Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya,
sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan telah rampung. Makalah ini
berjudul”BAYI TABUNG & EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN ISLAM”.
Dengan tujuan penulisan sebagai sumber bacaan yang dapat digunakan untuk
memperdalam pemahaman dari materi ini.Selain itu, penulisan makalah ini tak
terlepes pula dengan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.Namun penulis
cukup menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun.Meskipun
demikian, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca.

DAFTAR ISI

Kata pengantar....................................................................................................... ii

Daftar isi................................................................................................................ iii

BAB1 PENDAHULUAN....................…............................................................... 1

1.1.Latar belakang.................................................................................................. 1
1.2.Rumusan masalah............................................................................................. 2
1.3.Tujuan penulisan............................................................................................... 2
1.4.Manfaat penulisan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN..............................…...................................................... 3

2.1. Pengertian & proses bayi tabung..................................................................... 3

2.2. Hukum serta dalil bayi tabung ....................................................................…4

23. Mutharat dan masalah teknik bayi tabung....................….....................……... 9

2.4. Status anak bayi tabung menurut islam..........…......…................................... 9

2.5 Pengertian euthhanasia………………………………………………………..9


2.5 Hukum euthanasia dalam islam……………………………………………….9

BAB III PENUTUP................................................................................................ 10

3.1. Kesimpulan...................................................................................................... 10

3.2. Saran................................................................................................................ 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Dengan kemajuan yang pesat dibidang teknologi. Kini banyak
teknologi-teknologi yang mampu menciptakan bermacam-macam produk hasil
teknologi yang berkualitas. Diantara produk teknologi mutakhir adalah di bidang
biologi. Salah satunya yaitu bayi tabung untuk mangatasi permasalahan keturunan.
namun mereka belum tahu pasti apakah produk-produk hasil teknologi itu
dibenarkan menurut hukum agama. sedangkan Mengenai masalah euthanasia bila
ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan
kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah
dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien
memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang
hidupnya.

1.2. Rumusan masalah


Masalah utama dalam penulisan ini adalah tinjauan hokum islam mengenai bayi
tabung. Permasalahan ini dirinci dalam rumusan masalah seperti berikut ini:
 Apa yang dimaksud dengan bayi tabung & bagaimana prosesnya ?
 Bagaimana hukum serta dalil mengenai bayi tabung ?
 Bagaimana mutharat dan maslahah teknik bayi tabung ?
 Bagaimana status anak bayi tabung menurut hukum islam ?
Apa yang dimaksud dengan euthanasia dan hukumnya
1.3. Tujuan penulisan
Tujuan secara umum dari diadakannya penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui informasi tentang perkembangan teknologi bayi tabung dan
kesesuaian dengan hukum agama islam.

1.4. Manfaat penulisan


Adapun manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah ini yaitu kita
dapat mempelajari hal-hal yang ada didunia medis yang dilaang oleh
hukum-hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan proses bayi tabung

In vitro vertilization (IVF) atau yang lebih dikenal dengan sebutan bayi
tabung adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro
adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas atau tabung gelas, dan vertilization
berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembuahan, sehingga dikenal dengan sebutan
bayitabung.Disebut artinya jabang bayi, yaitu sel telur yang telah dibuahi oleh sperma
yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakan (cawan) yang sudah siap untuk
diletakkan kedalam rahim seorang.

Dan pengertian bayi tabung menurut M.Ali Hasan adalah bayi yang
didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga
terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu
kedokteran.1[1] Juga disebutkan, bayi tabung adalah istilah yang mengacu pada
anak yang dihasilkan dari proses In In Vitro Fertilitation atau proses pembuahan
sel telur dengan sperma yang terjadi diluar tubuh (“ in vitro” berarti “dalam
kaca”).Dalam proses tersebut, telur dikeluarkan dari ovarium ibu dan diinkubasi
dngan sprma dari ayah. Stelah pemmbuahan, sel-sel pra embrio dibiarkan untuk
membelah 2-4 kali di dalam inkubator selama 3 sampai 5 hari. Pra embrio ini
kemudian dikembalikan kerahim ibu untuk mengimplan dan tumbuh sebagaimana
dalam kehamilan umumnya. Prosedur ini adalah salah satu dari banyak teknologi
produksi berbantuan (assisted reproduction tekcnology) yang digunakan ketika
pasangan sulit mendapatkan keturunan.

2.2 Hukum dan Dalil Mengenai Bayi Tabung


1) Landasan Diharamkannya Bayi Tabung
a. Q.S Al-Isra ayat 70
‫ت َوفَض َّْلنَا ُه ْم‬ َّ َ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آدَ َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ْالبَ ِ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َرزَ ْقنَا ُه ْم ِمن‬
ِ ‫الطيِِّبَا‬
‫ضيل‬ ِ ‫ير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا ت َ ْف‬
ٍ ِ‫علَى َكث‬ َ
Artinya : “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak
Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami
ciptakan.”(QS. Al-Isra: 70)

b. Q.S At-Tin ayat 4

َ ْ‫سانَ ِفي أَح‬


‫س ِن ت َ ْق ِو ٍيم‬ ِ ْ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya .”(QS. At-Tin: 4)
Hadits Nabi:

َ ‫ع‬
‫غي ِْر ِه‬ َ ‫رئ يُؤْ ِم ُن ِباهللِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل َ ِخ ِر أ َ ْن َي ْس ِق‬
َ ‫ي َما َءهُ زَ ْر‬ ٍ ْْ ‫ََل َي ِح ُّل َِل ِم‬
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada
Allash dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (vagina istri orang lain). (Hadits Riwayat Abu Daud,
Al-Tirmidzi, dan hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban)”
Kedua ayat dan Hadits di atas menerangkan bahwa bayi tabung
dengan sperma donor itu haram. Karena pada hakikatnya dapat
merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam hal itu manusia
sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Selain itu,
diharamkannya bayi tabung dengan sperma donor karena akan
menimbulkan percampuradukkan dan penghilangan nasab, yang telah
diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi tabung
hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami dan
tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaidah-kaidah syari’ah.

2) Landasan Diperbolehkannya Bayi Tabung


Firman Allah SWT: ‫ ا َِّن َم َع العُ ْش ِر يُ ْش َرا‬Artinya: “Setiap ada kesulitan,
ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5).

Hadits Nabi yang diriwayatkan dari Anas Ra bahwa Nabi SAW


telah bersabda: “Menikahlah kalian dengan wanita-wanita yang subur
(peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para
Nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada hari kiamat nanti.” (HR.
Ahmad)
Dari ayat tersebut, dapat diketahui bahwa syariat Islam
mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dan menganjurkan untuk
senantiasa berusaha dalam menggapai karunia Allah. Termasuk dalam
kesulitan reproduksi manusia. Dengan adanya kemajuan teknologi
kedokteran dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat
manusia agar mereka bersyukur dan menggunakannya sesuai dengan
kaidah-kaidah ajaran-Nya. Kesulitan reproduksi tersebut dapat di atasi
dengan upaya medis agar pembuahan antara sel sperma suami dengan sel
telur istri dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Hal ini
diperbolehkan dengan syarat jika upaya pengobatan untuk mengusahakan
pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan tidak berhasil.

Dalam proses pembuahan di luar tempat yang alami tersebut,


setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur istri dalam
suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim,
maka sel telur yang telah terbuahi diletakkan pada tempatnya yang alami
(rahim istri). Dengan demikian, kehamilan alami diharapkan dapat terjadi
dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal. Proses seperti
itu merupakan upaya manusia melalui medis untuk mengatasi
kesulitannya dalam reproduksi dan hukumnya boleh menurut syara’.

Sebab upaya tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan apa


yang disunnahkan oleh Islam yaitu kelahiran dan perbanyak anak, yang
merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan sebagaimana
hadits di atas. Dengan demikian, hukum bagi tabung itu mubah (boleh)
dengan syarat sperma dan sel telur suami-istri itu sendiri bukan dari
donor.2[4]
D. Perbedaan Pendapat Alim Ulama Mengenai Bayi Tabung
Adapun pendapat para ahli mengenai bayi tabung adalah sebagai berikut:

1) Pendapat Yang Membolehkan

a. Zakaria Ahmad al Bari

Inseminasi buatan itu boleh menurut syara’, jika dilakukan dengan


sperma suami yang demikian masih dibenarkan oleh hukum dan syariat
yang diikuti oleh masyarakat yang beradab. Tindakan tersebut
diperbolehkan dan tidak menimbulkan noda atau dosa. Disamping itu
tindakan demikian dapat dijadikan cara untuk mendapatkan anak yang
sah menurut syara’ yang jelas ibu dan bapaknya.

b. Syekh Mahmud Syalthout (mantan rektor universitas Al-Azhar)

Menurut hukum syara’ apabila bayi tabung itu dengan air mani
suaminya sendiri maka hal itu sudah sesuai dengan hukum dan
dibenarkan oleh syara’ dan dipandang sebagai cara untuk menjalankan
anak yang sah. Tetapi apabila bayi tabung itu berasal dari sperma lelaki
lain yang tidak ada hubungan perkawinan, beliau mengatakan bahwa
inseminasi tersebut dalam pandangan syari’at Islam adalah perbuatan
munkar dan dosa besar perbuatan itu setara dengan zina dan
akibatnyapun sama.

2) Pendapat Yang Tidak Membenarkan

a. Lembaga Fiqh Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) Mengadakan


sidang di Amman pada tahun 1986 untuk membahas beberapa tekhnik
inseminasi buatan atau bayi tabung, dan mengharamkan bayi tabung
dengan sperma ataupun ovum donor.

b. Syekh Mahroj Salama (Ulama Al-Azhar)

Ulama yang satu ini berpendapat bahwa tidak boleh sama sekali
dari suami sendiri maupun dari pihak isteri, karena agama telah
meletakkan asas bagi suatu perkawinan untuk menjaga keturunan. Cara
yang dilakukan seperti itu akan mengakibatkan terjadinya suatu
penyimpangan.

c. Syaikh Nashiruddin Al-Albani.

Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh ahli sunnah wal


jamaah berpendapat lain, beliau berpendapat sebagai berikut: “Tidak
boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut
berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat
wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri)
hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak
boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

2.3 Mudharat dan Maslahah Bayi Tabung


Perkembangan ilmu dan teknologi memberikan dampak yang signifikan
terhadap pola dan prilaku kehidupan manusia. Perkembangan ilmu dan teknologi
bayi tabung dapat dipandang sebagai solusi atas masalah kelanjutan keturunan
namun juga dapat dipandang sebagai masalah yang berkaitan dengan etika dan
sebagainya.

1) Mudharat

Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia


dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan
mudharat dari pada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan
ialah membantu suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah
satunya, untuk mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan
pembuahan normal.

Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain


berupa:3[5]

a) Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada


kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab
itu ada kaitannya dengan kemahraman dan kewarisan.
b) Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.

c) Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi


percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan
yang sah.

d) Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik


dalam rumah tanggal.

e) Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada


anak adopsi.

f) Bayi tabung lahir tanpa melalui proses kasih sayang yang alami,
terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang menyerahkan
bayinya kepada pasangan suami-isteri yang punya benihnya sesuai
dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan secara alami. (QS.
Luqman:14 dan Al-Ahqaf:14).

g) Munculnya persewaan rahim dan permasalahannya.

h) Bertentangan dengan kodrat dan fitrah manusia sebagai mahluk


tuhan.

i) Kemajuan teknologi telah memperbudak manusia.

j) Memerlukan biaya yang besar sehingga hanya dapat dijangkau


oleh kalangan tertentu.

2) Maslahah

Adapun maslahah dari teknik bayi tabung, antara lain :

a) Memberi harapan kepada pasangan suami istri yang lambat punya


anak atau mandul.

b) Memberikan harapan bagi kesejahteraan umat manusia.

c) Menghindari penyakit (seperti penyakit menurun/genetis,


sehingga untuk kedepan akan terlahir manusia yang sehat dan
bebas dari penyakit keturunan.

d) Menuntut manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru.


2. 4 Status Anak Bayi Tabung Menurut Islam
Status anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut
hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi.
UU Perkawinan pasal 42 No.1/1974: ”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” maka memberikan pengertian
bahwa bayi tabung dengan bantuan donor dapat dipandang sah karena ia terlahir
dari perkawinan yang sah. Tetapi inseminasi buatan dengan sperma atau ovum
donor tidak di izinkan karena tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 pasal 29
ayat 1. Pasal dan ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan
agama yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan. Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang
larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dan lain-lain.

Lagi pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor
sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum yang
berlaku. Asumsi Menteri Kesehatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk
kalangan agama nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun
harus diingat bahwa kalangan agama bisa menerima KB karena pemerintah tidak
memaksakan alat/cara KB yang bertentangan dengan agama. Contohnya:
Sterilisasi, Abortus. Oleh karena itu pemerintah diharapkan mengizinkan praktek
bayi tabung yang tidak bertentangan dengan agama.4[6]

2.5 pengertian euthanasia


A. Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani "euthanatos", yang terbentuk dari
kata "eu" dan "thanatos" yang masing-masing berarti "baik" dan "mati". Jadi
euthanasia artinya membiarkan seseorang mati dengan mudah dan baik. Kata
ini. Juga didefinisikan sebagai "pembunuhan dengan belas kasian" terhadap
orang sakit, luka-luka atau lumpuh yang tidak memiliki harapan sembuh dan
didefinisikan pula sebagai pencabut nyawa sebisa mungkin dengan tidak
menimbulkan rasa sakit.
Euthanasia dilakukan dengan cara:
a) Kematian dengan cara pemberian obat bius dalam jumlah yang banyak
(overdosis) atau penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan
mengakhiri hidup pasien.
b) Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat
memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat kematian.

Sejak abad ke 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran


rasa sakit dan peringatan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi
kematian dengan pertolongan dokter. (Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah
Fiqh dan Biotika Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2001, hal. 148)

Secara umum euthanasia dapat dikelompokkan menjadi dua katagori:

1. Euthanasia Pasif/Negatif
Yaitu tindakan membiarkan pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar (koma). Karena berdasarkan usulan medis sudah tidak ada harapan
hidup (tidak ada tanda-tanda kehidupan) yang disebabkan karena rusaknya
salah satu organ, tidak berfungsinya jantung dan lain-lain. Dengan kata lain
tenaga medis tidak lagi melanjutkan bantuan atau menghentikan proses
pengobatan.

Contohnya:
Seseorang penderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa.
Hingga penderita pingsan, menurut pengetahuan medis orang yang sakit ini
tidak ada harapan untuk bisa hidup normal lagi (tidak ada harapan hidup).
Sehingga si sakit tersebut dibiarkan mati secara alamiah, karena walaupun
peralatan medis digunakan sudah tidak berfungsi lagi bagi pasien.
Firman Allah dalam surat Ali Imran 156:

‫يت هي ْحيُ َو َ ه‬‫َ ر َْ َُ َ َ َ َه َه ه‬


ُ‫اّلل‬ ِ ُ ‫اّلل ُۗويم‬
ُ ‫ون بما و‬
ُ ‫ي تعمل‬
ُ ‫…بص‬

“....Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Ali Imran:156)
2. Euthanasia Aktif
Yaitu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan atau polesan alat-alat bantu pengobatan. Seperti:
saluran oksigen, alat pembantu jantung dan lain-lainnya. Sementara pasien
sebenarnya masih menunjukkan adanya harapan hidup berdasarkan usulan
medis.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 29:

ََ ُ‫َْ ه َ ُ ْ َ ْ ه‬ َ َ َ ُْ ً َ
ُ ‫م تقتلوا و‬
‫ل‬ َُ ‫ان‬
ُ ‫اّلل إنُ ُۚأنفسك‬ ُ ‫م ك‬
ُ ‫…رحيما بك‬

".....Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah


Maha Penyayang Kepadamu". (QS. An Nisaa:29)

B. Motivasi Euthanasia

Pasien yang melakukan euthanasia dengan memperhatikan beberapa alasan:


1. Faktor Ekonomi
Yaitu salah satu sebab bagi seseorang untuk melakukan euthanasia,
dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan yang sangat mahal,
sehingga pasien dibiarkan dengan peratan medis yang seadanya, padahal
pasien tersebut membutuhkan pengobatan yang meksimal untuk mengobati
penyakit itu. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh dalam pengobatan
pasien, apalagi pada zaman sekarang ini, semua perlatan medis sulit
dijangkau oleh masyarakat biasa (miskin).

2. Pertimbangan Sarana dan Petugas Medis


Argumen pemikiran ini didasarkan atas pengutamaan seseorang
individu diatas individu yang lain, dengan alasan apabila ada pasien yang
masih muda dan diprediksikan lebih berpeluang untuk sembuh. Dengan alasan
semacam ini, petugas medis lebih mengutamakan pasien yang lebih muda
tersebut. Namun bagi seorang muslim, masalah seperti ini tidak diindahkan,
hal ini di tegaskan di dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 145:

َ َ َ َ َْ ْ َ َ ‫َه‬ ْ َ ً َ ً َ ‫ه‬
....‫ان وما‬ُ ‫ن ل ُنفسُ ك‬
ُ ‫وت أ‬
ُ ‫ل كتابا اّللُ بإذنُ إلُ تم‬
ُ ‫مؤج‬
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya". (QS. Ali Imran:145)

Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa pasien yang sakit ringan
mampu hidup lebih lama ketimbang pasien yang sakit parah. Padahal
kematian seseorang tidak akan terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

3. Mati Dengan Layak


Artinya bagi pasien yang sekarat yang diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk menikmati apa yang mereka inginkan daripada terbaring
ditempat tidur, yaitu dengan memberikan obat dalam dosis yang mematikan,
sehingga si pasien tidak dengan cepat mengakhiri hidupnya, padahal tindakan
semacam ini sama saja dengan bunuh diri dan merupakan dosa besar dalam
pandangan Islam.
Hadits Rasulullah dari Anas bin Malik yang artinya:
"Janganlah seseorang diantara kamu mengharapkan mati dikarenakan oleh
musibah yang menimpanya: tetapi jika ia mengharapkan mati, hendaknya ia
mengatakan: "ŷₐ Allah, panjangkanlah umurku jika itu yang terbaik bagiku
dan matikanlah aku jika kematian adalah yang terbaik untukku"
Karena itu, seseorang muslim harus selalu berserah diri (tawakal)
kepada Allah dan kesedihan tidak boleh dibiarkan melanda selama
masa-masa buruk yang dialaminya, kendati harus pasrah menerima
datangnya kematian, seseorang tidak boleh kehilangan harapan akan kasih
sayang Allah. (Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah Fiqh dan Biotika Islam,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2001, hal. 154 )

C. Perspektif Agama-Agama Terhadap Euthanasia

Sebagian besar agama-agama yang ada tidak menyetujui euthanasia,


karena beberapa alasan:

 Ajaran agama pada umumnya menyatakan bahwa kematian, merupakan akhir


dalam rangkaian kehidupan di dunia. Sepenuhnya adalah hak Tuhan, tidaka
ada seorangpun di dunia ini yang berhak untuk menunda sedikitpun waktu
kematian, termasuk mempercepat waktu kematian. Orang yang melakukan
euthanasia berarti dapat dikatagorikan putus asa dan orang putus asa tidak
diperbolehkan oleh setiap agama.

 Semua agama mempunyai perintah/larangan dalam kitabsuci masing-masing


yaitu larangan membunuh, baik itu diri sendiri maupun orang lain. Karena
setiap ada perintah/larangan pasti ada balasan yang diberikan.

 Kehidupan manusia adalah sesuatu yang suci, karena itu kehidupan manusia
harus dilindungi dan dipelihara sebagai hak istimewa yang diberikan kepada
setiap manusia.

D. Pandangan Islam Terhadap Euthanasia

Ajaran Islam memberi petunjuk yang pasti tentang kematian. Dalam


Islam ditegaskan bahwa semua bentuk kehidupan ciptaan Allah akan
mengalami kebinasaan, kecuali Allah sendiri sebagai sang pencipta.
Firman Allah:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”
Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang
dapat memperlambat atau mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa
kematian hanya terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba
telah ditentkan waktunya oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah
gerbang menuju kehidupan abadi (akhirat) dimana setiap manusia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup didunia dihadapan
Allah SWT.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi
Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First International
Conference of Islamic Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif sama
halnya dengan bunuh diri (tidak dibenarkan) sesuai dengan frman Allah:
“Dan janganlahkamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu”
Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat
dihargai dan mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW,
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit,kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
dicobakannya itu” (HR. Bukhari Muslim)

E. Beberapa Pendapat Ulama Tentang Euthanasia

Diantara masalah yang sudah terkenal dikalanga Ulama syara’ ialah


bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya,
pendapat ini dikemukakan menurut Jumhur Fuqaha dan Imam-Imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya segolongan kecil
yang mewajibkannya. Sahabat-sahabat Imam syafi’i, Imam Ahmad dan
sebagian Ulama menganggap bahwa mengobati itu sunnat.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama.
Berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit,
wanita itu meminta kepada Nabi SAW agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah) engkau akan
mendapat surga; jika engkau mau, maka saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab aku akan bersabar. Sebenarnya
saya tadi ingin dihilangkan penyakit saja, oleh karena itu doakanlah kepada
Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi mendoakan
orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya”.
Dalam kaitan ini Imam Abu Hamid Al-Ghazali membantah orang yang
berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apapun.
Pendapat fuqaha yang lebih popular mengenai masalah berobat atau tidak
bagi orang sakit adalah: sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah,
sebagian kecil menganggapnya sunat, dan sebagian kecil lagi (lebih sedikit)
berpendapat wajib.
Jadi pendapat dari sejumlah fuqaha, para ahli (dokter) dan ahli fiqh
lainnya memperbolehkan euthanasia pasif (negatif).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bayi tabung dibolehkan jika sel telur dan sperma berasal dari pasangan suami dan
isteri yang sah serta setelah pembuahan diluar rahim tersebut berhasil, maka sel
hasil pembuahan tersebut dimasukan kembali kedalam rahim isteri yang sah. apabila
salah satu sel (telur atau sperma) bukan berasal dari pasangan suami isteri yang sah
maka itu diharamkan.
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,
maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan
dan penderitaan.Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia
pasif, euthanasia volunter, dan uethanasia involunter. Menurut kode etik kedokteran,
dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.

DAFTAR PUSTAKA

http://satriabara.blogspot.com/2012/06/makalah-euthanasia.html
http://makalah-ilmiah-update.blogspot.com/2016/12/makalah-bayi-tabung.html

https://bakaaynam19.blogspot.com/2016/05/makalah-hukum-bayi-tabung.html

http://amalilmukita.blogspot.com/p/makalah-bayi-tabung-menurut-pandangan.html

https://keperawatanreligionirinegemasari.wordpress.com/

https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-bayi-tabung-menurut-islam

Anda mungkin juga menyukai