APENDISITIS AKUT
Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Ahmad Rusli, Sp. B
Disusun Oleh:
Safrilia Gandhi Maharani
1710221079
Dokter Pembimbing
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Apendisitis
Akut”. Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Apendisitis Akut dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Tentara TK II dr.
Soedjono, Magelang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, dr. Ahmad Rusli, Sp. B yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan kasus
ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. DA
Usia : 14 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Secang
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMP
No. CM : 118274
Tgl Masuk RS : 27 Agustus 2018
b. Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 0
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 7
Interpretasi : Kemungkinan besar apendisitis (≥7)
V. DIAGNOSIS
Apendisitis Akut
VI. PLANNING
Treatment
1. Non medikamentosa
- Informed consent
- Appendektomi
2. Medikamentosa :
• Infus RL 16 tpm
• Injeksi Cefotaxime 2x1 gram IV
• Injeksi Ranitidin 3x1 IV
• USG Abdomen
Hasil USG Abdomen yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2018.
Kesan :
- Appendix tak tervisualiasasi, tak tampak tanda-tanda komplikasi
appendicitis pada regio Mc Burney
- Sonography tak tampak kelainan pada morfologi hepar, VF, ren
bilateral, lien, pancreas, uterus, dan VU
VII. EDUKASI
• Mengedukasi pasien untuk rutin makan makanan berserat
• Mengedukasi pasien untuk banyak mengkonsumsi air putih
• Mengedukasi pasien untuk rutin berolahraga dan rutin aktivitas fisik
LAPORAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2018 pada pukul 11.30 WIB
Diagnosis Pre Operasi : Apendisitis Akut
Diagnosis Post Operasi : Apendisitis Akut
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Tindakan Operasi : Appendektomi
Laporan Operasi :
• Pasien dalam spinal anestesi, aseptic dan antiseptic daerah operasi
• Insisi Mc Burney
• Buka peritoneum, identifikasi caecum
• Paparkan appendiks, appendiks oedem dan hiperemi
• Dilakukan Apendektomi dan double ligasi
• Control perdarahan
• Jahit luka lapis demi lapis. Operasi selesai
Instruksi Pasca Bedah :
• Observasi kesadaran dan tanda vital
• Diet nasi
• Inf. RL 20 tpm
• Inj. Ceftriaxone 1 gr 1x1 IV
• Inj. Ketorolac 30 mg 3x1 IV
3.1 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Tanto dkk,
2014). Appendicitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada
appendix. Obstruksi menyebabkan appendix menjadi bengkak, perubahan
flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat
ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada appendix. Sehingga akibatnya terjadi
peritonitis atau terbentuknya abses disekitar appendix (Schwartz’s, 2011).
3.3 EPIDEMIOLOGI
Appendicitis merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah. Insiden
appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010). Lebih dari 250.000 apendektomi
dilakukan setiap tahun di AS. Meskipun begitu, insiden lebih rendah terjadi
pada pasien denngan konsumsi serat yang tinggi. Prevalensi secara
keseluruhan apendisitis akut terjadi pada 8.6% laki laki dan 6.7% perempuan,
dan appendektomi12% pada laki laki dan 23% pada perempuan (Lobo, D.,
2018).
Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2006,
appendicitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah
dispepsia, gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040. Selain itu, pada tahun 2008, insidensi appendicitis di Indonesia
menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya
(Tanto dkk, 2014).
Appendicitis dapat ditemukan pada semua usia, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok
usia 20-30 tahun dan menurun pada usia diatas usia tersebut. Insiden
appendicitis pada laki-laki 8.6% dan perempuan 6.7% (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
3.4 ETIOLOGI
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang
terjadi pada lumen appendix. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan feses yang keras (fecalith), hiperplasia jaringan limfoid,
tumor appendix, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Diantara penyebab obstruksi lumen
yang telah disebutkan, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan
penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang
menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa appendiks akibat parasite E.
hystolitica (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya penyakit appendicitis. Feses yang keras dapat menyebabkan
terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendix dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Semua ini akan mempermudah timbulnya appendicitis (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
3.7.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan gambaran klinis khas apendisitis yaitu nyeri
mula mula di epigastrium atau regio umbilicus, disertai mual dan
muntah. Kemudian nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah pada titik
Mc Burney. Biasanya pasien juga merasakan keluhan nyeri kanan
bawah bila peritoneum bergerak, seperti saat berjalan,batuk, ataupun
mengejan (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
3.7.2 Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5 °C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C (Sjamsuhidajat, R. & De
Jong., 2010).
Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka
kanan, bisa disertai nyeri lepas (Rebound tenderness). Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan
perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang
disebut tanda Rovsing, dan nyeri saat penekanan perut kiri bawah
dilepaskan (Blumberg sign) (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Gambar 1
Pemeriksaan rovsign sign
Gambar 3
USG apendisitis
Skor
Perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah 1
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1
Demam ≥37,3oC 1
Leukositosis ≥10.000 / mm3 2
Shift to the left of neutrophils >75% 1
Total 10
Interpretasi Alvarado score (Lobo, D., 2018) :
• Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 point
- 1–4 dipertimbangkan appendisitis akut
- 5–6 kemungkinan besar appendisitis tidak perlu operasi
- 7–9 appendisitis akut perlu pembedahan
• Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
- 1–4 : observasi
- 5–6 : antibiotic
- 7 – 10 : operasi dini
3.9 TATALAKSANA
The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik
profilaksis sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum
luas kurang dari 24 jam untuk appendicitis non perforasi dan kurang dari 5
jam untuk apendisitis perforasi. Pemberian antibiotik intravena diberikan
untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk
generasi ke-3 cephalosporin, ampicillin-sulbaktam, dll dan metronidazol
atau klindamisin untuk bakteri anaerob. Pemberian antibiotik post operasi
harus diubah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan
sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit (Hardin, 1999).
Penggantian cairan dan elektrolit. Cairan yang secara masif ke
rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena. Cairan
harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan
mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.
Darah diberikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara
bersamaan (Hardin, 1999).
Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik sudah jelas adalah
appendektomi. Penundaan tindakan bedah sambil dilakukan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidajat, R. & De
Jong., 2010).
Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan
laparoskopi. Bila appendektomi terbuka, insisi Mc. Burney paling banyak
dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosanya tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi dulu (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Teknik Apendektomi McBurney adalah sebagai berikut :
1. Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum ataupun regional.
Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut
kanan bawah.
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan
otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya,
berturut-turut m. oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m.
transverses abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum.
5. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang
pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga
tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam
Caecum).
Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut
ginekologi dari Appendicitis acuta (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
3.10 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas secara keseluruhan berkisar
antara 0.2 – 0.8 %dan disebabkan oleh komplikasi penyakit atau intervensi
bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0.1 -1 %. Sedangkan pada pasien
diatas 70 tahun angka ini meningkat diatas 20% karena keterlambatan
diagnosis dan terapi (Tanto dkk, 2014).
3.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lengkung usus halus (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010). Selain
itu komplikasi yang dapat timbul yaitu peritonitis umum, abses apendiks,
tromboflebitis supuratif system portal, abses subfrenikus, sepsis, dan
obstruksi usus (Tanto dkk, 2014).
BAB IV
KESIMPULAN
Schwartz’s, 2011. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill.
P. 1241-1257
Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hal 756-762
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E., 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
“Bedah Digestif”. Media Aesculapius. Jakarta. Edisi 4, Jilid 2, hlm. 213 – 214