Anda di halaman 1dari 5

Beberapa pertimbangan

Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya, karena itu ada ahli yang menggunakan
dan ada yang tidak menggunakannya. Bila digunakan, keberatannya adalah mengenai harga, tetapi
bila digunakanpun tidak berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif. Kemampuan
perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja.

Tes Sinsitivitas terhadap ATS


Dilakukan untuk mengetahui apakah seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau tidak. Untuk
melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test dan tes mata / eye test).
Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata). Caranya yaitu 0,1 cc serum
diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi 1 cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan
yang telah diencerkan tadi pada lengan bawah sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15
menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan
diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
Tes mata. Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata, tunggulah 15 menit.
Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan. Pada penderita ini terdapat 3 kemungkinan,
yaitu : (1) pemberian hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara
Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.
Desensitisasi cara Bedreskad
Adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap penyuntikan langsung, tetapi tidak
dapat diberi HTIG karena suatu hal. Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan
kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan
bertahap. Bila timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutanm tunggulah selama
30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau NaC1 0,9 % secara
subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda – tanda penderita hipersensitif
(tanda profromalsyok anafilaktik), hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid.
Rawat penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau hari – hari berikutnya
(dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu
diiulangi. Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan untuk
menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedia.
A. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
Yang dimaksud dengan semua orang di sini mulai dari bayi sampai orang tua berumur puluhan tahun,
bahkan bayi sebelum lahirpun sudah harus diberi kekebalan melalui ibu yang sedang hamil.
Pokoknya semua penduduk haruslah sudah mempunyai kekebalan terhadap tetanus. Caranya dengan
menyuntikkan toksoid tetanus (dimurnikan) = vaccin serap tetanus = tetanus toxoidum punficatum
sebanyak 0,5 cc intra muskuler.
Untuk immunisasi dasar 3 kali berturut – turut dengan interval antara suntikan pertama dengan kedua
4 – 6 minggu, antara kedua dengan ketiga 6 bulan. Immunisasi dasar sudah boleh dimulai waktu anak
berumur sekitar 4 bulan yang dapat diberikan bersama vaksin diphteri, pertusis dalam bentuk vaksin
DTP atau DT atau diberikan terpisah – pisah. Kalau seseorang belum pernah mendapatkannya maka
imunisasi dasar dapat dilakukan kapan saja sepanjang hidupnya, dengan dosis dan interval yang sama
seperti di atas. Seseorang yang telah mendapat immunisasi dasar lengkap (3 kali suntikan) maka
dalam jangka waktu 10 tahun setelah suntikan terakhir, kandungan antitoksin tetanus dalam serum
darahnya berada di atas garis perlindungan minimal (=minimum protective level) yaitu garis 0,01
i.u/ml, jadi orang itu dianggap sudah terlindung terhadap tetanus.
Setelah suntikan pertama kali timbul rangsangan terhadap tubuh untuk membentuk antitoksin tetanus.
Dia terdapat dalam serum setelah 7 hari suntikan pertama, kemudian titernya menarik dan pada hari
ke-28. Kalau pada hari ke-28 itu diberikan suntikan kedua, titernya akan menanjak terus dan akan
mencapai 1,0 i.u pada hari ke 60 yaitu jauh di atas garis proteksi minimal walau kemudian ada
penurunan, diperkirakan titer itu akan tetap berada di atas garis proteksi minimal selama 5 tahun. Bila
suntikan ketiga diberikan 6 bulan sesudah suntikan kedua, titernya jauh lebih tinggi, walau kemudian
akan ada penurunan, tetapi tetap berada di atas garis proteksi minimal sampai 10 tahun, bahkan 15 –
20 tahun yang didapatkan pada 85 – 95 % personil perang dunia kedua.

Walau demikian untuk proteksi terhadap penyakit perlu dilakukan suntikan booster setiap 5 tahun
paling lambat 10 tahun atau setiap seseorang luka di mana diperkirakan titer antitoksin tetanus dalam
serumnya sudah mulai menurun walau masih di atas garis proteksi minimal terutama untuk luka yang
disebut “ tetanus prona wound ”. Pemberian booster akan menaikkan titer antitoksin berlipat ganda
jumlahnya. (lihat Gambar 2)

Ada istilah proteksi persial terhadap tetanus, maksudnya ialah :

a. Orang – orang yang telah mendapat suntikan vaksin tetanus sebanyak 3 kali, tetapi suntikan
terakhir sudah lebih dari 10 tahun.
b. Orang – orang yang telah mendapat vaksin tetanus 2 kali dan waktunya telah lebih dari 5 tahun.
c. Orang – orang yang mendapat suntikan hanya 1 kali saja.
Perlu dijelaskan bahwa toksin tetanus (dimumikan) tidak akan menimbulkan reaksi hipersensitif
terhadap orang yang disuntik, karena itu dapat diberikan berulang kali, sangat jarang ada reaksi
allergi, kalaupun ada reaksinya ringan saja.
Kepada semua dokter dan petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan vaksinasi tetanus
terhadap anggota masyarakat yang berada di bawah salah seorang anggotanya menderita tetanus maka
pertama – tama salah dalam hal ini adalah dokter perusahaan tersebut, mengapa dia lalai memberikan
kekebalan aktif terhadap anggota yang menjadi tanggung jawabnya.
B. Melakukan profilaksi tetanus terhadap orang yang luka secara benar dan tepat
Ada 4 faktor yang perlu diperhatikan :
1. Pemberian vaksin tetanus
2. Perawatan luka secara bedah yang benar
3. Pemberian antitoksin tetanus
4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis emergency
1. Pemberian vaksin tetanus
Pemberian ini ditujukan sebagai booster terhadap pasien yang luka yang telah mendapat vaksinasi
tetanus sebelumnya, tujuannya untuk menaikkan titer antitoksin dan akan memberikan perlindungan
yang efektif dalam jangka waktu yang lama.
Pemberian vaksin tetanus pada saat luka terhadap pasien yang sama sekali belum pernah divaksinasi
terhadap tetanus, tidaklah dapat menjamin perlindungan terhadap tetanus, karena untuk mendapatkan
antitoksin dalam serum sampai di garis proteksi minimal dibutuhkan waktu 2 – 3 minggu, sedangkan
masa inkubasi tetanus ada yang lebih cepat. Dalam hal inilah diperlukan pemberian antitoksin
(immunisasi pasif) bersamaan dengan pemberian toksodi tetanus tadi.
2. Perawatan luka secaa bedah yang benar
Pencegahan secara bedah ini bertujuan untuk membuang clostridium tetani yang berkontak dengan
luka, membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk mencegah suasana anaerob, dan sebaik mungkin
melakukan rekonstruksi luka sehingga terjadi suasana aerob. Untuk mencapai maksud tersebut
diperlukan :
1. Luka dirawat secepat mungkin
2. Teknik aseptik dengan memakai sarung tangan steril, mencuci kulit sekitar luka dengan cairan
yang cukup sebelum tindakan bedah.
3. Menutup luka dengan kasa steril waktu mencuci luka tadi.
4. Cahaya haruslah cukup agar secara cermat mengidentifikasi jaringan yang vital seperti saraf dan
pembuluh darah.
5. Instrumen harus lengkap, pembantu cukup agar penarikan jaringan secara halus untuk mencegah
kerusakan jaringan yang lebih besar.
6. Perdarahan dikontrol dengan instrumen yang tepat dan benang yang cukup kecil agar jaringan
nekrotik minimum yang tinggal di dalam luka.
7. Jaringan diperlukan secara halus agar jaringan menambah jaringan nekrotik dalam luka.
8. Diberikan secara komplit dengan memakai pisau untuk meratakan pinggir luka yang compang –
camping, mengangkat jaringan yang sudah diragukan vitalitasnya, mengangkat benda asing sampai
tidak ada yang tertinggal.
3. Pemberian antitoksin tetanus
Antitoksin tetanus pada dasarnya ada 2
a. Heterologous antitoksin
b. Tetanus immun Globulin (human)
Heterologous antitoksin (ATS) diambil dari serum kuda yang telah divaksinasikan sebelumnya. Jadi
mengandung protein kuda (protein asing) dan pemberian kedua dan seterusnya menimbulkan reaksi
sensitivity yang hebat sampai dapat terjadi anafilaktik shock. Oleh sebab itu sebelum pemberian perlu
ditest lebih dahulu.
Tetanus Immun Globulin (human)
Diambil dari serum manusia. Dalam perdagangan bermacam – macam nama seperti Hu-Tet, Hyper-
Tet, Homo-Tet dan sebagainya. Jenis ini jarang sekali menimbulkan reaksi hipersensitivity, kalau ada
sangat ringan antitoksin diberikan harus dengan indikasi yang jelas.
Indikasi pemberian antitoksin tetanus adalah :
1. Luka yang kotor atau tetanus proma wound yang terjadi pada orang yang belum pernah mendapat
immunisasi aktif, atau orang itu dengan proteksi tetanus persial.
2. Pengobatan pasien dengan tetanus.
Dosis pemberian tetanus immuno-globulin (human) untuk profilaksis adalah :
– Orang dewasa : 250 u – 500 u
– Anak di atas 10 tahun : 250 u
– Anak 5 – 10 tahun : 125 u
– Anak di bawh\ag 5 tahun : 75 u
Tetanus immuno-globulin (human) ini bertahan dalam darah selama 1 bulan. Untuk pengobatan
penderita tetanus diberikan dosis 3000 – 6000 unit intra muskuler pada otot gluteus, sebagian
diinfitrasikan sekitar luka.
Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada, dosisnya untuk profilaksis
1500 – 3000 unit bagi orang dewasa, anak – anak sesuai umur. ATS bertahan dalam darah 7 – 14
hari. Untuk pengobatan penderita tetanus dosis ATS adalah 20.000 – 40.000 unit. Antitoksin untuk
profilaksis diberikan secara simultan dengan vaksin tetanus tetapi dengan spuit dan jarum yang
berbeda, juga tempat penyuntikan harus berbeda, gunanya agar jaringan terjadi aglutinasi antara
keduanya.
Grafik titer antitoksin dalam serum sesudah pemberian toksoid saja, antitoksin saja, toksoid dan
antitoksin secara simultan.
4. Pemberian antibiotika dan identifikasi catatan medis
emergency
Pasien dengan luka haruslah ditanyakan dan dicatat :
1. Sudah pernahkah pasien mendapat immunisasi aktif
terhadap tetanus ?
Pemberian :
2. Kalau sudah pernah kapan didapatkan ?
1. Toksoid
3. Adakah reaksi terhadap tetanus toksoid itu ?
saja
4. Perlukah orang itu diberikan antitoksin ?
2. Antitoksin
5. Pemberian antibiotika penicilin atau tetrasiklin selama 5
saja
hari.
3. Toksoid
INDIKASI IMMUNISASI
dan antitoksin
LUKA BERSIH LUKA KOTOR

DATA Tetanus
VAKSINAS Tetanus Antitoksi Tetanus Tetanus
I Toksoid n Toksoid Atoksin
Tidak pernah
mendapat vaksinasi
atau tidak diketahui Ya Tidak Ya Ya

Satu kali mendapat


vaksinasi tetanus Ya Tidak Ya Ya

Dua kali mendapat


vaksinasi tetanus Ya Tidak Ya Ya

Tiga kali mendapat


vaksinasi tetanus Tidak/Ya Tidak Tidak/Ya Tidak/Ya
C. Mengobati penderita tetanus dengan perawatan intensif secara multidisipliner. Setelah D/
ditegakkan ditentukan klasifikasi penyakit apakah ringan, sedang atau berat. Klasifikasi ini sebagai
dasar untuk menentukan pegangan klinik dan penangan pernafasan dan kardiovaskuler sebagai
komplikasi penyakit ini. Tetanus ringan ditangani secara konservatif, tetanus sedang dan berat di
tangani dengan intubasi endotrakheal dan / atau trekhostomi selama pemberian positif pressure
ventilasi. Segera setelah diagnosa ditegakkan pasien dibawa ke ruangan intensif di mana personelnya
telah trampil menangani problem pernafasan dan resusitasi jantung. Diberikan obat – obat untuk
mencegah kejang, diberikan antitoksin tetanus, sebaiknya tetano immun globutin (human), bila
terpaksa baru diberikan ATS.
Debridement luka dilakukan 1 – 2 jam setelah pemberian antitoksin, guna mencegah bertambah
banyak neurotoksin tetanospasmin yang lepas dan terikat pada susunan saraf pusat. Perlu diingat
bahwa neurotoksin tetanospasmin yang telah terikat pada susunan saraf pusat tidak dapat dinetralisir
lagi.
Pemberian antibiotika, menjaga pernafasan, penanganan kardiovaskuler, perawatan, lancarnya pasage
usus, penanganan metabolisme dan makan. Beberapa buku masih menyatakan perawatan penderita
dalam kamar gelap. Sebetulnya halnitu lebih banyak ruginya daripada untung, bagaimana perawatan
yang benar dapat dilaksanakan dalam kamar yang gelap di man harus memasang alat dan pengawasan
yang ketat.
Apakah penderita perlu dirawat dalam kamar isolasi ? Sebetulnya tidak perlu karena spora ada di
mana – mana sekitar kita, bukan luka penderita tetanus itu. Jelas penangan penderita harus
multidisipliner.
 Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang diberikan untuk orang
dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedng untuk anak-anak adalah
sebesar 50.000 IU/KgB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas. Sebelumnya dilakukan
skin test dan di observasi dengan baik. Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan
tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4×500 mg/hari, sedangkan
untuk anak-anak adalah 40 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Begitupun Metronidazol 3 x 1
gram IV.
5. Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan pemberian anti kejang
yang memadai maka kejang dapat dicegah. Pemberian midazolam 2-3 mg / jam. Dan Diazepam 0,2-
0,5 mg/kg BB diberikan bila terjadi kejang secara IV.
 Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan asupan sebesar 2000
kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak; bersihkan
jalan nafas secara teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan seksama tanda-tanda
vital.
 Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti kejang, sekaligus
mencegah laringospasme, jalan nafas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi atau lakukan
trakeotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan membersihkan jalan
nafas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika. Mencegah
fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
· Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,J akarta : Hipokrates,1995
· Ismael Chairul ; Pencegahan dan Pengelolaan Tetanus dalam bidang bedah : UNPAD, 2000
· Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.
· Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. 322.
· http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview
· BUKU Ajar Ilmu Bedah . De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai