Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

APENDISITIS AKUT

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Ahmad Rusli, Sp. B

Disusun Oleh:
Safrilia Gandhi Maharani
1710221079

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO
MAGELANG
PERIODE 6 AGUSTUS - 12 SEPTEMBER 2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS APENDISITIS AKUT

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen


Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: September 2018

Dokter Pembimbing

dr. Ahmad Rusli, Sp. B


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Apendisitis
Akut”. Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Apendisitis Akut dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Tentara TK II dr.
Soedjono, Magelang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, dr. Ahmad Rusli, Sp. B yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan kasus
ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.

Magelang, September 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Tanto dkk, 2014). Insiden
appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Appendicitis terjadi karena obstruksi yang terjadi pada lumen appendix sehingga
menimbulkan infeksi bakteri dan menyebabkan peradangan. (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
Lebih dari 250.000 apendektomi dilakukan setiap tahun di AS. Meskipun
begitu, insiden lebih rendah terjadi pada pasien dengan konsumsi serat yang tinggi.
Prevalensi secara keseluruhan apendisitis akut terjadi pada 8.6% laki laki dan 6.7%
perempuan. (Lobo, D., 2018).
Appendicitis dapat ditemukan pada semua usia, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun dan
menurun pada usia diatas usia tersebut. Insiden appendicitis pada laki-laki 8.6%
dan perempuan 6.7% (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. DA
Usia : 14 tahun
Status Perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Secang
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMP
No. CM : 118274
Tgl Masuk RS : 27 Agustus 2018

II. ANAMNESIS (SUBJEKTIF)


PRE OPERATIF
A. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 3 hari yang lalu.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik bedah umum RST Soedjono
Magelang pada tanggal 27 Agustus 2018 dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 3 hari yang lalu. Pasien merasakan nyeri perut
seperti tertusuk-tusuk. Pasien mengaku nyeri yang dirasakan semakin
memberat. Keluhan tersebut disertai adanya mual dan muntah. Selain
itu pasien juga mengeluh demam sejak 1 hari SMRS. Napsu makan
pasien menurun. BAB dan BAK pasien normal. Pasien mengaku
sebelumnya tidak pernah mengeluh hal seperti ini, riwayat hipertensi
disangkal, riwayat DM disangkal, riwayat penyakit ginjal disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
• R. Keluhan serupa : disangkal
• R.P batuk lama : disangkal
• R.P asma : disangkal
• R.P hipertensi : disangkal
• R.P DM : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


• R. Keluhan serupa : disangkal
• R.P batuk lama : disangkal
• R.P asma : disangkal
• R.P hipertensi : disangkal
• R.P DM : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien mengaku memiliki kebiasaan memakan makanan yang terlalu
pedas. Pasien tinggal bersama orangtua. Biaya pengobatan ditanggung
oleh BPJS.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal 28 Agustus 2018 di Ruang Cempaka.
A. Status Generalis
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Compos mentis
• Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,8 C
Pernapasan : 20 x/menit
• Antropometri
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 150 cm
IMT : 20 kg/m2
• Kepala
Tampak kepala normocepal, rambut berwarna hitam, serta tidak
mudah dicabut.
• Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
• Hidung
Bentuk normal, sekret (-/-), nyeri tekan (-).
• Telinga
Bentuk normal, discharge (-/-).
• Mulut
Bibir tidak tampak kering, sianosis (-), lidah tidak ada kelainan,
uvula di tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1.
• Leher
Benjolan di leher (-).
• Thorax
a. Paru
Inspeksi : bentuk normal, simetris, otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : vocal fremitus sama kuat pada seluruh lapang paru,
nyeri tekan
(-/-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
b. Jantung
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
- Batas kiri : ICS V, 1-2 cm ke medial linea midclavicula
sinistra
- Batas atas : ICS II, linea parasternal sinistra
- Batas kanan : ICS IV, linea sternalis dextra
- Batas pinggang : ICS III linea parasternal kiri
Auskultasi: BJ I-II normal, suara tambahan (-)
• Abdomen
Inspeksi : datar, pergerakan usus (-), sikatrik (-), massa (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : Mc burney sign (+), rovsing sign (+), rebound
tenderness (+) defans muskular (-), hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, oedem (-)
• Kulit : Tidak tampak kelainan
• Kelenjar Getah Bening inguinal tidak teraba membesar

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium 27 Agustus 2018
Result Normal Range
Wbc 4.8 K/uL 3.6 – 11.0
• Lym 2.2 K/uL 0.5 – 5.0
• Mid 0.7 K/Ul 0.1 – 1.5
• Gra 1.9 K/Ul 1.2 – 8.0
RBC 4.62 M/uL 3.90 – 5.50
HGB 13.2 g/dl 12.0 – 16.0
HCT 40.9 % 35.0 – 47.0
MCV 87.2 fl 80.0 – 100.0
MCH 28.6 pg 26.0 – 35.0
MCHC 32.8 g/dl 31.0 – 36.0
RDW 11.4 % 11.0 – 16.0
PLT 287 K/Ul 150 – 440
MPV 7.8 fl 8.0 – 11.0
PCT 0.22 % 0.01 – 9.99
PDW 14.5 % 0.1 – 99.9
CT 12 menit
BT 3 menit
GDS 98 mg/dl 70 - 115

b. Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 0
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 7
Interpretasi : Kemungkinan besar apendisitis (≥7)

V. DIAGNOSIS
Apendisitis Akut

VI. PLANNING
Treatment
1. Non medikamentosa
- Informed consent
- Appendektomi
2. Medikamentosa :
• Infus RL 16 tpm
• Injeksi Cefotaxime 2x1 gram IV
• Injeksi Ranitidin 3x1 IV
• USG Abdomen
Hasil USG Abdomen yang dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2018.
Kesan :
- Appendix tak tervisualiasasi, tak tampak tanda-tanda komplikasi
appendicitis pada regio Mc Burney
- Sonography tak tampak kelainan pada morfologi hepar, VF, ren
bilateral, lien, pancreas, uterus, dan VU

VII. EDUKASI
• Mengedukasi pasien untuk rutin makan makanan berserat
• Mengedukasi pasien untuk banyak mengkonsumsi air putih
• Mengedukasi pasien untuk rutin berolahraga dan rutin aktivitas fisik

LAPORAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2018 pada pukul 11.30 WIB
Diagnosis Pre Operasi : Apendisitis Akut
Diagnosis Post Operasi : Apendisitis Akut
Jenis Anestesi : Spinal Anestesi
Tindakan Operasi : Appendektomi
Laporan Operasi :
• Pasien dalam spinal anestesi, aseptic dan antiseptic daerah operasi
• Insisi Mc Burney
• Buka peritoneum, identifikasi caecum
• Paparkan appendiks, appendiks oedem dan hiperemi
• Dilakukan Apendektomi dan double ligasi
• Control perdarahan
• Jahit luka lapis demi lapis. Operasi selesai
Instruksi Pasca Bedah :
• Observasi kesadaran dan tanda vital
• Diet nasi
• Inf. RL 20 tpm
• Inj. Ceftriaxone 1 gr 1x1 IV
• Inj. Ketorolac 30 mg 3x1 IV

FOLLOW UP PASIEN POST OPERASI


S O A P
Tanggal 29 Agustus 2018
Nyeri pada TD 110/70 Post Op. Apendektomi ✓ Observasi KU
luka bekas HR 80 x/menit ✓ Cek TTV
operasi T=36,5 °C
GCS 15, E4M6V5 • Inf. RL 20 tpm
Akral hangat +/+ • Inj. Ceftriaxone
1 gr 1x1 IV
Inj. Ketorolac 30
mg 3x1 IV
Tanggal 30 Agustus 2018
Nyeri pada TD 120/80 Post Op. Apendektomi Observasi KU
luka bekas HR 76 x/menit Cek TTV
operasi T=36,3°C
mulai GCS 15, E4M6V5 • Inj. Ceftriaxone
berkurang Akral hangat +/+ 1 gr 1x1 IV
• Inj. Ketorolac
30 mg 3x1 IV
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Tanto dkk,
2014). Appendicitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada
appendix. Obstruksi menyebabkan appendix menjadi bengkak, perubahan
flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat
ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada appendix. Sehingga akibatnya terjadi
peritonitis atau terbentuknya abses disekitar appendix (Schwartz’s, 2011).

3.2 ANATOMI FISIOLOGI


Appendix merupakan organ berbentuk cacing, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
appendix berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan
itu memungkinkan apendiks bergerak dan geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon
asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilicus (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Perdarahan apendiks berasal dari arteri Apendikularis yang merupakan
arteri kolateral dari arteri mesentrikasuperior. Jika arteri apendikularis ini
tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Menurut letaknya, apendiks dibagi menjadi beberapa macam
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010):
• Appendix retrocecalis, terletak dibelakang coecum
• Appendix pelvicum, terletak menyilang a. iliaca externa dan masuk ke
dalam pelvis
• Appendix postcecalis terletak dibelakang atas kiri dari ileum
• Appendix retroileal
• Appendix decendentis, terletak descenden ke caudal.

Gambaran mikroskopis appendix vermiformis secara struktural mirip


kolon, terdapat empat lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika muskularis,
dan tunika serosa. Mukosa appendix terdiri dari selapis epitel di permukaan.
Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet, sel-sel neuro
endokrin,, dan beberapa sel paneth. Lamina propia dari mukosa adalah
lapisan seluler dengan dengan banyak komponen sel-sel migratory dan
agregasi limfoid. Berbeda dengan di colon dimana limfoid folikel tersebar,
pada appendix folikel limfoid ini sangat banyak dijumpai terutama pada
appendix individu berusia muda. Lapisan terluar dari mukosa adalah
muskularis mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular yang kurang
berkembang pada appendix (Zhang, 1999).
Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna.
Lapisan ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin serta
fibroblast. Lapisan submukosa juga dapat mengandung sel-sel migratory
seperti makrofag, sel-sel limfoid, sel-sel plasma serta sel mast. Pembuluh
darah dan limfe merupakan komponen yang dominan pada lapisan ini.
Pembuluh limfatik terdapat jelas dibawah dasar dari folikel limfoid. Dilapisan
ini juga terdapat struktur neural berupa pleksus meissner (Zhang, 1999).
Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa,
merupakan lapisan muskularis eksterna dari appendix. Lapisan ini terpisah
menjadi dua bagian yaitu lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal
disebelah luar. Diantara dua lapisan otot ini terdapat pleksus auerbach yang
serupa secara morfologi dan fungsi dengan pleksus meisner dilapisan
submukosa (Zhang, 1999).
Lapisan terluar dari appendix adalah lapisan serosa. Lapisan serosa ini
merupakan selapis sel-sel mesotelial kuboidal, yang terdapat pada lapisan
tipis jaringan fibrosa (Zhang, 1999).
Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lender tersebut
normalnya dicurahkan kedalam lumen dan dialirkan ke sekum. Hambatan
aliran lender di muara appendix tampaknya berperan pada patogenesis
appendicitis (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
appendix, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Pada pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).

3.3 EPIDEMIOLOGI
Appendicitis merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah. Insiden
appendicitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010). Lebih dari 250.000 apendektomi
dilakukan setiap tahun di AS. Meskipun begitu, insiden lebih rendah terjadi
pada pasien denngan konsumsi serat yang tinggi. Prevalensi secara
keseluruhan apendisitis akut terjadi pada 8.6% laki laki dan 6.7% perempuan,
dan appendektomi12% pada laki laki dan 23% pada perempuan (Lobo, D.,
2018).
Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2006,
appendicitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah
dispepsia, gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040. Selain itu, pada tahun 2008, insidensi appendicitis di Indonesia
menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya
(Tanto dkk, 2014).
Appendicitis dapat ditemukan pada semua usia, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok
usia 20-30 tahun dan menurun pada usia diatas usia tersebut. Insiden
appendicitis pada laki-laki 8.6% dan perempuan 6.7% (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).

3.4 ETIOLOGI
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang
terjadi pada lumen appendix. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan feses yang keras (fecalith), hiperplasia jaringan limfoid,
tumor appendix, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Diantara penyebab obstruksi lumen
yang telah disebutkan, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan
penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang
menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa appendiks akibat parasite E.
hystolitica (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya penyakit appendicitis. Feses yang keras dapat menyebabkan
terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendix dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Semua ini akan mempermudah timbulnya appendicitis (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).

3.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Apendisitis disebabkan oleh obstruksi yang diikuti oleh infeksi. Kira-
kira 60% kasus berhubungan dengan hyperplasia submukosa yaitu pada
folikel limfoid, 35% menunjukkan hubungan dengan adanya fekalit, 4%
kaitannya dengan benda asing dan 1% kaitannya dengan stiktur atau tumor
dinding apendiks ataupun sekum. Hiperplasi limfatik penting pada obstruksi
dengan frekuensi terbanyak terjadi pada anak-anak, sedangkan limfoid folikel
adalah respon apendiks terhadap adanya infeksi. Obstruksi karena fecalit
lebih sering terjadi pada orang tua. Adanya fekalit didukung oleh kebiasaan,
seperti pada orang barat urban yang cenderung mengkonsumsi makanan
rendah serat, dan tinggi karbohidrat dalam diet mereka (Tanto dkk, 2014).
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Tanto dkk, 2014).
Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan
mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan sehingga
menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri eperiumbilikal (Tanto dkk,
2014).
Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
petumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai apendisitis supuratif akut
(Tanto dkk, 2014).
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. Meskipun bervariasi, biasanya perforasi terjadi paling
cepat 48 jam setelah gejala (Tanto dkk, 2014).
Bila semua proses diatas diikuti dengan imunitas yang cukup baik,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Tanto dkk, 2014).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang lengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan disebut apendisitis
eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Tanto dkk, 2014).

3.6 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral dan nantinya akan terlokalisir pada abdomen
kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada beberapa jam nyeri akan pindah ke kuadran
kanan bawah pada titik Mc Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis
iliaka anterior superior (SIAS). Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Nyeri yang dirasakan
yaitu nyeri tekan dan lepas di titik Mc Burney. Defans muscular juga dapat
dirasakan (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung seperti nyeri perut kanan
bawah saat ditekan kiri bawah (Rovsign sign), nyeri kanan bawah bila ditekan
di kiri dilepaskan (Blumberg sign), dan nyeri perut kanan bawah bila
peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk, dan mengejan
dapat dijumpai (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Kadang pasien tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi
sehingga pasien memerlukan pencahar. Hal tersebut dapat menyebabkan
perforasi lebih cepat. Bila ada rangsangan peritoneum, pasien mengeluh nyeri
saat berjalan atau batuk (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut
kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsang peritoneal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau
nyeri saat berjalan karena kontraksi muskulus psoas mayor yang menegang
dari dorsal (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Radang pada appendix yang terletak di rongga pelvis dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat dan pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat serta
berulang. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung appendix berada dekat
rektum. Jika appendix tadi menempel ke kandung kemih atau ureter, dapat
terjadi peningkatan frekuensi miksi, karena rangsangan appendix terhadap
dinding kandung kemih dan nyeri pada saat berkemih (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya anak
hanya rewel dan tidak mau makan. Setelahnya anak muntah-muntah sehingga
lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas, pada bayi 80-90% kasus
apendisitis sering baru diketahui setelah terjadinya perforasi. Pada orang
berusia lanjut juga gejalanya samar sehingga lebih dari separuh penderita bisa
didiagnosis setelah perforasi (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah, mirip gejala kehamilan pada trimester pertama. Pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke arah kraniolateral sehingga keluhan
nyeri berada di lumbal kanan (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).

3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
3.7.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan gambaran klinis khas apendisitis yaitu nyeri
mula mula di epigastrium atau regio umbilicus, disertai mual dan
muntah. Kemudian nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah pada titik
Mc Burney. Biasanya pasien juga merasakan keluhan nyeri kanan
bawah bila peritoneum bergerak, seperti saat berjalan,batuk, ataupun
mengejan (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
3.7.2 Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5 °C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat
perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C (Sjamsuhidajat, R. & De
Jong., 2010).
Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka
kanan, bisa disertai nyeri lepas (Rebound tenderness). Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan
perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang
disebut tanda Rovsing, dan nyeri saat penekanan perut kiri bawah
dilepaskan (Blumberg sign) (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).

Gambar 1
Pemeriksaan rovsign sign

Pada auskultasi, peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat


menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata
yang disebabkan oleh apendisitis perforate (Sjamsuhidajat, R. & De
Jong., 2010).
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh
uterus, keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan
III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada
kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil
karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau
apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai
dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi
dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan; maka, kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Pemeriksaan tes psoas dan tes obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
Tes psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, Pasien dimiringkan kekiri. Bila terdapat hambatan pada
pinggul/pangkal paha kanan maka tes psoas positif. Hal tersebut
menunjukan apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor
sehingga tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri (Sjamsuhidajat, R.
& De Jong., 2010).
Tes obturator digunakan untuk melihat apendiks yang meradang
bersentuhan dengan otor obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan meregang sehingga menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Gambar 2
Tes psoas dan obturator

3.7.3 Pemeriksaan penunjang


1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis
ringan umumnya pada appendicitis akut tanpa komplikasi dan sering
dijumpai sel neutrofil >75%. Jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3
- 18.000/mm3. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan
adanya apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
(Lobo, D., 2018).
Pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat
4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90% (Lobo, D., 2018).
Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila appendix yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pada perempuan perlu diperiksa
tes kehamilan bila dicurigai kehamilan ektopik sebagai diagnosis
banding (Lobo, D., 2018).
2. Radiologi
Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks
Adanya peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran
appendiks lebih dari normal (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain
pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel disease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan Pelvic
Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG. USG memiliki sensitifitas 86% dan spesifisitas 81%
dalam mendiagnosis apendisitis akut (Lobo, D., 2018).

Gambar 3
USG apendisitis

Pada pemeriksaan CT scan didapatkan penebalan dinding


apendiks dan inflamasi di jaringan sekitarnya adalah temuan
tambahan yang terlihat pada CT scan abdomen dan pelvis.
Sensitivitas dan spesifisitas CT scan dalam mendeteksi apendisitis
akut telah dilaporkan menjadi 94% dan 95%, masing-masing.
Apendiks yang abnormal (diameter> 6 mm) diidentifikasi atau
apendisolit kalsifikasi yang terlihat berhubungan dengan
periappendiceal inflamasi (Lobo, D., 2018).
Gambar 4
CT Scan abdomen pada apendisitis

Pada wanita hamil yang memiliki gambaran apendisitis,


sonogram perut harus dilakukan untuk mengidentifikasi apendiks.
Jika pemeriksaan sonogram tidak dapat disimpulkan, baik MRI perut
(terutama pada awal kehamilan) atau CT scan harus dilakukan
(Lobo, D., 2018).

3.7.4 Sistem skor


Alvarado score, dibuat tahun 1986, adalah sistem scoring paling
sering digunakan untuk menilai apendisitis akut, meskipun skor
tersebut tidak bisa mendiagnosis atau mengeluarkan apendisitis (Lobo,
D., 2018).

Skor
Perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah 1
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1
Demam ≥37,3oC 1
Leukositosis ≥10.000 / mm3 2
Shift to the left of neutrophils >75% 1
Total 10
Interpretasi Alvarado score (Lobo, D., 2018) :
• Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 point
- 1–4 dipertimbangkan appendisitis akut
- 5–6 kemungkinan besar appendisitis tidak perlu operasi
- 7–9 appendisitis akut perlu pembedahan
• Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
- 1–4 : observasi
- 5–6 : antibiotic
- 7 – 10 : operasi dini

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010):
• Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
appendiksitis akut.
• Demam dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan rasa sakit perut di epigastrium mirip
peritonitis, juga disertai mual muntah. Didapatkan hasil tes positif untuk
Rumple leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat. Demamnya
saddle type, hal ini membedakannya dengan demam akibat apendisitis.
• Demam Typhoid
Gejalanya hampir mirip dengan apendisitis yaitu ada nyeri perut, mual,
muntah, demam tinggi intermitten. Perbedaannya, pada demam thyfoid
lidah penderita tampak kotor.
• Limfadenitis mesenterika
Biasa didahului oleh enteritis atau gastrienteritis ditandai dengan nyeri
perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut
samar, terutama kanan.
• Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut
kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri
yang sama pernah timbul lebih dulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri
biasanya hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu
selama dua hari. Jarang disertai dengan demam dan leukositosis
• Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan appendiksitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendiksitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan
ditemukan bakteri diplococcus pada secret. dan infeksi urin. Pada colok
vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada
gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.
• Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan
nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan
darah.
• Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat
menentukan diagosis.
• Endometriosis eksterna
Endometrium diluar rahim akan memberikan gejala nyeri di tempat
endometriosis tersebut berada, dan ada darah menstruasi terkumpul di
tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
• Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.
• Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu diperhatikan
adalah peradangan perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak
duodenum atau lambung, kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis
kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,
karsinoid, dan mukokel appendiks.

3.9 TATALAKSANA
The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik
profilaksis sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum
luas kurang dari 24 jam untuk appendicitis non perforasi dan kurang dari 5
jam untuk apendisitis perforasi. Pemberian antibiotik intravena diberikan
untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk
generasi ke-3 cephalosporin, ampicillin-sulbaktam, dll dan metronidazol
atau klindamisin untuk bakteri anaerob. Pemberian antibiotik post operasi
harus diubah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan
sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit (Hardin, 1999).
Penggantian cairan dan elektrolit. Cairan yang secara masif ke
rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena. Cairan
harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan
mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik.
Darah diberikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara
bersamaan (Hardin, 1999).
Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik sudah jelas adalah
appendektomi. Penundaan tindakan bedah sambil dilakukan pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidajat, R. & De
Jong., 2010).
Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan
laparoskopi. Bila appendektomi terbuka, insisi Mc. Burney paling banyak
dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosanya tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi dulu (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Teknik Apendektomi McBurney adalah sebagai berikut :
1. Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum ataupun regional.
Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut
kanan bawah.
2. Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan
otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya,
berturut-turut m. oblikus abdominis eksternus, m. abdominis internus, m.
transverses abdominis, sampai akhirnya tampak peritoneum.

3. Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi, sekum beserta


apendiks diluksasi keluar
4. Mesoapendiks dibebaskan dann dipotong dari apendiks secara biasa, dari
puncak kearah basis. Semua perdarahan dirawat.

5. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang
pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga
tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam
Caecum).

6. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

7. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:


a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan
ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung
rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.
8. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah.
Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut
ginekologi dari Appendicitis acuta (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).

3.10 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas secara keseluruhan berkisar
antara 0.2 – 0.8 %dan disebabkan oleh komplikasi penyakit atau intervensi
bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0.1 -1 %. Sedangkan pada pasien
diatas 70 tahun angka ini meningkat diatas 20% karena keterlambatan
diagnosis dan terapi (Tanto dkk, 2014).

3.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lengkung usus halus (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010). Selain
itu komplikasi yang dapat timbul yaitu peritonitis umum, abses apendiks,
tromboflebitis supuratif system portal, abses subfrenikus, sepsis, dan
obstruksi usus (Tanto dkk, 2014).
BAB IV
KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Tanto dkk, 2014).
Appendicitis terjadi karena obstruksi yang terjadi pada lumen appendix sehingga
menimbulkan infeksi bakteri dan menyebabkan peradangan. (Sjamsuhidajat, R. &
De Jong., 2010).
Diagnosis apendisitis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan
teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada. sekitar 15-20%
kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan, terutama yang
masih muda, sering timbul gangguan yang menyerupai apendisitis akut. Keluhan
itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau
penyakit ginekologik lain (Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis
meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap
1-2 jam. Foro barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan
akurasi diagnosis, demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan
(Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of


Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

Lobo, D., 2018. British medical journal : Acute appendicitis


https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/290

Schwartz’s, 2011. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill.
P. 1241-1257

Sjamsuhidajat, R. & De Jong., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hal 756-762

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E., 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
“Bedah Digestif”. Media Aesculapius. Jakarta. Edisi 4, Jilid 2, hlm. 213 – 214

Zhang, 1999. An Atlas of Histology. P. 234-236

Anda mungkin juga menyukai