TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.2. Epidemiologi
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor
yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah
(Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala
akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian
dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak
jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di negara-
negara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya cedera
kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan di
negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per 100.000
orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu angka
yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan
Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and
Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika
Serikat adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan
Menon, 2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah
sekitar 235 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006).
Insidensi cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000
orang setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004,
terdapat sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di
Negara China Timur (Wu, dkk, 2008).
5
Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang
berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun
(Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala
derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan
memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.
2.1.3. Etiologi
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari
kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20
sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan
sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja.
6
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung
maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang
meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
sistemik (Sibuea, 2009).
2.1.4. Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai dari
klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi cedera
kepala berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga sistem
klasifikasi yang umum digunakan, yaitu :
1. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya, klasifikasi ini seringkali
digunakan untuk kepentingan penelitian klinis.
2. Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini
terutama digunakan untuk menentukan penanganan pasien cedera
kepala pada fase akut.
3. Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya cedera kepala,
klasifikasi ini paling sering digunakan untuk kepentingan pencegahan
(Saatman, dkk, 2008).
7
GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain digunakan
untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita cedera kepala, GCS
juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis secara kuantitatif serta dapat
digunakan secara umum untuk mendeskripsikan keparahan pasien-pasiencedera
kepala.Nilai GCS dapat diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan membuka
mata, motorik, dan verbal pasien. Masing-masing komponen pemeriksaan
memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan 5.Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat
dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (GCS 14 – 15), cedera kepala sedang
(GCS 9 – 13), dan cedera kepala berat (GCS 3 – 8) (Sibuea, 2009).
Eye Opening ( E )
Spontaneus 4
To speech 3
To pain 2
None 1
Motor Response ( M )
Obey command 6
Localized pain 5
Normal Flexion 4
Abnormal flexion 3
Abnormal extension 2
None 1
8
Verbal Response ( V )
Oriented 5
Confused conversation 4
Inappropriate word 3
Incomprehenble sound 2
None 1
9
dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan
tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi
berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah
terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).
10
jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial
yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor
ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan
istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,
hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta
hemostasis (Indharty, 2012).
11
dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan
mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler
dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel
terprogram (apoptosis)(Werner dan Engelhard, 2007).
12
b. Ada dugaan perdarahan intrakranial akut
c. Evaluasi terhadap aneurisma
d. Deteksi ataupun evaluasi proses kalsifikasi
e. Evaluasi segera paska pembedahan untuk terapi tumor,
perdarahan intrakranial, ataupun lesi perdarahan.
f. Adanya dugaan malfungsi shunt
g. Perubahan status mental
h. Peningkatan tekanan intrakranial
i. Sakit kepala
j. Defisit neurologis akut
k. Dugaan infeksi intrakranial
l. Dugaan hidrosepalus
m. Lesi kongenital (seperti kraniosinostosis, makrosepali, dan
mikrosepali)
n. Evaluasi kelainan psikiatri
o. Herniasi otak
p. Dugaan adanya massa atau tumor
2. Indikasi sekunder
a. Bila magnetic resonance imaging (MRI) tidak tersedia atau di
kontraindikasikan bagi penderita
b. Diplopia
c. Disfungsi saraf kranialis
d. Kejang
e. Apnea
f. Sinkop
g. Ataksia
h. Dugaan penyakit neurodegeneratif
i. Pertumbuhan yang terlambat
j. Disfungsi neuroendokrin
k. Encefalitis
13
l. Toksisitas obat
m. Displasia kortikal ataupun kelainan morfologi otak lainnya
2. Risiko menengah
a. Amnesia before impact > 30 mins
b. Mekanisme trauma yang berbahaya (pejalan kaki yang ditabrak
oleh kendaraan bermotor, penumpang yang terlempar dari
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau
5 tangga)
14
fraktur basis kranii. Selain itu, dalam mendiagnosa fraktur tengkorak seringkali
dibingungkan oleh kehadiran sutura pada tengkorak (Perron, 2008).
Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture;
B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
15
Gambar 2.2. Gambaran CT Scan kepala yang menunjukkan adanya udara pada
intrakranial
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
16
Gambar 2.3. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan
Sumber : Douglas K. McDonald, dkk dalam Imaging in Epidural Hematoma
(2013)
17
risiko yang meningkatkan terjadinya perdarahan subdural (Engelhard III, dkk,
2014).
Gambar 2.4. Perdarahan subdural (biru) dengan pergeseran garis sutura (oranye)
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
18
Gambar 2.5. Perdarahan subaraknoid : A. darah mengisi sisterna suprasellar; B.
darah mengisi sisterna shylvii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
19
Gambar 2.6. Perdarahan intraparenkim (oranye) disertai dengan perdarahan
intraventrikular (biru)
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
20