Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi dan Pengertian Jalan

Jalan adalah prasarana Transportasi Darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel. (UU RI No. 38 Tahun 2004)

2.2 Klasifikasi Jalan

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 dan Peraturan


Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, sesuai dengan peruntukkannya
jalan terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan Khusus diperuntukkan
bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang
dibutuhkan. Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status dan kelas
sebagaimana diuraikan di bawah ini.

2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Sistem

Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem
jaringan jalan sekunder.
1. Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem Jaringan Jalan Primer merupakan sistem jaringan jalan dengan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan.
2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan system jaringan jalan dengan
peranan pelayanan distribusi barang untuk masyarakat di kawasan perkotaan.

5
6

2.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi

1. Jalan Arteri
Jalan Arteri mempakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien.
2. Jalan Kolektor
Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan Lingkungan
Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Status

Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional,


jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana diatur
dalam peraturan perundangan. Adapun penjelasan umum mengenai klasifikasi
menurut statusnya diuraikan di bawah ini :
1. Jalan Nasional
Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem
jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan
strategis nasional, dan jalan tol.
2. Jalan Provinsi
Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/kota, atau
7

antar ibukota kabupaten atau kota, jalan strategis provinsi, dan jalan di
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta.
3. Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan primer yang
tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota
kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan
umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan
jalan strategis kabupaten.
4. Jalan Kota
Jalan Kota adalah jalan umum pada jaringan jalan sekunder yang
mengbubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan
antar pusat permukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan Desa
Jalan Desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.

2.2.4 Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

Pengaturan mengenai klasifikasi jalan menurut kelas jalan, secara khusus


diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, jalan di kelompokkan dalam beberapa
kelas berdasarkan:
1. Fungsi dan Intensitas Lalu Lintas
Kelas Jalan menurut fungsi dan intensitas lalu lintas bertujuan untuk
kepentingan pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan
angkutan jalan. Pengelompokan jalan ditampilkan pada Tabel 2.1 pada
halaman berikutnya.
8

Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Jalan

Kelas Ukuran Kendaraan


Fungsi Jalan MST
Jalan Bermotor
Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Arteri
Kelas I Panjang ≤ 18.000 mm 10 Ton
Jalan Kolektor
Tinggi ≤ 4.200 mm
Jalan Arteri
Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Kolektor
Kelas II Panjang ≤ 12.000 mm 8 Ton
Jalan Lokal
Tinggi ≤ 4.200 mm
Jalan Lingkungan
Jalan Arteri
Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Kolektor
Kelas III Panjang ≤ 9.000 mm 8 Ton
Jalan Lokal
Tinggi ≤ 3.500 mm
Jalan Lingkungan
Lebar ≤ 2.500 mm
Kelas >10
Jalan Arteri Panjang ≤ 18.000 mm
Khusus Ton
Tinggi ≤ 4.200 mm
Sumber : Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang LL

2.3 Bagian-Bagian Jalan

Menurut pasal 11 UU nomor 38 tahun 2004 dan pasal 33 peraturan


pemerintah nomor 34 tahun 2006, bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat
jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagaimana dijelaskan
berikut ini:
1. Ruang manfaat jalan, meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang
pengamannya;
2. Ruang milik jalan, meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di
luar ruang manfaat jalan;
3. Ruang pengawasan jalan, merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan
yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan. Pada ruang-ruang
jalan tersebut di atas, setiap orang tidak diperbolehkan melakukan perbuatan
yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan,
ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
9

Sumber : Silvia Sukirman (1999) “Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan"

Gambar 2.1 Penampang Melintang Tanpa Median.

Silvia Sukirman (1999) “Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan"

Gambar 2.2 Penampang Melintang Dengan Median.

2.4 Perkerasan Jalan

Menurut Silvia Sukirman (1999) bahwa perkerasan jalan adalah campuran


antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk melayani beban lalu lintas.
10

Agregat yang dipakai antara lain adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan
hasil samping peleburan baja. Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain
adalah aspal, semen dan tanah liat. Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi
perkerasan jalan dapat dibedakan atas Perkerasan Lentur (Flexible Pavement),
Perkerasan Kaku (Rigid Pavement), dan Perkerasan Komposit (Composite
Pavement) yaitu perpaduan antara lentur dan kaku.

2.4.1 Perkerasan Lentur (Flexibel Pavement)

Perkerasan lentur terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu: lapis permukaan
(surface course), lapis pondasi (base course) dan lapis pondasi bawah
(subbase course). Ketebalan ketiga lapisan ini yang menjadi kekuatan dari
perkerasan lentur. Komponen perkerasan lentur dapat ditunjukkan pada Gambar
2.3 berikut di bawah ini.

Sumber : Silvia Sukirman (1999)

Gambar 2.3 Lapisan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

2.4.2 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Perkerasan beton semen merupakan struktur yang terdiri dari plat beton
yang bersambung (tidak menerus), atau menerus, tanpa ada tulangan, terletak di
atas lapis fondasi bawah, tanpa atau dengan lapisan sebagai lapis permukaan.
11

Tidak seperti halnya perkerasan lentur, dimana lapis fondasi dan lapis fondasi
bawah memberikan sumbangan yang besar terhadap daya dukung perkerasan,
pada perkerasan kaku daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat
beton. Hal tersebut disebabkan oleh sifat plat beton yang cukup kaku sehingga
dapat menyebabkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan
yang rendah pada lapisan di bawahnya. Plat beton semen dengan campuran beton
mutu tinggi yang diletakan di atas lantai kerja atau jalan lama, pada perkerasan
beton semen plat beton berfungsi sebagai kontruksi utama sedangkan lapis
bawahnya yaitu lantai kerja/Lean Concrete atau fondasi bawah (Sub Base) hanya
berpungsi sebagai penyangga bukan sebagai kontruksi. Kualitas mutu beton untuk
kontruksi perkerasan jalan beton semen di gunakan beton mutu tinggi dengan nilai
Flexural Strengh (FS) 45kg/cm2 dengan tebal 25 cm sebagaimana terlihat pada
Gambar 2.4 di bawah ini.

Sumber : Manu, Iqbal. (1995)

Gambar 2.4 Lapisan Perkerasan Kaku (rigid pavement)

Perkerasan jalan beton semen atau perkerasan kaku, terdiri dari plat beton
semen, dengan atau tanpa lapisan Fondasi bawah, di atas tanah dasar. Dalam
konstruksi perkerasan kaku, plat beton semen sering juga dianggap sebagai lapis
Fondasi, kalau di atasnya masih ada lapisan aspal. Plat beton yang kaku dan
memiliki modulus elastisitas yang tinggi, akan mendistribusikan beban lalu lintas
12

ke tanah dasar yang melingkupi daerah yang cukup luas. Dengan demikian,
bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton itu
sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan
diperoleh dari tebal lapis Fondasi bawah, lapis Fondasi dan lapis permukaan;
dimana masing-masing lapisan memberikan kontribusinya, yang sangat
menentukan kekuatan struktur perkerasan dalam memikul beban lalu lintas adalah
kekuatan beton itu sendiri. Sedangkan kekuatan dari tanah dasar hanya
berpengaruh kecil terhadap kekuatan daya dukung struktural perkerasan kaku.
Lapis fondasi bawah, jika digunakan di bawah plat beton, dimaksudkan untuk
sebagai lantai kerja, dan untuk drainase dalam menghindari terjadinya "pumping".
Pumping adalah peristiwa keluarnya air disertai butiran-butiran tanah dasar
melalui sambungan dan retakan atau pada bagian pinggir perkerasan, akibat
gerakan lendutan atau gerakan vertikal plat beton karena beban lalu lintas, setelah
adanya air bebas yang terakumulasi di bawah plat beton. Pumping dapat
mengakibatkan terjadinya rongga di bawah plat beton sehingga menyebabkan
rusak/retaknya plat beton. Beton merupakan suatu bahan campuran dari beberapa
meterial yang bahan utamanya terdiri dari semen, agregat halus, agregat kasar, air
serta bahan tambahan lainnya dengan perbandingan tertentu. Perkerasan beton
semen biasa disebut perkerasan kaku (Rigid Pavement) adalah perkerasan yang
menggunakan beton semen sebagai bahan ikat sehingga mempunyai tingkat
kekakuan yang relatif cukup tinggi, karena itu disebut perkerasan kaku atau rigid
pavement. Perkerasan kaku adalah satu lapis beton cement treated sub base dan
granural sub base bukanlah merupakan komponen konstruksi utama.

1. Perkerasan Beton Semen Bersambung Tanpa tulangan


Pada perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan, ada kemungkinan
penulangan perlu dipasang guna mengendalikan retak. Bagian-bagian pelat
yang di perkirakan akan mengalami retak akibat konsentrasi tegangan yang
tidak dapat di hindari dengan pengaturan pola sambungan, maka pelat harus
diberi tulangan sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5 pada halaman
berikutnya
13

Sumber : Manu, Iqbal. (1995)

Gambar 2.5 Perkerasan (BBTT) Dengan Ruji.

Penerapan tulangan umumnya dilaksanakan pada :


1) Pelat dengan bentuk tak lazim (odd-shepad slabs)
2) Pelat disebut tak lazim bila perbandingan antara panjang dengan lebar
lebih besar dari 1,25 atau bila pola sambungan pada pelat tidak benar-
benar berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang.
3) Pelat dengan sambungan tidak sejalur (mismatched joints)
4) Pelat berlubang (pits or structures)

2. Perkerasan Beton Semen Bersambung dengan tulangan


Jenis perkerasan beton yang dibuat dengan tulangan, yang ukuran pelatnya
berbentuk persegi panjang, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya
sambungan-sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini
berkisar antara 8-15 meter Gambar 2.6 bisa di lihat pada halaman berikutnya.
14

Sumber : Manu, Iqbal. (1995)

Gambar 2.6 Perkerasan Beton Semen Bersambung Dengan Tulangan

3. Perkerasan Beton Semen Menerus Dengan Tulangan


Jenis perkerasan beton yang di buat dengan tulangan dan dengan panjang
pelat yang menerus yang hanya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan
muai melintang, Panjang pelat dari jenis perkerasan ini lebih besar dari 75
meter. seperti diperlihatkan pada Gambar 2.7 di bawah ini.

Sumber : Manu, Iqbal. (1995)

Gambar 2.7 Perkerasan Beton Semen Menerus Dengan Tulangan


15

4. Perkerasan Beton Semen Pra-tegang


Jenis perkerasan beton menerus, tanpa tulangan yang mengunakan kabel-
kabel pratekan guna mengurangi pengaruh susut, muai dan lenting akibat
perubahan temperatur dan kelembaban.
Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen
yang bersambung (tidak menerus) tanpa atau dengan tulangan, atau menerus
dengan tulangan terletak diatas lapis fondasi bawah atau tanah dasar, tanpa
atau dengan lapis permukaan aspal, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.8 di
bawah ini.

Sumber : Manu, Iqbal. (1995)

Gambar 2.8 Perkerasan Beton Semen Pra-tegang

2.4.3 Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)

Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement) yaitu


perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa
perkerasan lentur di atas perkerasan kaku atau perkerasan kaku di atas
perkerasan lentur, dimana kedua jenis perkerasan ini bekerjasama dalam
memikul beban lalu lintas; sebagaimana terlihat pada Gambar 2.9 di halaman
berikutnya.
16

Sumber : Ari Suryawan (2009)

Gambar 2.9 Perkerasan Komposit

2.5 Pelaksanaan Perkerasan Jalan Beton Semen

Dalam pelaksanaan konstruksi, untuk mendapatkan hasil yang maksimal


dan memenuhi persyaratan manajemen dan teknis, pada pelaksanaan perkerasan
kaku terdapat beberapa tahapan menurut Bina Marga PD-T-07-2005 Pustran
Balitbang Pekerjaan Umum dijelaskan di bawah ini :

2.5.1 Penyiapan Tanah Dasar Dan Lapisan Fondasi

1. Persyaratan tanah dasar untuk perkerasan kaku sama dengan persyaratan


tanah dasar untuk perkerasan lentur, baik mengenai daya dukung, kepadatan
maupun kerataannya Lapis fondasi bawah untuk perkerasan kaku dapat
berupa beton kurus (lean concrete), atau bahan berbutir yang bisa berupa
agregat atau lapisan pasir (sand bedding), berfungsi sebagai lantai kerja dan
sebagai fasilitas drainase agar air dapat bebas bergerak di bawah plat beton
tanpa mengerosi butir-butir tanah yang membentuk tanah dasar. Lapis fondasi
bawah dari bahan berbutir harus memenuhi persyaratan sebagai filter
material.
17

2. Persyaratan dan Pemeriksaan Bentuk Akhir


Sebelum dilakukan penghamparan beton, tanah dasar atau lapisan fondasi
bawah diperiksa kepadatan dan bentuk. Penampang melintangnya.
Permukaan lapisan yang akan dicor beton harus senantiasa bebas dari benda-
benda asing, sisa-sisa beton, dan kotoran-kotoran lainnya.
3. Pemasangan Membran Kedap Air Membran kedap air terdiri dari lembaran
plastik yang kedap air agar air semen dari plat beton yang dicor tidak
meresap ke dalam lapisan di bawahnya, untuk mencegah adanya ikatan
antara plat beton dengan lapis fondasi bawah yang mengakibatkan
terjadinya retak-retak pada plat beton setelah terjadinya penyusutan pada
waktu pengerasan beton. Membran kedap air tersebut dipasang di atas
permukaan lapis fondasi bawah yang telah siap. Lembar-lembar yang
berdampingan dipasang overlap, dengan lebar tumpang- tindih tidak kurang
dari 10 cm pada arah lebar dan 30 cm pada arah memanjang.

2.5.2 Acuan (bekisting/form)

Persyaratan acuan harus kuat untuk menahan beban selama pelaksanaan.


Acuan yang terbuat dari baja lulus harus memenuuhi syarat tidak melendut
sebagai berikut:
1. Pemasangan Acuan.
Fondasi acuan dipadatkan dan dibentuk sesuai dengan alinyemen dan
ketinggian jalan yang bersangkutan sehingga acuan yang dipasang dapat
disangga secara seragam pada seluruh panjangnya dan terletak pada elevasi
yang benar. Pembuatan galian untuk meletakan acuan dikupas/dikeruk
kemudian dipadatkan kembali. Acuan disangga pada tempatnya setiap 3
meter.
2. Pembongkaran Acuan setelah paling sedikit 8 jam setelah penghamparan
beton. Setelah acuan dibongkar, permukaan beton yang terbuka harus segera
dirawat.
18

2.5.3 Bahan Penyusun Beton

Bahan yang dipakai dalam pembuatan atau penyusunan beton terdiri dari
semen, air, agregat halus, dan agregat kasar.
1. Semen
Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton harus jenis semen portland
yang memenuhi SNI 15-2049-1994 tentang Semen Portland kecuali jenis IA,
IIA, IIA, IV. Apabila menggunaan bahan tambahan yang dapat menghasilkan
gelembung udara, maka gelembung udara yang dihasilkan tidak boleh lebih
dari 5% dan harus mendapatkan persetujuan secara tertulis. Dalam satu
campuran, hanya satu merk semen portland yang boleh digunakan.
2. Air
Air yang harus memenuhi syarat untuk pencampuran, perawatan atau
pemakaian lainnya harus bersih, dan bebas dari bahan-bahan yang merugikan
seperti minyak, garam, asam, gula atau bahan-bahan organik. Air harus diuji
sesuai dengan dan harus memenuhi persyaratan.
3. Agregat
Agregat yang dipergunakan harus memenuhi persyaratan seperti pada Tabel
2.3 di bawah ini. Agregat kasar tidak melebihi % jarak bersih minimum
antara batang tulangan.
Sifat-sifat agregat:
1) Agregat untuk pekerjaan beton harus terdiri dari partikel yang bersih dan
keras yang diperoleh dari pemecahan batu, atau dengan menyaring
dan mencuci (bila perlu) kerikil dan pasir sungai.
2) Agregat harus bebas dari bahan-bahan organik seperti yang dirinci
dalam AASHTO T21 dan seperti diberikan dalam Tabel 2.5 pada
halaman berikutnya.
19

Tabel 2.2 Ketentuan Gradasi Agregat

Persentase berat yang lolos


Ukuran Ayakan
Agregat
Agregat Kasar
Standar
Inch (inch) Halus
(mm)
50.8 2 - 100 - - -
38.1 1.5 - 95- 100 - -
100
25.4 1 - - 95-100 100 -
19 1/4 - 35-70 - 90-100 100
12.7 1/2 - - 25-60 - 90-100
9.5 3/8 100 10-30 - 20-55 40-70
4.75 #4 95-100 0-5 0-10 0-10 0-15
2.36 #8 80-100 - 0-5 0-5 0-5
1.18 #16 50-85 - - - -
0.30 #50 10-30 - - - -
0.15 #100 2-10 - - - -
Sumber : Pedoman.T-07-2005

Tabel 2.3 Sifat-sifat Agregat Beton

Batas maksimum yang


Metode diijinkan untuk agregat
Sifat –sifat
Pengujian
Agregat Agregat
halus kasar
Keausan Agregat dengan
SNI 03-2417-
mesin Los Angeles pada 500 - 40%
1991
putaran.

Kehilangan akibat penentuan


SNI 03-3407-
kualitas dengan sodium sulfat 10% 12%
1994
setelah 5 siklus.

Gumpalan lempung dan SK SNI M-01-


0.5 % 0.25 %
pertikel yang mudah pecah. 1994-03

Bahan-bahan yang lolos SK SNI M-01-


3% 1%
saringan No. 200. 1994-03
Sumber : Bina Marga T-07-2005
20

4. Bahan Tambah (Additive)


Penggunaan plastisator, bahan-bahan tambah untuk mengurangi air atau
bahan tambah lainnya, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu. Jika
digunakan, bahan yang bersangkutan harus memenuhi AASHTO M 154
atau M 194. Bahan tambahan yang bersifat mempercepat dan yang
mengandung Calcium Chlorida tidak boleh digunakan.
5. Membran Kedap Air
Lapisan bawah yang kedap air harus terdiri dari lembaran plastik yang
kedap setebal 125 mikron. Air tidak boleh tergenang di atas membran, dan
membran kedap air sepenuhnya waktu beton dicor. Lapisan bawah yang
kedap air tidak boleh digunakan di bawah perkerasan jalan beton bertulang
yang menerus.
6. Tulangan Baja
Tulangan baja untuk jalur kendaraan harus berupa anyaman baja atau
batang baja berulir sebagaimana diperlihatkan dalam gambar rencana. Baja
tulangan harus merupakan batang baja polos atau berulir grade U24 atau
batang berulir grade U40 sesuai dengan persyaratan gambar rencana serta
mutu dan disetujui oleh pengguna jasa konstruksi misalnya Dinas Pekerjaan
Umum.

2.5.4 Pembuatan Beton

1. Pencampuran dan Penakaran


Perbandingan bahan dan berat penakaran harus menggunakan cara yang
ditetapkan dalam BS CP.114. Proporsi bahan dan berat penakaran harus
sesuai. dengan batas-batas yang diberikan.
2. Campuran Percobaan
Kontraktor harus memastikan perbandingan campuran dan bahan-bahan yang
diusulkan dengan membuat dan menguji campuran-campuran percobaan
dengan menggunakan peralatan yang sama seperti yang akan digunakan
nanti.
21

Tabel 2.4 Pedoman Proporsi Takaran Campuran

Kadar Semen
Ukuran Agregat Rasio
Mutu Minimum
Maksimum Air / Semen
Beton (kg/m3 dari
(mm) (terhadap berat)
campuran)
K500 - 0,375 450
37 0,45 356
K400 25 0,45 370
19 0,45 400
37 0,45 315
K350 25 0,45 335
19 0,45 365
37 0,45 300
K300 25 0,45 320
19 0,45 350
37 0,50 290
K250 25 0,50 310
19 0,50 340
K175 - 0,57 300
K125 - 0,60 250
Sumber : Badan Litbang PU Departemen Pekerjaan Umum

2.5.5 Kekuatan Beton

Beton harus mempunyai kekuatan lentur karakteristik sebesar 45 kg/cm2


pada umur 28 hari bila diuji sesuai dengan ASSHTO T 97. Bila pengujian
dilakukan pada kubus 15 cm, kekuatan tekan karakteristik harus sebesar 350
kg/cm2 pada umur 28 hari. Kekuatan beton 7 hari harus sebesar 0,7 x kekuatan
lentur karakteristik. Menurut Standar Nasional Indonesia, kuat tekan harus
memenuhi 0,85 f’c untuk kuat tekan rata-rata dua silinder dan memenuhi f’c +
0,82 s untuk rata-rata empat buah benda uji yang berpasangan. Pada Gambar 2.9
di bawah ini menunjukkan bahwa dalam percobaan uji tekan terhadap kubus,
terlihat bahwa sisi-sisi tertekan timbul tegangan ke arah dalam.
Peraturan Beton Indonesia (PBI) 1971 menerangkan bahwa perbandingan
kekuatan tekan beton pada berbagai benda uji dalam Tabel 2.5 pada halaman
berikutnya.
22

Tabel 2.5 Konversi Ukuran Benda Uji Beton

Benda Uji Perbandingan Kekuatan Tekan

Kubus 15 x 15 x 15 cm 1,00

Kubus 20 x 20 x 20 cm 0,95

Silinder 15 x 30 cm 0,83
Sumber: PBI 1971

Kekuatan beton ditentukan oleh penyesuaian campuran sebagaimana


berikut;
1. Penyesuaian Sifat Kelecakan (Workability)
Bilamana sifat kelecakan pada beton dengan proporsi yang semula
dirancang sulit diperoleh, maka boleh melakukan perubahan rancangan
agregat, dengan syarat dalam hal apapun kadar semen yang semula
dirancang tidak berubah, juga rasio air/semen yang telah ditentukan
berdasarkan pengujian yang menghasilkan kuat tekan yang memenuhi tidak
dinaikkan. Pengadukan kembali beton yang telah dicampur dengan cara
menambah air atau oleh cara lain tidak diijinkan.
2. Penyesuaian Kekuatan
Apabila beton tidak mencapai kekuatan yang disyaratkan maka kadar
semen dapat ditingkatkan atau dapat digunakan bahan tambahan dengan
syarat disetujui oleh Direksi Pekerjaan.
3. Penyesuaian untuk Bahan – bahan Baru
Perubahan sumber bahan atau karakteristik bahan tidak boleh diiakukan
tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu.
4. Penakaran Agregat
Seluruh komponen beton harus ditakar menurut beratnya. Bila digunakan
semen kemasan dalam zak, kuantitas penakaran harus sedemikian sehingga
kuantitas semen yang digunakan adalah setara dengan satu satuan atau
pembulatan dari jumlah zak semen. Agregat harus diukur beratnya secara
terpisah. Ukuran setiap penakaran tidak boleh melebihi kapasitas alat
23

pencampur. Sebelum penakaran agregat harus dibasahi sampai jenuh dan


dipertahankan dalam kondisi lembab pada kadar yang mendekati keadaan
jenuh-kering permukaan, dengan menyemprot tumpukan agregat dengan
air secara berkala. Pada saat penakaran, agregat harus telah dibasahi paling
sedikit 12 jam sebelumnya untuk menjamin pengaliran yang memadai dari
tumpukan agregat.
5. Pencampuran
1) Beton harus dicampur dalam mesin yang dijalankan secara mekanis
dari jenis dan ukuran yang disetujui sehingga dapat menjamin campuran
yang merata dari seluruh bahan.
2) Pencampur harus dilengkapi dengan tangki air yang memadai dan alat
ukur yang akurat untuk mengukur dan mengendalikan jumlah air yang
digunakan dalam setiap penakaran.
3) Pertama-tama alat pencampur harus diisi dengan agregat dan semen
yang telah ditakar, dan selanjutnya alat pencampur dijalankan sebelum
air ditambahkan.
4) Waktu pencampuran harus diukur pada saat air mulai dimasukkan
ke dalam campuran bahan kering. Seluruh air yang diperlukan harus
dimasukkan sebelum waktu pencampuran berlangsung seperempat
bagian. Waktu pencampuran untuk mesin berkapasitas % m3 atau
kurang haruslah 1,5 menit, untuk mesin yang lebih besar waktu harus
ditinggalkan 15 detik untuk tiap penambahan 0,5 m.

2.5.6 Perencanaan Tebal Pelat Beton

Tebal Rencana adalah tebal taksiran yang paling kecil yang


mempunyai total fatik atau total kerusakan erosi lebih kecil, sama dengan
100%.. Adapun sistem perencanaan perkerasan beton semen akan
diuraikan seperti halaman di bawah ini. Adapun langkah- langkah
perencanaan tebal perkerasan beton semen menurut Pedoman
Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen Nomor XX - 2002 antara
lain sebagai berikut:
24

1. Memilih jenis perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji atau


bersambung dengan ruji, menerus dengan tulangan di tampilkan (pada
Gambar 2.10) ;

Sumber : Bina Marga-T-14-2003

Gambar 2.10 Tebal Fondasi Bawah Minimum Perkerasan Beton Semen

2. Menentukan analisa fatik dan repetisi ijin ;


3. Menentukan jenis dan tebal Fondasi berdasarkan grafik gambar 2.11
hubungan nilai CBR rencana dengan perkiraan jumlah sumbu kendaraan
niaga selama umur rencana.
25

Sumber : Bina Marga T-14-2003

Gambar 2.11 Grafik Perencanaan, Fcf =4,25 MPa, Lalu-lintas Luar Kota,
Dengan Ruji, FKB = 1,2
4. Menentukan CBR efektif bedasarkan grafiik 2.12 nilai CBR rencana dan
Fondasi bawah yang dipilih sesuai grafik tersebut.
26

Sumber : Bina Marga T-14-2003

Gambar 2.12 CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Fondasi Bawah

5. Memilih kuat tarik lentur atau kuat tekan beton pada umur 28 hari (fcf);
6. Menaksir tebal pelat beton (taksiran awal) dengan tebal tertentu berdasarkan
pengalaman atau menggunakan contoh yang tersedia pada tabel di atas;
7. Menentukan tegangan ekivalen (TE) dan faktor erosi (FE) untuk STRT;
8. Menentukan faktor rasio tegangan (FRT) dengan membagi tegangan
ekivalen (TE) oleh kuat tarik-lentur (fcf);
9. Menentukan beban per roda dan kalikan dengan faktor keamanan beban
(Fkb) pada setiap rentang beban kelompok sumbu tersebut, untuk
menentukan beban rencana per roda. Jika beban rencana per roda dua sama
dengan 65 kN (6,5 ton), anggap dan gunakan nilai tersebut sebagai batas
tertinggi;
10. Menentukan jumlah repetisi ijin dengan faktor rasio tegangan (FRT) dan
beban rencana untuk fatik, yang dimulai dari beban roda tertinggi dari jenis
sumbu STRT tersebut;
27

11. Menghitung persentase dari repetisi fatik yang direncanakan terhadap repetisi
ijin;
12. Menentukan jumlah repetisi ijin untuk erosi dengan menggunakan faktor
erosi (FE);
13. Menghitung persentase dari repetisi erosi yang direncanakan terhadap repetisi
ijin;
14. Mengulangi perhitungan persentase repetisi fatik sampai dengan perhitungan
repetisi erosi untuk setiap beban per roda pada sumbu tersebut sampai jumlah
repetisi ijin masing-masing mencapai 10 juta dan 100 juta repetisi;
15. Menghitung jumlah total fatik dengan menjumlahkan persentase fatik dari
setiap beban roda pada STRT tersebut. Kemudian dengan cara yang sama
hitunglah jumlah total erosi dari setiap beban roda pada STRT tersebut.
16. Mengulangi perhitungan faktor rasio tegangan sampai dengan jumlah total
fatik untuk setiap jenis kelompok sumbu lainnya;
17. Menghitung jumlah total kerusakan akibat fatik dan jumlah total
kerusakan akibat erosi untuk seluruh jenis kelompok surnbu;
18. Mengulangi perhitungan tegangan eqifalen dan faktor erosi sampai dengan
jumlah total hingga memperoleh ketebalan tertipis yang menghasilkan total
kerusakan akibat fatik dan atau erosi ≤ 100% Tebal tersebut merupakan
tebal perkerasan beton semen yang direncanakan.

Tabel 2.6 Hubungan Teball Pelat Beton dengan Diameter Ruji

Diameter Ruji
No Tebal Pelat Beton, h (mm)
(mm)
1 125 < h ≤ 140 20
2 140 < h ≤ 160 24
3 160 < h ≤ 190 28
4 190 < h ≤ 220 33
5 220< h ≤ 250 36
Sumber : Bina Marga T-14-2003
28

Tabel 2.7 Hubungan Tebal Pelat Beton dengan Diameter, Jarak Ruji

Slab thickness, Dowel Diameter, Dowel lenght, Dowel Spaching,


mm mm mm mm
(in) (in) (in) (in)
< 200 (<8) Dowels not required
200 (8) 32 (1.25) 450 (18) 300 (12)
250 (10) 32 (1.25) 450 (18) 300 (12)
280 (11) 38 (1.5) 450 (18) 300 (12)
300 (12) 38 (1.5) 450 (18) 300 (12)
350 (14) 44 (1.75) 500 (20) 300 (12)
400 (16) and up 50 (2) 600 (24) 450 (18)
Sumber : ACI Committee (200)

Tabel 2.8 Perbandingan Tegangan dengan Jumlah Repetisi Yang Diijinkan

Jumlah Jumlah
Perbandingan Penulangan Perbandingan Penulangan
Tegangan Beban yang Tegangan ‘ Beban yang
Diizinkan Diizinkan
0.51 400000 0.69 2500
0.52 300000 0.70 2000
0.53 240000 0.71 1500
0.54 180000 0.72 1100
0.55 130000 0.73 850
0.56 100000 0.74 650
0.57 75000 0.75 490
0.58 57000 0.76 360
0.59 42000 0.77 270
0.60 32000 0.78 210
0.61 24000 0.79 160
0.62 18000 0.80 120
0.63 24000 0.81 90
0.64 22000 0.82 70
0.65 8000 0.83 50
0.66 6000 0.84 40
0.67 4000 0.85 30
0.68 3500 - -
Sumber : Bina Marga (2003)

*) Tegangan akibat beban dibagi dengan Modulus of Rapture (MR)


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan antara lain:
29

1. Pertumbuhan Lalu Lintas.


Latu lintas harus dianalisa berdasarkan hasil perhitungan volume lalu lintas
dan konfigurasi sumbu berdasarkan data terakhir (5-2 tahun terakhir).
Analisis volume lalu lintas didasarkan pada survey faktual, untuk keperluan
desain dapat diperoleh dari survey Ialu lintas aktual dengan durasi minimal
7 x 24 jam. Pelaksanaan survey mengacu pada Manual Pd T-19-2004-B.
Namun untuk keperluan perkerasan kaku, hanya kendaraan niaga yang
mempunyai berat total minimum 5 ton yang ditinjau dengan
kemungkinan 3 konfigurasi sumbu, yaitu Sumbu Tunggal Roda Tunggal
(STRT), Sumbu Tunggal Roda Ganda (STRG), dan Sumbu Tandem Roda
Ganda (STdRG).
1) Menghitung JKN (Jumlah Kendaraan Niaga) selama umur rencana.
JKN = 365 x JKNH x R ………………………………...………..(2.1)
R = Faktor Pertumbuhan
(1+𝑖)UR −1
= ………………………………………………….(2.2)
𝑖

Dimana :
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
I = Laju pertumbuhan lalu lintas taunan dalam persen (%)
UR = Umur rencana (tahun)
Faktor Pertumbuhan lalu lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan
Tabel 2.9 di halaman berikutnya :
30

Tabel 2.9 Faktor Pertumbuhan lalu lintas (R)

Umur Rencana Laju Pertumbuhan (i) Pertahun (%)


(Tahun) 0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
Sumber : Bina Marga T-14-2003

2) Menghitung JSKNH (Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga Harian),


kemudian menghitung JSKN (Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga) selama
umur rencana.
JSKN = 365 𝑥 JSKNH 𝑥 R …………………………………………(2.3)
3) Menghitung persentase masing-masing beban sumbu dan jumlah
reperisi yang akan terjadi selarna umur rencana
Jumlah sumbu yang ditinjau
Persentase beban sumbu = …...........…...(2.4)
JSKNH

Repetisi yang akan terjadi = JKN x persentse jumlah sumbu x


koefisien distribusi jalur dari Tabel 2.10 di halaman berikutnya :
31

Tabel 2.10 Jumlah Lajur Berdasarkan Koefisien Distribusi Kendaraan Niaga Pada
Lajur Rencana

Kendaraan Niaga
Lebar Perkerasan (Lp) Jumlah Jalur
1 Arah 2 Arah
< 5,5 m 1 Jalur 1 1
5,5 m ≤ Lp <8,25 m 2 Jalur 0,70 0,5
8,25 m ≤ Lp <11,25 m 3 Jalur 0,50 0,475
11,23 m ≤ Lp <15,00 m 4 Jalur - 0,45
15,00 m ≤ Lp <18,75 m 5 Jalur - 0,425
18,75 m ≤ Lp <22,00m 6 Jalur - 0,40
Sumber : Bina Marga T-14-2003

Besarnya beban sumbu rencana dihitung dengan cara mengalikan beban


sumbu yang ditinjau dengan Faktor Keamanan (FK) yang ditunjukan dalam
Tabel 2.11 berikut ini :

Tabel 2.11 Faktor Keamanan

Peranan Jalan FK (Faktor Keamanan)


Jalan Bebas Hambatan 1,2
Jalan Arteri 1,1
Jalan Kolektor 1,0
Jalan Lokal -
Sumber : Bina Marga T-14-2003

2. Umur rencana.
Umur rcncana perkerasan jalan ditentukan atas pertimbangan klasifikasi
fungsional jalan, pola lalu-lintas serta nilai ekonomi jalan yang bersangkutan,
yang dapat ditentukan antara lain dengan metode Benefit Cost Ratio,
Internal Rate of Return, kombinasi dari metode tersebut atau cara lain yang
tidak terlepas dari pola pengembangan wilayah. Umumnya perkerasan beton
32

semen dapat direncanakan dengan umur rencana (UR) 20 tahun sampai 40


tahun (Bina Marga T-14-2003).
3. Kapasitas Jalan.
Kapasitas jalan adalah ukuran kemampuan suatu jalan untuk dapat
menerima lalu lintas. Kapasitas jalan menyatakan jumlah kendaraan
maksimum yang melalui suatu titik (suatu tempat) dalam satuan waktu yang
dinyatakan dalam volume per jam. Perbedaan antara volume jam perencana
(VJP) dengan kapasitas jalan adalah VJP menunjukkan jumlah arus lalu
lintas yang direncanakan akan melintasi suatu penampang jalan selama satu
jam, sedangkan kapasitas menunjukkan jumlah arus lalu lintas maksimum
yang dapat melewati penampang tersebut dalam waktu satu jam sesuai
dengan kondisi jalan atau sesuai denngan lebar jalur, kebebasan samping,
kelandaian. Nilai kapasitas dapat diperoleh dari penyesuaian kapasitas
dasar/ideal dengan kondisi dari jalan direncanakan.

2.5.7 Perencanaan Tulangan

Menurut Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen Nomor XX-


2002, tujuan utama penulangan adalah untuk :
1. Membatasi lebar retakan, agar kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan;
2. Memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat
mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan;
3. Mengurangi biaya pemeliharaan. Jumlah tulangan yang diperlukan
dipengaruhi o1eh jarak sambungan susut, sedangkan dalam hal beton
bertulang menerus, diperlukan jurnlah tulangan yang cukup .

1. Perkerasan Beton Semen Bersambung Tanpa Tulangan


Penerapan tulangan umumnya dilaksanakan pada:
1) Pelat dengan bentuk tak lazim (odd-shaped slabs), Pelat disebut tidak
lazim bila perbadingan antara panjang dengan lebar lebih besar dari 1,25,
33

atau bila pola sambungan pada pelat tidak benar-benar berbentuk bujur
sangkar atau empat persegi panjang.
2) Plat dengan sambungan tidak sejalur (mismatched joints).
3) Plat berlubang (pits or structures).

2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan


Luas penampang tulangan dapat dihitung dengan persamaan berikut :

µ.L.M.g.h
As = ....…………………………………………..…...(2.5)
2𝑓𝑠

Dengan :
As : luas penampang tulangan baja (mm2/m lebar pelat).
fs : kuat-tarik ijin tulangan (MPa). Biasanya 0,6 kali tegangan leleh.
g : gravitasi (m/detik2).
H : tebal pelat beton (m).
L : jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bebas pelat (m).

M : berat per satuan volume pelat (kg/m3).


µ : koefisien gesek antara pelat beton dan Fondasi bawah Luas
penampang tulangan berbentuk anyaman empat persegi panjang dan
bujur sangkar ditunjukkan dalam Tabel 2.12 pada halaman selanjutnya.

3. Perkerasan Beton Semen Menerus Dengan Tulangan Penulangan


Memanjang
Tulangan memanjang yang dibutuhkan pada perkerasan beton bertulang
menerus dengan tulangan dihitung dari persamaan berikut:
100. Lcr.(1.3−0.2.µ ……………………..…………(2.6)
Lcr =
𝑓𝑦−n 𝑓𝑐𝑟

Dengan :
Lcr = Jarak teoritis antara retakan (cm)
p = Perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang beton
µ = Perbandingan keliling terhadap luas tulangan =4/d
fb = Tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97√fc)/d (kg/cm2)
34

Ԑs = Koefisien susut beton = (400.10-6)


fct = Kuat tarik langsung beton (0,4 – 0,5 fct) (kg/cm2)
n = Angka ekivalen antara baja dan beton (Es/Ec)
Es = Modulus elastisitas baja = 14850 √fc (kg/cm2)
Ec = Modulus elastisitas beton = 1 x 106 (kg/cm2)

Tabel 2.12 Ukuran dan Berat Tulangan Polos Anyaman Las

Tulangan Tulangan Melintang Luas Penampang Tulangan Berat per


Memanjang Satuan
Diameter Jarak Diameter Jarak Memanjang Melintang Luas
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm2/m) (mm2/m) (kg/m2)
Empat persegi panjang
12,5 100 8 200 1227 251 11,606
11,2 100 8 200 986 251 9,707
10 100 8 200 785 251 8,138
9 100 8 200 636 251 6,967
8 100 8 200 503 251 5,919
7,1 100 8 200 396 251 5,091
9 200 8 250 318 201 4,076
8 200 8 250 251 201 3,552
Bujur Sangkar
8 100 8 100 503 503 7,892
10 200 10 200 393 393 6,165
9 200 9 200 318 318 4,994
8 200 8 200 251 251 3,946
7,1 200 7,1 200 198 198 3,108
6,3 200 6,3 200 156 156 2,447
5 200 5 200 98 98 1,542
4 200 4 200 63 63 0,987
Sumber : Bina Marga-T-14-2003

Tabel 2.13 Hubungan Kuat Beton dan Angka Ekivalen Baja - Beton (n)

fc (kg/cm2) n
175 – 225 10
235 – 285 8
290 – ke atas 6
Sumber : Bina Marga -T-14-2003
35

Tulangan dipasang tepat di tengah tebal pelat dengan jarak antar tulangan
125 ± 25 mm dari tepi pelat. Persentase minimum dari tulangan mernanjang
pada perkerasan beton menerus adalah 0,6% luas penampang beton.
Jumlah optimum tulangan memanjang perlu dipasang agar jarak dan lebar
retakan dapat dikendalikan. Secara teoritis jarak antara retakan pada
perkerasan beton menerus dengan tulangan dihitung dari persamaan
berikut ini:
𝑓𝑐𝑟2
𝐿𝑐𝑟 = ……………………………….…………………………………(2.7)
n.p2.u.fb (Ԑs.Ec− 𝑓𝑐𝑟)

Dengan :
Lcr = Jarak teoritis antara retakan (cm)
p = Perbandingan luas tulangan memanjang dengan luas penampang beton
u = Perbandingan keliling terhadap luas tulangan =4/d
fb = Tegangan lekat antara tulangan dengan beton = (1,97√fc)/d (kg/cm2)
Ԑs = Koefisien susut beton = (400.10-6)
fct = Kuat tarik langsung beton (0,4 – 0,5 fct) (kg/cm2)
n = Angka ekivalen antara baja dan beton (Es/Ec)
Es = Modulus elastisitas baja = 14850 √fc (kg/cm2)
Ec = Modulus elastisitas beton =,1 x 106 (kg/cm2)
Untuk menjamin agar didapat retakan-retakan yang halus dan jarak antara
retakan yang optimum, maka:
1) Persentase tulangan dan perbandingan antara keliling dan luas tulangan
harus besar
2) Perlu menggunakan tulangan ulir (deformed bars) untuk memperoleh
tegangan lekat yang lebih tinggi.

2.6 Drainase

Drainse menurut SNI 03-2406-1991 Tata Cara Perencanaan Umum


Drainase berasal dari kata kerja ‘ to drain ’ yang berarti mengeringkan atau
mengaliran air, adalah terminologi yang digunakan untuk menyatakan sistem –
sistem yang berkaitan dengan penanganan masalah kelebihan air baik di atas
36

maupun di bawah permukaan tanah. Sedangkan H.A Halim Hasmar (2012)


mendefinisikan secara umum Drainase sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu konteks
pemanfaatan tertentu.

2.6.1 Jenis Drainase

Jenis drainase dibagi menjadi 3 yaitu menurut sejarah terbentuknya,


menurut letak saluran, dan menurut fungsi drainase :
1. Menurut sejarah terbentuknya drainase dibagi kedalam 2 bagian yaitu :
1) Drainase Alamiah ( Natural Drainase )
Drainase yang terbentuk secara alami dan tidak terdapat bangunan –
bangunan penunjang batu/beton, gorong – gorong dan lain – lain. Saluran
ini terbentuk oleh gerusan air yang bergerak karena grafitasi yang lambat
laun membentuk jalan air yang permanen seperti sungai.
2) Drainase Buatan ( Arficial Drainase )
Drainase buatan yaitu drainase yang sengaja dibuat dengan maksud dan
tujuan tertentu sehingga memerlukan bangunan – bangunan khusus
seperti selokan pasangan batu/beton, gorong-gorong, pipa-pipa dan
sebagainya.
2. Menurut letak drainase
Drainase menurut letaknya di bagi menjadi drainase permukaan tanah
(Surface Drainase) dan drainase bawah permukaan tanah (Subsruface
Drainase).
3. Drainase Permukaan Tanah (Surface Drainase)
Drainase yang berada di atas permukaan tanah yang berfungsi mengalirkan
air limpasan permukaan. Analisa alirannya merupakan analisa open chanel
flow.
4. Drainase Bawah Permukaan Tanah (Subsurface Drainase)
Drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan melalui media
di bawah permukaan tanah (pipa – pipa), dikarenakan alasan – alasan tertentu.
Alasan itu antara lain tuntutan artistic, tuntuan fungsi permukaan tanah yang
37

tidak memperbolehkan adanya saluran di permukaan tanah seperti lapangan


sepak bola, lapangan terbang, taman dan lain – lain.
5. Drainase Menurut Fungsinya
Drainase menurut fungsinya di bagi menjadi 2 antara lain :
1) Single Purpose Yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air
buangan misalnya air hujan saja contoh drainase pada jalan raya dan
jalan rel.
2) Multi Purpose adalah saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis
air buangan baik secara bercampur atau bergantian, contoh drainase pada
pabrik yang berfungsi membuang air hujan dan air limbah.

2.6.2 Drainase Jalan Raya

Drainase Jalan Raya menurut Bina Marga T-02-2006 merupakan suatu


prasarana yang dapat bersifat alami ataupun buatan yang berfungsi untuk
menyalurkan air permukaan maupun bawah tanah dan menggunakan bantuan
gravitasi, yang terdiri atas saluran samping (side ditch) dan gorong – gorong. Ke
badan air penerima atau tempat peresapan buatan. Contoh drainase samping pada
jalan raya diperlihatkan Gambar 2.13 di bawah ini :

Sumber : H.A Halim Hasmar. (2012) Drainase Perkotaan

Gambar 2.13 Penamapang Melintang Jalan Dengan Saluran Samping


38

2.6.3 Langkah Perencanaan Drainase

Langkah perencanaan drainase di bagi menjadi 2 bagian yaitu mencari tahu


debit aliran rencana (Q) dan merencanakan dimensi saluran drainase, mencari
debit aliran dibagi beberapa langkah yaitu :
1. Perhitungan Debit Aliran Rencana ( Q)
Langkah – langkah mengitung debit aliran rencana (Q) :
1) Plot rute jalan di peta topogarfi.
2) Tentukan panjang segmen, daerah pengaliran, luas (A), kemiringan lahan

(ip) dari peta topografi.

3) Identifikasi jenis bahan permukaan pengaliran.


4) Tentukan koefisien aliran (C) berdasarkan kondisi permukaan kemudian
kalikan dengan harga factor limpasan
5) Hitung koefisien aliran rata – rata dengan rumus
C1.A1+C2.A2+C3.A3 . FK ………….....……..…………….…………(2.8)
c= A1+A2+A3

Dengan :
C = Koefisien aliran rata-rata
C1 = Adalah nilai koefisien aliran untuk jalan.
C2 = Adalah nilai koefisien aliran untuk bahu jalan.
C3 = Adalah nilai koefisien aliran untuk bagian luar jalan daerah
perkotaan.
Fk = Untuk faktor limpasan daerah perkotaan.
A1 = Luas daerah pengaliaran perkerasan jalan.
A2 = Luas daerah pengaliaran bahu jalan.
A3 = Luas daerah pengaliaran bagian luar jalan.
6) Tentukan koefisien permukaan berikut koefisien hambatan, nd.
7) Hitung waktu konsentrasi (Tc) dengan rumus (1), (2), (3), Yaitu :
Tc = t1 + t2……………….………………...……….….……….… (2.9)
2 nd 0,167
T1= (3 x 3,28 x lo x ) ……………………..……..............(2.10)
√𝑖𝑠
L
T2= ……………………….………..…………….……….....(2.11)
60 ×V
39

Dengan :
Tc = Waktu konsentrasi.
T1 = Waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit).
T2 = Waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari Ujung saluran (menit).
Io = Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m).
L = Panjang saluran (m)
nd = koefisien hambatan (lihat tabel pada halaman berikut).
Is = Kemiringan saluran memanjang.
V = Kecepatan air rata – rata pada saluran drainase (m/detik).
8) Siapkan data curah hujan badan meteorology dan geofisika. Tentukan
periode ulang rencana untuk saluran drainase, yaitu 5 tahun.
9) Hitung intensitas curah hujan sesuai pada buku SNI-03-2415-1991,
metode perhitungan debit banjir.
10) Hitung debit aliran rencana (Q) dengan menggunakan rumus (12), yaitu :
1
Q = 3,6 C × I × A…………….………..…………….………....(2.12)

Dengan :
Q = debit aliran (m3 / detik).
C = koefisien pengaliran rata – rata.
I = Intensitas curah hujan (mm./jam)
A= luas daerah layanan (km2).
2. Mengtihung dimensi saluran di bawah ini :
Perhitungan dimensi saluran terbagi beberapa tahap yaitu :
1) Perhitungan dimensi saluran dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada
yaitu berdasarkan :
(1) Penentuan bahan yang digunakan, sehingga terdapat batasan
kecepatan (V) dan kemiringan saluran (is) yang diijinkan.
(2) Ketersediaan ruang di tepi jalan, sehingga perhitungan dimulai
dengan penentuan dimensi.
2) Penentuan awal bahan saluran, koefisien Manning (n) dan kecepatan (V)
pada saluran yang diijinkan, bentuk saluran dan penentuan kemiringan
saluran (is) yang diijinkan.
40

3) Tentukan kecepatan saluran < kecepatan saluran yang diijinkan, hitung


tinggi jagaan (W) menggunakan rumus (13) di bawah ini :
w = √0,5H…………..………….……………….………….. (2.13)
Dengan :
W = Tinggi jagaan.
H = Tinggi saluran.
4) Tentukan kecepatan saluran menggunakan rumus (14) seperti berikut :
1
V = 𝑛 (R)2/3(S)1/2……..………….………………..…………..(2.14)

Dengan :
V = Kecepatan aliran.
R = Jari–jari hidrolis.
n = Kekerasan manning.
S = Kemiringan dasar saluran.
5) Cek debit saluran harus lebih besar dari debit yang terjadi agar aman,
menggunakan rumus (15) di bawah ini :
Q = A × V……..………….………………..………………..(2.15)
Dengan :
Q = Debit saluran
A = Luas penampang saluran drainase (m2).
V = Kecepatan aliran saluran drainase.

Anda mungkin juga menyukai