Anda di halaman 1dari 8

HUMANIORA

I Dewa Putu Wijana - Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa

VOLUME 20 No. 3 Oktober 2008 Halaman 249 − 256

KATA-KATA KASAR DALAM BAHASA JAWA


I Dewa Putu Wijana*

ABSTRACT
This article deals with Javanese indecent words in relation to the state and activities to which such
expressions can be applied. A careful study of the data elicited from two native informants shows that in
additiontotheir ngoko and krama equivalents, indecent expressions are found in some things and activities
in Javanese.The appropriate use of these indicent words should be understood in order to better
understand the Javanese community, and to communicate better with them.

Kata kunci
kunci: indicent, krama , ngoko.

PENGANTAR penuturnya. Untuk lebih jelasnya dapat


Dalam mempelajari atau membicarakan diperhatikan contoh (1) dan (2) berikut ini:
bahasa Jawa kerap kali terdapat kebingungan (1) Gimin esuk-esuk wis madhang.
di dalam membedakan konsep ngoko dan Gimin (ND) pagi-pagi sudah makan
kasar. Kedua konsep ini sering dicampur- (V trans)
adukkan, padahal satu sama lain sangat ber- ‘Gimin pagi-pagi sudah makan’
beda. Ngoko adalah variasi bahasa yang (2) Gimin esuk-esuk wis nguntal.
lazimnya digunakan oleh penutur bahasa dalam Gimin (ND) pagi-pagi sudah makan
berbicara secara akrab (intim) dengan lawan (V trans)
bicaranya. Variasi ini setara dengan ragam ‘Gimin pagi-pagi sudah makan’
lainnya, yakni madya dan krama yang masing-
masing digunakan untuk berinteraksi dengan Kalimat (1) dan (2) sama-sama meng-
lawan bicara yang kurang begitu akrab dengan gunakan ragam ngoko, hanya perbedaannya
sedikit penghormatan, dan orang yang (sangat) kalimat (2) menggunakan kata kasar nguntal
dihormati. Ketiga variasi bahasa masing- ’makan dengan menelan bulat-bulat’. Kata ini
masing memiliki subvarian yang cukup rumit. biasanya digunakan oleh penutur untuk meng-
Sementara itu, konsep kasar, bila dikaitkan ungkapkan kejengkelan sewaktu ia melihat
dengan jenis variasi tertentu, digunakan untuk tindakan Gimin. Dengan kata kasar itu ter-
mengacu bentuk-bentuk kebahasaan, cermin bahwa penutur tidak menaruh hormat
khususnya kata-kata atau leksikon yang biasa kepada Gimin. Kata nguntal dalam bahasa jawa
digunakan oleh penutur bahasa untuk bermakna ’makan dengan cara menelan utuh-
mengungkapkan kejengkelan atau perasaan utuh tanpa mengunyah’. Bahasa Jawa, seperti
sejenisnya sebagai reaksi terhadap sesuatu bahasa-bahasa lainnya, mempunyai sejumlah
yang dilihat, dirasakan atau didengar oleh kata kasar yang khusus digunakan untuk

* Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

249
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 249-256

mengungkapkan kejengkelan atau kemarahan, itu diperbandingkan. Dengan deskripsi dan


serta ketidakpuasan. uraian yang mendalam terhadap kata-kata
Selain dengan konsep ngoko kata-kata kasar ini diharapkan nantinya dapat diungkap-
kasar dikacaukan, dengan kata-kata makian kan berbagai macam tindakan yang tidak
pun kata-kata ini tidak mudah dibedakan. Akan diinginkan atau tidak dihormati di dalam
tetapi, bila diamati secara saksama keduanya kehidupan orang Jawa sebagai salah satu
memiliki perbedaan distribusi pemakaian yang aspek budaya yang mutlak harus diketahui oleh
mendasar. Kata-kata makian secara sintaktik semua orang yang ingin berinteraksi secara
berada di luar klausa inti sebuah tuturan, dan harmonis dengan orang atau masyarakat
secara pragmatik memang cenderung difungsi- Jawa. Hanya saja seperti yang diisayarakan
kan untuk memaki (periksa Wijana & Rohmadi, pada catatan penutup, dalam penelitian ini
2007:109; Sudaryanto dkk., 1982). Sementara masalah kedua ini belum sempat diungkapkan
itu, kata-kata kasar, walaupun ada sebagian secara tuntas dalam penelitian ini sehingga
yang memiliki sifat-sifat seperti itu, tetapi membuka kesempatan bagi para ahli atau
memiliki kemungkinan untuk berada di dalam peneliti selanjutnya untuk menggelutinya.
klausa inti. Untuk ini dapat dibandingkan Bahasa dikreasikan untuk melayani
pemakaian kata mata dan gundhul berikut yang kebutuhan komunikatif manusia. Karena
pada kalimat (3) dan (4) merupakan makian, kebutuhan komunikatif itu sangat banyak, dan
sedangkan dalam (5) dan (6) merupakan kata tidak terbatas jumlahnya, sebagai konsekuensi-
kasar karena kata-kata itu memang tidak nya, bahasa juga memiliki beraneka fungsi
difungsikan untuk mengutarakan makian. yang mungkin sekali tidak terbatas pula
jumlahnya. Salah satu dari sekian banyak
(3) Mata-mu, iku dudu duwek-mu
fungsinya itu adalah sebagai sarana untuk
Matamu (pos), itu (dem) bukan milik-mu
mengekspresikan berbagai perasaan yang
(pos)
dialami oleh penuturnya, seperti perasaan
’Matamu, ini bukan milikmu’
senang, takut, kecewa kesal, sedih, gembira,
(4) GundhUl, iki (dem) pancen nganyelake
dsb. Untuk tujuan pengungkapan perasaan-
(kaus)
perasaan ini bahasa dikatakan menjalankan
Gundhul, ini memang menjengkelkan
atau mengemban fungsi ekspresif (periksa
’Gundhul, ini benar-benar menjengkelkan’
Holmes, 1992: 286; Wijana, 1997:28). Walau-
(5) Gundhul-e sapa (KT) kui neteki.
pun jumlahnya relatif tidak mengalami per-
Kepalanya (pos) siapa itu (dem) me-
kembangan, sehubungan dengan fungsinya
nutupi (V trans)’
yang tidak mendukung peningkatan kualitas
’Kepala siapa itu menutupi pandanganku’
hubungan antarsesamanya yang dalam
(6) Yahene isih pingin maen, mata-ne (pos)
konsepsi etika Jawa bermuara pada konsep
isih ketok, pa? (KT)
rukun dan hormat (Soehardi, 2002:272) serta
’Sudah jam sekian masih ingin bermain
menjunjung tinggi solidaritas (Anderson, 2000:
matanya masih kelihatan, apa.
1), kata-kata kasar yang digunakan untuk
’Jam sekian masih ingin bermain, apakah
mengungkapkan kejengkelan sangat sentral
masih dapat melihat?’
peranannya di dalam kehidupan manusia
karena situasi-situasi kemarahan, kejengkelan,
Tulisan ringkas ini mencoba untuk men-
dsb. suatu saat akan dihadapi atau dialami oleh
deskripsikan seluk-beluk pemakaian kata-kata
setiap penutur bahasa. Kendatipun kata-kata
kasar dalam bahasa Jawa dalam hubungannya
itu ditabukan pemakaiannya, pengenalan
dengan hal-hal apa saja yang memiliki dan
terhadap seluk-beluk yang ditabukan itu
aktivitas-aktivitas apa saja yang dapat dikenai
merupakan syarat mutlak agar penutur
kata kasar, serta dengan apa hal atau aktivitas
semakin sadar, dan mampu menghindarinya

250
I Dewa Putu Wijana - Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa

sehingga kualtas pergaulan di antara mereka sejauh ini digunakan oleh orang-orang Jawa
dapat ditingkatkan. untuk mengungkapkan kekecewaan, ketidak-
Di dalam kehidupan manusia sekurang- puasan, ketidaksenangan, dan sebagainya.
kurangnya ada tiga jenis tabu, yakni tabu yang Data-data yang jumlahnya semula sangat
berkaitan dengan sesuatu yang menakutkan sedikit kemudian dilengkapi dengan meminta
(taboo of fear), tabu yang berhubungan dengan bantuan beberapa informan yang merupakan
sesuatu yang tidak mengenakkan (taboo of penutur asli Bahasa Jawa, yakni rekan-rekan
delicacy) dan tabu yang berkaitan dengan penulis di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
ketidakpantasan (taboo of propriety) (Ullmann, Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan
1972:205-207). Tabu memang harus dihindari, kedua anak penulis, masing-masing I Dewa
dan untuk mengekspresikannya harus diganti- Putu Eska Sasnanda (karya siswa Program
kan dengan kata-kata yang lain atau bentuk Studi S2 Antropologi) dan I Dewa Made Dimas
eufemismenya agar keharmonisan hubungan Wirawan mahasiswa jurusan Sastra Inggris di
antar penutur dan lawan tutur tetap terjaga. Fakultas yang sama. Mereka tidak hanya
Akan tetapi, bila penutur dihadapkan pada membantu memberi informasi tentang kata-
situasi yang memaksa, seperti dalam keadaan kata kasar bahasa Jawa, tetapi juga sekaligus
marah, jengkel, tidak puas, dsb., perbenda- memberikan contoh konteks pemakaiannya.
haraan bentuk-bentuk tabu yang selama ini Setelah dikumpulkan dan dicatat bersama
tersimpan harus dikeluarkan. Dalam kaitannya konteksnya, data-data diklasifikasikan ber-
dengan kata-kata kasar, agaknya bentuk- dasarkan referensi dan perbandingannya.
bentuk yang digunakan cenderung berhubung- Untuk menghindari kerumitan penyajian, data-
an dengan sesuatu yang dipandang tidak data disajikan dengan transkripsi ortografis
mengenakkan (taboo of delicacy) dan tidak sesuai dengan tata tulis bahasa Jawa.
pantas (taboo of propriety) karena pengutaraan Ada tiga hal penting yang dapat diungkap-
kata-kata kasar lebiuh banyak berhubungan kan dalam penelitian ini. Ketiga hal itu berkaitan
dengan relasi antar manusia, dan sama sekali dengan aktivitas-aktivitas yang biasa dikenai
tidak berkaiatan dengan relasi manusia dengan kata-kata kasar, bagian-bagian tubuh tertentu
Tuhan atau mahluk halus, dan sebangsanya. yang biasa dikenai kata-kata kasar, dan hal-
Dalam penelitian bahasa idealnya me- hal yang lazim digunakan sebagai pembanding
mang peneliti mengamati bahasa yang benar- pencitraan kata-kata kasar.
benar dikuasainya (Sudaryanto, 1988:45-46)
Oleh karena itu, bahasa yang sebaik-baiknya AKTIVITAS-AKTIVITAS YANG DIKENAI
dikuasai oleh seorang peneliti bahasa adalah KATA KASAR
bahasa ibunya walaupun hal ini tidak berarti Ada sekurang-kurangnya empat aktivitas
seorang linguis tidak dapat meneliti bahasa dasar yang lazim dikenai kata-kata kasar
yang bukan bahasa ibunya. Dengan meneliti adalah makan dan minum, tidur, berbicara,
bahasa ibunya, seorang peneliti di samping buang air, dan pergi. Untuk aktivitas yang ber-
dapat mengandalkan intuisi kebahasaannya kaitan dengan makan dan minum yang tidak
secara maksimal, ia secara serta merta lebih berkenaan dengan suasana hati pembicara
dapat mengkreasikan data-data kebahasaan sering diekspresikan dengan kata nyekek,
sehingga keterbatasan data dapat diatasi. Bagi nguntal, mbladog, dan ngglogok. Untuk
penulis, bahasa Jawa adalah bahasa ketiga aktivitas tidur sering digunakan kata micek,
setelah bahasa Bali dan bahasa Indonesia. mbathang, dan ngenthung. Untuk aktivitas
Sehubungan dengan itu, pemerolehan data berbicara ada cukup banyak kata yang sering
dimulai dengan pengumpulan kata-kata yang digunakan, yakni nylekop, ngoceh, nyrocos,
diperkirakan merupakan kata-kata kasar yang njeplak, nyocot, mbacot, dan nyonthong.

251
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 249-256

Aktivitas buang air sejauh ini ada dua kata, yakni Int., kalau tidur mengapa harus men-
ngendog dan ngocor, dan aktivitas pergi hanya dengkur?
diwakili dengan kata minggat. Adapun ’Mengapa kalau tidur (dia) selalu men-
penggunaannya dapat diperhatikan kalimat- dengkur?
kalimat berikut ini:
Apa yang tersirat dari contoh-contoh yang
(7) Wah, Yahene wis nyekek ping pindho.
terbatas di atas adalah bahwa bagi masyarakat
Int, waktu ini sudah makan kali dua
Jawa tidur juga memiliki berbagai aturan,
’Wah, jam sekian sudah makan dua kali’
terutama berkaitan dengan, tempat, lamanya,
(8) Panganan samono kok untal kabeh
dan waktu tidur. Tidur hendaknya pada waktu
Makanan sebegitu Kl makan semua tertentu dan tidak terlalu lama seperti keadaan
’Makanan sebanyak itu kamu makan orang buta, orang mati, atau kepompong ulat
semua’ yang seolah-olah tidak sadar akan keadaan di
(9) Nyo, bladhogen kabeh. Aku rasah sekitarnya. Untuk aktivitas berbicara juga ada
dingengehi. berbagai hal menarik yang dapat diamati. Untuk
Ini, makan semua. Saya Neg. perlu diberi ini dapat diperhatikan terlebih dahulu contoh
sisa (14)s.d. (21) berikut.
’Ini dimakan semuanya. Saya tidak perlu
diberi bagian’ (14) Kowe aja mung waton nylekop.
(10) We lha, kok glogok ta wedhang –ku. kamu jangan Imp. hanya asal berbicara
’Kamu jangan asal ngomong’
Int. (Kl) minum part. Minuman-ku (pos)?.
(15) Kawit mau dheweke kok ngoceh wae.
Aduh, Kamu minum, ya minuman
Mulai tadi dia mengapa Part. berkicau
(panas)ku’
saja.
’Mengapa sejak tadi ia berbicara terus’
Dari contoh (7) s.d. (10) di atas terlihat
(16) Nek wis nyrocos, ora bakal ana sing bisa
bahwa masyarakat Jawa dalam tata per-
nge-ndheg-ake.
gaulannya menginginkan cara-cara makan
Kalau sudah berbicara, tidak akan ada
yang berbudaya, yakni cara makan yang
yang dapat meng-henti-kan pos
santun pelan, sedikit demi sedikit, dan dengan
’Kalau sudah berbicara, tidak ada orang
kuantitas yang tidak banyak. Cara makan yang yang bisa menghentikan’
cepat dengan tidak mengunyah makanannya, (17) Di-pikir dhisik aja mung waton njeplak.
dan dengan takaran yang melebihi batas-batas Dipikir Ps. dahulu jangan (imp.) hanya
kewajaran dianggap sebagai sesuatu yang asal berbicara
melanggar norma-norma pergaulan. Dan ’Dipikir dahulu, kamu jangan asal ber-
aturan-aturan tertentu juga terlihat di dalam bicara’
perilaku tidur. Seperti tampak pada kalimat (11) (18) Dheweke pancen isane ming nyocot
s.d. (13 ) berikut ini: Dia memang bisanya hanya berbicara
(11) Wah, sapa sing micek ning kamar-ku ’Dia bisanya hanya mencela’
Int. siapa (KT) yang tidur di (prep.) kamar (19) Nek, ming mbacot gampang.
saya (Pos)? Kalau, hanya ngomong mudah
Wah, siapa yang tidur di kamar saya’ ’Kalau hanya mencela mudah’
(12) Le, mbathang kok ora wis-wis?. (20) Contonge ora isa dipercaya
Caranya, tidur mengapa tidak (Neg.) Mulutmya Pos. tidak bisa dipercaya
sudah-sudah. ’kata-katanya tidak bisa dipercaya’
’Mengapa dia tidur terus, tidak bangun- (21) Aja kokehan cangkem
bangun?’ ’Jangan kebanyakan mulut’
(13) Wah, nek ngenthung kok mesti ngorok. ’Jangan hanya berbicara saja’

252
I Dewa Putu Wijana - Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa

Dari data (15) s.d. (21) terlihat bahwa keadaan yang memiliki kata kasar, yakni mati.
berbicara haruslah hati-hati dan dipikir masak- Adapun kata kasar yang digunakan untuk
masak terlebih dahulu. Berbicara pada dasar- mengungkapkannya adalah ngurek ’aktivitas
nya harus jujur dan dibatasi, dan bila memung- membuat lubang dalam tanah, seperti yang
kinkan harus bisa memberi jalan keluar tidak dilakukan oleh binatang, seperti ulat, orong-
semata-mata mencela. Bila hal ini dilanggar orong, dsb.’. Perhatikan contoh (26) berikut ini:
maka seringkali akan terdengar ucapan kata-
(26) Wis arep ngurek kok isih wae seneng
kata kasar bercetak miring di atas.
wedhokan
Sementara itu, bila penutur tidak berkenan
Sudah akan membuat lubang masih saja
melihat cara-cara yang dilakukan oleh lawan
senang bermain wanita
bicara atau seseorang di dalam aktivitas buang
’Sudah mau mati kok masih senang
air, ia akan mengungkapkan aktivitas yang
bermain wanita’
dilakukan oleh lawan tuturnya dengan ngocor
’mancur layaknya pancuran’ dan ngendog
BAGIAN-BAGIAN TUBUH YANG DIKENAI
’bertelur layaknya hewan’, seperti terlihat dalam KATA KASAR
(22) dan (23) berikut ini:
Tidak semua bagian tubuh manusia memi-
(22) Wah, nek ngocor aja ning kana. liki atau mampu digunakan untuk mengeks-
’Int., kalau kencing jangan Imp. di sana. presikan ungkapan kasar. Bagian tubuh yang
’Wah, kalau kencing jangan di sana!’ memiliki ungkapan kasar umumnya adalah
(23) Wah, sapa iki sing ngendog bagian tubuh yang sering digunakan untuk
Wah Int, siapa KT ini yang bertelur melakukan hal-hal yang tidak mengenakkan,
Wah, siapa ini yang buang air. seperti mata dan mulut. Kata mata biasanya
digunakan untuk mengekspresikan kekesalan
Akhirnya, di dalam masyarakat Jawa akti- atau kejengkelan, misalnya bila penutur meng-
vitas pergi atau meninggalkan suatu tempat anggap lawan tutur tidak cermat melihat
juga memiliki aturan, seperti meminta ijin sesuatu yang seharusnya dapat dilihatnya,
kepada tuan rumah atau orang-orang yang seperti tampak pada (27) berikut:
terdekat. Bila hal ini dilanggar orang akan
(27) Wah, duwe mata gedhe-gedhe loro
mengungkapkan tindakan yang dilakukannya
dinggo apa?
dengan minggat, bukannya bentuk ngokonya
Int. , punya mata besar-besar dua dipakai
lunga, seperti tampak dalam (24) berikut ini:
apa?
(24) Mbuh, dheweke, minggat ngendhi. Wah, punya mata besar-besar dua tidak
Tidak tahu, dia pergi ke mana dipakai untuk melihat’
’Entah, dia pergi ke mana’
Kata kasar yang mengacu mulut misalnya,
Kata minggat sering kali juga digunakan cocot, cangkem,dan conthong. Dari sini pem-
oleh pembicara untuk mengusir lawan bicara- bicara dapat menderivasikan kata kerja nyocot,
nya, seperti apa yang terlihat dalam (25) berikut nyangkem, dan nyonthong, seperti yang ter-
ini: lihat dalam (17) s.d. (20) dengan kemungkinan
(25) Minggat kana, nek perlu rasah bali! acuan yang bersifat figuratif, yang umumnya
Pergi sana, kalau perlu tidak usah berkaitan dengan celaan atau bicara yang tidak
kembali’ disertai tindakan nyata. Bagian tubuh lain yang
’Pergi, kalau perlu tidak usah pulang’ sering menjadi sasaran kata kasar adalah kaki.
Kata kasar yang berkaitan dengan kaki dapat
Selain aktivitas, dalam pengamatan dite- diungkapkan untuk menyatakan keadaan yang
mukan juga sebuah kata yang mengacu pada dianggap kurang pantas atau memprihatinkan.

253
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 249-256

Misalnya kaki yang tidak bersepatu atau ’Kepalamu sejak tadi menutupi pandang-
bersandal dalam situasi-situasi yang meng- anku’
haruskan sering diungkapkan dengan kata (32) Gundhule sapa kae kok ora ngalih-ngalih
cekeran atau nyeker, seperti kaki ayam, seperti Kepala det. siapa itu part. tidak kunjung
yang terungkap dalam (28) berikut: beranjak
’ Kepala siapa itu kok terus-menerus di
(28) Nek sekolah aku biyen mung cekeran.
sana’
Kalau Konj., sekolah aku dahulu hanya
(33) Wah cumplung-e ambu-ne kok prengus.
memakai kaki saja
Int, tengkorak pos bau pos, mengapa
’Kalau pergi ke sekolah dulu saya tidak
berbau seperti kambing’
memakai sepatu’
’Wah, mengapa kepalamu baunya seperti
Kaki seseorang yang secara kebetulan kambing’
mengganggu aktivitas seseorang yang hendak (34) Wah, gembolo-ne isine apa? Ngana wae
lewat sering disamakan dengan kaki belalang kok ora isa.
atau jengkrik, yakni sutang, seperti terlihat Int., kepala pos. isi pos. apa? Begitu saja
dalam kalimat (29) berikut ini: part tidak bisa.
Wah, apa sih sis kepalamu. Begitu saja
(29) Mbok, sutange ora ngono kuwi. Aku arep kok tidak bisa.
lewat.
Part., kakinya pos. tidak seperti itu. saya Akhirnya bagian tubuh lain yang sering juga
mau lewat dijadikan sasaran pemakaian kata-kata kasar
’Kakinya sebaiknya tidak begitu. Saya adalah perut dan pantat. Adapun kata-kata yang
mau lewat’ lazim digunakan adalah waduk dan brutu.
Adapun contoh pemakiannya adalah kalimat
Di dalam seluruh masyarakat kepala juga (35) dan (36) berikut:
merupakan bagian tubuh yang amat penting,
dan harus dihormati, serta tidak boleh (35) Waduk gedhen-e samono kui, sing kok
dipermainkan. Orang-orang akan merasa pangan aben dina apa?
sangat terhina bila kepalanya dipegang orang Perut besarnya sebegitu itu, yang kamu
lain, lebih-lebih oleh orang yang usianya lebih makan setiap hari apa?
muda. Sehubungan dengan itu, bila perasaan ’Perut sebesar itu, apa yang kamu makan
jengkel menimpa seseorang, ia seringkali tidak setiap hari.
segan-segan menggunakan kata-kata kasar (36) Wah, gedhe tenan brutu -ne.
yang mengacu pada kepala orang yang Int. besar sungguh pantat nya
menjadi sasaran kemarahannya. Kata-kata ’Wah, pantatnya besar sekali’
yang digunakan misalnya, Ndas ’kepala’,
cumplung ‘tengkorak orang mati’, gembolo PEMBANDING PENCITRAAN KATA-KATA
‘kepala layaknya ubi’, gundhul ‘kepala plontos’. KASAR
Adapun pemakaiannya dapat diperhatikan (30) Ada berbagai hal yang lazim digunakan
s.d. (34) berikut: sebagai pembanding pencitraan kata kasar di
dalam bahasa Jawa. Pembanding-pembanding
(30) Ndhasmu ana apa ne kae
dapat diambilkan dari binatang, benda-benda,
Kepala kamu Pos. ada apa det. Itu
dan keadaan fisik manusia.
‘Ada apa di kepalamu’
Binatang dengan berbagai sifat dan hal
(31) Gembolomu kawit mau kok neteki wae.
yang melekat padanya merupakan sumber
Kepala kamu Pos. sejak tadi part.
pencitraan kata kasar yang paling dominan
menutupi saja
dalam bahasa Jawa. Kata-kata kasar yang

254
I Dewa Putu Wijana - Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa

menggunakan pencitraan binatang misalnya saja atau perilaku yang bagaimana yang tidak
nyeker (dari ceker ’kaki ayam’), ngenthung disenangi oleh komunitas Jawa sehingga dari
(dari enthung ’kepompong’), ngoceh (dari kata-kata kasar itu seseorang dapat men-
oceh(an) ’kicau burung’), ngendog (dari endog dalami budaya sebuah masyarakat untuk
’telur’), ngurek (dari urek ’melubangi tanah’), kemudian dapat memahami cara berpikirnya,
sutang ’kaki belalang’, cokor ’kaki binatang’, serta menciptakan hubungan yang lebih
dan brutu ’pantat ayam’. Sementara itu, kata harmonis dengan mereka. Kata-kata kasar
ndas dan mata semula kemungkinan besar dalam bahasa Jawa diungkapkan sehubungan
adalah bagian tubuh yang khusus diperuntuk- dengan berbagai tindakan atau keadaan
kan bagi binatang, dan beberapa tingkah laku berkenaan berbicara, makan, minum, tidur,
seperti nguntal dan bladog adalah pencitraan tidur, pergi, dan mati. Selain itu, bagian-bagian
perilaku binatang, dan tidak pantas dilakukan tubuh manusia tertentu yang secara langsung
oleh orang yang berbudaya. atau tidak langsung berkaitan dengan tindakan-
Benda-benda sering juga digunakan sebagai tindakan yang berhubungan dengannya, seperti
pembanding pencitraan, seperti conthong kepala, mata, mulut, kaki, perut, dan pantat,
’basung’ (untuk membandingkan bentuk mulut sering juga menjadi sasaran kata-kata kasar
manusia), gembolo ’ubi’ (untuk membandingkan sehingga bagian-bagian tubuh ini juga memiliki
bentuk kepala manusia), pancuran (seperti sinonim atau bentuk-bentuk metaforis (figuratif)
diungkapkan oleh kata ngocor ’memancur’), dan berkonotasi kasar. Akhirnya manusia sering
waduk (untuk membandingkan perut manusia juga membandingkan tindakan, keadaan, dan
dengan bendungan). benda-benda yang menjadi sasaran peng-
Keadaan fisik manusia yang digunakan ungkapan kata-kata kasar itu dengan tindakan-
sebagai pencitraan kata-kata kasar adalah buta tindakan yang dilakukan binatang, keadaan
yang diungkapkan dengan kata micek (dari (fisik) yang tidak menyenangkan, benda-benda
dasar picek ’buta’) untuk membandingkan yang dekat dengan lingkungan kehidupannya.
terpejamnya mata sewaktu tidur. Keadaan
kepala plontos diungkapkan dengan kata DAFTAR RUJUKAN
gundhul, dan keadaan kepala orang yang
Anderson, Benedict R. O’G. Mitologi dan Toleransi Orang
sudah lama mati yang diungkapkan dengan Jawa. Yogyakarta: Qalam.
kata cumplung ’tengkorak’ Holmes, Janet. 1992. An Introduction of Sosiolingusitics,
London and New York : Longman.
SIMPULAN Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Ke arah Memahami
Metode Linguistik, Yogyakarta Gadjah Mada
Kata-kata kasar dalam berbagai bahasa,
University Press.
termasuk juga bahasa Jawa jarang mendapat Sudaryanto, Marsono, Widya Kirana, I Dewa Putu Wijana.
perhatian yang mendalam oleh para pakar 1982. Kata Afektif dalam Bahasa Jawa, Laporan
bahasa. Hal ini mudah dipahami karena di Penelitian, Yogyakarta, Balai Penelitian Bahasa.
dalam rangka belajar bahasa atau tata bahasa Soehardi. 2002. “Nilai-nilai Tradisi Lisan dalam Budaya
tertanam cita-cita mulia, yakni ingin meng- Jawa” dalam Jurnal Humaniora Volume XIV, No. 3,
ungkapkan sifat hakiki bahasa sebagai alat Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada.
untuk mengungkapkan budaya yang luhur
Ullmann, Stephen. 1972. Semantics: An Introduction to The
sebagai sarana untuk membangun hubungan Science of Meaning, Oxford: Basil Blackwell.
yang harmonis antar sesama. Kata-kata kasar Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006.
dipandang berada di sisi yang berlawanan Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis, Pustaka
dengan cita-cita mulia ini. Akan tetapi, bila Pelajar.
diamati secara saksama, dari kata-kata kasar Wijana, I Dewa Putu. 1982. “Pragmatik dan Pembelajaran
Bahasa” dalam Humaniora No. 5, Fakultas Sastra
ini sebenarnya dapat diungkapkan hal-hal apa
Universitas Gadjah Mada.

255
Humaniora, Vol. 20, No. 3 Oktober 2008: 249-256

Daftar Singkatan Nyontong ’berbicara dengan mulut seperti


Dem : Demonstrativa basung’
Int : Interjeksi Nyrocos ’berbicara secara terus-menerus’
Kaus : Kausatif 5. Buang Air (besar/kecil)
Kl : Klitika Ngendog ’buang air besar layaknya binatang
KT : Kata tanya bertelur’
ND : nama diri(ND) Ngocor ’buang air kecil layaknya pancuran’
Part : Partikel
Pos : Posesif 6. Keadaan
V trans : verbatransitif Ngurek ’mati, melubangi tanah, layaknya ulat’

II. Bagian Tubuh


Lampiran Kata-kata Kasar Bahasa Jawa 1. Mata
Mata ’mata’
I. Aktivitas:
1. Makan dan minum 2. Kaki
Mbladhog ’makan dengan lahap’ Sutang ’kaki belakang belalang, jengkerik,
Ngglogok ’makan dengan menuang atau dsb.
mencurahkan semuanya’ Cokor ’kaki layaknya cakar binatang’
Nyekek ’makan’ Ceker ’kaki ayam’
Nguntal ’makan dengan menelan bulat-bulat’
3. Mulut
2. Tidur Cangkem
Mbathang ’tidur layaknya orang mati’ Cocot
Ngentung ’tidur berselimut layaknya Conthong
kepompong’ Congor
Micek ’tidur layaknya orang buta’
4. Kepala
3. Pergi Ndas ’kepala’
Minggat ’pergi tanpa pamit’ Cumplung ‘tengkorak orang mati’
Gembolo ‘kepala layaknya ubi
4. Berbicara Gundhul ‘kepala plontos’
Mbacot ’berbicara menggunakan moncong’
Ngoceh ’berbicara seperti burung berkicau’ 5. Perut
Njeplak ’berbicara dengan mulut terbuka’ Waduk ‘perut yang besar, kolam cadangan air’
Nylekop ’menyahut tanpa tahu duduk persoalan’
Nyocot ’berbicara mengeluarkan banyak kata- 6. Pantat
kata’ Brutu ’pantat layaknya pangkal ekor ayam’

256

Anda mungkin juga menyukai