ABSTRAK
ISRATI
NIM: 1254201003
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian memegang
peranan yang sangat penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini
menyebabkan sebagian besar penduduk atau tenaga kerja menggantungkan hidup
atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari
pertanian. Dengan ciri perekonomian agraris, maka lahan pertanian merupakan
faktor produksi yang sangat besar artinya bagi petani. Perbedaan penguasaan
terhadap jumlah dan mutu lahan mengakibatkan perbedaan produksi dan
Oleh karena itu dalam pembagian hasil juga akan berbeda antara petani
yang memiliki lahan yang mengolah lahannya sendiri, dengan petani yang
memiliki lahan dan mempekerjakan orang untuk menggarap lahannya tersebut.
Pada Kabupaten Kampar terdapat bebearapa metode pembagian hasil karet antara
petani dengan pemilik kebun, seperti 1 per 3 (artinya hasil kebun akan dibagi tiga,
dan sebagian untuk pemilik lahan, sedangkan petani penggarap mendapatkan 3
bagian). 1 per 2 (artinya hasil kebun yang digarap akan dibagi sama rata, setelah
dikeluarkan biaya operasional). dan lain-lain.
Dengan adanya sistem pembagian tersebut, maka hal ini tentu saja akan
memberikan perbedaan pendapatan antara petani dengan dengan pemilik. Oleh
karena itu penelitian ini ingin mengetahui apakah ada pengaruh dari sistem bagi
hasil tersebut terhadap pendapatan petani karet dengan Petani Penyadap.
Berdasarkan pada pemaparan latar belakang tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang pembagian hasil pada petani karet
dengan Petani Penyadap. Oleh karena itu penelitian ini berjudul: “sistem bagi
hasil terhadap pendapatan petani karet dengan Petani Penyadap di Desa
Sungai Kuning Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi”
Dengan adanya permasalahan tersebut, maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah sistem bagi hasil ini mempengaurhi
tingkat pendapatan petani karet dengan Petani Penyadap di Desa Sungai Kuning
Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi”
Landasan Teori
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di sekitar equator antara 10 LU
dan 10 LS. Pertumbuhan tanaman karet sangat ideal bila ditanam pada ketinggian
0 – 200 m diatas permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak
cocok untuk tumbuh tanaman karet. Curah hujan berkisar antara 2500-4000 mm
pertahun atau hari hujan berkisar antara 100 s/d 150 HH/tahun. Suhu harian yang
cocok untuk tanaman karet rata-rata 25 – 30 C. Syarat lain yang dibutuhkan
tanama karet adalah sinar matahari dengan intensitas yang cukup lama yaitu 5 –7
jam (Supijatno dan Iskandar, 1988)
Rahim dan Retno (2007) dalam Darwis (2009) usahatani adalah ilmu yang
mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi
(tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida) dengan efektif,
efisien dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga
pendapatan usahataninya meningkat.
Soekartawi (2005) ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu disebut ilmu usahatani.
Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya
yang mereka miliki sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari petani karet melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan. Data sekunder adalah
data yang berasal dari instansi atau lembaga yang berhubungan dengan penelitian
ini serta studi pustaka dari literature-literatur yang berhubungan dengan
penelitian.
Data yang telah terkumpul selanjutnya ditabulasikan selanjutnya untuk
dianalisis sehingga dapat menjawab sesuai permasalahan, tujuan penelitian serta
hipotesis yang telah dirumuskan. (Salvatore, 2009)
= +
Keterangan:
TC : Biaya Total (Rp/Ha/Th)
FC : Biaya Tetap (Rp/Ha/Th)
VC : Biaya variabel (Rp/Ha/Th)
Pendapatan kotor usaha tani Kebun karet didapatkan dengan mengalikan
antara harga produksi dengan harga jual, yaitu: (Salvatore, 2009)
= ×
Keterangan:
TR : Total Penerimaan (Rp/Ha/Th)
Y : Jumlah Produksi (Kg/Ha/Th)
Py : Harga Produksi (Rp/Kg)
Untuk menghitung biaya penyusustan alat digunakan metode garis lurus
yang dikemukan oleh Darmansyah (1993), yaitu:
−
=
Dimana:
D : Nilai Penyusutan Alat (Rp/Thn)
Hb : Harga Beli (Rp/Unit)
Ns : Nilai Sisa (Rp/Unit)
Uc : Usia Ekonomis Alat (Rp/Thn)
Usia Ekonomis alat-alat diasumsikan selama dua (2) tahun (pisau sadap,
wadah tampung, wadah kumpul) Sedangkan nilai sisa diperkirakan 20% Dari
Harga baru.
Untuk menghitung pendapatan petani karet dan petani penyadap, maka
dapat digunakan rumus sebagai berikut:
= −
: Total Pendapatan (Rp/Ha/Th)
TC : Biaya Total (Rp/Ha/Th)
TR : Total Penerimaan (Rp/Ha/Th)
Hasil Penelitian
Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh setiap penyadap karet dengan
pemilik kebun karet sebenarnya tidaklah sama, hal ini tergantung dari kesepakatan
antara pemilik lahan dengan penyadap. Pada sistem bagi hasil yang terdapat di
Desa Sungai Kuning Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi ini
tergolong menjadi tiga sistem, dengan rincian biaya tanggungan oleh masing-
masing pihak berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem Bagi Hasil Satu Per Dua
Artinya semua hasil dari kebun karet dibagi sama rata (50%:50%),
yang menjadi tanggungan dari pemilik lahan adalah sebagai berikut: Pajak
Tanah, Pembersihan Kebun, Pupuk Kebun, Gerobak, Ember, Wadah
Tampung. Sedangkan biaya operasional yang menjadi tanggungan penyadap
adalah: Pisau Sadap, Sepatu Bot, Cuka Karet, Obat karet dan Biaya Lain.
Dari asumsi dasar pendapatan penjualan karet selama satu tahun
mencapai Rp.36.000.000, Untuk petani penyadap mendapatkan uang dari
hasil menyadap karet adalah sebanyak Rp.18.000.000; Sama halnya dengan
jumlah uang yang dihasilkan oleh petani pemilik lahan, yaitu sebanyak
Rp.18.000.000; Setelah dikurangi biaya yang menjadi tanggungan masing-
masing pikak,maka pendapatan yang diterima oleh penyadap karet adalah
Rp.17.170.000; Sedangkan besaran pendapatan untuk pemilik lahan adalah
Rp.16433000
2. Sistem Bagi Hasil Satu per Tiga
Sistem bagi hasil satu per tiga ini ditetapkan dengan cara membagi
hasil pertanian karet menjadi tiga bagian, baru kemudian dibagikan kepada
pemilik lahan 1 bagian dan penyadap 2 bagian. Biaya operasional di tanggung
oleh pemilik lahan, seperti pupuk, dan pajak tanah. Sedangkan biaya
operasional yang menjadi tanggungan penyadap adalah: Pisau Sadap, Sepatu
Bot, Cuka Karet, Obat karet, Biaya Lain, Pembersihan Kebun, Gerobak,
Ember dan Wadah Tampung.
Dari asumsi dasar pendapatan penjualan karet selama satu tahun
mencapai Rp.36.000.000, Jadi Jumlah pendapatan bersih yang diterima oleh
1. Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh setiap penyadap karet dengan pemilik
kebun karet sebenarnya tidaklah sama, hal ini tergantung dari kesepakatan
antara pemilik lahan dengan penyadap. Pada sistem bagi hasil yang terdapat
di Desa Sungai Kuning Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi ini
tergolong menjadi tiga sistem, dengan rincian biaya tanggungan oleh masing-
masing pihak berbeda-beda.
2. Berdasarkan pada hasil pembagian hasil kebun karet antara pemilik lahan
dengan petani penyadap, dengan beberapa sistem bagi hasil, maka peneliti
mengambil sebuah kesimpulan bahwa terdapat pengaruh dari sistem bagi
hasil yang diterapkan atau yang disepakati dengan jumlah pendapatan petani
karet, baik petani penyadap atau pemilik lahan. Maka dapat disimpulkan
bahwa pendapatan petani penyadap yang paling besar adalah pada saat
diterapkannya sistem bagi hasil satu per tiga. Sedangkan Pendapatan petani
pemilik lahan yang paling besar adalah pada saat penerapan sistem bagi hasil
satu per dua.
Berangkat dari beberapa permasalahan yang terjadi dalam hubungan bagi
hasil antara pemilik lahan dengan petani petani penyadap, maka saran yang
diajukan adalah sebagai berikut:
a. Pemilik lahan seharusnya melakukan perubahan pola bagi hasil yang
selama ini diterapkan dengan mempertimbangkan konstribusi biaya yang
dikorbankan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam sistem bagi
hasil, terutama oleh petani petani penyadap;
b. Petani penyadap perlu berupaya untuk menegosiasikan kembali pola bagi
hasil dengan pemilik lahan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam sistem
bagi hasil dengan mengacu pada proporsi biaya yang dikorbankan oleh
masing-masing pihak yang terlibat.
c. Dalam melakukan perjanjian kerja sama, harus dilakukan penghitungan
biaya yang dikorbankan masing-masing pihak, sehingga tidak ada pihak
yang dirugikan dalam perjanjian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Rahim dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian (Pengantar,
Teori dan Kasus). Jakarta: Penebar Swadaya.
Putra, G. P. 2013. Respon morfologi benih karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.)
Tanpa Cangkang Terhadap Pemberian Polyethylene Glycol (PEG) 6000
Dalam Penyimpanan Pada Dua Masa Pengeringan. Skripsi. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Jakarta :PT. Raja Grafindo
Persada.