…………………………………....……… 11
PEMBAHASAN ........................................................................
............. 12
I.1.
Latar Belakang
Saat ini kita hidup di era kemajuan. Di antara berbagai kemajuan yang paling terasa
manfaatnya adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab,
dengannya kemudahan demi kemudahan dirasakan oleh umat manusia. Namun, kemajuan
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala macam dan bentuknya belum dapat
meninggalkan sengketa dengan kekerasan senjata antarwarga bangsa. Bahkan, salah
satu pemicu terjadinya peperangan adalah adanya kemajuan teknologi persenjataan
yang makin mutakhir. Perang yang merupakan penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan
pertentangan antarnegara tetap terjadi, meskipun selalu ada niat dan usaha untuk
meniadakannya. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban setiap bangsa untuk memberikan
perhatian besar kepada masalah pertahanan-keamanan jika hendak mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatannya. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa yang
paling sedikit mengalami gangguan kedaulatan adalah bangsa yang mampu melakukan
pertahanan-keamanan secara efektif dalam melindungi kepentingan dan kedaulatan
negaranya. Bangsa Indonesia berkewajiban membangun pertahanan-keamanan dengan
sebaik-baiknya. Memang, bangsa Indonesia mencintai dan mengutamakan perdamaian.
Setelah kemerdekaan, bangsa ini berharap dapat hidup dengan damai dan tenteram
tanpa adanya ancaman dan intervensi, lebih-lebih agresi dan okupasi, yang bersifat
militer terhadap kedaulatan bangsa ini. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, bangsa
Indonesia telah mengalami banyak kerawanan di sektor pertahanan-keamanan, seperti
pemberontakan dalam negeri (insurgency), separatisme (separatism), dan terorisme
(terrorism). Contoh masing-masing secara berturut-turut adalah Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta); Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM);
serta
Bom Bali I dan II, Bom J.W. Marriott, Bom Kuningan, dan Bom Istiqlal. Di saat
bangsa Indonesia menghadapi banyak ancaman keamanan seperti di atas, secara
bersamaan, unsur aparatur negara yang secara langsung berfungsi menanganinya justru
belum optimal karena dampak masalah di masa silam yang kelam, ketika Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) – sekarang disebut Tentara Nasional Indonesia
(TNI) – banyak campur tangan terhadap urusan politik dan bisnis serta menerapkan
sistem pemerintahan represif. Padahal, hal itu bertentangan dengan konsep
profesionalisme pertahanan-keamanan. Dan, kondisi kelam ini berpotensi muncul
kembali di era reformasi ketika tidak ditangani secara serius. Apabila hal ini
benar terjadi, akan menyulitkan unsur aparatur negara ini untuk dapat mengatasi
kerawanan-kerawanan di atas. Proses penanganan masalah internal tersebut, dalam
perkembangannya,
I.2.
Perumusan Masalah
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai: 1. Relevansi
ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan dalam proses pembangunan
berkelanjutan. 2. Relevansi ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan
dalam proses pembangunan berkelanjutan di era globalisasi. 3. Realitas ketangguhan
pertahanan-keamanan Indonesia. 4. Realitas profesionalisme pertahanan-keamanan
Indonesia. 5. Solusi untuk membenahi kondisi ketangguhan serta profesionalisme
pertahanan-keamanan Indonesia. Manfaat yang diharapkan dari pembuatan karya tulis
ini adalah untuk: 1. Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pertahanan-
keamanan. 2. Memberikan gambaran bagi praktisi dan akademisi tentang konsep
ketangguhan dan profesionalisme pertahanan-keamanan. 3. Memberikan masukan bagi
para pembuat kebijakan Republik Indonesia agar lebih memfasilitasi aparat
pertahanan-keamanan dengan alutsista, anggaran, dan SDM yang lebih ideal demi
menunjang ketangguhannya. 4. Memberikan masukan bagi pemerintah agar meniadakan
unsur
II.1. Realisme Joseph S. Nye, Jr. mengungkapkan bahwa Realisme adalah tradisi
dominan dalam memandang politik internasional. Dalam pandangan Realisme, masalah
sentral politik internasional adalah perang dan penggunaan angkatan bersenjata.
Mazhab ini lahir dari Thomas Hobbes, yang hidup di Inggris abad ke-17 ketika tengah
berlangsung perang sipil, sehingga bersenjata, penekanan dan utamanya adalah negara
pada yang ketidakamanan, angkatan keberlangsungan
dirangkum dalam istilah “state of war” (keadaan perang). Pemikir Realisme modern
antara lain adalah mantan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dan Henry
Kissinger. Kaum Realis menekankan kontinuitas; kekerasan dan perang adalah bahaya
kekinian yang akan selalu berulang. Prospek perang dalam sistem anarki1 tersebut
membuat negara menjaga keberadaan tentaranya bahkan dalam waktu-waktu damai. Daniel
S. Papp menambahkan bahwa pandangan Realpolitik ini bahkan menganggap menyediakan
pertahanankeamanan adalah tanggung jawab negara. Kepentingan nasional suatu negara
paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk
khususnya kekuatan militer. Realisme atau Realpolitik mengutamakan kebijakan luar
negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan
penekanan pada nasionalisme. Mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter
dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam
tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu internasional paling
penting. Secara sederhana, Realisme dapat dibedakan dari mazhab lainnya dalam Ilmu
1 Sistem anarki adalah bentuk politik dunia yang terdiri dari negara-negara yang
bersatu padu namun tidak memunyai pemerintahan yang lebih tinggi di atas mereka.
Politik internasional sekarang ini adalah sistem negara teritorial seperti sistem
anarki ini, dengan absennya kedaulatan umum dan pemimpin di atas entitas berupa
sejumlah negara-bangsa. Lihat Joseph S. Nye, Jr., Understanding International
Conflict: An Introduction to Theory and History, (United States: Longman, 1997),
hlm. 2.
Hubungan Internasional dalam empat dimensi, yaitu aktor primernya yang berupa
negara-bangsa, isu primernya yang berupa keamanan nasional, metode analisisnya yang
menekankan kapabilitas negara, dan perspektifnya yang berada dalam ruang lingkup
nasional.
Negara
Tuntutan profesi
memiliki daya tempur yang handal, baik pada segi software, hardware, maupun
brainware, sehingga dapat menopang kelestarian dan kehidupan serta eksistensi
bangsa, negara, dan masyarakat
3 4
Connie Rahakundini, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2007. Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html, diakses pada 17
Agustus 2008 14:07.
bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya karena dianggap akan
mengurangi konsentrasi perhatian militer pada urusan hankam, sehingga harus
dibebankan kepada kelompokkelompok bukan militer (sipil)
keterampilan dan organisasi yang memadai untuk memenangkan peperangan dalam bentuk
baru tersebut sehingga kalangan militer) ikut mengatasi segala ancaman nasional
yang spektrumnya amat luas itu (pertahanan keamanan sekaligus bidangbidang
nonhankam seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya) bersama-sama dengan
kalangan sipil
Pada perkembangannya, muncul istilah baru untuk merujuk kedua tipe profesionalisme
militer ini, yaitu militer profesional untuk profesionalisme konvensional dan
militer pretorian5 untuk profesionalisme baru. Karena di dunia terdapat tipe
militer profesional yang pada saat-saat damai hanya menjalankan fungsi pertahanan
keamanan (stabilisator) tetapi pada saat-saat revolusi (temporer) berubah menjadi
tentara pretorian yang juga menjalankan fungsi sosial politik (dinamisator), pada
akhirnya muncul istilah militer revolusioner untuk menyebut militer tipe ini.
Karakteristik dan penyebab keterlibatan militer dalam politik ini dirumuskan Eric A
Nodlinger dalam bukunya Militer dalam Politik dan Amos Perlmutter dalam Militer dan
Politik. Oleh beberapa kalangan, rezim militer yang melibatkan diri dalam politik
ini disebut “bureaucratic authoritarian regime”, yang terdiri atas para birokrat,
teknokrat, modal, dan rezim militer. Adanya dua tipe profesionalisme militer yang
saling berbeda secara substansial ini menimbulkan perdebatan tentang tipe militer
manakah yang terbaik. Pada akhirnya, profesionalisme militer konvensional
(selanjutnya disebut militer profesional) yang apolitik memenangkan perdebatan ini.
Poin-poin penting yang menyebabkan militer harus profesional, tidak memiliki
wewenang politik/pretorian adalah sebagai berikut. 1. Militer adalah angkatan
bersenjata yang dimaksudkan untuk menyebabkan demoralisasi musuh, sehingga
kehadirannya di ruang publik akan
Poin ke-2 dan ke-3 disadur secara bebas dari buku Muhadjir Effendy, Profesionalisme
Militer, Profesionalisasi TNI (Malang, UMM Press: 2008).
BAB III METODE PENULISAN
Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif, bersifat
deskriptif, dan disertai analisis. Deskriptif karena penelitian yang ada dalam
karya tulis ilmiah ini berusaha menjelaskan bahwa relevansi dan signifikansi
persoalan pertahanan-keamanan tetap berlaku sekalipun kita hidup di era
globalisasi. Ia juga berusaha menggambarkan bagaimana hubungan yang saling terkait
antara sektor pertahanan-keamanan dengan proses pembangunan di Indonesia. Penulisan
karya tulis ilmiah ini juga bersifat analitis karena berusaha melihat lebih dalam
konsepsi sebuah sistem pertahanan-keamanan yang ideal. Berpijak dari itu, analisis
dilanjutkan kepada realitas kondisi ketangguhan dan profesionalisme sistem
pertahanan-keamanan yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan memetakan persoalan
dan melihat seberapa ideal pertahanan-keamanan Indonesia, sehingga dapat diperoleh
rekomendasi solusinya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam karya tulis
ilmiah ini adalah studi literatur. Data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah buku-buku
yang menjelaskan definisi, kriteria, ciri-ciri, dan indikator-indikator yang ada
pada sistem pertahanan-keamanan yang ideal, tangguh, dan profesional. Data sekunder
yang digunakan berupa buku-buku, jurnal, media massa, serta berbagai literatur dari
internet yang berhubungan realitas kondisi pertahanan-keamanan Indonesia. Data-data
yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjelaskan realitas kondisi pertahanan-
keamanan Indonesia, meliputi anggaran, alutsista, jumlah personil, strategi
pertahanan, pasang surut keterlibatan militer di bidang politik dan ekonomi.
Terakhir, setelah melihat permasalah secara komprehensif, kami coba
merekomendasikan solusi atas lambannya reformasi sektor pertahanankeamanan di
Indonesia.
BAB IV PEMBAHASAN
IV.3. Relevansi
dan
Signifikansi
Ketangguhan
dan
Profesionalisme
B. Bencana Alam Di samping tiga permasalah di atas, masalah bencana alam menjadi
masalah serius yang dapat menghambat proses pembangunan di Indonesia. Apalagi
mengingat Indonesia sebagai salah satu negara rawan bencana. Bencana alam dipandang
sebagai hambatan karena telah banyak anggaran negara secara tiba-tiba harus
dialokasikan untuk mengurusi bencana. Di sinilah ketangkasan dan kesigapan personil
pertahanan keamanan dituntut agar dapat meminilasasi kerusakan akibat bencana
sehingga dapat menghemat anggaran negara. Dalam hal tertentu, militer kita harus
dapat difungsitugaskan untuk mencegah kemungkinan terjadinya bencana. Dalam hal
lain, TNI turut serta menghadapi akibat terjadinya bencana. Sebagai gambaran, di
Amerika Serikat, ditetapkan bahwa Dinas Zeni Angkatan Darat (AD) (corps of
engineers) antara lain berfungsi mencegah terjadinya banjir sungai (flood control)
Indonesia telah beberapa kali mengalami bencana alam besar-besaran yang bahkan
berdampak secara internasional. yang paling fenomenal, 26 Desember 2004 yang lalu,
terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami di Aceh dan beberapa tempat di Sumatera
Utara. Lebih dari seratus ribu orang meninggal, kerugian materiil diperkirakan
mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian immateriil,
seperti trauma dan akibat psikologis lainnya. Di samping itu, Indonesia juga cukup
sering mengalami gempa bumi, baik tektonis maupun vulkanis, juga gunung meletus,
longsor, dan banjir. Peran TNI dalam mengatasi akibat bencana ini sangatlah besar
artinya. Sebab, TNI dengan angkatan udaranya menyediakan helikopter dan pesawat
lain untuk mencapai daerah-daerah yang tak lagi terjangkau melalui jalur darat.
Angkatan laut dapat segera mengerahkan kapal-kapalnya untuk mendatangi kota-kota di
pinggir pantai. Terakhir, angkatan darat dapat menyediakan pasukannya untuk
membantu masyarakat mengatasi berbagai persoalannya, seperti mencari korban,
mengubur mereka yang terbukti mati, membangun kembali jalan, jembatan, rumah,
sarana belajar dan ibadah yang rusak. Serta, yang terpenting mencegah perbuatan
jahat mereka yang hendak menyalahgunakan keadaan. Di sini terbukti sekali lagi,
bahwa pengerahan kekuatan militer dengan cepat dan efektif akan semakin mempercepat
proses pembangunan yang sedang digalakkan Indonesia, bukan sebaliknya. Maka,
sepantasnyalah bidang pertahanan keamanan ini tidak lagi diabaikan, karena mengejar
pertumbuhan ekonomi dan kemantapan politik dan demokratisasi.
1. Kondisi Alat Utama Sistem Senjata Pertahanan memang tidak sekadar berurusan
dengan Alat Utama Sistem Senjata (alutsista). Namun, alutsista yang lengkap dan
kuat dapat dijadikan indikator nyata kondisi pertahanan nasional suatu negara.
Angkatan perang yang kuat tentu diimbangi dengan alutsista yang kuat pula. Dalam
hal ini, bermodal semangat
11 Ungkapan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto
(Kompas, 9/3)
"tidak takut mati membela bangsa" saja tidaklah cukup. Kekuatan alutsista TNI AD
sebagian besar masih bertumpu pada aset lama, meliputi 1.261 unit kendaraan tempur,
namun yang siap operasi 799 unit; 59.842 unit kendaraan bermotor, namun yang siap
operasi 52.165 unit; 538.469 pucuk senjata dengan berbagai jenis yang siap operasi
392.431 pucuk; dan pesawat terbang 53 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 27
unit. Kekuatan alutsista Angkatan Laut (AL) meliputi unsur kapal striking force 18
unit, patrilling force 58 unit, supporting force 67 unit, dan KAL 317 unit yang
siap operasi 76. Unsur pesawat udara terdiri atas 65 unit dari berbagai jenis yang
siap operasi 39. Kendaraan tempur marinir 410 unit yang siap operasi 157 unit.
Kekuatan alutsista Angkatan Udara (AU) bertumpu pada pesawat tempur, pesawat
angkut, pesawat helikopter, dan jenis pesawat lain serta peralatan rudal dan radar
yang meliputi 234 unit pesawat berbagai jenis dengan kondisi siap operasi 57%,
radar 17 unit dengan kondisi siap operasi 88,8%, rudal QW-3 untuk operasional
Paskhas dengan kondisi siap operasi. Sumber lain menunjukkan bahwa alutsista yang
dioperasikan dan dipelihara TNI berada di ujung tanduk serta perlu dibenahi.
Kesiapan operasi alutsista yang ada$ sangat rendah, seperti dirangkum dalam tabel
sebagai berikut.12
Kondisi riil alutsista TNI yang kritis ini berfokus pada dimensi persoalan tuanya
usia alutsista yang digunakan. Rendahnya kesiapan operasional di atas tak ayal
12 Lihat Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII, hlm. 17.
membawa bencana bagi tubuh TNI itu sendiri, bahkan memakan korban jiwa. Tujuh
personil Marinir tewas setelah ikut tenggelam bersama tank Amphibi dalam latihan
militer di Situbondo, Jawa Timur. Helikopter S-58T Twinpack, yang telah digunakan
TNI AU sejak 1972, jatuh di Pekanbaru pada 8 Januari 2008. Kejadian serupa terjadi
pada helikopter Bell 47G Soloy, yang telah digunakan sejak 1978, pada 11 Maret
2008. Sebelum itu, pesawat tua OV-10 Bronco, yang telah digunakan sejak 1979, sudah
pernah dua kali jatuh dan memakan korban jiwa pada 2005 dan 2007. Bahaya
pengoperasian pesawat tua ini membuat Ketua Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal
Herman Prayitno pada 2007 memensiunkan OV-10 tersebut.
14
Kompas, 27/2/08
persoalan mendasar.15 Pertama, minimnya besaran anggaran, tidak hanya terhadap
pendapatan domestik bruto, melainkan juga secara absolut sangat kecil apabila
dilihat dari besar wilayah dan penduduk Indonesia. Lebih parah lagi, kekurangan
anggaran menjadi alasan-alasan di balik praktik-praktik off-budget dan kegiatan
bisnis militer. Kedua, masalah alokasi anggaran pertahanan yang masih menyimpan
berbagai pertanyaan tentang efektifitas dan efisiensinya karena birokrasi yang
panjang dalam institusi-institusi pertahanan. Ketiga, anggaran belum mencerminkan
suatu cara berpikir yang sistematis tentang apa yang hendak dicapai oleh kebijakan
pertahanan Indonesia dan bagaimana mencapainya. Keempat, anggaran pertahanan masih
banyak mencerminkan kekuatan eksekutif atas legislatif karena kendala sumber daya
manusia, keterbatasan informasi, dan faktor politik.
Dr. Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, (Jogyakarta: Lkis, 2005), hlm. 10-11.
Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005, hal. 29.
Pejuang Fungsi ABRI (Fungsi tempur dan fungsi teritorial—memegang pertahanan dan
perlawanan rakyat)
Pejuang Pikiran jalan tengah Nasution (ABRI sebagai alat pertahanan-keamanan dan
fungsi sosial) Fungsi sosial adalah untuk membangun mitra dengan kekuatan sipil
(intervensi)
Bergeser—fungsi sosial politik a) memilih posisi dan metode tidak selalu di depan
b) mengubah dari konsep menduduki menjadi memengaruhi c) mengubah dari cara-cara
memengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung bersedia melakukan berbagai
peran politik dengan mitra nonABRI
19 20
Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta, Narasi, 2005, hlm. 35-47.
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1999, hlm. 271-272. 21 Ibid, hlm. 272. 22 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde
Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta : LP3ES, 1992, hlm. 1.
B. Aktivitas Bisnis Militer Praktik-praktik bisnis militer secara legal ditetapkan
dengan UU Yayasan No.16 tahun 2001. Kecilnya anggaran militer khususnya untuk
kesejahteraan prajurit dijadikan alasan kuat prektik ini. Panglima TNI Jenderal
Endiarto Sutarto mengungkapkan bisnis militer menjadi andalan TNI untuk mendukung
kesejahteraan selama ini, oleh karenanya penghapusan bisnis militer harus diimbangi
dengan peningkatan anggaran TNI dalam APBN, dari kebutuhan ideal per tahun Rp 44-46
Triliun.23 Akan tetapi dalam realitanya praktik bisnis militer hasilnya hanya
dinikmati pada tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer berlangsung,
akan tetapi sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda kesejahteraahn prajurit
pun tidak menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang amat tajam antara
kesejahteraan kopral dengan jenderal. Kesenjangan yang ada dapat jelas dilihat dari
tabel di bawah ini.24
23 24
A. Penguatan Supremasi Sipil Supremasi sipil adalah pengakuan militer atas semua
produk yang dibuat sipil hasil pemilu demokratis, baik terkait regulasi militer
sendiri atau tidak. Ada dua indikator minimal dari supremasi sipil. Pertama, Dephan
harus dipimpin oleh seorang menteri pertahanan dan harus murni berasal dari sipil.
Kedua, adanya kontrol efektif dalam kebijakan pertahanan, operasional militer, dan
anggaran dari sipil. Adanya kontrol sipil ini harus tercermin dalam peran parlemen
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan legislasi yang telah dilakukan
melalui alokasi anggaran negara untuk pertahanan. Dalam konsepsi negara demokratik,
kontrol sipil atas militer dalam perspektif hubungan sipil-militer menurut
Huntington ada dua bentuk. Pertama, kontrol sipil subjektif (subjective civilian
control), yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Model ini diartikan sebagai upaya
meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok sipil. Kedua,
kontrol sipil objektif (objective civillian control), yakni memaksimalkan
profesionalisme militer. Model ini menunjukkan adanya pembagian kekuasaan politik
antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku
profesional. Kontrol sipil objektif bertolak belakang dengan kontrol sipil
subjektif. Kontrol sipil subjektif mencapai tujuannya dengan menyipilkan militer
dan membuat mereka sebagai alat kekuasaan belaka, sedangkan kontrol sipil
objektif mencapai tujuan dengan memiliterisasi militer dan membuat mereka sebagai
alat negara. Inti dari kontrol sipil objektif adalah pengakuan otonomi militer
profesional, sedangkan kontrol sipil subjektif adalah pengingkaran sebuah
independensi militer. Kontrol sipil objektif akan melahirkan hubungan sipil-militer
yang sehat dan lebih berpeluang menciptakan prinsip supremasi sipil. Sebaliknya,
kontrol subjektif membuat hubungan sipil-militer menjadi tidak sehat. Oleh sebab
itu, kontrol objektif tidak hanya sekedar meminimalisasi intervensi militer ke
dalam politik, tapi juga memerlukan keunggulan otoritas sipil yang terpilih
(elected politicians) di semua bidang politik, termasuk dalam penentuan anggaran
militer, konsep, dan strategi pertahanan nasional. Kedua poin di atas (kepemimpinan
Dephan oleh sipil dan keberadaan kontrol efektif sipil atas militer) sudah
dilakukan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid hingga sekarang dan harus tetap
dipertahankan untuk semakin menguatkan supremasi sipil. Jika hal tersebut
diabaikan, akan berakibat kembalinya sistem represif militer atas sipil.
Akan tetapi semua anggaran tersebut hanya mampu mendekati pagu kekuatan
25 Diolah dari berbagai sumber.
utama minimal pertahanan Indonesia sebesar tidak lebih dari 1 persen dari PDB.
Apalagi, sebagian besar belanja pertahanan tersebut habis dipakai untuk membiayai
gaji prajurit, fasilitas militer, dan pendidikan bela negara. Hingga tahun 2007
ini, pemerintah tetap belum dapat memberikan alokasi yang memadai untuk
mengembangkan industri pertahanan. Sehingga perlu adanya komitmen lebih serius
untuk memprioritaskan faktor anggaran ini. Tujuan besarnya adalah untuk dapat
memenuhi (1) pengeluaran rutin lembaga, di mana termaktub di dalamnya pemenuhan
kesejahteraan anggota dan personil; (2) modernisasi dan perawatan alat utama sistem
pertahanan (alutsista); dan (3) kebutuhan operasional tempur.
2. Solusi Strategis Solusi strategis adalah solusi yang dampaknya lebih signifikan
sekalipun membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Solusi ini meliputi:
V.1. Simpulan Sudah 63 tahun bangsa ini merdeka. Peranan militer bahkan sudah
dimulai jauh sebelum teriakan kemerdekaan dipekikkan. Militer senantiasa menjadi
garda terdepan dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Sampai sejauh ini, peranan
militer sudah mengalami pasang surut, mulai era kemerdekaan, era pemerintahan
represif, hingga era transisi. Sejauh itu pula permasalahan demi permasalahan
menyertai internal militer. Berbagai pihak, utamanya pemerintah, harus semakin
memperhatikan nasib alat pertahanan-keamanan negara tersebut. Berbagai persoalan
harus segera diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan yang bisa melegakan, seperti
persoalan rendahnya anggaran, yang berefek domini pada usangnya alat utama sistem
pertahanan dan rendanya tingkat kesejahteraan prajurit, persoalan regulasi yang
mengatur peranan dan aturan main yang seharusnya dilakoni militer sebagai bagian
dari Warga Negara Indonesia haruslah jelas, tegas, sinkron, dan tidak saling
tumpang tindih. Sebab, hal ini akan berdampak pada kejelasan visi dan misi serta
strategi besar daripada pertahanan-keamanan Indonesia itu sendiri. Sudah saatnya,
faktor idealnya sistem pertahanan-keamanan ini dipandang sebagai faktor penentu
efektif dan efisien serta lancarnya proses pembangunan yang sedang digalakkan di
negeri ini. Sehingga, pembenahan pada sektor ini tidak dapat lagi disepelekan
apalagi diabaikan, melainkan diprioritaskan dengan suatu grand design dan
dijalankan secara gradual dan konsisten. Jika tidak, mimpi Indonesia berwibawa dan
bermartabat semakin jauh.
40
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World
Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University
Press, 2001. Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-
Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Crouch, Harold.
Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999. Effendy,
Muhadjir. Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI. Malang : UMM Press, 2008.
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Jogyakarta : Lkis, 2005. John, Smith,
Steve. The Globalization of World Politics: An Introduction to International
Relations. Oxford : Oxford University Press, 2001. Liddle, R. William. Pemilu-
Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta : LP3ES, 1992 Nye, Jr.,
Joseph S. Understanding International Conflict: An Introduction to Theory and
History. United States : Longman, 1997. Rahakundini, Connie. Pertahanan Negara dan
Postur TNI Ideal. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007 Tim ProPatria Institute.
Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanankeamanan Negara. Jakarta : ProPatria
Institute, 2006. The RIDEF Institute, Praktik-praktik Bisnis Militer. Jakarta :
2003. Yulianto, Dwi Pratomo. Militer dan Kekuasaan. Jakarta : Narasi, 2005. Sumber
Internet Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html http://www.mail-
archive.com/indo-marxist@yahoogroups.com/msg02558.html antara.co.id
Sumber Majalah Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII. Sumber Koran Koran
Kompas Jawa Pos Sumber Jurnal Helga Haftendorn. “The Security Puzzle: Theory
Building and Discipline in International Security” dalam International Studies
Quarterly Vol.35. No.1, 1991. Liota P. H. “Boomerang Effect: The Convergence of
National and Human Security” dalam Security Dialogue Vol.33. No.4, 2002. Jurnal
Wacana Edisi 17 tahun 2004. Jogjakarta : Insist Press.
42
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta keterlibatan militer dalam politik masa orde baru No 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Departemen Dalam Negeri Luar Negeri Pertahanan
dan Keamanan Kehakiman Penerangan Keuangan Perdagangan dan Koperasi Pertanian
Perindustrian Pertambangan dan Energi Pekerjaan Umum Perhubungan Pendidikan dan
Kebudayaan Kesehatan Agama Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rata-rata Militer
(%) 89 50 100 50 57 30 38 40 38 14 12 56 44 38 56 57 50 48
Sumber; U.S. Military Spending vs. the World dan Center for Arms Control and Non-
Proliferation, February 22, 2008.
44
Lampiran 3 Gaji TNI – Polri data terakhir 2007 setelah mengalami penyesuaian
Pangkat TNI AD Jendral Letjen Mayjen Brigjen Kolonel Letkol Mayor Kapten Pangkat
Gaji (Rp) Polisi Jendral Pol 2,512,800.00 Komjen 2,436,600.00 Irjen 2,362,800.00
Brigjen Pol 2,291,100.00 Kombes 2,221,700.00 Ajun Kombes 2,154,300.00 Komisaris
2,089,000.00 Ajun 2,025,700.00 komisaris pol Lettu Lettu Lettu Inspektu pol
1,964,300.00 satu Letda Letda Letda Inspektur pol 1,881,300.00 dua Pembantu
Pembantu Pembantu Ajun Ins pol 1,652,700.00 lettu lettu lettu satu Pembantu
Pembantu Pembantu Ajun Ins pol 1,602,600.00 letda letda letda dua Sersan mayor
Sersan mayor Sersan mayor Brigadir pol 1,554,000.00 kepala Sersan kepala Sersan
kepala Sersan kepala Brigadir pol 1,506,900.00 Sersan satu Sersan satu Sersan satu
Brigadir pol 1,461,200.00 satu Sersan dua Sersan dua Sersan dua Brigadir pol
1,416,900.00 dua Kopral kepala Kopral kepala Kopral kepala Ajun Brig Pol
1,244,700.00 Koptu Koptu Koptu Ajun Brig Pol 1,207,000.00 Satu Kopda Kopda Kopda
Ajun Brig Pol 1,170,400.00 Dua Prajurit kepala Prajurit kepala Prajurit kepala
Bhayangkara 1,134,900.00 kepala Pratu Kelasi satu Pratu Bhayangkara 1,100,500.00
satu Prada Kelasi dua Prada Bhayangkara 967,200.00 dua Sumber ;
http://www.badilag.net/data/PERATURAN_BARU/se_03_2007.pdf Pangkat TNI AL Laksamana
Laks.Madya Laks.Muda Laks.Pertama Kolonel Letkol Mayor Kapten Pangkat TNI AL
Marsekal Mars.Madya Mars.Muda Mars.Pertama Kolonel Letkol Mayor Kapten