Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

Fraktur Tertutup Femur Dextra

Pembimbing :
Kapten CKM dr. Mulya Imansyah, Sp.OT

Disusun Oleh :
Andri Yanuardi 1710221088
Safrilia Gandhi 1710221xxx

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RST DR. SOEDJONO TK. II MAGELANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
FRAKTUR TERTUTUP FEMUR DEXTRA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Bedah RST Tingkat II
dr. Soedjono Magelang

Disusun Oleh:
Andri Yanuardi 1710221088
Safrilia Gandhi 1710221xxx

Dosen Pembimbing

Kapten CKM dr. Mulya Imansyah, Sp.OT


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Fraktur
Tertutup Femur Dextra”. Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai Fraktur Tertutup Femur Dextra dan merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit
Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, dr. Mulya Imansyah, Sp.OT yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan
kasus ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan
kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang
akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.

Magelang, 1 Oktober 2018

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas
Nama : Ny. SM
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Grabag
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : 20 September 2018
Bangsal : Cempaka

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 24 September 2018.
Keluhan Utama : Nyeri pada paha kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RST Soedjono post terjatuh dari ketinggian, pasien mengeluhkan
kaki kanan pasien terasa nyeri dan sulit digerakkan. Tidak ada luka lecet, darah memar (-
), darah (-), bengkak (+) pada paha kanan. Pasien terjatuh saat sedang naik tangga. Pasien
sadar saat kejadian dan mengingat semua kejadian tersebut. Pasien menyangkal adanya
pusing, kejang, muntah, dan pingsan. Pasien menyangkal mengalami benturan pada
kepala maupun bagian tubuh lainnya. Pasien kemudian dibawa ke RST Soedjono
Magelang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Trauma : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat Pengobatan : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran/GCS : Compos Mentis, E4V6M5
Tanda vital :
- Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,2o C
- Saturasi Oksigen : 98 %

Kepala dan Leher


 Mata : Normocephal, Conjunctiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-,
pupil isokor 3mm/3mm, Refleks Cahaya +/+
 Telinga : Discharge (-)
 Hidung : Discharge (-)
 Mulut dan gigi : kering pada bibir (-), pucat (-), sianosis (-)
 Thyroid : tidak mengalami pembesaran,
 Limfe : tidak mengalami pembesaran

Thorax
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba tak kuat angkat
- Perkusi : Batas kanan ICS V LS dextra
Batas atas ICS II LPS sinistra
Batas pinggang ICS III LPS sinistra
Batas kiri ICS V 2 cm ke medial LMC sinistra
- Auskultasi : irama reguler, bising (-)
 Paru
- Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi otot bantu (-)
- Palpasi : Sterm fremitus kanan = kiri,
ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru kanan dan
kiri
- Auskultasi : Suara dasar : vesikuler
Suara tambahan : -
 Abdomen
- Inspeksi : Datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tak
teraba
Genetalia : dbn
Ekstremitas :
Superior Inferior
Warna Sawo matang Sawo matang
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capp refill <2’/<2’ <2’/<2’

B. Status Lokalis
Regio Femur Dextra
- Look : Bone expose (-), swelling (+), hemartrosis (-), deformitas
(+)
- Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (+), pulsasi A.Poplitea dan
A.Dorsalis pedis (+), perabaan hangat (+), sensasi (+),
capp refill (< 2’)
- Move : gerakan aktif dan pasif terhambat, gerakan abduksi dan
adduksi tungkai kanan terhambat, nyeri saat digerakkan.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Foto Femur Dextra AP/Lat

Interpretasi Ro :
- Fracture complete oblique femur dextra 1/3 media, aposisi tidak baik
- Tidak tampak dislokasi
- Fabella
- OA Genu Dextra
A : Alignment dan Aposisi kurang baik
B : Bone (terdapat fraktur os femur dextra dengan garis fraktur complete oblique)
C : Cartilago (cartilago intraartikuler baik)
S : Soft tissue (tidak tampak adanya kerusakan soft tissue)
a. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 21-10-2018)
Hb : 12 g / dl (11-16,5 g/dl)
Ht : 38,6 % (35-50 %)
Eritrosit : 4,32 juta / μl (3,8-5,8 juta / μl)
MCV : 82,1 fl (80-97 fl)
MCH : 28 pg (26,5-33,5 pg)
MCHC : 34,4 g / dl (31,5-35 g/dl)
Leukosit : 9.800 / μl (3,5-10 ribu / μl)
Trombosit : 211.000 / μl (150-390 ribu / μl)
PDW : 11.2 fl (0,1- 99,9 fl)
PCT : 0,16 % (0,01-9,99 %)
LPCR : 14,5 % (0,1-99,9 %)
Urea : 28 mg/dl (17-43 mg/dl)
Creatinin : 0.9 mg/dl (0,9-1,3 mg/dl)
GDS : 127 mg/dl (70-170 md/dl)
CT : 14’
BT : 2’

V. ASSESMENT
- Fraktur Tertutup Femur Dextra

VI. PLANNING
 Non-Farmakologi: Bidai, Plan operasi ORIF femur
 Farmakologi:
Infus RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Inj. Ranitidine 2x1 amp

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
LAPORAN OPERASI
Laporan operasi 24 September 2018
1. Pasien posisi left lateral decubitis dalam stadium anastesi dilakukan praping dan
draping.
2. Dilakukan incise lateral approach femur.
3. Incisi diperdalam lapis demi lapis cuis subcutis, fascia, muscle, dan sampai
tampak fracture site.
4. Dilakukan pembersihan punctum distal dalam fracture site.
5. Dilakukan reduksi dari fracture site.
6. Fiksasi fracture site broad plate to hole dan 9 buah screw.
7. Cuci luka, kontrol perdarahan.
8. Kompres luka dengan sterobach selama 5 menit.
9. Pasang drain
10. Jahit
11. Operasi selesai

Instruksi Pasca Bedah :


 Awasi tanda-tanda perdarahan
 Inf. RL 20 tpm
 Inj Ceftriaxone 2x1 amp IV
 Inj. Ketorolac 3x1 amp IV
 Inj. Dibekacin 1x1 amp IV
 Inj. Cernevit 1x1 amp IV
 Rontgen Femur Dextra AP/lateral
FOLLOW UP
25 September 2018
S O A P

 Nyeri Tampak sakit sedang Fraktur tertutup  Inf. RL 20 tpm


post op GCS : E4V5M6 Femur dextra  Inj Ceftriaxone 2x1 amp
Tanda Vital : IV
 TD : 120/80  Inj. Ketorolac 3x1 amp IV
 N : 80x/ menit
 RR : 20x/ menit
 S : 36,3o C
 Sat O2 : 98%
Status Lokalis
Genu Dextra
 Look = terpasang
drainage 200cc, bengkak (-
), darah (-), deformitas (-)
 Feel = nyeri tekan
(+), pulsasi (+)
 Move =
pergerakan aktif dan pasif
terbatas
26 Maret 2018
S O A P

 Nyeri Tampak sakit sedang Fraktur tertutup • Inf. RL 20 tpm


post op GCS : E4V5M6 Patella dextra • Inj Ceftriaxone 2x1
Tanda Vital : amp IV
 TD : 110/70 • Inj. Ketorolac 3x1
 N : 90x/ menit amp IV
 RR : 20x/ menit
 S : 36,3o C
 Sat O2 : 99%
Status Lokalis
Genu Dextra
 Look = terpasang
spalk (+), bengkak (+),
darah (-), deformitas (-)
 Feel = nyeri tekan
(+), , pulsasi (+)
 Move =
pergerakan aktif dan pasif
terbatas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Fraktur


Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Fraktur femur adalah
diskontinuitas dari femoral shafi yang bisa terjadi akibat trauma secara langsung
(kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak
dialami laki-laki dewasa. Patah pada tulang femur dapat menimbulkan perdarahan
cukup banyak serta mengakibatkan penderita mengalami syok.
Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung, kelelahann otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang /
osteoporosis. Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan
acetabulum bagian dari femur, terdiri dari: kepala leher, bagian terbesar dan kecil,
trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas.
Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa,
ligament dan otot. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber
utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dan pembuluh darah dari batang femur
meluas menuju daerah trankhanter dan bagian bawah dari leher femur.

Gambar 1. Tipe Fraktur

1.2 Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Cedera Traumatic
Cedera traumatic dapat disebabkan oleh:
1.Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang patah secara sepontan.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2.Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3.Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut:
1.Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2.Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri;
3.Rakhitis adalah suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorb Vitamin
D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbs Vitamin
D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

c. Secara Spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.

1.3 Manifestasi Klinis


a. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. Daya tarik kekuatan otot
menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya, perubahan keseimbangan
dan kontur terjadi seperti:
1.Rotasi pemendekan tulang.
2.Penekanan tulang.
b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dikarenakan aciran serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan ekstravasasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Echymosis dari perdarahan subcutaneous
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari ekstavasasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur.
e. Tenderness/ keempukkan.
f. Nyeri
Dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini mungkin disebabkan oleh
spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah
yang berdekatan.
g. Kehilangan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
h. Pergerakan abnormal
Pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang
i. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
j. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
k. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
Paralisis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
l. Gambaran X-Ray menentukan fraktur
Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur.
1.4 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur berdasarkan tempat terjadinya antara lain:
1. Fraktur Collum Femur
Fraktur Collum femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang
tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis.
Fraktur leher femur pada anak-anak jarang ditemukan. Fraktur ini lebih sering
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2.
Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
Fraktur terjadi karena jatuh pada derah trokanter, baik karena kecelakaan lalu
lintas maupun jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi, seperti terpeleset
dikamar mandi ketika panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Kaput femur
mendapat aliran darah dari tiga sumber sebagai berikut:
a. Pembuluh darah intramedular di dalam leher femur.
b. Pembuluh darah servikal asenden dalam retinakulum kapsul sendi.
c. Pembuluh darah dari ligamen yang berputar.
Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intramedular dan pembuluh darah
retinakulum selalu mengalami robekan apabila terjadi pergeseran fragmen.
Fraktur transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler dan mempunyai
kapasitas yang sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan
pembuluh darah, periosteum yang rapuh, serta hambatan dari cairan sinovial.
Lebih dari 1/3 klien fraktur leher femur tidak dapat mengalami union terutama
pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering terjadi pada fraktur dengan
lokasi lebih ke proksimal. Ini disebabkan oleh vaskularisasi yang jelek, reduksi
yang tidak akurat, fiksasi yang tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intra-
artikular.

2) Fraktur Subtrochanter Femur


Fraktur subtrokhanter femur ialah di mana garis patahnya berada 5 cm distal dari
trokhenter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa klasifikasi, tetapi yang
lebih sederhana dan sudah dipahami adalah klasifikasi fielding dan Magliato,
yaitu sebagai berikut:
a. Tipe 1: garis fraktur satu level dengan trokhenter minor.
b. Tipe 2: garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atastrokhenter
minor.
c. Tipe 3: garis patah berada 2-3 inci di distal dari batas atas trokhenter
minor.
Manifestasi klinis yang didapatkan, meliputi: keluhan nyeri lokal, deformitas (
dengan kaki berada dalam posisi rotasi eksternal), pembengkakan paha, krepitasi
dan ketidak mampuan dalam melakukan pergerakan paha dan panggul.
Pemeriksaan radiografi biasanya didapatkan garis fraktur pada atau di bawah
trokhenter minor, bisa bersifat melintang, oblik, atau spiral. Penatalaksanaan
dapat dilakukan dengan reduksi terbuka dan rediksi tertutup. Pada intervensi
reduksi terbuka dengan viksasi interna menggunakan skrup dan plat untuk
mengimobilisasi fragmen tulang yang patah, sedangakan reduksi tertutup
dilakukan dengan pemasangan traksi tulang. Pemasangan traksi tulang selama 6-7
minggu dilanjutkan dengan hip gips selama 7 minggu yang merupakan alternatif
pelaksanaan pada pasien dengan usia muda.

3) Fraktur Batang Femur


Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan
lalu lintas di kota-kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini
dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita
jatuh dalam syok, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan
adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Fraktur batang femur
dibagi menjadi:
a. Fraktur Tertutup
Hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang
dapat disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi
tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan
fraktur patologis. Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur tertutup,
umumnya ditemukan beberapa hal berikut:
 Look
Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union, non-union dan
malunion. Kondisi yang paling sering didapat di klinik adalah terdapatnya
malunion terutama pada pasien fraktur femur yang telah lama dan telah mendapat
intervensi dari dukun patah. Pada pemeriksaan look akan didapatkan adanya
pemendekan ekstermitas dan akan lebih jelas derajad pemendekan dengan cara
mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliakake maleolus.
 Feel
Adanya nyeri tekan dan krepitasi pada daerah paha.
 Move
Pemeriksaan yang didapat seperti adanya gangguan atauketerbatasan gerak
tungkai. Didapatkan ketidak mampuan menggerakkan kaki dan penurunan
kekuatan otot ekstermitas bawah dalam melakukan pergerakan.

b. Fraktur Terbuka
Ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah
dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu:
1) Derajat I: bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,
biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
2) Derajat II: lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan
dari luar.
3) Derajat III: lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang terbuka, pada umumnya
didapatkan hal berikut ini.
 Look
Terlihat adanya luka terbuka pada baha terbuka pada paha dengan deformitas
yang jelas. Kaji beberapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah
pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya
kerusakan pada arteri yang beresiko akan meningkatkan respons syok
hipovolemik. Pada fase awal trauma sering di dapatkan adanya serpihan didalam
luka terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang mempunyai indikasi
pada resiko tinggi infeksi.
 Feel
Adanya keluhan nyeri tekan dan adanya krepitasi.
 Move
Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan karena akan
memberikan respons trauma pada jaringan lunak di sekitar ujung fragmen tulang
yang patah. Pasien terlihat tidak mampu melakukan pergerakan pada sisi paha
yang patah.

Penatalaksanaan yang dilakukan hampir sama dengan penatalaksanaan patah


tulang panjang lainnya, yaitu sebagai berikut:
1) Terapi konservatif
Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitif
untuk mengurangi spasme otot. Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson
pada sendi lutut. Indikasi traksi terutama adalah fraktur yang bersifat kominutif
dan segmental. Traksi ini menggunakan cast bracting yang dipasang setelah
terjadi union fraktur secara klinis.
2) Terapi operatif
Pemasangan plate dan screw terutama pada fraktur proksimal dan distal femur,
mempergunakan K-nail, AO-nail, atau jenis-jenis lain, baik dengan operasi
tertutup maupun terbuka. Indikasi K-nail, AO-nail terutama adalah fraktur
diafisis, fiksasi eksternal terutama pada fraktursegmental, fraktur kominutif,
infected pseudoarthrosis, atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
yang hebat.

4) Fraktur Supracondyler Femur


Fraktur suprakondiler fragmen bagian distal selalu menjadi dislokasi ke posterior.
Hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot gastroknemius.
Biasanya fraktur suprakondiler ini disebabkan oleh trauma langsung karena
kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stres valgus atau varus, dan
disertai gaya rotasi. Manifestasi klinis yang didapatkan berupa pembengkakan
pada mulut, deformitas yang jelas dengan pemendekan pada tungkain, nyeri bila
fragmen bergerak, dan mempunyai resiko terhadap sindrom kompartemen pada
bagian distal. Pada pemeriksaan berjongkok terlihat pasien tidak bisa menjaga
kesejajaran. Pemeriksaan radiologis dapat menentukan diagnosis fraktur
suprakondiler. Pada fraktur suprakondiler femur biasanya akan dilakukan
beberapa penatalaksanaan yaitu:
1) Traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson, east-bracing dan spikal panggul.
2) Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran
fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan
mempergunakan nailphroc dare screw dengan macam-macam tipe yang tersedia.

5) Fraktur Intercondylair
Fraktur ini jarng dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh dengan lutut dalam
keadan fleksi dari ketinggian. Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur
supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.

6) Fraktur Condyler Femur


Mekanisme traumanya biasanya merupakan kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas. Manifestasi klinik
didapatkan adanya pembengkakan pada lutut, hematrosis, dan deformitas pada
ekstermitas bawah. Penderita juga mengeluh adanya nyeri lokal, dan kondisi
neurologis-vaskular harus selalu diperiksa tentang adanya tanda dan gejala
sindrom kompartemen pada bagian distal. Penatalaksanaan dengan reduksi
tertutup dengan traksi tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan gips minispika sampai terjadi penyambungan tulang.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna dilakukan apabila intervensi reduksi tertutup
tidak memberikan penyambungan tulang atau keluhan nyeri lokal yang parah.

1.5 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh
karena perlukaan kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya terjadi
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah puti dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut, aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakinatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidakterkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
compartment.
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu:
1) Fase Hematum
a. Dalam waktu 24 jam timbul pedarahan, edema, hematume disekitar
fraktur.
b. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat.
2) Fase Granulasi Jaringan
a. Terjadi 1-5 hari setelah injury.
b. Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis.
c. Hematoma berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh
darah baru fogoblast dan osteoblast.
3) Fase Formasi Callus
a. Terjadi 6-10 hari setelah injuri.
b. Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus.
4) Fase Ossificasi
a. Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh.
b. Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam
kalsium yang menyatukan tulang yang patah.
5) Fase Consolodasi dan Remodelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan
oksifitas osteoblast dan osteoclast.
1.6 Pemeriksan Diagnostik
1.Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung.
b. Mengetahui tempat dan tipe fraktur.
c. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama
proses penyembuhan secara periodic.
2.Scan Tulang, Tomography, CT-Scan, MRI
Dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3.Arteriogram
Dilakukan bila dicurigai ada kerusakan vaskuler.
4.CCT
Dilakukan bila banyak kerusakan otot.
5.Hitung Darah Lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP
adalah respon stress normal setelah trauma.
6.Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
7.Profil Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple atau cedera hati.

1.7 Talaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur, yaitu:
a. Rekognisi (pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnose
dan tindakan selanjutnya, mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk
pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/reposisi)
Reduksi adalah uasaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Reduksi fraktur dapatdilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
c. Retensi (imobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implant logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan duat atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada begian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi
juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi. Selain konsep dasar tersebut terdapat beberapa penatalaksanaan
fraktur, diantaranya:
1) Terapi konservatif
a. Proteksi.
b. Imobilisasi saja tanpa reposisi.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips/traksi.
2) Terapi operatif: ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Indikasi ORIF:
a. Fraktur yang tidak bias sembuh atau bahaya avaskuler nekrosis tinggi.
b. Fraktuk yang tidak bias direposisi tertutup.
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman member hasil yang
e. lebih baik dengan operasi.
f. Excisional Arthroplasty.

Tindakan ORIF meliputi:


- Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami fraktur.
- Fraktur diperiksa dan diteliti.
- Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka.
- Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali.
- Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat
ortopedik berupa pin, skrup, plat, dan paku.

Keuntungan ORIF:
- Reduksi akurat.
- Stabilitas reduksi tinggi.
- Pemeriksaan struktur neurovaskuler.
- Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal.
- Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih
cepat.
- Rawat inap lebih singkat.
- Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal.

Kerugian ORIF:
- Kemungkinan terjadi infeksi.
- Osteomielitis.
3) Terapi medis
a. Pemberian obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut.
c. Bedrest, fisioterapi.
2.8 Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam beberapa jam
setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam jam atau lebih, dan
sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent
jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari Fraktur femur yaitu:
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur
pelvis.
b. Emboli Lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis,fraktur multiple atau cidera remuk dapat
terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat
terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolaminyang di
lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan
terjadiya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit membentuk 15emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain.Awitan dan gejalanya
yang sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah
cidera gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia.
c. Sindrom Kompartemen (Volkmann’s Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen
osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut.
Ruangan tersebut terisi olehotot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkusoleh
tulang dan fascia serta otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium.
Sindrom kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen
terletak di anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
d. Nekrosis Avaskular Tulang
Cedera baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang
yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskulerini sering dijumpai
pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os.
Talus.
e. Atrofi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otottersebut terjadi karena selselspesifik yaitu sel-sel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi
akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran
darah tidak adekuat ke jaringan otot.

BAB III
AFTER CARE PATIENT
III.1 After Care Pasien
After Care Patien (ACP) adalah pelayanan yang terintergritas dengan meninjau
pada lingkungan demi menjamin kesembuhan pasien dengan melihat
permasalahan yang ada pada pasien dan mengidentifikasi fungsi dalam anggota
keluarga serta memberikan edukasi kepada pasien mengenai gaya hidup sehat.

III.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya after care patient adalah untuk melihat perkembangan
kesembuhan pasien, kontrol pengobatan pasien dan edukasi kepada pasien
mengenai penyakitnya.

III.3 Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga


a. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 68 tahun. Pasien tinggal bersama istri,
anak laki-lakinya, menantunya dan satu orang cucu. Dari hasil wawancara yang
dilakukan, pasien adalah anak pertama dari 6 bersaudara.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarganya baik. Hubungan pasien dengan teman-
temannya baik. Orangtua pasien sangat memberikan perhatian penuh terhadap
pasien.
c. Fungsi Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SMP.
d. Fungsi Sosial
Pasien tinggal di tempat yang cukup padat penduduknya. Pasien jarang mengikuti
kegiatan-kegiatan di lingkungan rumahnya.

e. Fungsi Religius
Pasien beragama islam dan mengerjakan sholat 5 waktu.

III.3.1 Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan


a. Faktor Perilaku
Jika ada anggota keluarga yang sakit, pasien dan keluarga langsung berobat ke
praktek dokter umum dekat rumah.
b. Faktor non-Perilaku
Sarana kesehatan tidak begitu jauh dengan rumah. Akses jalanan ke rumah pasien
sudah baik dan terdapat angkutan umum sehingga untuk ke sarana kesehatan
(puskesmas ataupun rumah sakit) dapat ditempuh baik dengan kendaraan pribadi
ataupun angkutan umum.

III.3.2 Diagnosis Fungsi Keluarga


a. Fungsi biologis
Pasien berusia 68 tahun dengan fraktur tertutup femur dextra.
b. Fungsi psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga baik.
c. Fungsi sosial budaya
Pasien dapat bersosialisasi dengan masyarakat dengan baik.
d. Faktor perilaku
Apabila ada anggota keluarga yang sakit, pasien berobat ke sarana kesehatan
terdekat.
e. Faktor non-perilaku
Sarana kesehatan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal.

III.3.3 Risiko, Permasalahan dan Perencanaan Kesehatan Keluarga


Risiko/masalah Rencana Pembinaan Sasaran
kesehatan
Fraktur Tertutup • Edukasi mengenai Pasien dan keluarga
Femur Dextra penyakit pasien
• Edukasi dukungan
keluarga terhadap
penyakit pasien
• Edukasi mengenai
prognosis penyakit dan
waktu penyembuhan
penyakit.

III.3.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


 Subjektif
Pasien sesekali masih merasa nyeri pada paha kanan dan masih sulit untuk
digerakkan. Perdarahan aktif (-), nanah (-), demam (-).
 Objektif
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan, Stabil
Kesadaran : CM GCS :E4M6V5
Tanda Vital:
- TD : 120/100mmHg
- Nadi : 98 x/menit
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 0C
- Saturasi O2 : 98%

Head to Toe:
- Ekstremitas: 5555 5555 , CRT <2
4444 5555
Status Lokalis: (Femoralis Dextra)
- Inspeksi : (-) edema, (-) rembesan darah
- Palpasi : (-) nyeri tekan
 Assesment
Post ORIF Femur Dextra H+17 hari
 Planning
Edukasi terhadap keluarga tentang kondisi pasien

III.3.5 Kesimpulan Pembinaan Keluarga


1. Tingkat Pemahaman
Pemahaman terhadap edukasi yang diberikan cukup baik
2. Faktor Penyulit
Tidak ada kesulitan
3. Indikator Keberhasilan
Pasien kontrol ke rumah sakit untuk penyakitnya.

Gambar 2. Luka Post Operasi Hari ke 17

DAFTAR PUSTAKA

1.Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (8 ed., Vol.
2). Jakarta: EGC.
2.Desiartama, A., & Aryana, I. W. (2017). GAMBARAN KARAKTERISTIK
PASIEN FRAKTUR FEMUR AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS PADA
ORANG DEWASA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR TAHUN 2013. E-JURNAL MEDIKA , VOL.6, NO.5.
3.Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran (3 ed., Vol. Jilid 1). Jakarta:
Medika Aesculapius FKUI.
4.Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal (2 ed.). Jakarta: Salemba
Medika.
5.Parahita, P. S., & Kurniyanta, P. (n.d.). PENATALAKSANAAN
KEGAWATDARURATAN PADA CEDERA FRAKTUR EKSTREMITAS.
6.Price, S. A., & Wilson, L. M. (1995). Buku 1 Patofisiologi "Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit" (8 ed.). Jakarta: EGC.
7.Sjamsuhidajat. (2004). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai