Anda di halaman 1dari 46

Ketangguhan dan Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia: Modalitas Utama

Pembangunan Berkelanjutan di Era Globalisasi

oleh: Andi Rosilala (0706291193) Tangguh (0706291426) Departemen Ilmu Hubungan


Internasional, FISIP UI Disusun untuk ikut serta dalam Olimpiade Ilmiah Mahasiswa
Kategori Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa 2008
KATA PENGANTAR Si vis pacem para bellum “jika Anda menginginkan perdamaian,
bersiaplah berperang” Peringatan hari kemerdekaan ke – 63 tahun Republik Indonesia
beberapa waktu yang lalu, sudah selayaknya membuat kita berinstropeksi diri sebagai
sebuah bangsa. Sudah sejauh mana bangsa ini berjalan. Salah satu hal yang sangat
terkait dengan proses perebutan kemerdekaan adalah perjuangan yang heroik dari
tentara dan rakyat melawan dan mengusir penjajah. Masa-masa revolusi fisik itu
pantas kita kenang dan kita refleksikan untuk kembali mempertanyakan bagaimanan
nasib militer kita hingga hari ini khususnya, dan kondisi sistem pertahanan dan
keamanan kita pada umumnya. Momentum ini mengajak hati dan pikiran kami untuk
menuliskan sedikit persolaan pertahanan dan keamanan Indonesia yang dapat dibahas
dalam karya tulisa ilmiah ini. Satu i’tikad dari kami, bahwa kami menginginkan
terwujudnya Indonesia yang kuat, berwibawa, bermartabat, dan disegani negara-negara
lain. Salah satunya dengan cara memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang
tangguh dan profesional. Kami menyadari karya tulis ini belum sempurna dan
komprehensif dalam membahas persoalan, tetapi kami bangga karena niat dan usaha
kami terwujud dengan selesainya penulisan karya tulis ini setelah bekerja keras
mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber. Kami bangga karena bisa
menyumbangkan sumbangan akademis, sekalipun masih sederhana. Setidaknya kami telah
berusaha untuk berkontribusi dalam perluasan wacana pembenahan sistem pertahanan
dan keamanan kita. Kepada semua pihak yang membaca dan menilai karya ilmiah ini,
kami mengharapkan diskusi, saran, dan kritik untuk semakin membuka cakrawala
berpikir kami, di samping untuk semakin mendinamisasi wacana dalam karya tulis ini.
Depok, 20 Agustus 2008
DAFTAR ISI BAGIAN AWAL Kata
Pengantar .........................................................................
........................ i Daftar Isi …...….…………………………....………………………………… ii Daftar
Tabel..............................................................................
.......................... iv Ringkasan ……………...........………………………………………………...
BAGIAN INTI I. I.1. I.2. I.3. II. II.1. II.2. II.3. II.4. III. IV.
PENDAHULUAN .......................................................................
.......... Latar Belakang ……....……………………………………..............….. Perumusan
Masalah ......……………………………......................…… Tujuan dan Manfaat Tulisan
….........…………………………..………. TELAAH
PUSTAKA ...........................................................................
Realisme .……........………………………………........………………. Pendekatan-Pendekatan terhadap
Konsep Pertahanan-Keamanan Konsep Pertahanan-Keamanan yang Tangguh Konsep
Pertahanan-Keamanan yang Profesional METODE PENULISAN ... ..…………....……… …….………....…
1 1 3 3 5 5 6 7 8 v

…………………………………....……… 11

PEMBAHASAN ........................................................................
............. 12

IV.1. Definisi dan Fungsi Pertahanan-Keamanan Bagi Negara-Bangsa........... 12


IV.2. Signifikansi dan Relevansi Kekuatan Pertahanan-Keamanan di Era
Globalisasi........................................................................
........................ 13 IV.3. Relevansi dan Signifikansi Ketangguhan dan
Profesionalisme PertahananKeamanan dalam Proses Pembangunan
Berkelanjutan ........................... 15 A. Pemberontakan, Separatisme, dan
Terorisme ………………….....…… 16 B. Bencana Alam …………………………………....………………….… 17 IV.4.
Realitas Ketangguhan Pertahanan-Keamanan Indonesia......................... 18 A.
Kondisi Alutsista ………………………………....…………………..... 18 B. Anggaran Pertahanan-Keamanan
dalam APBN C. SDM dan Strategi Pertahanan-Keamanan …....………..……. 20 …………....……...
……. 22
IV.5. Realitas Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia ....................
23 A. Keterlibatan dalam Politik ……………………………………….....…. 25 B. Aktivitas Bisnis
Militer …………………………………………......…. 26 IV.6. Solusi untuk Realitas Ketangguhan serta
Profesionalisme PertahananKeamanan
Indonesia..........................................................................
...... 27 A. Solusi Taktis ……………………………………………………......….. 27 B. Solusi Strategis ..
……………………………………………..........…… 31 BAGIAN AKHIR V. PENUTUP ……………………………………………....…....
……... 33 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN CURRICULUM VITAE PENULIS
DAFTAR TABEL Tabel 1 : Perbedaan Pendekatan Tradisional dan
Nontradisional ............ Tabel 2 : Perbedaan Konsep Profesionalisme Militer
……....………...….. 7 8

Tabel 3 : Kondisi Alutsista Tiga Matra ….......…………………….....…… 20 Tabel 4 :


Perbandingan Anggaran Militer Negara ASEAN …………....… 22 Tabel 5 : Fungsi Militer
dari Masa ke Masa ……...………………………. 25 Tabel 6 : Tingkat Kesejahteraan Prajurit
………………………....……… 28 Tabel 7 : Anggaran Militer dari Tahun ke Tahun ….....…………………..
30 Lampiran-Lampiran Lampiran 1 …………………….… Peta keterlibatan militer dalam politik
masa orde baru Lampiran 2 ……………....……… Posisi Indonesia dalam hal anggaran
pertahanan di antara negera-negara di dunia Lampiran 3 ...…………………….. Gaji TNI –
Polri data terakhir 2007 setelah mengalami penyesuaian
BAB I PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang

Saat ini kita hidup di era kemajuan. Di antara berbagai kemajuan yang paling terasa
manfaatnya adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab,
dengannya kemudahan demi kemudahan dirasakan oleh umat manusia. Namun, kemajuan
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala macam dan bentuknya belum dapat
meninggalkan sengketa dengan kekerasan senjata antarwarga bangsa. Bahkan, salah
satu pemicu terjadinya peperangan adalah adanya kemajuan teknologi persenjataan
yang makin mutakhir. Perang yang merupakan penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan

pertentangan antarnegara tetap terjadi, meskipun selalu ada niat dan usaha untuk
meniadakannya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban setiap bangsa untuk memberikan
perhatian besar kepada masalah pertahanan-keamanan jika hendak mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatannya. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa yang
paling sedikit mengalami gangguan kedaulatan adalah bangsa yang mampu melakukan
pertahanan-keamanan secara efektif dalam melindungi kepentingan dan kedaulatan
negaranya. Bangsa Indonesia berkewajiban membangun pertahanan-keamanan dengan
sebaik-baiknya. Memang, bangsa Indonesia mencintai dan mengutamakan perdamaian.
Setelah kemerdekaan, bangsa ini berharap dapat hidup dengan damai dan tenteram
tanpa adanya ancaman dan intervensi, lebih-lebih agresi dan okupasi, yang bersifat
militer terhadap kedaulatan bangsa ini. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, bangsa
Indonesia telah mengalami banyak kerawanan di sektor pertahanan-keamanan, seperti
pemberontakan dalam negeri (insurgency), separatisme (separatism), dan terorisme
(terrorism). Contoh masing-masing secara berturut-turut adalah Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta); Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM);
serta
Bom Bali I dan II, Bom J.W. Marriott, Bom Kuningan, dan Bom Istiqlal. Di saat
bangsa Indonesia menghadapi banyak ancaman keamanan seperti di atas, secara
bersamaan, unsur aparatur negara yang secara langsung berfungsi menanganinya justru
belum optimal karena dampak masalah di masa silam yang kelam, ketika Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – sekarang disebut Tentara Nasional Indonesia
(TNI) – banyak campur tangan terhadap urusan politik dan bisnis serta menerapkan
sistem pemerintahan represif. Padahal, hal itu bertentangan dengan konsep
profesionalisme pertahanan-keamanan. Dan, kondisi kelam ini berpotensi muncul
kembali di era reformasi ketika tidak ditangani secara serius. Apabila hal ini
benar terjadi, akan menyulitkan unsur aparatur negara ini untuk dapat mengatasi
kerawanan-kerawanan di atas. Proses penanganan masalah internal tersebut, dalam
perkembangannya,

mengalami pasang surut. Misalnya, ketidaktegasan dan ketidaksinkronan undangundang


yang mengatur keterlibatan TNI dalam politik dan bisnis. Salah satu dampaknya
adalah lambannya penyelesaian praktik-praktik bisnis militer yang bermasalah. Di
samping itu, masih banyak pula purnawirawan yang menduduki jabatan politik
strategis dengan cara memensiunkan diri dan menjadi warga sipil. Selain itu, di era
pascareformasi, ketika telah berlangsung upaya-upaya menghilangkan represivitas
militer, justru tercoreng dengan terjadinya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) di Timor-Timur (1999), konflik Maluku (1999), dan pemberlakuan darurat
militer Aceh (2003-2004). Proses penanganan masalah di atas membutuhkan keseriusan
dan menjadi agenda prioritas. Namun, prioritas penanganan masalah pertahanan-
keamanan di negara berkembang, termasuk Indonesia, seringkali terkalahkan oleh
masalah-masalah lain, seperti ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga, seluruh
perhatian dan potensi, termasuk alokasi anggaran, lebih terfokus pada masalah-
masalah tersebut, sementara isu pertahanan-keamanan dinilai sebagai isu sekunder
karena kita tidak hidup di zaman peperangan, melainkan era globalisasi, di mana
pertumbuhan ekonomi dan kemantapan politik dan demokrasi menjadi indikator kuat dan
tidaknya sebuah negara. Sebagai negara berkembang yang sedang giat melakukan
pembangunan, Indonesia seharusnya tidak mengabaikan pembangunan sektor
pertahanan-keamanan ini.

I.2.

Perumusan Masalah

Memiliki sistem pertahanan-keamanan yang tangguh dan profesional menjadi sebuah


keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Keberadaannya tidak bisa disepelekan apalagi
diabaikan karena terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi dan kemapanan politik dan
demokrasi. Era globalisasi, yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan
komunikasi sebagai dampak kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak
serta merta membuat kita terbebas sama sekali dari persengketaan dari tingkat
paling kecil hingga peperangan yang paling ganas. Realitas kondisi sistem
pertahanan-keamanan Indonesia saat ini memang masih jauh dari ideal. Minimnya
anggaran, alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang sudah tua dan banyak yang
tidak berfungsi lagi, serta rendahnya kehandalan personilnya adalah beberapa
indikator lemahnya sistem pertahanan Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini ingin
menjawab beberapa persoalan penting terkait sistem pertahanan-keamanan yang tengah
dihadapi bangsa Indonesia. Persoalanpersoalan yang ingin dijawab tersebut adalah
sebagai berikut. 1. Bagaimana relevansi ketangguhan dan profesionalisme
pertahanankeamanan dalam proses pembangunan berkelanjutan? 2. Bagaimana relevansi
ketangguhan dan profesionalisme pertahanankeamanan dalam proses pembangunan
berkelanjutan di era globalisasi? 3. Bagaimana realitas ketangguhan pertahanan-
keamanan Indonesia? 4. Bagaimana realitas profesionalisme pertahanan-keamanan
Indonesia? 5. Apa saja solusi untuk membenahi kondisi ketangguhan serta

profesionalisme pertahanan-keamanan Indonesia?


I.3.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai: 1. Relevansi
ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan dalam proses pembangunan
berkelanjutan. 2. Relevansi ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan
dalam proses pembangunan berkelanjutan di era globalisasi. 3. Realitas ketangguhan
pertahanan-keamanan Indonesia. 4. Realitas profesionalisme pertahanan-keamanan
Indonesia. 5. Solusi untuk membenahi kondisi ketangguhan serta profesionalisme
pertahanan-keamanan Indonesia. Manfaat yang diharapkan dari pembuatan karya tulis
ini adalah untuk: 1. Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pertahanan-
keamanan. 2. Memberikan gambaran bagi praktisi dan akademisi tentang konsep
ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan. 3. Memberikan masukan bagi
para pembuat kebijakan Republik Indonesia agar lebih memfasilitasi aparat
pertahanan-keamanan dengan alutsista, anggaran, dan SDM yang lebih ideal demi
menunjang ketangguhannya. 4. Memberikan masukan bagi pemerintah agar meniadakan
unsur

pertahanan-keamanan dalam jabatan politik strategis dan memberangus aktivitas


bisnis militer aparat pertahanan-keamanan demi menciptakan atmosfer profesionalisme
mereka. 5. Memberikan opsi solusi taktis dan solusi strategis menyangkut
ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan.
BAB II TELAAH PUSTAKA

II.1. Realisme Joseph S. Nye, Jr. mengungkapkan bahwa Realisme adalah tradisi
dominan dalam memandang politik internasional. Dalam pandangan Realisme, masalah
sentral politik internasional adalah perang dan penggunaan angkatan bersenjata.
Mazhab ini lahir dari Thomas Hobbes, yang hidup di Inggris abad ke-17 ketika tengah
berlangsung perang sipil, sehingga bersenjata, penekanan dan utamanya adalah negara
pada yang ketidakamanan, angkatan keberlangsungan

dirangkum dalam istilah “state of war” (keadaan perang). Pemikir Realisme modern
antara lain adalah mantan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dan Henry
Kissinger. Kaum Realis menekankan kontinuitas; kekerasan dan perang adalah bahaya
kekinian yang akan selalu berulang. Prospek perang dalam sistem anarki1 tersebut
membuat negara menjaga keberadaan tentaranya bahkan dalam waktu-waktu damai. Daniel
S. Papp menambahkan bahwa pandangan Realpolitik ini bahkan menganggap menyediakan
pertahanankeamanan adalah tanggung jawab negara. Kepentingan nasional suatu negara
paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk
khususnya kekuatan militer. Realisme atau Realpolitik mengutamakan kebijakan luar
negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan
penekanan pada nasionalisme. Mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter
dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam
tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu internasional paling
penting. Secara sederhana, Realisme dapat dibedakan dari mazhab lainnya dalam Ilmu
1 Sistem anarki adalah bentuk politik dunia yang terdiri dari negara-negara yang
bersatu padu namun tidak memunyai pemerintahan yang lebih tinggi di atas mereka.
Politik internasional sekarang ini adalah sistem negara teritorial seperti sistem
anarki ini, dengan absennya kedaulatan umum dan pemimpin di atas entitas berupa
sejumlah negara-bangsa. Lihat Joseph S. Nye, Jr., Understanding International
Conflict: An Introduction to Theory and History, (United States: Longman, 1997),
hlm. 2.
Hubungan Internasional dalam empat dimensi, yaitu aktor primernya yang berupa
negara-bangsa, isu primernya yang berupa keamanan nasional, metode analisisnya yang
menekankan kapabilitas negara, dan perspektifnya yang berada dalam ruang lingkup
nasional.

II.2. Pendekatan-Pendekatan terhadap Konsep Pertahanan-Keamanan Tim ProPatria


Institute membedakan pendekatan-pendekatan dalam memandang konsep keamanan menjadi
dua macam, yaitu pendekatan tradisional dan nontradisional yang perbedaan-
perbedaannya melibatkan beberapa dimensi utama konsep keamanan itu sendiri.
Pendekatan yang pertama, yaitu pendekatan tradisional, berakar dari mazhab Realisme
dalam Ilmu Hubungan Internasional dan menyatakan bahwa konsep keamanan merupakan
sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan suatu negara untuk
melindungi negara-bangsanya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan
eksternal (the absence of a military threat or with the protection of the nation
from external overthrow or attack), sehingga sektor analisis yang harus disoroti
adalah kapabilitas militer suatu negara untuk mempertahankan diri. Sementara itu,
pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan nontradisional, berakar dari perubahan
substansial Ilmu Hubungan Internasional pasca-Perang Dingin yang memperluas ruang
lingkupnya yang awalnya hanya menekankan politik dan keamanan menjadi mementingkan
pula isu-isu ekonomi dan aspek-aspek lainnya dengan sangat luas. Menurut pendekatan
nontradisional ini, sektor militer hanyalah salah satu aspek penting dari konsep
keamanan, yang dipengaruhi pula oleh sektor politik, ekonomi, sosiokultural, dan
lingkungan. Secara sederhana, perbedaan antara pendekatan tradisional dan
nontradisional dalam memandang konsep keamanan dapat digambarkan dalam tabel
sebagai berikut.2

Perbedaan Pendekatan Tradisional dan Nontradisional


2 Tim ProPatria Institute, Mencari Format Komprehensif Sistem PertahananKeamanan
Negara, (Jakarta: ProPatria Institute, 2006), hlm. 37.
Dimensi Keamanan Asal ancaman (origin of threats) Sifat ancaman (nature of threats)
Pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan keamanan (the responsibility for
providing security) Nilai inti (core values)

Pendekatan Tradisional Negara rival Kapabilitas militer

Pendekatan Nontradisional Nonnegara: domestik dan transnasional Nonmiliter:


ekonomi, politik domestik, lingkungan hidup, terorisme, penyakit menular, narkoba
Negara, organisasi internasional, individu

Negara

Kemerdekaan nasional, integritas teritorial, kedaulatan

Kesejahteraan ekonomi, hak asasi manusia, perlindungan terhadap lingkungan hidup

II.3. Konsep Pertahanan-Keamanan yang Tangguh Pertahanan-keamanan yang tangguh


haruslah memiliki strategi dalam menghadapi ancaman dan tipologi konflik yang
kompleks yang disusun dengan mempertimbangkan (a) konteks dan eskalasi ancaman; (b)
manifestasi konflik; (c) efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
pertahanan-keamanan negara; serta (d) penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan,
demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Proses penyusunan kebijakan dan strategi
pertahanan-keamanan negara harus dirumuskan melalui mekanisme inklusif
partisipatoris, dilaksanakan secara konsisten, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu contoh perumusan tersebut relevan dengan konsep Postur TNI yang ideal
menurut Connie Rahakundini Bakrie. Menurutnya, “terkait dengan persoalan gelar
kekuatan TNI, secara ideal, dengan mempelajari luasnya wilayah daratan, lautan dan
udara, serta daerah perbatasan dengan negara tetangga yang dihadapkan pada potensi
ancaman, dapat dibagi kedalam empat wilayah pertahanan, dan menurut saya secara
umum, kekuatan TNI AD yang ideal harus menggelar sebanyak 816 batalion tempur dan
teritorial, 4 divisi terpusat (Kostrad dan Kopassus) serta 16 skuadron heli-serbu
dan heli-angkut. Sedangkan kekuatan TNI AL yang ideal menggelar sebanyak 14
skuadron tempur (KRI), 42 skuadron terbang (KAL) yang berada dalam 4 kapal induk, 4
strategic section dengan kekuatan 14 kapal selam di mana 4 unit di antaranya
strategic submarine serta 14 brigade marinir. Terakhir, kekuatan TNI AU yang ideal
menggelar 140 skuadron
tempur, 7 skuadron bomber, 27 satuan pertahanan udara, 40 satuan radar, dan 1
satuan strategic missile.”3

II.4. Konsep Pertahanan-Keamanan yang Profesional Yahya A. Muhaimin membedakan


profesionalisme militer menjadi dua, yaitu profesionalisme konvensional
(conventional professionalism) dan profesionalisme baru (new professionalism).
Kedua pengertian profesionalisme militer ini memiliki perbedaan yang cukup
substantif, yang digambarkan dalam tabel sebagai berikut.4 Perbedaan Konsep
Profesionalisme Militer
Dimensi Perbedaan Awal perkembangan Asal ancaman Profesionalisme Konvensional di
negara-negara Barat dari luar (external threat) dan juga dari dalam negeri
Profesionalisme Baru pada 1960-an di negara-negara nonkomunis, terutama negara
berkembang (negara berada dalam keadaan perang semesta/total war, sehingga ancaman
yang dihadapi) bukan hanya datang dari luar batas teritorial negarabangsa, namun
juga ada di dalam negara berupa gerakan komunis, kemiskinan dan kebodohan, serta
kesenjangan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik mendayagunakan seluruh
potensi nasional dan kemampuan seluruh bangsa dengan mewujudkan paduan dan
interaksi yang dinamis antara keamanan nasional dengan pembangunan nasional, atau
tidak terpisahnya aspek hankam dari aspek nonhankam di dalam pengelolaan negara
(berpandangan bahwa kelompok sipil di negara berkembang tidak memiliki

Tuntutan profesi

memiliki daya tempur yang handal, baik pada segi software, hardware, maupun
brainware, sehingga dapat menopang kelestarian dan kehidupan serta eksistensi
bangsa, negara, dan masyarakat

Konsep militer yang profesional

tidak boleh disibukkan oleh urusan nonhankam, yaitu

3 4

Connie Rahakundini, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2007. Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html, diakses pada 17
Agustus 2008 14:07.
bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya karena dianggap akan
mengurangi konsentrasi perhatian militer pada urusan hankam, sehingga harus
dibebankan kepada kelompokkelompok bukan militer (sipil)

keterampilan dan organisasi yang memadai untuk memenangkan peperangan dalam bentuk
baru tersebut sehingga kalangan militer) ikut mengatasi segala ancaman nasional
yang spektrumnya amat luas itu (pertahanan keamanan sekaligus bidangbidang
nonhankam seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya) bersama-sama dengan
kalangan sipil

Pada perkembangannya, muncul istilah baru untuk merujuk kedua tipe profesionalisme
militer ini, yaitu militer profesional untuk profesionalisme konvensional dan
militer pretorian5 untuk profesionalisme baru. Karena di dunia terdapat tipe
militer profesional yang pada saat-saat damai hanya menjalankan fungsi pertahanan
keamanan (stabilisator) tetapi pada saat-saat revolusi (temporer) berubah menjadi
tentara pretorian yang juga menjalankan fungsi sosial politik (dinamisator), pada
akhirnya muncul istilah militer revolusioner untuk menyebut militer tipe ini.
Karakteristik dan penyebab keterlibatan militer dalam politik ini dirumuskan Eric A
Nodlinger dalam bukunya Militer dalam Politik dan Amos Perlmutter dalam Militer dan
Politik. Oleh beberapa kalangan, rezim militer yang melibatkan diri dalam politik
ini disebut “bureaucratic authoritarian regime”, yang terdiri atas para birokrat,
teknokrat, modal, dan rezim militer. Adanya dua tipe profesionalisme militer yang
saling berbeda secara substansial ini menimbulkan perdebatan tentang tipe militer
manakah yang terbaik. Pada akhirnya, profesionalisme militer konvensional
(selanjutnya disebut militer profesional) yang apolitik memenangkan perdebatan ini.
Poin-poin penting yang menyebabkan militer harus profesional, tidak memiliki
wewenang politik/pretorian adalah sebagai berikut. 1. Militer adalah angkatan
bersenjata yang dimaksudkan untuk menyebabkan demoralisasi musuh, sehingga
kehadirannya di ruang publik akan

Pretoria adalah ibukota administratif Republik Afrika Selatan. Kata “prajurit


pretorian” digunakan oleh Eric A Nodlinger dan Amos Perlmutter untuk menyebut
militer yang melibatkan diri dalam politik dengan karakteristik dan penyebabnya,
seperti tipe tipe profesionalisme militer baru.
menghadirkan ketakutan, selain kemungkinan represif yang lebih besar. 2. Sifat
tentara adalah sentripetal, solid, dan monolitik. Kondisi tubuh militer menuntut
serba disiplin, main komando, dan hierarki yang sangat kuat. Dalam tradisi militer
secara universal tak ditemukan musyawarah mencapai mufakat atau kearifan dalam
pengambilan keputusan. Hal itu bertentangan dengan dunia pemerintahan yang
mengedepankan permusyawaratan perwakilan. 3. Militer memiliki organisasi yang rigid
dan jelas. Mereka tidak diajarkan pendidikan untuk berpolitik praktis, tetapi
dididik dengan berbagai strategi peperangan guna menjadi alat pertahanan-keamanan
negara yang kuat.6

Poin ke-2 dan ke-3 disadur secara bebas dari buku Muhadjir Effendy, Profesionalisme
Militer, Profesionalisasi TNI (Malang, UMM Press: 2008).
BAB III METODE PENULISAN

Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif, bersifat
deskriptif, dan disertai analisis. Deskriptif karena penelitian yang ada dalam
karya tulis ilmiah ini berusaha menjelaskan bahwa relevansi dan signifikansi
persoalan pertahanan-keamanan tetap berlaku sekalipun kita hidup di era
globalisasi. Ia juga berusaha menggambarkan bagaimana hubungan yang saling terkait
antara sektor pertahanan-keamanan dengan proses pembangunan di Indonesia. Penulisan
karya tulis ilmiah ini juga bersifat analitis karena berusaha melihat lebih dalam
konsepsi sebuah sistem pertahanan-keamanan yang ideal. Berpijak dari itu, analisis
dilanjutkan kepada realitas kondisi ketangguhan dan profesionalisme sistem
pertahanan-keamanan yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan memetakan persoalan
dan melihat seberapa ideal pertahanan-keamanan Indonesia, sehingga dapat diperoleh
rekomendasi solusinya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam karya tulis
ilmiah ini adalah studi literatur. Data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah buku-buku
yang menjelaskan definisi, kriteria, ciri-ciri, dan indikator-indikator yang ada
pada sistem pertahanan-keamanan yang ideal, tangguh, dan profesional. Data sekunder
yang digunakan berupa buku-buku, jurnal, media massa, serta berbagai literatur dari
internet yang berhubungan realitas kondisi pertahanan-keamanan Indonesia. Data-data
yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjelaskan realitas kondisi pertahanan-
keamanan Indonesia, meliputi anggaran, alutsista, jumlah personil, strategi
pertahanan, pasang surut keterlibatan militer di bidang politik dan ekonomi.
Terakhir, setelah melihat permasalah secara komprehensif, kami coba
merekomendasikan solusi atas lambannya reformasi sektor pertahanankeamanan di
Indonesia.
BAB IV PEMBAHASAN

IV.1. Definisi dan Fungsi Pertahanan-Keamanan Bagi Negara-Bangsa Secara etimologis,


konsep keamanan (security) berasal dari bahasa latin “securus” (se + cura), artinya
terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan (free from danger, free from fear).
Bisa juga bermakna dari gabungan kata se (artinya tanpa atau withouth) dan curus
(artinya uneasiness). Sehingga, apabila digabungkan akan bermakna “liberation from
uneasiness, or a peaceful situation without any risksor threats”.7 Sementara, dalam
berbagai literatur ilmu Hubungan Internasional, para sarjana Hubungan Internasional
berargumen bahwa konsep keamanan merupakan sebuah “contested concept”. Pendekatan
tradisonal yang didomonasi oleh mazhab Realisme menyatakan bahwa konsep keamanan
adalah sebuah kondisi yang terbebas dari ancaman militer atau kemampuan negara
untuk melindungi negarabangsanya dari serangan militer yang berasal dari lingkungan
eksternal (the absence of a military threat or with the protection of the nation
from external overthrow or attack).8 Sementara itu, Arnold Wolfers mendefinisikan
konsep keamanan sebagai berikut, “Security, in any objective sense, measures the
absence of threats to acquired value and in a subjective sense, the absence of fear
that such values will be attacked”.9 Sejalan dengan pemahaman di atas, kapabilitas
militer suatu negara adalah sebuah keharusan guna mempertahankan diri. Hal ini
sebagaimana diungkapkan Walter Lippmann, misalnya, “a nation is secure to the
extent to which it is not in danger of having to sacrifice core values if it wishes
to avoid war, and is able, if challenged, to maintain them by victory in such a
war”10 .
7 Lihat Liota P. H (2002), “Boomerang Effect: The Convergence of National and Human
Security” dalam Security Dialogue Vol.33. No.4. hlm. 473 – 488. 8 Helga Haftendorn
(1991), “The Security Puzzle: Theory Building and Discipline in International
Security” dalam International Studies Quarterly Vol.35. No.1. hlm. 3 – 17 9 Dikutip
dari Baylis, John, Smith, Steve (2001), The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press. hlm. 225
10 Ibid.
IV.2. Signifikansi dan Relevansi Kekuatan Pertahanan-Keamanan di Era Globalisasi
Kita hidup di era di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
tengah berkembang pesat. Kemajuan IPTEK diklaim telah menciptakan dan membawa umat
manusia pada kehidupan yang lebih sejahtera lahir dan batin. Akan tetapi, ternyata
masalah yang dihadapi manusia tidak semakin berkurang. Kehebatan kemajuan sains dan
teknologi terbukti tidak dapat mencegah kriminalitas yang amat mengganggu kehidupan
umat manusia. Apalagi, mengatasi masalah keamanan yang lebih rumit dan canggih,
seperti konflik antargolongan, etnik, suku, dan agama dalam tubuh sebuah bangsa.
Bahkan, berkembangnya IPTEK justru mendorong timbulnya masalah etnik dan kesukuan.
Dalam tataran yang luas, pertentangan kepentingan politik antarnegara tetap terjadi
dan berkembang menjadi konflik bersenjata atau perang. Kemajuan cara berpikir dan
hukum internasional tidak mampu mengatasi sama sekali nafsu agresi dan menjaga agar
pertentangan antarnegara dapat diatasi dengan cara damai dan diplomasi saja. Ketika
Perang Dunia (PD) I berakhir pada 1918, orang menyangka ini adalah perang terakhir
(the last war) karena tidak sanggup melihat betapa banyak kematian dan kehancuran
akibat peperangan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dibentuk untuk merealisasikan tujuan
tersebut. Namun, di kemudian hari terbukti LBB tidak mampu mencegah terjadinya
perang, ditandai dengan serangan Italia terhadap Ethiopia. Pada 1939, peran LBB
berakhir sama sekali ketika Jerman menyerang Polandia. Kejadian tersebut menjadi
awal meletusnya PD II. Jika PD I berlangsung di Eropa saja, PD II benar-benar
meliputi seluruh dunia, terutama ketika Jepang menyerang Pearl Harbor di Amerika
Serikat (AS) pada 1941. Puncaknya, pada 1945, dengan dijatuhkannya bom atom oleh
Amerika Serikat di Jepang, kematian dan kehancuran menjadi jauh lebih besar dan
mengerikan dari pada sebelumnya. PD II berakhir, muncul Perang Dingin. Perang ini
memiliki efek domino terhadap negara-negara lain di dunia. Munculnya perang Korea,
Vietnam, dan Kamboja
tidak terlepas dari Perang Dingin. Berbagai perang dengan beragam bentuk dan
jenisnya terus berlansung hingga saat ini. Project Ploughshares, sebuah organisasi
di Kanada, mengadakan penelitian dan menemukan bahwa pada tahun 1995 terjadi 44
perang dan konflik bersenjata. Tahun 2003 berkurang menjadi 30. Jika diperkirakan,
rata-rata ada 35 perang dan konflik bersenjata setiap tahun antara 1995 dan 2003.
Dalam 9 tahun, terjadi tidak kurang dari 300 perang dan konflik bersenjata di
dunia. Maka, pada hakikatnya, di planet bumi ini, adalah tempat penuh masalah
keamanan dan membahayakan kehidupan manusia dan kelangsungan negara dan bangsa.
Sekalipun, tingkat kemajuan dan kecanggihan IPTEK berkembang pesat. Albert
Einstein, pakar ilmu fisika, pernah menyurati Sigmund Freud, pakar ilmu psikologi,
dan mengatakan bahwa semua usaha untuk meniadakan perang telah gagal karena manusia
menyimpan kesenangan membenci dan menghancurkan di dalam dirinya. Freud setuju dan
mengatakan bahwa manusia itu seperti binatang yang memecahkan persoalan dengan
menggunakan kekerasan. Freud mengatakan bahwa manusia hanya diliputi dua insting,
yaitu insting untuk tetap hidup dan mempersatukan, serta insting menghancurkan dan
membunuh. Oleh karena itu, katanya lagi, tidak ada gunanya mengakhiri semua
kecenderungan agresif manusia. Bagaimanapun kemajuan umat manusia dalam menguasai
sains dan teknologi serta peradaban materiilnya, selama belum mampu mengendalikan
insting menghancurkan dan membunuh, segala cita-cita luhur tentang peradamaian
dunia akan tinggal keinginan belaka. Nafsu meterialisme semakin besar dan salah
satunya dipicu oleh perkembangan IPTEK. Gambaran di atas adalah realitas yang
dihadapi setiap negara-bangsa, tak terkecuali Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia
perlu dan harus mengembangkan satu sistem keamanan nasional, yakni sistem yang
mewujudkan situasi dan kondisi kemampuan bangsa dalam melindungi semua sistem
kehidupan nasionalnya, yang didasarkan pada sistem nilai internalnya sendiri,
terhadap setiap ancaman dan tantangan, dari dalam maupun luar negeri. Secara lebih
spesifik, berbagai ancaman yang dihadapi di era globalisasi saat ini
dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok. (1) ancaman ekonomi dan sosial,
termasuk kemiskinan, penyakit menular, keterbatasan akses pada pangan, dan
degradasi lingkungan hidup; (2) konflik antarnegara (inter-state conflict).
Walaupun ancaman ini berkecendrungan menurun secara signifikan, tetapi bukan
berarti hilang sama sekali; (3) konflik internal (inte-state conflict). Ancaman
ini, berbeda dengan sebelumnya, memiliki kecenderungan meningkat, terutama sejak
berakhirnya Perang Dingin. Oleh karena itu, peran organisasi internasional, seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), makin relevan untuk diperkuat sebagai peace-maker
dan peace-keeper; (4) ancaman penyebaran senjata nuklir, biologi, dan kimia; (5)
ancaman terorisme, di mana secara kuantitas dan kualitas tingkat ekskalasinya
meningkat; (6) ancaman yang dilakukan organisasi kejahatan transnasional. Dari enam
klasifikasi ancaman di atas, dapat diasumsikan beberapa hal berikut. Pertama,
segala ancaman yang dihadapi tidak lagi mengenal batas tradisional negara. Kedua,
sebagian besar ancaman tersebut adalah ancaman yang berhubungan dengan aspek
militer daripada non-militer. Ketiga, berbagai ancaman tersebut harus dihadapi dan
diatasi secara simultan mulai dari tataran global, regional, hingga nasional.

IV.3. Relevansi

dan

Signifikansi

Ketangguhan

dan

Profesionalisme

Pertahanan-Keamanan dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan Isu pertahanan-keamanan


seringkali menjadi permasalahan dilematis bagi sebuah negara berkembang seperti
Indonesia. Sebab, tidak layaknya negara-negara maju, negara-negara berkembang harus
menghadapi berbagai isu krusial secara bersamaan, seperti isu perkembangan ekonomi,
sosial budaya, dan politik. Di mana, yang demikian begitu rumit dan terkait erat
dengan stabilitas internal serta kemampuan aspek pertahanan keamanan. Dalam banyak
kasus di negara-negara berkembang, berbagai isu di atas akhirnya menjadi bagian tak
terlepaskan dari isu pertahanan keamanan. Bahkan, merupakan bagian dari domestic
vulnerabilities, yang kerap mendominasi agenda pembangunan keamanan nasional dan
diterjemahkan ke dalam objek utama pertahanan keamanan.
Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia tengah giat melakukan pembangunan di
berbagai bidang, utamanya pertumbuhan di bidang ekonomi agar menjamin kesejahteraan
rakyatnya dan kestabilan di bidang politik agar roda pemerintahan dapat berjalan
efektif dan lancar. Namun demikian, dalam proses membangun tersebut, faktor
pertahanan-keamanan tidak dapat diabaikan.

A. Pemberontakan, Separatisme, dan Terorisme Masalah yang banyak berkembang di


negara seperti Indonesia adalah pemberontakan dalam negeri (insurgency). Selain
itu, terjadi usaha yang dilakukan daerah dalam satu negara untuk memisahkan diri
atau dikenal dengan gerakan separatisme (separatism) dengan menggunakan kekerasan
senjata, dan usaha terorisme (terorism) baik yang bersifat nasional maupun
internasional. masalah-masalah itu ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha
domestik karena dinamika dalam satu negara, tetapi juga ada yang terjadi karena
peran atau pengaruh negara lain. Sekalipun masalah-masalah itu tidak termasuk
perang, dampaknya bagi negara yang mengalaminya, dapat menyamai atau malah melebihi
perang. Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia adalah terjadinya
pemberontakan PRRI/Permesta. Sementara untuk kasus separatisme, ini lebih sering
terjadi, beberapa di antaranya, pada tahun 1999, Timor-Timur berhasil memisahkan
diri melaui referendum. Di Aceh, dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hampir saja
berakhir sama dengan Timor-Timur. Akan tetapi berhasil diselesaikan pemerintah RI
tahun 2005 yang lalu melalui perjanjian Helsinki. Di Papua dan Maluku ada
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkonflik
hingga saat ini. Dalam kasus terorisme, peristiwa Bom Bali I dan II tahun 2002, bom
di Hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, dan beberapa usaha peledakan lain di
berbagai wilayah di Indonesia adalah bukti rentannya Indonesia dengan persoalan
terorisme. Pada prinsipnya, masalah-masalah di atas dianggap sebagai masalah
keamanan dalam negeri, dan karenanya menjadi urusan kepolisian semata. Akan tetapi,
kenyataannya, masalah-masalah itu dapat berdampak begitu luas dan menyangkut
kekuatan begitu besar, sehingga tidak mungkin diatasi oleh organisasi kepolisian
saja, dan harus ditangani oleh kekuatan pertahanan atau militer. Tidak jarang satu
pemberontakan berkembang begitu luas hingga mengakibatkan runtuhnya pemerintahan
yang berkuasa atau setidaknya melemahkan negara sedemikian rupa sehingga dengan
mudah dikuasai atau didikte negara lain. Masalah tersebut tentu saja tidak boleh
diremehkan dan harus mendapat perhatian yang tidak kalah besar porsinya dengan
masalah-masalah lain, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini membuktikan
bahwa dalam proses pembangunan, di samping mengejar pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan kemantapan politik, sektor pertahanan keamanan tidak dapat diabaikan
begitu saja. Sebab, beberapa masalah di atas berpotensi menjadi ancaman serius jika
tidak dicegah dengan mempersiapkan kekuatan militer secara serius pula.

B. Bencana Alam Di samping tiga permasalah di atas, masalah bencana alam menjadi
masalah serius yang dapat menghambat proses pembangunan di Indonesia. Apalagi
mengingat Indonesia sebagai salah satu negara rawan bencana. Bencana alam dipandang
sebagai hambatan karena telah banyak anggaran negara secara tiba-tiba harus
dialokasikan untuk mengurusi bencana. Di sinilah ketangkasan dan kesigapan personil
pertahanan keamanan dituntut agar dapat meminilasasi kerusakan akibat bencana
sehingga dapat menghemat anggaran negara. Dalam hal tertentu, militer kita harus
dapat difungsitugaskan untuk mencegah kemungkinan terjadinya bencana. Dalam hal
lain, TNI turut serta menghadapi akibat terjadinya bencana. Sebagai gambaran, di
Amerika Serikat, ditetapkan bahwa Dinas Zeni Angkatan Darat (AD) (corps of
engineers) antara lain berfungsi mencegah terjadinya banjir sungai (flood control)
Indonesia telah beberapa kali mengalami bencana alam besar-besaran yang bahkan
berdampak secara internasional. yang paling fenomenal, 26 Desember 2004 yang lalu,
terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami di Aceh dan beberapa tempat di Sumatera
Utara. Lebih dari seratus ribu orang meninggal, kerugian materiil diperkirakan
mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian immateriil,
seperti trauma dan akibat psikologis lainnya. Di samping itu, Indonesia juga cukup
sering mengalami gempa bumi, baik tektonis maupun vulkanis, juga gunung meletus,
longsor, dan banjir. Peran TNI dalam mengatasi akibat bencana ini sangatlah besar
artinya. Sebab, TNI dengan angkatan udaranya menyediakan helikopter dan pesawat
lain untuk mencapai daerah-daerah yang tak lagi terjangkau melalui jalur darat.
Angkatan laut dapat segera mengerahkan kapal-kapalnya untuk mendatangi kota-kota di
pinggir pantai. Terakhir, angkatan darat dapat menyediakan pasukannya untuk
membantu masyarakat mengatasi berbagai persoalannya, seperti mencari korban,
mengubur mereka yang terbukti mati, membangun kembali jalan, jembatan, rumah,
sarana belajar dan ibadah yang rusak. Serta, yang terpenting mencegah perbuatan
jahat mereka yang hendak menyalahgunakan keadaan. Di sini terbukti sekali lagi,
bahwa pengerahan kekuatan militer dengan cepat dan efektif akan semakin mempercepat
proses pembangunan yang sedang digalakkan Indonesia, bukan sebaliknya. Maka,
sepantasnyalah bidang pertahanan keamanan ini tidak lagi diabaikan, karena mengejar
pertumbuhan ekonomi dan kemantapan politik dan demokratisasi.

IV.4. Realitas Ketangguhan Pertahanan-Keamanan Indonesia "Kenapa Amerika Serikat


disegani negara lain? Selain memiliki kekuatan ekonomi, mereka memiliki angkatan
perang yang kuat. Dua kekuatan itu membuat mereka memiliki bargaining power dengan
negara dan kekuatan mana pun. Mengganggu AS atau kepentingannya sama dengan
membangunkan macan tidur. Kalau saja angkatan perang kita kuat, tak mungkin
Malaysia meremehkan kita seperti ini."11

1. Kondisi Alat Utama Sistem Senjata Pertahanan memang tidak sekadar berurusan
dengan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista). Namun, alutsista yang lengkap dan
kuat dapat dijadikan indikator nyata kondisi pertahanan nasional suatu negara.
Angkatan perang yang kuat tentu diimbangi dengan alutsista yang kuat pula. Dalam
hal ini, bermodal semangat
11 Ungkapan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto
(Kompas, 9/3)
"tidak takut mati membela bangsa" saja tidaklah cukup. Kekuatan alutsista TNI AD
sebagian besar masih bertumpu pada aset lama, meliputi 1.261 unit kendaraan tempur,
namun yang siap operasi 799 unit; 59.842 unit kendaraan bermotor, namun yang siap
operasi 52.165 unit; 538.469 pucuk senjata dengan berbagai jenis yang siap operasi
392.431 pucuk; dan pesawat terbang 53 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 27
unit. Kekuatan alutsista Angkatan Laut (AL) meliputi unsur kapal striking force 18
unit, patrilling force 58 unit, supporting force 67 unit, dan KAL 317 unit yang
siap operasi 76. Unsur pesawat udara terdiri atas 65 unit dari berbagai jenis yang
siap operasi 39. Kendaraan tempur marinir 410 unit yang siap operasi 157 unit.
Kekuatan alutsista Angkatan Udara (AU) bertumpu pada pesawat tempur, pesawat
angkut, pesawat helikopter, dan jenis pesawat lain serta peralatan rudal dan radar
yang meliputi 234 unit pesawat berbagai jenis dengan kondisi siap operasi 57%,
radar 17 unit dengan kondisi siap operasi 88,8%, rudal QW-3 untuk operasional
Paskhas dengan kondisi siap operasi. Sumber lain menunjukkan bahwa alutsista yang
dioperasikan dan dipelihara TNI berada di ujung tanduk serta perlu dibenahi.
Kesiapan operasi alutsista yang ada$ sangat rendah, seperti dirangkum dalam tabel
sebagai berikut.12

Kondisi Alutsista Tiga Matra


TNI Angkatan Darat Ranpur (kendaraan tempur): 934 (siap operasi 67,88%) Ranmor
(kendaraan bermotor): 59.842 (siap operasi 52,156%) Pesawat terbang: 59 (siap
operasi 44,06%) TNI Angkatan Laut Kapal: 207 (siap operasi 36,71%) Ranpur
(kendaraan tempur) marinir: 435 (siap operasi 36,09%) Pesawat udara: 75 (siap
operasi 48%) TNI Angkatan Udara Pesawat terbang: 246 (siap operasi 44%) Radar: 16
(siap operasi 87,5%)

Kondisi riil alutsista TNI yang kritis ini berfokus pada dimensi persoalan tuanya
usia alutsista yang digunakan. Rendahnya kesiapan operasional di atas tak ayal
12 Lihat Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII, hlm. 17.
membawa bencana bagi tubuh TNI itu sendiri, bahkan memakan korban jiwa. Tujuh
personil Marinir tewas setelah ikut tenggelam bersama tank Amphibi dalam latihan
militer di Situbondo, Jawa Timur. Helikopter S-58T Twinpack, yang telah digunakan
TNI AU sejak 1972, jatuh di Pekanbaru pada 8 Januari 2008. Kejadian serupa terjadi
pada helikopter Bell 47G Soloy, yang telah digunakan sejak 1978, pada 11 Maret
2008. Sebelum itu, pesawat tua OV-10 Bronco, yang telah digunakan sejak 1979, sudah
pernah dua kali jatuh dan memakan korban jiwa pada 2005 dan 2007. Bahaya
pengoperasian pesawat tua ini membuat Ketua Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal
Herman Prayitno pada 2007 memensiunkan OV-10 tersebut.

2. Anggaran Pertahanan-Keamanan dalam APBN Dengan populasi sekitar 234,693,997


(Juli 2007) terdiri dari 17,508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km,
Indonesia adalah negara dengan luas wilayah terbesar ke-5 setelah Amerika dan
negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 setelah Amerika Serikat, serta negara
maritim terbesar ke-2 di dunia setelah Kanada. Kondisi ini menuntut Indonesia
menjadi negara yang memiliki kemampuan pertahanan-keamanan yang tangguh guna
menjaga keutuhan wilayahnya dari ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Namun,
ironisnya, hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, anggaran dana
yang dialokasikan untuk tiga matra pertahannya hanya sebesar Rp36,39 triliun.
Padahal, anggaran ini hanya mampu memenuhi 36 persen dari kebutuhan minimal
Departemen Pertahanan (Dephan) dan TNI, yakni sekitar Rp100,53 triliun.13 Bahkan,
bulan Februari lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memangkas seluruh anggaran
departemen, termasuk Departemen Pertahanan, sebesar 15 persen dengan alasan
penghematan. Dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2009 yang tengah dibahas oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), anggaran ini akan dikurangi lagi menjadi Rp35 triliun
saja, sementara untuk Kepolisian RI menjadi hanya Rp25,7 triliun. Rincian alokasi
anggaran tersebut adalah TNI AD mendapat sekitar Rp 16,1
13 antara.co.id diakses pada 17 Agustus 2008 15.17
triliun, TNI AL dialokasikan sebesar Rp5,5 triliun, TNI AU menerima sebesar Rp3,98
triliun, sementara Dephan sebesar, dan Markas Besar TNI memperoleh masing-masing
sebesar Rp6,3 triliun dan Rp4,5 triliun. Jika dibandingkan dengan AS, tentu angaran
Indoensia tidak ada apa-apanya. Pada tahun 2007, Kongres AS dan Gedung Putih telah
menganggarkan 522 miliar dollar untuk budget pertahanan dan militer. Anggaran
militer ini merupakan terbesar di dunia dan setara dengan 47 persen total anggaran
militer dunia. Rivalnya, Cina, Rusia, dan Inggris menggangarkan masing-masing 63
miliar, 62 miliar, dan 51 miliar dollar. Bahkan dengan negara-negara ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations) sekalipun, yang kondisi geografis dan
demografisnya yang tidak sebesar Indonesia, rasio anggaran militer terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB)-nya jauh lebih besar dibandingkan Indonesia yang tak lebih
dari satu persen PDB-nya. Anggaran Singapura, misalnya, sebesar 7,13 miliar dollar
(5,2 persen), Malaysia sebesar 1, 69 miliar dollar (4 persen), sementara Thailand
dan Filipina masingmasing 2,8 persen dan 2,2 persen. Padahal jumlah penduduk
Singapura hanya 4,6 juta orang, sementara Malaysia sebanyak 27, 24 orang.
Bandingkan dengan Indonesia yang lebih dari 234 juta jiwa.14

Perbandingan Anggaran Militer Negara ASEAN


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Negara Australia Brunei Filipina Malaysia Thailand
Singapura Indonesia % Terhadap PDB 2,3 6,9 2,2 4,0 2,8 5,2 1,1 % Terhadap APBN 7,1
18,0 19,9 9,1 15,0 21,0 5,7

Secara umum, anggaran pertahanan Indonesia masih menghadapi beberapa

14

Kompas, 27/2/08
persoalan mendasar.15 Pertama, minimnya besaran anggaran, tidak hanya terhadap
pendapatan domestik bruto, melainkan juga secara absolut sangat kecil apabila
dilihat dari besar wilayah dan penduduk Indonesia. Lebih parah lagi, kekurangan
anggaran menjadi alasan-alasan di balik praktik-praktik off-budget dan kegiatan
bisnis militer. Kedua, masalah alokasi anggaran pertahanan yang masih menyimpan
berbagai pertanyaan tentang efektifitas dan efisiensinya karena birokrasi yang
panjang dalam institusi-institusi pertahanan. Ketiga, anggaran belum mencerminkan
suatu cara berpikir yang sistematis tentang apa yang hendak dicapai oleh kebijakan
pertahanan Indonesia dan bagaimana mencapainya. Keempat, anggaran pertahanan masih
banyak mencerminkan kekuatan eksekutif atas legislatif karena kendala sumber daya
manusia, keterbatasan informasi, dan faktor politik.

3. Sumber Daya Manusia dan Strategi Pertahanan-Keamanan Kondisi kekuatan personil


TNI hingga saat ini mencapai 383.870 orang (0,17%) dari sekitar 230 juta penduduk
Indonesia, yang terdiri atas 298.517 orang TNI AD, 60.963 orang TNI AL, 28.390
orang TNI AU, dan 68.647 Pegawai Negeri Sipil TNI. Jumlah ini, jika dibandingkan
dengan luas wilayah Indonesia, masih belum seimbang. Peneliti Center for Strategic
and International Studies (CSIS), Edy Prasetyono, berpendapat bahwa penambahan
anggaran berapa pun besarnya tidak berarti apaapa tanpa ada perubahan strategi
pertahanan. Bahwa Indonesia harus segera bergerak dari strategi pertahanan
kontinental menuju strategi pertahanan maritim dengan zona berlapis. Strategi
pertahanan maritim memiliki matra terbuka, manuver fleksibel, dan pergerakan lebih
leluasa untuk penangkalan dan penindakan. Ini sesuai dengan karakter geografis
kita. Dalam strategi pertahanan maritim, tumpuan kekuatan akan diletakkan pada
kekuatan pertahanan laut dan udara. Untuk itu, TNI AL dan TNI AU harus terus
diperkuat di masa mendatang.16 Ada sebagian pihak yang berargumen mengapa matra
darat mendapat proporsi
15 16 http://www.mail-archive.com/indo-marxist@yahoogroups.com/msg02558.html
Kompas, 9/3/08.
anggaran dan jumlah personil lebih dibandingkan dua matra lainnya; udara dan laut.
Alasannya adalah bahwa simbol penaklukan atau penguasaan suatu negara atau wilayah
ditandai dengan pendudukan pada daratannya, bukan laut apalagi udara. Sepintas,
argumen ini dapat diterima. Namun, jika kita melihat secara lebih objektif, bahwa
proses pendudukan daratan itu tidak serta merta melalui jalur darat, tetapi akan
lebih mudah jika memasukinya setelah menaklukkan wilayah lautan atau udaranya
terlebih dahulu. Apalagi, jika mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dan dua
pertiga wilayahnya adalah laut, logikanya matra laut mendapat priorotas utama dari
segi jumlah personil, alutsista, dan strategi pertahanannya guna mempertahankan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah strategi pertahanan yang
perlu segera dibenahi.

IV.5. Realitas Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia Militer Indonesia


memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain. Keunikan ini
menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Perjuangan mendapatkan
kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara
fisik tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia.
Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi militer tidak hanya sebagai
instrumen pertahanan bangsa, tetapi juga sebagai bagian penting dalam political
decision making. Di masa orde lama, Soekarno mengakomodasi militer di awal
pemerintahannya dan bersitegang dan menjadi faktor penentu lengsernya Soekarno
sebagai presiden. Tampilnya militer di mata masyarakat sebagai aktor penting
pengaman keutuhan bangsa Indonesia dari aksi radikalisme Partai Komunis Indonesia
(PKI), menjadikan militer semakin dominan dalam perpolitikan dan aktivitas ekonomi
Indonesia. Pada masa orde baru, Soeharto menempatkan militer sebagai bagian penting
dari alat melanggengkan dan memperluas kekuasaan selain birokrasi dan teknokrat.
ABRI, istilah untuk militer saat itu, dijadikan instrumen penting dalam menjaga
kebijakan kooperatisme. Dengan dalih menjaga stabilitas, Soeharto memberikan banyak
peran istimewa, menempatkan banyak perwira sebagai menteri, gubernur, walikota,
bupati, irjen dan lain-lain. Posisi istimewa ABRI
tidak hanya pada ruang politik, namun berada pada ruang yang lain seperti ekonomi.
Pemerintahan orde baru menempatkan banyak perwira aktif untuk menjadi komisaris
atau direktur utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD). Dr. Abdoel Fattah dalam penelitiannya membagi perjalanan militer Indonesia
terbagi atas empat periode. Pertama, masa setelah proklamasi kemerdekaan 1945, atau
masa perang kemerdekaan sampai berdirinya pemerintahan Republik Indonesia Serikat
tahun 1950. Pada masa ini, tentara terpaksa berpartisipasi secara poltik untuk
mengerakkan pemerintahan daerah yang lumpuh akibat perang melawan Belanda. Kedua,
masa mulai berlakunya demokrasi parlemen 1950 ke demokrasi terpimpin, dimulai
dengan dekrit presiden pada 5 juli 1959 sampai jatuhnya presiden Soekaro pada 1966.
Pada masa ini, tentara memiliki kekuatan politik yang menonjol dan bersaing dngan
PKI. Tentara, terutama AD, menjadi mitra Soekarno sekaligus pesaing. Pada masa ini,
pemerintahan yang bersifat demokratis berubah ke otokrasi. Ketiga, masa Orde abru
mulai 11 maret 1966, yang dipimpin oleh Soeharto dengan demokrasi Pancasila sampai
jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Pada masa ini, tentara mendominasi pemerintahan
yang bersifat otokratis dengan dwi fungsinya. Keempat, masa Reformasi mulai 21 Mei
1998.17 Pembagian periode perjalanan militer Indonesia ini relevan dengan proses
pergeseran pemahaman konsep peran militer di Indonesia yang dirumuskan Yuddy
Chrisnandi sebagai berikut.18

Fungsi Militer dari Masa ke Masa


Generasi I (Masa Perang Kemerdekaan) Generasi II (Masa Pascakemerdekaan, Demokrasi
Terpimpin) Generasi A.H. Nasution ABRI sebagai 17 18 ABRI sebagai Prajurit ABRI
sebagai Prajurit ABRI sebagai Prajurit Generasi III (Generasi Orde Baru —Generasi
Soeharto) Generasi IV (Generasi Masa Transisi—Generasi Wiranto)

Dr. Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, (Jogyakarta: Lkis, 2005), hlm. 10-11.
Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005, hal. 29.
Pejuang Fungsi ABRI (Fungsi tempur dan fungsi teritorial—memegang pertahanan dan
perlawanan rakyat)

Pejuang Pikiran jalan tengah Nasution (ABRI sebagai alat pertahanan-keamanan dan
fungsi sosial) Fungsi sosial adalah untuk membangun mitra dengan kekuatan sipil
(intervensi)

Pejuang Pikiran Seminar AD II 1966

Pejuang Paradigma Baru ABRI

Fungsi pertahanankeamanan dan sosial politik Politik menonjol— dengan menguasai


atau menduduki, mengontrol kekuatan rakyat—ABRI sebagai alat penguasa

Bergeser—fungsi sosial politik a) memilih posisi dan metode tidak selalu di depan
b) mengubah dari konsep menduduki menjadi memengaruhi c) mengubah dari cara-cara
memengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung bersedia melakukan berbagai
peran politik dengan mitra nonABRI

A. Keterlibatan dalam Politik Indonesia memasuki babakan politik baru


pascakegagalan kudeta 1965 yang menandai runtuhnya keseimbangan politik dengan
kehancuran PKI dan semakin merosotnya kewibawaan politik Presiden Soekarno.
Keberhasilan Angkatan Darat menumpas kekuatan komunis telah menimbulkan efek
psikologis luar biasa pada masyarakat anti komunis. Setelah kewibawaan politik
Presiden Soekarno merosot secara drastis, sentral kekuatan politik lambat-laun
bergeser dari istana kepresidenan ke Markas Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat (Kostrad), di mana Mayjen Soeharto selaku pemegang kendali efektif atas
tentara pada
waktu itu. Semakin menguatnya posisi tentara sebagai aktor politik terkuat di
Indonesia pasca kejatuhan Soekarno telah mendorong dilakukannya berbagai upaya
memperkuat posisi dan kelanggengan dominasi politik tentara dalam sistem politik
Indonesia.19 Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya, tentara digunakan untuk
mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara
dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan
gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah
militet, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer.
Sementara itu, data yang diperoleh Jenkins pada tahun 1980, jumlah anggota ABRI
yang berada di luar organisasi militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat,
menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%,
inspektur jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil
menteri 84%. Di pimpinan daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Di perwakilan
luar negeri, duta besar 44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada
tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur (71%).
Sesudah pemilihan umum tahun 1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan empat (15%)
posisi Gubernur untuk orang sipil.20 Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun
1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia sebanyak 271. Setelah pemilu
1971 imbangannya mencapai dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000
anggota militer menduduki posisi jabatan sipil.21 Keterlibatan militer dalam
birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan
pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan
masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi
rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.22

19 20

Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta, Narasi, 2005, hlm. 35-47.
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1999, hlm. 271-272. 21 Ibid, hlm. 272. 22 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde
Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta : LP3ES, 1992, hlm. 1.
B. Aktivitas Bisnis Militer Praktik-praktik bisnis militer secara legal ditetapkan
dengan UU Yayasan No.16 tahun 2001. Kecilnya anggaran militer khususnya untuk
kesejahteraan prajurit dijadikan alasan kuat prektik ini. Panglima TNI Jenderal
Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI untuk mendukung
kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis militer harus diimbangi
dengan peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari kebutuhan ideal per tahun Rp 44-46
Triliun.23 Akan tetapi dalam realitanya praktik bisnis militer hasilnya hanya
dinikmati pada tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer berlangsung,
akan tetapi sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda kesejahteraahn prajurit
pun tidak menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang amat tajam antara
kesejahteraan kopral dengan jenderal. Kesenjangan yang ada dapat jelas dilihat dari
tabel di bawah ini.24

Tingkat Kesejahteraan Prajurit


Pangkat Bintang **** Jumlah 1 Perbandingan tingkat kesejahteraan Sangat tinggi
(bahkan bisa dikatakan sangat mewah atau kaya), kekayaaannya bisa milyaran rupiah.
Bintang *** Bintang ** Bintang * Pangkat Menengah 3 42 70 6. 517 20.004 133.735
114.598 Kesejahteraan terpenuhi (relatif tinggi) Kesejahteraan sedang Kesejahteraan
rendah Kesejahteraan rendah Kesejahteraan sangat rendah Kesejahteraan sangat rendah

23 24

Jawapos, 19 Maret 2005. The RIDEF Institute, Praktik-praktik Bisnis Militer,


Jakarta, 2003, hlm. 54.
IV.6. Solusi untuk Realitas Ketangguhan serta Profesionalisme PertahananKeamanan
Indonesia Solusi yang penting diwacanakan untuk mengatasi realitas kondisi
pertahanankeamanan di Indonesia akan dibagi ke dalam dua cara, yakni solusi taktis
dan solusi strategis.

1. Solusi Taktis Solusi taktis adalah solusi aplikatif operasional, di mana


menyangkut objek daripada pertahanan-keamanan itu sendiri. Solusi taktis ini
meliputi;

A. Penguatan Supremasi Sipil Supremasi sipil adalah pengakuan militer atas semua
produk yang dibuat sipil hasil pemilu demokratis, baik terkait regulasi militer
sendiri atau tidak. Ada dua indikator minimal dari supremasi sipil. Pertama, Dephan
harus dipimpin oleh seorang menteri pertahanan dan harus murni berasal dari sipil.
Kedua, adanya kontrol efektif dalam kebijakan pertahanan, operasional militer, dan
anggaran dari sipil. Adanya kontrol sipil ini harus tercermin dalam peran parlemen
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan legislasi yang telah dilakukan
melalui alokasi anggaran negara untuk pertahanan. Dalam konsepsi negara demokratik,
kontrol sipil atas militer dalam perspektif hubungan sipil-militer menurut
Huntington ada dua bentuk. Pertama, kontrol sipil subjektif (subjective civilian
control), yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini diartikan sebagai upaya
meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok sipil. Kedua,
kontrol sipil objektif (objective civillian control), yakni memaksimalkan
profesionalisme militer. Model ini menunjukkan adanya pembagian kekuasaan politik
antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku
profesional. Kontrol sipil objektif bertolak belakang dengan kontrol sipil
subjektif. Kontrol sipil subjektif mencapai tujuannya dengan menyipilkan militer
dan membuat mereka sebagai alat kekuasaan belaka, sedangkan kontrol sipil
objektif mencapai tujuan dengan memiliterisasi militer dan membuat mereka sebagai
alat negara. Inti dari kontrol sipil objektif adalah pengakuan otonomi militer
profesional, sedangkan kontrol sipil subjektif adalah pengingkaran sebuah
independensi militer. Kontrol sipil objektif akan melahirkan hubungan sipil-militer
yang sehat dan lebih berpeluang menciptakan prinsip supremasi sipil. Sebaliknya,
kontrol subjektif membuat hubungan sipil-militer menjadi tidak sehat. Oleh sebab
itu, kontrol objektif tidak hanya sekedar meminimalisasi intervensi militer ke
dalam politik, tapi juga memerlukan keunggulan otoritas sipil yang terpilih
(elected politicians) di semua bidang politik, termasuk dalam penentuan anggaran
militer, konsep, dan strategi pertahanan nasional. Kedua poin di atas (kepemimpinan
Dephan oleh sipil dan keberadaan kontrol efektif sipil atas militer) sudah
dilakukan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid hingga sekarang dan harus tetap
dipertahankan untuk semakin menguatkan supremasi sipil. Jika hal tersebut
diabaikan, akan berakibat kembalinya sistem represif militer atas sipil.

B. Pemenuhan Anggaran Pertahanan-Keamanan dan Kesejahteraan Prajurit Keterbatasan


dana negara ini membuka peluang penyimpangan. Dengan situasi bangsa seperti ini
sulit mewujudkan seketika kebutuhan pertahanan-keamanan. Tetapi, langkah
rasionalnya adalah melakukan tahapan-tahapan sistematis untuk menata dan mengelola
anggaran yang ada dan meningkatkannya scara gradual namun berarti. Berita baiknya,
berikut peningkatan pemenuhan anggaran (dalam triliun) yang semakin menunjukkan
keidealan.25 Anggaran Militer dari Tahun ke Tahun
2003 11,536 2004 17,85 2005 21,9 2006 23,6 2007 32,64 2008 36,39

Akan tetapi semua anggaran tersebut hanya mampu mendekati pagu kekuatan
25 Diolah dari berbagai sumber.
utama minimal pertahanan Indonesia sebesar tidak lebih dari 1 persen dari PDB.
Apalagi, sebagian besar belanja pertahanan tersebut habis dipakai untuk membiayai
gaji prajurit, fasilitas militer, dan pendidikan bela negara. Hingga tahun 2007
ini, pemerintah tetap belum dapat memberikan alokasi yang memadai untuk
mengembangkan industri pertahanan. Sehingga perlu adanya komitmen lebih serius
untuk memprioritaskan faktor anggaran ini. Tujuan besarnya adalah untuk dapat
memenuhi (1) pengeluaran rutin lembaga, di mana termaktub di dalamnya pemenuhan
kesejahteraan anggota dan personil; (2) modernisasi dan perawatan alat utama sistem
pertahanan (alutsista); dan (3) kebutuhan operasional tempur.

C. Maksimalkan Keterlibatan dan Pengawasan Civil Society Organization (CSO)


Keterlibatan CSO yang aktif dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan Security Sector
Reform (SSR) di Indonesia. Kengganan masyarakat untuk mengawasi proses SSR
disebabkan adanya budaya yang berkembang bahwa semua aktivitas yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu hal yang bersifat given. Minimnya
sosialisasi dan keterlibatan publik, baik organisasi sektoral maupun masyarakat
secara umum, bisa jadi disebabkan isu ini masih menjadi konsumsi elit dan akademisi
saja, belum sampai dikonsumsi masyarakat. Penguatan keterlibatan dan pengawasan CSO
ini adalah salah satu agenda besar dari SSR. Di mana secara umum SSR di Indonesia
dimaksudkan untuk, yakni; 1. Membangun kemampuan pelaksana keamanan (khususnya TNI
dan Kepolisian Republik Indonesia – Polri – yang medapatkan mandat untuk
menggunakan kekerasan) yang profesional dan tunduk kepada prinsip demokrasi. 2.
Mengembangkan kemampuan institusi penyelenggaraan pertahanan (Departemen
Pertahanan). 3. Mendorong dan memperkuat peran aktif institusi pengawas
(oversight), yakni parlemen dan civil society (termasuk media).
Rizal Sukma menekankan lima parameter untuk mengukur capaian pada prioritas pada
reformasi aktor pelaksana, aktor penyelenggara, dan aktor pengawas ditentukan oleh,
yakni sebagai berikut. 1. Tertatanya ketentuan perundang-undangan berdasarkan the
rule of law. 2. Terbangunnya kemampuan pengembangan kebijakan (policy development),
penyusunan perencanaan pertahanan (defense planning), dan implementasi kebijakan 3.
Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana, yakni TNI, Polri, dan badan intelejen.
4. Kemampuan dan efektivitas pengawasan dari parlemen dan masyarakat sipil,
termasuk media. 5. Pengelolaan anggaran pertahanan TNI dan Polri, serta badan
intelijen. Namun, dari lima parameter tersebut Rizal Sukma menekankan pada tiga hal
kunci, yakni pengembangan profesionalisme TNI, Polri, dan badan intelejen; capacity
building Dephan, dan aktor pengawasan serta kampanye publik mengenai pentingya SSR.
Dengan demikian, upaya penegakan dan penguatan kontrol CSO bisa terwujud.

2. Solusi Strategis Solusi strategis adalah solusi yang dampaknya lebih signifikan
sekalipun membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Solusi ini meliputi:

A. Perumusan, Penyusunan, dan Pembenahan Landasan serta Kerangka Hukum yang


Mengatur Peran dan Posisi TNI Menurut Connie Rahakundini Bakrie, keberhasilan
pembangunan landasan hukum tentang peran dan posisi TNI sangat terkait dengan visi
politik dan transformasi militer yang dimiliki sipil tentang militer yang
profesional dalam tatanan demokratis. Dalam membangun TNI yang profesional dan
berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand design atas Postur TNI
yang ideal. Kekuatan TNI yang ideal yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas
setiap karakteristik matra pertahanan berdasarkan kebutuhan spesifik atas
alutsista, jumlah dan kemampuan personil serta special force-nya dan juga
forcasting
anggaran pertahanan yang diperlukan, sebenarnya dapat diturunkan jika grand
strategy telah dirumuskan dan kebijakan yang tepat telah ditetapkan. Persoalan ini
sangat membutuhkan kapasitas visi politik sipil dalam

penyelenggaraan pertahanan-keamanan. Dengan adanya komitmen yang kuat, niscaya


sipil dapat merumuskan kembali transformasi militer secara tepat menuju TNI yang
profesional sesuai tuntutan negara yang 'berdemokrasi'.

B. Program Kerjasama Militer Internsional Program ini ditujukan untuk meningkatkan


kerja sama militer dengan negaranegara maju atau sahabat dalam rangka, di samping
belajarr dan meningkatkan strategi pertahanan dan kemanan, bisa juga untuk
menciptakan kondisi keamanan kawasan, regional, dan internasional, serta
meningkatkan hubungan antarnegara. Kegiatan pokok yang dapat dilakukan adalah; 1.
pengiriman Liaison Officer (LO) ke negara yang berbatasan dengan Indonesia. 2.
peningkatan kerja sama pertahanan Indonesia dengan negara-negara Eropa, Australia,
China, Rusia, terutama dalam hal bantuan pelatihan militer dan pengadaan peralatan
TNI 3. peningkatan kerja sama pertahanan Indonesia – Philipina dengan tugas sebagai
pengawas internasional dalam masalah Moro dan masalah perbatasan melalui forum
Joint Commision for Billateral Cooperation. 4. peningkatan kerja sama pertahanan
Indonesia – Singapura dalam latihan dan perjanjian Military Training Area (MTA)

C. Program Penelitian dan Pengembangan Pertahanan Program ini ditujukan untuk


melakukan penelitian dan pengembangan terhadap strategi dan sistem pertahanan,
sumber daya manusia, kemampuan dan pendayagunaan industri nasional serta penguasaan
dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan pertahanan-keamanan
yang damai.
Kegiatan pokok yang dapat dilakukan di antaranya 1. kerja sama penelitian dan
pengembangan pertahanan guna menghasilkan kejian-kajian tentang konsep pertahanan.
2. penelitian dan pengembangan bidang materiil dan insani, serta 3. kerja sama
penelitian dan pengembangan bidang kedirgantaraan, perkapalan, teknik sipil,
industri alat berat, otomotif, elektronika, dan kimia untuk mendukung pemenuhan
kebutuhan alat pertahanan.
BAB V PENUTUP

V.1. Simpulan Sudah 63 tahun bangsa ini merdeka. Peranan militer bahkan sudah
dimulai jauh sebelum teriakan kemerdekaan dipekikkan. Militer senantiasa menjadi
garda terdepan dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Sampai sejauh ini, peranan
militer sudah mengalami pasang surut, mulai era kemerdekaan, era pemerintahan
represif, hingga era transisi. Sejauh itu pula permasalahan demi permasalahan
menyertai internal militer. Berbagai pihak, utamanya pemerintah, harus semakin
memperhatikan nasib alat pertahanan-keamanan negara tersebut. Berbagai persoalan
harus segera diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan yang bisa melegakan, seperti
persoalan rendahnya anggaran, yang berefek domini pada usangnya alat utama sistem
pertahanan dan rendanya tingkat kesejahteraan prajurit, persoalan regulasi yang
mengatur peranan dan aturan main yang seharusnya dilakoni militer sebagai bagian
dari Warga Negara Indonesia haruslah jelas, tegas, sinkron, dan tidak saling
tumpang tindih. Sebab, hal ini akan berdampak pada kejelasan visi dan misi serta
strategi besar daripada pertahanan-keamanan Indonesia itu sendiri. Sudah saatnya,
faktor idealnya sistem pertahanan-keamanan ini dipandang sebagai faktor penentu
efektif dan efisien serta lancarnya proses pembangunan yang sedang digalakkan di
negeri ini. Sehingga, pembenahan pada sektor ini tidak dapat lagi disepelekan
apalagi diabaikan, melainkan diprioritaskan dengan suatu grand design dan
dijalankan secara gradual dan konsisten. Jika tidak, mimpi Indonesia berwibawa dan
bermartabat semakin jauh.

V.2. Rekomendasi Bahwa sektor pertahanan-keamanan adalah modalitas utama


efektivitas dan efisiensi proses pembangunan di Indonesia, seharusnya menjadikan
pemahaman semua unsur masyarakat yang ada terhadap sektor ini prioritas. Oleh
karena itu,
pemerintah diharapkan menggalakkan upaya penanaman pemahaman tentang pertahanan-
keamanan kepada masyarakat Indonesia. Hal ini bertujuan membentuk kesadaran semua
elemen bangsa terhadap profesi ini, karena sesungguhnya tugas untuk mempertahankan
keutuhan seluruh wilayah kedaulatan negeri ini adalah tugas kita bersama, bukan
TNI, Polri, dan badan intelejen semata. Itulah yang dikenal dengan prinsip
pertahanan-keamanan rakyat semesta. Prinsip ini akan bermasalah dalam
implementasinya apabila tidak ada pemahaman dan kesadaran akan urgensi memiliki
sistem pertahanan-keamanan yang tangguh dan profesional, baik oleh penentu
kebijakan, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun rakyat pada umumnya.
Dengan modal pemahaman dan kesadaran ini, semua elemen bangsa, utamanya pemerintah
selaku penentu kebijakan, mengimplementasikan dalam bentuk produk-produk kebijakan
yang mengarah pada terwujudnya sistem pertahanankeamanan tangguh dan profesional.
Keterbatasan dan kendala yang dihadapi negeri ini tidak seharusnya membuat
pemerintah tidak melakukan apa pun. Ada satu kaidah, “apa yang tidak dapat
dilakukan seluruhnya, jangan ditinggalkan semuanya”. Artinya, perbaikan demi
perbaikan sistem pertahanan-keamanan seyogyanya dilakukan dengan grand design dan
gradual tetapi tetap konsisten dan kontinyu. Kata kuncinya terletak pada political
will dari pada pemerintah sendiri dengan didukung, tentunya, oleh segenap elemen
terkait.

40
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World
Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University
Press, 2001. Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-
Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Crouch, Harold.
Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999. Effendy,
Muhadjir. Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI. Malang : UMM Press, 2008.
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Jogyakarta : Lkis, 2005. John, Smith,
Steve. The Globalization of World Politics: An Introduction to International
Relations. Oxford : Oxford University Press, 2001. Liddle, R. William. Pemilu-
Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta : LP3ES, 1992 Nye, Jr.,
Joseph S. Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and
History. United States : Longman, 1997. Rahakundini, Connie. Pertahanan Negara dan
Postur TNI Ideal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007 Tim ProPatria Institute.
Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanankeamanan Negara. Jakarta : ProPatria
Institute, 2006. The RIDEF Institute, Praktik-praktik Bisnis Militer. Jakarta :
2003. Yulianto, Dwi Pratomo. Militer dan Kekuasaan. Jakarta : Narasi, 2005. Sumber
Internet Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html http://www.mail-
archive.com/indo-marxist@yahoogroups.com/msg02558.html antara.co.id
Sumber Majalah Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII. Sumber Koran Koran
Kompas Jawa Pos Sumber Jurnal Helga Haftendorn. “The Security Puzzle: Theory
Building and Discipline in International Security” dalam International Studies
Quarterly Vol.35. No.1, 1991. Liota P. H. “Boomerang Effect: The Convergence of
National and Human Security” dalam Security Dialogue Vol.33. No.4, 2002. Jurnal
Wacana Edisi 17 tahun 2004. Jogjakarta : Insist Press.

42
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta keterlibatan militer dalam politik masa orde baru No 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Departemen Dalam Negeri Luar Negeri Pertahanan
dan Keamanan Kehakiman Penerangan Keuangan Perdagangan dan Koperasi Pertanian
Perindustrian Pertambangan dan Energi Pekerjaan Umum Perhubungan Pendidikan dan
Kebudayaan Kesehatan Agama Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rata-rata Militer
(%) 89 50 100 50 57 30 38 40 38 14 12 56 44 38 56 57 50 48

Sumber : MacDougall, 1982


Posisi Indonesia dalam hal anggaran pertahanan di antara negera-negara di dunia
Lampiran 2

Sumber; U.S. Military Spending vs. the World dan Center for Arms Control and Non-
Proliferation, February 22, 2008.

44
Lampiran 3 Gaji TNI – Polri data terakhir 2007 setelah mengalami penyesuaian
Pangkat TNI AD Jendral Letjen Mayjen Brigjen Kolonel Letkol Mayor Kapten Pangkat
Gaji (Rp) Polisi Jendral Pol 2,512,800.00 Komjen 2,436,600.00 Irjen 2,362,800.00
Brigjen Pol 2,291,100.00 Kombes 2,221,700.00 Ajun Kombes 2,154,300.00 Komisaris
2,089,000.00 Ajun 2,025,700.00 komisaris pol Lettu Lettu Lettu Inspektu pol
1,964,300.00 satu Letda Letda Letda Inspektur pol 1,881,300.00 dua Pembantu
Pembantu Pembantu Ajun Ins pol 1,652,700.00 lettu lettu lettu satu Pembantu
Pembantu Pembantu Ajun Ins pol 1,602,600.00 letda letda letda dua Sersan mayor
Sersan mayor Sersan mayor Brigadir pol 1,554,000.00 kepala Sersan kepala Sersan
kepala Sersan kepala Brigadir pol 1,506,900.00 Sersan satu Sersan satu Sersan satu
Brigadir pol 1,461,200.00 satu Sersan dua Sersan dua Sersan dua Brigadir pol
1,416,900.00 dua Kopral kepala Kopral kepala Kopral kepala Ajun Brig Pol
1,244,700.00 Koptu Koptu Koptu Ajun Brig Pol 1,207,000.00 Satu Kopda Kopda Kopda
Ajun Brig Pol 1,170,400.00 Dua Prajurit kepala Prajurit kepala Prajurit kepala
Bhayangkara 1,134,900.00 kepala Pratu Kelasi satu Pratu Bhayangkara 1,100,500.00
satu Prada Kelasi dua Prada Bhayangkara 967,200.00 dua Sumber ;
http://www.badilag.net/data/PERATURAN_BARU/se_03_2007.pdf Pangkat TNI AL Laksamana
Laks.Madya Laks.Muda Laks.Pertama Kolonel Letkol Mayor Kapten Pangkat TNI AL
Marsekal Mars.Madya Mars.Muda Mars.Pertama Kolonel Letkol Mayor Kapten

Anda mungkin juga menyukai