Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.E DENGAN KEJANG DEMAM

DI RUANG GIII ANAK RS BETHESDA YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH:

1. CHERY K. SAMBONU (17040)


2. ANTONIUS ALEXANDER (17040)
3. CHAROLINA MERLINDA I. (1704055)
4. HILARIA WINDY S. (17040)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES BETHESDA YAKKUM

YOGYAKARTA

2018
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan Seminar Kasus

Asuhan Keperawatan pada An.E dengan Kejang Demam di Ruang GIII Anak

RS Bethesda Yogyakarta ini telah disetujui

oleh Preceptor Akademik dan Klinik.

Yogyakarta, Januari 2017

Preceptor Klinik, Preceptor Akademik,

Susilowati Kristianingsih, A.Md.Kep Ignasia Yunitasari, S.Kep.,Ns., M.Kep


BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. MEDIS
1. Definisi
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi karena rangsangan demam, tanpa
adanya proses infeksi intrakranial; terjadi pada sekitar 2-4% anak berusia 3 bulan
sampai 5 tahun.Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE),
kejang demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan,
yang berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf
pusat, tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang
simptomatik lainnya (Rifqi, Fadli. 2015).
Definisi berdasarkan konsensus tatalaksana kejang demam dari Ikatan Dokter
Anak Indonesia/IDAI, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (IDAI, 2006).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain :
infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).

2. Anatomi Fisiologi
Otak mempunyai bagian utama, yaitu:
a. Otak besar (Serebrum)

Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas


mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber dari
semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada
juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian korteks otak besar yang
berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor) yang
terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan
sadar atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang
menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan dalam proses
belajar, menyimpan ingatan, membuat kesimpulan, dan belajar berbagai
bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan
psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat proses
berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat
penglihatan terdapat di bagian belakang.
b. Otak tengah (Mensefalon)

Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan
otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja
kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan
lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata,
dan juga merupakan pusat pendengaran.
c. Otak kecil (Serebelum)

Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot


yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada
rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang
normal tidak mungkin dilaksanakan.
d. Medulla Oblongata
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari
medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga memengaruhi
jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan
kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar
pencernaan.Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang
lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.

Otak juga memiliki lapisan mukasa yang berfungsi sebagai pelindung berikut
ini 3 lapisan otak:
a. Durameter
Durameter terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan
tengkorak sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang
mudah dilepaskan dari tulang kepala. Di antara tulang kepala dengan
duramater terdapat rongga epidural.
b. Arachnoid
Disebut demikian karena bentuknya seperti sarang labah-labah. Di
dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor cerebrospinalis; semacam
cairan limfa yang mengisi sela sela membran araknoid. Fungsi selaput
arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya
kerusakan mekanik.
c. Piameter
Lapisan terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan lipatan-
lipatan permukaan otak.

(Syaifuddin, 2011)

3. Epidemiologi
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya merupakan
kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi, angka kejadian
kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan di Jepang 9–10%.
Dua puluh satu persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi
antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30%
pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi
50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang
demam pertama kali adalah kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut
berkembang ke arah epilepsi (Rifqi, Fadli. 2015)
4. Etiologi
Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam adalah tidak spesifik dan
timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demamnya yang terjadi
(Lumbantobing, 2004).Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar
susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis (Judha &
Rahil, 2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi
yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis
(Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009). Kejang demam yang menetap lebih lama dari
15 menit menunjukan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan
memerlukan pengamatan menyeluruh.

5. Patoflodiagram
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang (Mahmood KT, 2011).
(Judha & Rahil, 2011)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Jones T (2011) dan Capovilla G (2009) pemeriksaan diagnostik pada
kejang demam adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah
0,6–6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi
lumbal dianjurkan pada:
1) Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2) Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3) Bayi >18 bulan – tidak rutin
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun, atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik
yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan
pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1) Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2) Paresis nervus VI
3) Papiledema
e. Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk
dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal,
sedangkan pada anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika
kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang maka
harus dibawa ke rumah sakit. Pada kejang demam sederhana, pemeriksaan
darah rutin, elektroensefalografi, dan neuroimaging tidak selalu dilakukan.
Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien umur <18 bulan, dengan
meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi SSP. Pada kejang
demam kompleks, pemeriksaan difokuskan untuk mencari etiologi demam.
Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi lebih lanjut di rumah
sakit. Pungsi lumbal serta beberapa tindakan seperti elektroensefalografi dan
CT scan mungkin diperlukan.

7. Penatalaksanaan
a. Pemberian obat saat demam
1) Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun
para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat
diberikan. Dosis paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang,
acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom Reye, terutama
pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak dianjurkan.
2) Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu
>38,50 C. Dosis tersebut dapat menyebabkan ataksia, iritabel, dan
sedasi cukup berat pada 25-39% kasus. Phenobarbital,
carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi
miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak
membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian
cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam.
e. perlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat
penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung
natrium perlu dihindari.
f. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan
metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu
tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain
kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang
banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area
pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6
mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
g. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala
hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan
cara menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
h. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-
1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian)
hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali
pemberian.
(Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009)

8. Komplikasi
Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005)
a. Epilepsi
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Bangkitan kejang yang
terjadi pada epilepsi kejang akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
sel neuron saraf pusat.

b. Kerusakan jaringan otak


Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu
kejang melepaskan glutamat yang mengikat reseptor M-Metyl D-Asparate
(MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuoran secara irreversible.
c. Retardasi mental
Dapat terjadi karena defisit neurologis pada demam neonatus.
d. Aspirasi
Lidah jatuh kebelakang yang mengakibatkan obstruksi jalan napas. 26
e. Asfiksia
Keadaan dimana bayi saat lahir tidak dapat bernafas secra spontan atau teratur.

9. Prognosis
Penanganan yang tepat dan cepat dapat membuat prognosis menjadi baik dan
tanpa komplikasi. Jika Edukasi orang tua kurang maka prognosis yang terjadi
buruk karena edukasi merupakan pilar pertama penanganan kejang demam
sebelum dirujuk ke rumah sakit.

10. Klasifikasi
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.
Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), tonik-
klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal dan pulih dengan
spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang
demam. Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal
atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya
lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali, dan di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak
sadarkan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam. Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kejang demam (Rifqi,
Fadli. 2015).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang diperoleh dari pengkajian klien dengan kejang demam meliputi:
a. Data subyektif
1) Biodata/ Identitas
2) Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan:
a) Jenis,lama,dan frekuensi kejang
b) Demam yang menyertai,dengan mengetahui ada tidaknya demam yang
menyertai kejang,maka diketahui apakah infeksi memegang peranan
dalam terjadinya bangkitan kejang.
c) Jarak antara timbulnya kejang dengan demam
d) Lama serangan
e) Pola serangan, apakah bersifat umum,fokal,tonik,klonik
f) Frekuensi serangan,apakah penderita mengalami kejang sebelumnya
umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali,dan berapa frekuensi
kejang pertahun.Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul
pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
g) Keadaan sebelum,selama dan sesudah serangan. Sebelum kejang perlu
ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat
menimbulkan kejang misalnya,lapar,mual,muntah,sakit kepala dan
lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah
kejang perlu ditanyakan pakah penderita segera sadar,tertidur,kesadran
menurun,ada paralise,menangis.
3) Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah,diare,trauma kepala,gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi),gagal jantung, kelainan jantung,DHF,ISPA,dan lain-
lain.
4) Riwayat penyakit dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya,umur berapa saat kejang
terjadi untuk pertama kali.Apakah ada riwayat trauma kepala,radang
selaput otak,dan lain-lain.
5) Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Keadaan ibu sewaktu hamil per trimester,apakah ibu pernah mengalami
infeksi atau sakit panas sewaktu hamil.Riwayat trauma,perdarahan
pervagina sewaktu hamil,penggunaan obat30 obatan maupun jamu selama
hamil.Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar,spontan atau dengan
tindakan,perdarahan ante partum,asfiksia dan lain lain.Keadaan selama
neonatal apakah bayi panas,diare muntah,tidak mau menetekdan kejang-
kejang.
6) Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta
umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi.
7) Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi:
a) Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) :berhubungan dengan
kemampuan mandiri,bersosialisasi,dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
b) Gerakan motorik halus:berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu,melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil memerlukan
koordinasi yang cermat misalnya menggambar, memegang suatu
benda.
c) Gerakan motorik kasar:berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh
d) Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara,mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
8) Riwayat Kesehatan Keluarga
a) Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (± 25 % penderita
kejang demam mempunyai faktor turunan)
b) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainya.
c) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA,diare
atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya
kejang demam.
9) Riwayat Sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji
siapakah yang mengasuh anak.Bagaimana hubungan dengan anggota
keluarga dan teman sebayanya.
b. Pola kesehatan dan fungsi kesehatan
c. Pemeriksaan Fisik

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ansietas berhubungan dengan kurang paparan informasi
b. Ketidakefektifan performa peran berhubungan dengan hospitalisasi
c. Hipertermi berhubungan dengan profes inflamasi
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neurologis
e. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas; retensi sputum
f. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis/ agens cedera fisik
g. Risiko jatuh dengan faktor risiko usia anak

3. Rencana Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Label NOC: ............
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x...... diharapkan demam
turun dengan kriteria hasil:
1) Ibu mengatakan anak tidka demam
2) Suhu tubuh dalma rentang normal: 36,50C- 37,50C
3) Tubuh anak teraba hangat
Label NIC: ..............
1) Observasi tanda-tanda vital
2) Berikan kompres hangat
3) Ajarkan keluarga cara menurunkan demam dengan mengurangi baju yang
berlebihan dan pemberian kompres hangat
4) Kolaborasikan pemberian antipiretik
b. Nyeri akut Berhubungan dengan agens cedera fisik/ biologis
Label NOC:..........
Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama ....x..... diharapakan nyeri
berkurang dengan kriteria hasil:
1) Pasien melaporkan nyeri berkurang
2) Skala nyeri berkurang 0-3
3) Tanda vital dalam rentang normal:
Tekanan Darah: 120-139/ 70-89 mmHg, Suhu: 36,5-37,5 C, Nadi=60-100
x/menit, Respirasi rate: 12-20 x/menit
Label NIC:.......
1) Kaji skala nyeri pasien
2) Observasi tanda vital
3) Ajarkan klien relaksasi nafas dalam
4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat pengurang rasa nyeri
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas behubungan dengan obstruksi jalan
napas; sputum
Label NOC:........
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x..... diharapkan jalan
napas bersih dengan kriteria hasil:
1) Anak mengatakan tidak sesak napas
2) Respirasi rate dlama rentang normal: 20-24 x/menit
3) Tidak ada suara napas tambahan
Label NIC:.........
1) Observasi tanda-tanda vital
2) Auskultasi suara dan bunyi napas
3) Ajarkan orang tua untuk melakukan fisioterapi dada
4) Kolaborasikan pemberikan obat mukolitik atau bronkodilator.
4. Discharge Planning
Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang
orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu
diyakinkan dan diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam
keadaan akut. Lembaran tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan
keluarga; penjelasan terutama pada:
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberi informasi mengenai risiko berulang.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko
efek samping obat.
e. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.
DAFTAR PUSTAKA

Capovilla G .(2009). Capovilla G, Mastrangelo M, Romeo A, Vigevano F. Recommendations


for the management of ‘‘febrile seizures’’ adhoc task force of LICE guidelines commission.
Epilepsia

Garna & Nataprawira. (2005). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Bandung: FK Universitas Padjajaran

IDAI.(2006). Konsesus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Judha & Rahil.(2011). Sistem Persarafan dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen
Publishing

Jones T, Jacobsen ST .(2011). Review childhood febrile seizures: Overview and implications.
Internat J Med Sci.

Rifqi, Fadli. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: IDAI

Riyadi, Sujono & Sukarmin. (2009). Asuhan keperawatan pada Anak, Edisi 1. Yogyakarta:
Graha Ilmu

Syaifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan dan Kebidanan.


Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai