)
adalaha rekomendasi kedua untuk tujuan diagnostic dan terapetik pada
pasien yang menjalani manajemen non-operativ. Manajemen non-
operative dapat diperpanjang hingga 72 jam tanpa adanya tanda-tanda
23

strangulasi atau peritonitis. Pemebdahan dianjurkan setelah 72 jam


manajemen nonoperativ tanpa ada perbaikan. Eksplorasi laparotomi
yang sering digunakan untuk pasien dengan ileus obstruktif
strangulasi dan setelah manajemen konservatif gagal, pendekatan
laproskopi terbuka sangat di anjurkan.
b. Pemeriksaan Foto Rontgen
1) Foto Polos Abdomen
Menilai foto polos untuk pasien dengan ileus obstruksi setidaknya
2 tampilan yaitu posisi terlentang atau datar dan tegak. Foto polos
merupakan diagnose lebih akurat pada kasus ileus obstruksi
sederhana, namun tingkat kegagalan diagnostik sebanyak 30% telah
dilaporkan.(Thompson, 2007)
Pada foto abdomen dapat membedakan temuan obstruksi
sedehana atau strangulasi, dan beberapa telah menggunakanya utnuk
membedakan antara obstruksi lengkap atau parsial atau bukan suatu
ileus obstruksi. Studi Lappas et al menemukan 2 temuan lebih
prediktif dari ileus obstruktif letak tinggi dan ileus obstruktif komplit
antara lain: (1) adanya deferensial air-fluid level di usus halus, (2)
dilatasi usus lebih dari 25 mm. Studi ini menemukan bahwa ketika 2
temuan yang hadir, obstruksi kemungkinan besar letak tinggi atau
ileus obstruksi totalis. Ketika temuan kedua ini tidak ada maka ileus
obstruksi letak rendah (parisial) atau tidak ada obstruksi.
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus
halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto
abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas
foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai
70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat
ditemukan beberapa gambaran, antara lain:

1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi


2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
24

a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet.
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi
udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari
dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.

Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran


serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada
di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan
saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi
tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya
berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena
kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.
25

Dilatasi usus.

Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign.

Herring bone appearance.


26

Coffee bean appearance.

Step ledder sign.

c. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga
untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada
foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan
klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos
abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat membedakan
adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat
radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan
dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan kontras yang
sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk mendiagnosa
obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi. Namun,
penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan
penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi.
27

Intususepsi (coiled-spring appearance).

d. Pemeriksaan Laboratorium Tumor Colon


1) Pemeriksaan enzim transaminase sebagai penanda adanya metastase
pada liver.
2) Pemeriksaan marker tumor CEA ( Carcino Embryonic Antigen)
bertujuan untuk monitor pascaterapi. Jika pada pemeriksaan inisial
tidak meningkat maka penggunaa CEA untuk follow up menjadi
kurang penting.
e. Pemeriksaan Imaging Tumor Colon
1) Barium Enema, Dengan adanya endoskopi, barium enema semakin
digunakan. Pada keadaan dimana endoskopi/ kolonoskopi tidak
tersedia barium enema dapat digunakan untuk diagnosis, lokasi,
fiksasi dengan jaringan sekitar, kanker sinkronos, ataupun lesi
prakanker, seperti polips, chronis ulcerative colitis.
2) CT Scan , Terutama ditujukan untuk melihat adanya metastase pada
hepar, KGB para aorta, ataupun infiltrasi langsung ke organ sekitar.
3) MRI, Digunakan untuk menggantikan CT Scan, terutama jika terdapat
kontra indikasi penggunaan kontras .
4) PET Scan, Digunakan untuk melihat adanya metastase dari kanker
kolon dan tidak untuk mendiagnosis tumor kolon primer.
28

5) Foto Thoraks &USG hepar, Digunakan untuk tujan mengetahui


stadium M pada paru dan hepar dan untuk persiapan operasi.
6) Kolonoskopi, merupakan “standar emas” untuk mendiagnosis kanker
kolon. Digunakan untuk melihat adanya lesi prakanker, untuk skring,
dan melihat gambaran macros tumor dan biopsy.
10. PENATALAKANAAN
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin
harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat,
KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal. (Evers, 2004)

Dekompresi

Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting
untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini
bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya
aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi
abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif
dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi
operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)

Terapi Operatif

Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan


terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan
obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa
pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah yang
didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau
leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan
29

dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah


obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya
injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian
retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam
batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat
diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati
hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma
pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia
incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan
penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah
menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;
walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di
terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat
memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang
dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas
dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih
meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi
hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian
dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan
didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk
dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan
pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan
bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada
hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada
volvulus ringan.
30

2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"


bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,
misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan


operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. (Ullah S, 2009)
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah
distensi usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus,
gas dan cairan yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan
sama sekali oleh karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-
bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak dapat
diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising
usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan
efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum
baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai
diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan
elektrolit serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas
normal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang
lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang
teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada
masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya
biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian
31

antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur


kuman sangatlah penting.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pre operasi
a) Pengkajian
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat
penyakit, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.,
antara lain status hemodinamika, status kerdiovaskuler, status
pernapasan, fungsi ginjal dan hepatic, fungsi endokrin, fungsi
imonologi, dan lain-lain.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, kadar protein darah dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demiikian juga kadar elektrolit serum harus berada
dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit erat
dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi dengan mengatur
mekanisme asam basa dan ekskresi metabilisme obat-obatan anastesi.
Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan denggan baik,
namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguria/anuria,
infusiensi renal akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda
menunggu perbaikan fungsi ginjal.
4) Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang biasanya diberikan diantaranyya adalah pasien
32

dianjrkan dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung


dan kolon dengan tindakan enema, lamanya puasa sekitar 7-8 jam.
Tujuannya dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi fese ke area pembedahan sehingga
menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditunjukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan dapat juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dna
perawatan luka.

6) Personal hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder tindakan
kateter juga diperlukan untuk observasi balnce cairan.

b) Diagnose Keperawatan
1) Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan
pembedahan.
2) Kecemasan berhubungan dengan tindakan operatif

c) Intervensi Keperawatan
Diagnose Tujuan intervensi

Kurang NOC NIC


33

pengetahuan Setelah diberikan penjelasan Pengetahuan penyakit :


berhubungan selama 1x 2 jam tentang 1. Kaji pengetahuan klien
dengan prosedur penyakit, pasien mengerti tentang penyakitnya.
tindakan proses penyakitnya dan 2. Jelaskan tenta proses
pembedahan. program perawatan serta penyakit (tanda dan
therapy yang diberikan gejala). Identifikasi
dengan indicator ; kemungkinan
Pasien mampu : penyebab. Jelaskan
1. Menjelaskan kembali kondisi tentang klien.
tentang penyakitnya. 3. Jelaskan tentang
2. Mengenai kebutuhan program pengobatan
perawatan dan dan alternative
pengobatan tanpa cemas. pengobatan.
4. Diskusikan tentang
terapi dan pilihannya,
5. Tanyakan kembali
pengetahuan klien
tentang prosedur
operasi.

Teaching: preoperative

1. Informasikan klien
waktu pelaksanaan
prosedur operasi.
2. Informasikan klien lama
waktu pelaksanaan
prosedur operasi.
3. Jelaskan tujuan prosedur
operasi
4. Jelaskan hal-hal yang
perlu dilakukan setelah
34

prosedur.
5. Pastikan persetujuan
operasi telah
ditandatangani.
6. Lengkapi ceklist operasi.

Kecemasan NOC NIC


berhubungan Setelah dilakukan tindakan Penurunan kecemasan
dengan tindakan keperawatan selama 1x 2 1. Bina hubungan saling
operatif jam cemas berkurang dengan percaya.
indicator : 2. Bantu pasien untuk
1. Mengungkapkan cara mengektifkan sumber
mengatasi cemas. support.
2. Mampu menggunakan 3. Berikan reinfoscement
coping untuk menggunakan
sumber coping yg
efektif.

2. Intra Operasi
a) Pengkajian
Diruang penerimaan perawat sirkulasi :
1) Memvalidasi identitas klien
2) Memvalidasi inform concent.
Perawat menanyakan :
1) Riwayat alergi.
2) Check riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik
3) Check pengobatan sebelumnya : therapy antikoagulasi.
4) Check adanya gigi palsu, contact lensa, perhiasan, wigs dilepas.
5) Keterisasi.
35

b) Diagnose keperawatan
1) Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko prosedur invasiif,
pembedahan, infus
2) Resiko hipotermi berhubungan dengan factor resiko berada diruangan
yang dingin
3) Resiko cidera berhubungan dengan factor resiko gangguan persepsi
sensori karena anastesi.
36

c) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi

Resiko infeksi NOC : control infeksi NIC : control infeksi intra


berhubungan dengan selama dilakukan tindakan operasi
factor resiko prosedur operasi tidak terjadi
1. Gunakan pakaian
invasiif, pembedahan, transmisi agent infeksi.
khusus ruang operasi
infus Indicator :
2. Pertahankan prinsip
Alat dan bahan yang aseptic dan antiseptic.
dipakai tidak
terkontaminasi

Resiko hipotermi NOC : control NIC : pengaturan


berhubungan dengan temperature temperature intraoperatif
factor resiko berada
Criteria : 1. Atur suhu ruangan
diruangan yang dingin
yang nyaman
1. Temperature ruangan
2. Lindungi area di
nyaman.
wilayah operasi.
2. Tidak terjadi
hipotermi.
Resiko cidera NOC: control resiko NIC: surgical precaousen
berhubungan dengan
Indicator : tidak terjadi Aktifitas :
factor resiko gangguan
injuri
persepsi sensori karena 1. Tidurkan klien pada
anastesi. meja operasi dengan
posisi sesuai
kebutuhan
2. Monitor penggunaan
instrument, jarum dan
kasa
3. Pastikan tidak ada
37

instrument, jarum dan


kasa yang tertinggal
dalam tubuh klien.

3. Post Operatif
a) Pengkajian
1) System pernafasan , Ketika klien dimasukan ke PACU, perawat
segera mengkaji klien: Potensi jalan napas, Perubahan pernafasan
2) System kardiovaskuler, Sirkulasi darah, nadi dan suara jantung tiap
15 menit, Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung, Kaji
sirkulasi perifer (temperature dan ukuran ekstremitas), Keseimbangan
cairan dan elektrolit
3) Inspeksi membrane mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit
4) Ukur cairan : NGT tube, drainase urin
5) Monitor cairan intravena
6) System persyarafan, Kaji fungsi serebral dan tingkat kesadaran :
semua klien dengan anestesi umum.
7) Klien dengan bedah kepala : respon pupil, kekuatan otot.
8) System perkemihan , Control volunteer fungsi perkemihan setelah 6-
8 jam post anestesi inhalasi, IV, spinal. Dower cateter kaji warna,
jumlah urine.
9) System gastrointestinal ( Mual muntah , Kaji fungsi gastrointestinal
dengan auskultasi suara usus, Kaji paralitic ileus : suara usus, distensi
abdomen, tidak flatus)
10) System integument (Luka bedah sembuh sekitar 2 minggu, jika tidak
ada infeksi, trauma, malnutrisi, obat-obat steroid, Penyembuhan
sempurna sekitar 6 bulan- satu tahun)
11) Drain dan balutan, Semua balutan dan drain dikaji setiap 15 menit .
(jumlah, warna, konsitensi, dan bau cairan
12) Pengkajian nyeri , Kaji tanda fisik dan emosi : peningkatan nadi dan
tekanan darah, gelisah, menangis, kualitas nyeri sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
38

b) Diagnose keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan efek sisa anastesi.
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka pembedahan
3) Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan
4) Resiko injury berhubungan dengan effect anastesi
5) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
intra dan post operasi
6) Ketidakefektifan kebersihan jalan nafas berhubungan dengan
peningkatan sekresi.

c) Intervensi Keperawatan
Diagnose Tujuan Intervensi

Gangguan pertukaran NOC : NIC:


gas berhubungan
1. Respiratory status : gas Aiway management :
dengan efek sisa
exchange
anastesi. 1. Posisikan pasien
2. Respiratory: ventilation
untuk
3. Vital sign status
memaksimalkan
Criteria hasil :
ventilasi.
1. Mendemontrasikan 2. Pasang mayo bila
peningkatan ventilasi diperlukan
dan oksigenasi yang 3. Keluarkan secret
adekuat. dengan suction
2. Memelihara kebersihan 4. Monitor repirasi dan
paru-paru dan bebas status o2
dari tanda-tanda
distress pernafasan.
Respiratory monitoring :
3. Tanda-tanda vital
dalam batas normal. 1. Monitor rata-rata
kedalaman, irama
39

suara nafas.
2. Monitor pola nafas
(takipneu. dsypneu)
Kerusakan integritas NOC: tissue integritas: skin NIC :
kulit berhubungan mucus membranes.
Preasure management :
dengan luka
Criteria hasil :
pembedahan 1. Anjurkan pasien
1. Integritas kulit yang untuk menggunakan
baik bias dipertahankan pakaian yang
(elastisitas, pigmentasi) longgar.
2. Tidak ada lesi pada 2. Jaga kebersihan kulit
kulit agar tetap bersih dan
3. Perfusi jaringan baik lembab.
3. Mobilisasi klien tiap
2 jam sekali
4. Oleskan lotion atau
minyak baby oil
pada daerah yang
tertekan.
Nyeri akut berhubungan NOC: NIC :
dengan insisi
1. Pain level Pain management :
pembedahan
2. Pain control
1. Lakukan pengkajian
3. Comfort level
nyeri
Criteria hasil :
2. Observasi reaksi
1. Mampu mengontrol nonverbal dari
nyeri ketidaknyamanan.
2. Melaporkan bahwa 3. Control lingkungan
nyeri berkurang dengan nyeri seperti suhu,
menggunakan pencahayaan dan
menajemen nyeri kebisingan.
3. Mampu mengenali 4. Ajarkan tentak
40

nyeri (skala, intensitas, teknik non


frekuensi). farmakologi
5. Kolaborasi :
pemberian analgetik
Resiko injury NOC: NIC:
berhubungan dengan
Risk control environment
effect anastesi
management
Criteria hasil :
1. Pastikan lingkunan
1. Klien terbebas dari
aman untuk pasien
cidera
2. Memasang side trail
tempat tidur
3. Menghidarkan
lingkungan yang
berbahaya. (misalnya
memidahkan
perabotan).
Kekurangan volume NOC: NIC :
cairan berhubungan
1. Fluid balance Fluid management :
dengan kehilangan
2. Nutritional status
cairan intra dan post 1. Monitoring catatan
Kriteri hasil :
operasi intake dan ouput
1. Mempertahankan urine yang akurat
dan output sesuai 2. Monitoring tanda-
denga kebutuhan. tanda dehidrasi
2. Vital sign dalam batas 3. Monitoring vital sign
normal. 4. Lakukan terapi IV
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi.
Ketidakefektifan NOC: NIC :
kebersihan jalan nafas
1. Repiratory status : Airway section :
berhubungan dengan
41

peningkatan sekresi. ventilation 1. Pastikan kebersihan


Kriteri hasil : jalan nafas
menunjukan jalan nafas 2. Lakukan suction
yang paten 3. Monitor respirasi
dan status 02
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ileus Paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut
menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan
ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan
bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif di rongga
perut maupun saluran cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran
cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi
rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Ileus
paralitik terdiri dari ileus mekanik dan neurogenic..
B. Saran
Setelah membaca makalah ini di harapkan kepada
pembaca dapat mengetahui tinjauan medis ileus
paralitik/obstruksi dan asuhan keperawatan dan
memberikan pendapat/saran dari materi yang disajikan oleh
penulis.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Buranda, Theopilus Dkk. (2008). Anatomi Umum. Makassar : Bagian


Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

2. Yusuf, Irawan. (2005). Fisiologi Sistem Gastro-Intestinal. Makassar: Bagian


Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

3. Marylin. E, doenges. (2003). Rencana asuhan keperawatan. Egc : jakarta.

4. Johnson, M. Etall. (2008). Nursing Outcom Clasification (NOC). USA:


Mosbay Elsevier.

5. Bulecheck, Gloria M, Butcher, Howard K, doctcherman, joanne. M. (2008).


Nursing Intervention Clasivication (NIC). USA : Mosby Elsevier.

43

Anda mungkin juga menyukai