Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TENTANG
ANAK SEHAT

DISUSUN OLEH :
YULIA AHMAR
ELIZA
NILMA
MARDIANI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAN TONGGA LUBUK ALUNG

TAHUN AJARAN
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan
masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung
dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek
belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang
sangat pesat menuju kepada perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini
merupakan suatu proses berubah yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup
seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan/asuhan keperawatan, aspek pendidikan,
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kehidupan
keprofesian dalam keperawatan. Perkembangan keperawatan menuju perkembangan
keperawatan sebagai profesi dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat
tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional termasuk
tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan yang pada hakekatnya
harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan profesional di Indonesia (Ma’rifin
Husin, 2002).

Perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat


pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu
perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek
keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam
keperawatan.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas


terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4),
Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan
mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai profesi di pengaruhi
oleh berbagai perubahan, perubahan ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga
menyentuh perkembangan keperawatan professional antara lain adanya tekanan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang pada hakekatnya harus
diimplementasikan pada perkembangan keperawatan professional di Indonesia. Disamping
itu dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan UU No. 8 tahun 1999
tentang perkembangan konsumen sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik,
termasuk latar belakang pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan
pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas.

Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga
keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
A. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
B. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti.
C. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini
yaitu “Etika Profesi”.

Dalam profesi keperawatan tentunya berpedoman pada etika profesi keperawatan


yang dituangkan dalam kode etik keperawatan. Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode
etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan
MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan
Indonesia.
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk
mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh
tenaga keperawatan yang professional.

Dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa


memperhatikan etika keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat terhadap klien
( individu, keluarga, dan masyarakat ).selain itu , dalam memberikan pelayanan keperawatan
yang berkualitas tentunya mengacu pada standar praktek keperawatan yang merupakan
komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap praktek yang
dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini perawat.
Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan kesalahan yang dapat
merugikan klien sebagai penerima asuhan keperawatan,bahkan bisa mengakibatkan
kecacatan dan lebih parah lagi mengakibatkan kematian, terutama bila pemberian asuhan
keperawatan tidak sesuai dengan standar praktek keperawatan.kejadian ini di kenal dengan
malpraktek.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini, secara umum adalah mahasiswa dapat memahami
malpraktek dalam bidang keperawatan dilihat dari dimensi etik dan dimensi hukum. Dan
secara khusus mahasiswa dapat menjelaskan tentang pengertian, kriteria dan unsur-unsur
terjadinya malpraktek, disamping itu juga dapat menjelaskan dampak yang terjadi dengan
adanya malpraktek serta bagaimana mencegah terjadinya malparaktek dalam praktek
keperawatan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Malpraktek
Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek”
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau
tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter
atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek juga dapat diartikan sebagai
tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik,
yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada
karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus
menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik
pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan
kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun,
penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang
malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter
atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah
yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang
spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau
berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan
malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu
dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang
bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan
kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi
pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang
profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar
profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan
(Vestal, K.W, 1995). Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja
(criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat
adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan
perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment
errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan
(intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang


pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti
data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang
membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada
ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau
ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat
mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.

B. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :


1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam
rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah
dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak
dimahami perawat lain dengan pasti.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan
kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien. Untuk
mencegah kesalahan tersebut, jangan hanva menggunakan perkiraan dalam
membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkannya dengan baik.
Seharusnya, dalam penulisan harus memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan
masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data
baru yang terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah
ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan
secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Lakukan tindakan
berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap
pendapat perlu divalidasi dengan teliti.

C. Intervention errors, termasuk kegagalan menginteipretasikan dan melaksanakan


tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan
mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada tindakan
keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca pesan/order,
mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi
pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya
pada tindakan pemberian obat. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara
anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.

2.2. Tinjauan malpraktek Secara Hukum


Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
A. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
1) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan
tercela.
2) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien
saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

B. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.

C. Administrative malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk
menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

2.3. Pembuktian Malpraktek


Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar
telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko
yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan
dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian
jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat
verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga perawatan dari pasien yang menderita
radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab
hukum kepada tenaga perawatan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis
bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah
tenagaperawatan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?. Hal-
hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.
Apabila tenaga perawatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah
merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawatan
tersebut telah memenuhi unsur tidak pidananya yakni :
1. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
2. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice
pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni : A. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan

Adanya indikasi medis

Bertindak secara hati-hati dan teliti

Bekerja sesuai standar profesi

Sudah ada informed consent.

2. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)


Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa
yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

3. Direct Causation (penyebab langsung)

4. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
B. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
1. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
2. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
3. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence. Misalnya ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/
memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut
terpotong jari pasien tersebut . Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta
yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:

Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.

Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab
perawat.

Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
2.4. Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat
memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah
malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan perawat atau merupakan resiko tindakan,
untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan
akibat kelalaian tenaga perawatan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam
tanggung gugat, antara lain:

A. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

B. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan
yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate),
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian perawat sebagai karyawannya.

C. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2.5. Upaya Pencegahan dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek


A. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan Dengan adanya
kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga perawatan karena adanya mal praktek
diharapkan para perawat dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
2. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior .
5. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
6. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

B. Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada
pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga
perawatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif
membuktikan kelalaian perawat. Apabila tuduhan kepada perawat merupakan criminal
malpractice, maka tenaga perawatan dapat melakukan :
1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
2. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara
menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya
perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan
diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana
perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang
mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan
adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang
dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang
harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang
menguntungkan tenaga perawatan.
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus
(VIVAnews, Jumat 25 November
2011) - Sudah jatuh tertimpa tangga.
Begitulah yang dialami bayi berusia
delapan minggu asal kampung Nanu,
Desa Buar, Kecamatan Rahong
Utara, Manggarai-NTT, yang
dirawat di ruang Teratai Rumah
Sakit Umum Daerah Ruteng,
lantaran menderita sakit jantung
bawaan sejak lahir.
Tapi baru tiga hari dirawat. Buah
hati pasangan Yofita Ubut dan
Bosko Raka itu harus menanggung derita baru. Jari kelingking tangan kirinya putus. Diduga
terpotong gunting seorang perawat yang akan memperbaiki selang infus.
Insiden itu terjadi pada Rabu sore, 23 November sekitar pukul 17.00 Wita. Seorang perawat
senior, tidak sengaja memotong jari kelingking bayi itu dengan gunting. "Sedang
menggunting plester pada tangan kiri si bayi. Saat siap menggunting, tangan bayi spontan
bergerak, dan kelingking kirinya putus tepat diruas ke dua,".
Tidak lama setelah insiden itu, dokter ahli bedah langsung melakukan operasi penyambungan
jari kelingking si bayi. Jari itu dipastikan sudah tersambung kembali, dan tinggal menunggu
perkembangan.

Pembahasan
Dari kasus diatas , perawat telah melanggar etika keperawatan yang telah dituangkan
dalam kode etik keperawatan yang disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia dalam
Musyawarah Nasionalnya di Jakarta pada tanggal 29 Nopember 1989 khususnya pada Bab I,
pasal 1, yang menjelaskan tanggung jawab perawat terhadap klien (individu, keluarga dan
masyarakat).dimana perawat tersebut tidak hati-hati dalam melaksanakan tindakan, dalam hal
ini memperbaiki infus. Sehingga mengakibatkan terjadinya hal yang membahayakan pasien.
Selain itu perawat tersebut juga melanggar bab II pasal V,yang bunyinya
Mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas, serta matang
dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung
jawab yang ada hubungan dengan keperawatan dimana ia tidak mengutamakan keselamatan
kliennya sehingga mengakibatkan kliennya terluka.
Disamping itu perawat juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam
hal Memberikan pelayanan/asuhan sesuai standar profesi/batas kewenangan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian
seperti putusnya jari kelingkingg bayi tersebut sehingga bisa dikategorikan sebagai
malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat neglegence yang dapat
dijerat hukum antara lain :
A. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati
atau luka-luka berat.Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati
:Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

B. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:Ayat (1) Barangsiapa karena
kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.Ayat (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah.

C. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan
pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang
lebih berat pula.Pasal 361 KUHP menyatakan:Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah
dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-
umumkan.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
Selain pasal tersebut diatas, perawat tersebut juga telah melanggar Pasal 54 :
A. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melak-
sanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
B. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
A. Malpraktik bersifat sangat kompleks
B. Perawat diperhadapkan pada tuntutan pelayanan profesional.
C. Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik
lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat,
dokter, atau penasihat hokum
D. Untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat menunujukkan hal-
hal dibawah ini :
1. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban
mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-
tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.

2. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya


menyimpang dari apa yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya.
3. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat
dituntut secara hokum
4. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk
dengan cedera yang dialami pasien.
E. Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan yaitu tahap pengkajian
keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan
tindakan intervensi keperawatan (intervention errors).
F. yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar,
yaitu : Criminal malpractice, Civil malpractice, Administrative malpractice
4.2. SARAN
A. Dalam memberikan pelayanan keperawatan , hendaknya berpedoman pada kode etik
keperawatan dan mengacu pada standar praktek keperawatan
B. Perawat diharapkan mampu mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat
berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors),
perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan
(intervention errors) sehigga nantinya dapat menghindari kesalahan yang dapat terjadi
C. Perawat harus memiliki kredibilitas tinggi dan senantiasa meningkatkan kemampuannya
untuk mencegah terjadinya malpraktek
DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., (1991), Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafikatama Jaya,


Amir & Hanafiah, (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi ketiga: Jakarta:
EGC.
Craven & Hirnle. (2000). Fundamentals of nursing. Philadelphia. Lippincott
Dahlan, S.(2002) Hukum Kesehatan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Huston, C.J, (2000). Leadership Roles and Management Functions in Nursing; Theory and
Aplication; third edition: Philadelphia: Lippincott.

Kozier. (2000). Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia.


Addison Wesley.
Priharjo, R (1995). Pengantar etika keperawatan; Yogyakarta: Kanisius.

Redjeki, S. (2005). Etika keperawatan ditinjau dari segi hukum. Materi seminar tidak
diterbitkan.
th
Staunton, P and Whyburn, B. (1997). Nursing and the law. 4 ed.Sydney: Harcourt.

Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi seminar tidak


diterbitkan.

Soenarto Soerodibroto, (2001). KUHP & KUHAP dilengkapi yurisprodensi Mahkamah


Agung dan Hoge Road: Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.

Tonia, Aiken. (1994). Legal, Ethical & Political Issues in Nursing. 2ndEd. Philadelphia. FA
Davis.

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/267414-jari-bayi-putus-terpotong-gunting-perawat

http://news.detik.com/read/2009/08/24/164345/1188752/475/diduga-alergi-obat-sekujur-
tubuh-rizki-melepuh

Anda mungkin juga menyukai