Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

OS PTERIGIUM PRIMER GRADE IV

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Ida Nugrahani, Sp.M

Diajukan Oleh :
Laela Nurrochmah, S.Ked
J510170077

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
RSUD KARANGANYAR
2018
CASE REPORT
OS PTERIGIUM PRIMER GRADE IV

OLEH:
Laela Nurrochmah, S.Ked
J510170077

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari …........…, …. Agustus 2018
Dipersentasikan dihadapan:

Pembimbing:
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva


yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan
berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara
geografis, pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Karena Indonesia beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi
mengalami pterigium. Dari hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National
Eye Center, yang melakukan penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa
prevalensi pterigium pada usia di atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas
40 tahun adalah 16,8%.1,2,3

Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya


frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di
Indonesia adalah 35–52%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo
didapatkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain
itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu
penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium
lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan
penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2,3
BAB II

LAPORAN KASUS

II.1. Identifikasi

Nama : Ny. S
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Karanganyar
MRS : 7 Agustus 2018

II.2. Anamnesis (Autoanamnesis, 7 Agustus 2018)

Keluhan Utama:

Penglihatan mata kiri kabur

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Sejak ± 3 bulan yang lalu penderita mengeluh penglihatan mata kiri kabur,
terlihat adanya lemak/daging yang mengganjal pada mata sebelah kiri, perih
(+), berair (+), silau saat melihat (+). Seminggu yang lalu, penglihatan
dirasakan semakin kabur. Lalu pasien datang ke poliklinik mata RSUD
Karanganyar.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat memakai kacamata (-)
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
 Riwayat kedua orang tua memakai kacamata (+)
 Riwayat pterigium pada keluarga disangkal
Status Gizi :
Berat Badan : 47 kg
Tinggi Badan : 149cm

II.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Status Oftalmologikus

OD OS
Visus 6/9 6/15

Kedudukan Bola Mata Orthoforia

Gerakan Bola Mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Segmen Anterior

silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Terdapat jaringan fibrovaskular dari tepi limbus
hingga menutupi pupil

Kornea Licin, jernih


Licin, jernih
Bilik Mata Depan dalam, jernih
dalam, jernih
Iris Kripta iris normal
Kripta iris normal
Pupil Bulat 3mm, RC : D(+)/
Bulat 3mm, RC : D(+)/ ID(+)
ID(+)
Lensa
Jernih
Jernih
Pemeriksaan slitlamp

Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan


Konjungtiva Injeksi (-) Injeksi (-)
Kornea Jernih Terdapat jaringan fibrovaskular
pada tepi kornea hingga
menutupi pupil
Darah (-) pus (-)
Coa Darah (-) pus (-)
Warna coklat,kripta iris normal
Iris Warna coklat,kripta iris
normal
Jernih Jernih
lensa

Gambar pada pasien.

II.4 Diagnosis Kerja


OS Pterigium primer grade IV

II.5 Penatalaksanaan
- Edukasi pada pasien untuk tindakan operasi, metode mcreynold
II.6 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi & Fisiologi


1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva
tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi
superior paling sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada
pterigium, konjungtiva yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva
bulbi.1,4,5

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


(diambil dari www.eastoneye.com)
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung
dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang
banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama
(oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.4,5
1.2 Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.1,4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan
untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel
tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan
mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun
longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah
bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah,
evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan
bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5
1.3 Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
a. Epitel
- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
- epitel berasal dari ektoderm permukaan.2
b. Membran Bowman
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
c. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama
yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membrane descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran
basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.
e. Endotel
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2 Trauma
atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea.

2. PTERIGIUM
2.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan
konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan
berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga
di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap.1,6
Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga
dengan puncak di kornea (diambil www.eastoneye.com)

2.2 Faktor resiko


Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.3,7
2.3 Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.7,8

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9

Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,


pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan
fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada
fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix
tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap
TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan konjungtiva
normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-α (tumor
necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9

Menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan


area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal
pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium
dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance
P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada
pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini
menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor
Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor pencetus neovaskularisasi
dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang melalui produksi sitokin
lokal dan sistemik.7,8

Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan


proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel
meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel
dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin, penumpukan
β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium.
Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan cytokeratin 14.
Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam patogenesis
pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting dalam
patogenesis pterigium.10,11

2.4 Penegakan Diagnosis


- Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia
20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu
ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3
- Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut
cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat
atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi
beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar
3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan8

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea


lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

2.5 Diagnosis Banding


Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi
bulbi berbentuk dengan kornea yang
segitiga cacat
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G.,
Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu
Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)
2.6 Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian
obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah
dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga
dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami
gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren,
terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang
terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat
diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan
dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang
sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di
daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena
trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering
digunakan untuk mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft
(Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva
normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara
normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan
pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil
dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.
Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang
baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya
pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian
MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik
yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan
89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi
jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya
pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva
dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan
angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen
untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia.
Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6
Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,
(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au)
2.7 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)
pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
- Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sklera dan kornea.
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.
- Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan
epitel di atas pterigium.11
2.8 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.11
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Karanganyar dengan keluhan utama


pandangan kabur pada mata kiri sejak ± 3 bulan yang lalu penderita mengeluh
penglihatan mata kiri kabur, terlihat adanya lemak pada mata sebelah kiri, perih (+),
berair (-), silau saat melihat (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
gambaran jaringan seperti lemak/daging yang menutupi mata sebelah kiri. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini di diagnosis sebagai suatu
pterigium.
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena
pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang
diterima oleh mata.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat
lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke
kornea pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan
lesi pterigium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat
dinilai dengan melihat luas pterigium. Penentuan derajat pterigium sangat penting
untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu
cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2,
sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared


with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 1341–1346. Avaiable at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Pterygium and Pingueculum available at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm

Anda mungkin juga menyukai