TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak
peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan
diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar
(Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan
digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang
merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu
melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan
anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint),
keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar,
pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia).
Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan
membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai
dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced
anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan
agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
10
Preanestesi
Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum
dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus,
mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping
anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf
1991; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemilihan preanestetikum
dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian,
jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995).
Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine,
acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine
digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat
anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine,
medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan
merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti
disajikan pada Gambar 1.
Preanestesi
Klasifikasi Anestesi
Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan
secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya
diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui
11
Anestesi Lokal
Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat
konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf
tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran
ion sodium (Na) pada syaraf perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf
terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah
proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion
Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter
acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi
perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati
syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan
syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat
yang diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten,
artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa
kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya
reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).
12
Anestesi Regional
Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi
regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang
reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah
atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme
kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi
daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu.
Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural,
spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001;
McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal
diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space).
Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi
setelah 15-20 menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol
motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya
digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,
13
pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil
dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan
besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama
dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75%
atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan
durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead
2003).
Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi
epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum
menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan
langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih
cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan
kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum
lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara
menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang
menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi Umum
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem
syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan
kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan
hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya
respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility),
serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).
14
Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara
pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem otak karena hilangnya
kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan
mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi
umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis
yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga
atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon
nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar
(unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007;
Miller 2010).
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen
anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks,
ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi
umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur
diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000;
Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui
gabungan secara injeksi dan inhalasi. Anestetikum dapat digabungkan atau
dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai
preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk
mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal.
Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan,
isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika
umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan
pentobarbital), cyclohexamin (ketamine, tiletamin), etomidat, dan propofol
(McKelvey dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).
15
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan
misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ
sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan
anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus.
Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam
menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar
alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal
zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk
mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar.
Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas
30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli
sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al.
2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan adalah N 2 O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil
klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon.
Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N 2 O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah
terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah,
kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan
aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik
terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead
2003; Tranquilli et al. 2007).
Nitrous oxide (N 2 O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang
diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sampai 240oC. Gas
16
ini bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan
secara tunggal. Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N 2 O adalah
halotan. Pada akhir anestesi setelah N 2 O dihentikan, akan cepat keluar mengisi
alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi
hipoksia difusi, biasanya diberikan 100% oksigen selama 5 – 10 menit. Potensi N 2 O
digunakan pada hewan tidak baik, karena mempunyai MAC yang tinggi. MAC N 2 O
pada manusia mendekati 100%, tetapi pada anjing hampir 200% dan kucing
mendekati 250% (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan
N 2 O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga
kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya
digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali,
dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah
moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 – 0,75%.
Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian
penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat
ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal
konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga
penggunaan halotan memerlukan vaporizer khusus. Halotan menyebabkan
vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan.
Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi
miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen
bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan
pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief et al. 2007;
McKelvey dan Hollingshead 2003).
Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum
lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat
rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan
17
hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan
napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi.
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan
metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan
halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama
anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran
pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga
menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung
(cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan
kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena
mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi
dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen
(Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh
darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil
maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi,
durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki
indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap
organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme,
tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan
otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang
sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium,
methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada
hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin), etomidat, dan
propofol. (Brander et all. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
18
sangat aman diberikan secara intravena dan dapat diberikan secara berulang-ulang
atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infusi terus-menerus. Propofol
mempunyai efek analgesia yang sangat ringan akan tetapi efek sedasi dan
hipnotiknya sangat kuat. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi,
apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan. Efek samping utama yang sangat
dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi. Efek samping tersebut
sangat berkaitan dengan dosis dan kecepatan penyuntikannya, keuntungan
penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen
anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang
ditimbulkan (Stawicki 2007).
Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian
acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan
secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Tranquilli et al. 2007).
Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi.
Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan
pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap
pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia,
relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya refleks
palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara
ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan
gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju
ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan
sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks
palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam
sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing,
kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal.
Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan
seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua
refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks
rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan
menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis
anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan
demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan
status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan
Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007 ).
Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang
menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau
mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah
bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum
21
injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan
metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamine tidak
mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal.
Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun
karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan
akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam
tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien
melalui sistem respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki
peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda
tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada
periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat
dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu
induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum
diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah
waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal
atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu
ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan
sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah
waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf
disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki
kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990;
Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003).
McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al. (2007) menyatakan
bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi umum.
Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai tanda
kedalaman anestesi, seperti disajikan pada Tabel 1.
22
Respon Kuat Kuat Ada respon Denyut Tidak ada Tidak ada Tidak ada
bedah/ dengan jantung dan
insisi gerakan respirasi
meningkat
Posisi Bola Tengah Tengah, Tengah, Sering rotasi Ditengah, Tengah Tengah
mata tidak tetap rotasi, tidak di ventral rotasi di
tetap ventral
Ukuran Normal Mungkin Normal Dilatasi Dilatasi Dilatasi Dilatasi
Pupil berdilatasi ringan sedang lebar lebar
Refleks Ada Ada, Ringan, Ada (patella, Semua Tidak ada Tidak ada
mungkin hilang telinga, minimal,
berlebih palpebral, hilang
kornea),
yang lain
hilang
Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi
segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini
masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa
23
nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks
masih ada; Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang
dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul
berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya
menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada
rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila
diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan
menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks;
Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan
dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi
pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4
atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis).
berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum
parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan
Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya
hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf
mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan
mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010).
Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang
dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme
kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor
yaitu : 1. Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA A yang
merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor
eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan
Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010 ) .
Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di
otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase
(GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi
menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga
menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari
ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl,
ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf , terjadi efek
penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat
terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA A ) dan metabotropik
(GABA B ). Reseptor GABA A terletak di postsinaptik dan cukup penting karena
merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor
GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe
mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4-
transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor
subunit GABA A , yaitu lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi
α1ß2γ2, α2ß3γ2, dan α3ß1 -3γ2. Reseptor GABA A adalah reseptor komfleks yang
memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,
25
dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia
et al. 2010; Miller 2010) .
di luar
sel
di dalam sel
BZ = Bezodiazepin
ETOH = Etanol (alkohol)
GABA = γ amino butiric acid
Gambar 2. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, m asing
masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4-
transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber:
Cameron J Weir 2006; Miller 2010) .
ekstraseluler
Sitoplasma
Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak
pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu
di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum umum akan
terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABA A (Cameron 2006;
Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran,
halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl-, pada dosis tinggi akan
secara langsung mempengaruhi reseptor GABA A menjadi terbuka (Henschel et al.
2008).
Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan
kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena
adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi
aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi
perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di
dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat
negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga terjadi inhibitori, sedangkan
kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi
27
eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+)
sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum
mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini
berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti
disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Anestesi Umum
Inhibitori Eksitatori
Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion
channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-)
sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= γ amino butiric acid, NMDA= N-
methyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy
methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006).
Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan
pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika
injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N 2 O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan
xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan
tiopental. Ketamine, N 2 O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor
glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA
dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABA A . Anestetika
sisanya bekerja pada reseptor GABA A dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi
reseptor GABA A dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,
28
reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor
GABA A adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di
SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak
sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABA A , menyebabkan hiperpolarisasi
(inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti
hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh
reseptor GABA A pada otak khususnya subtipe ß3 menyebabkan kehilangan
kesadaran dan subtipe ß2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan
anestetikum ketamine, anestetika gas, N 2 O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit
atau lemah pada reseptor GABA A atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada
reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca2+ dan membuka
saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010).
Reseptor GABA A adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah
merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan
menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung
mengaktivasi reseptor GABA A , tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti
xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh
pada reseptor GABA A . Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABA A sangat
tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit α, β, atau subunit γ
(Franks 2008; Miller 2010).
Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil
bekerja pada reseptor GABA A subunit α pada transmembran (TM)2 dan TM3
bagian protein Ser270 (αS270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada
reseptor GABA A subunit ß TM2 dan TM3 bagian N265 (ßN265). Sedangkan
anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3,
dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan
isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan
glisin ( Gambar 5).
29
Ketamine HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta
reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001).
Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada
reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis
reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat tinggi pada
reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat
(Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamine menghambat refleks nosiseptik
spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek.
Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan
menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Ketamine juga
menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak seperti pada talamus
dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamine juga memperpanjang kerja GABA
(gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara
menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat
merubah permiabilitas ion Cl- dan dapat menyebabkan pelepasan norepineprin pada
syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkoeiak 2004). Pengaruh klinis yang
ditimbulkan ketamine sangat bervariasi seperti : analgesia, anestesi, halusinasi,
neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketamine juga menimbulkan
agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut penomena
emergence delirium (Stawicki 2007).
Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamine dapat secara langsung
menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan
(uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamine dapat mengubah aktivitas
31
Propofol
Propofol dapat digunakan secara tunggal pada prosedur anestesi yang singkat
atau untuk induksi sebelum intubasi dan anestesi inhalasi. Propofol mempunyai pH
netral dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air dengan konsentrasi
10 mg/ml. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu, sangat aman
diberikan secara intravena. Propofol adalah turunan alkil penol (2,6-
diisopropylphenol), seperti pada Gambar 7 (McKelvey dan Hollingshead 2003).
32
2,6-diisopropylphenol (C 12 H 18 O)
Penggunaan propofol dengan metode TIVA juga dipercaya sebagai anestesi alternatif
untuk hewan kesayangan terutama anjing (Tsai et al. 2007).
Induksi anestesi pada anjing dengan propofol (4mg/kg) dan ketamine (2mg/kg)
secara intravena dalam satu spuit dilanjutkan dengan infusi intravena dengan propofol
(0,5mg/kg/menit) dan ketamine (0,2mg/kg/menit), menghasilkan anestesi dengan
hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008). Anestesi pada anjing dengan
kombinasi propofol (4mg/kg) dan ketamine (4mg/kg) secara intravena menghasilkan
anestesi yang aman dan dapat digunakan sebagai alternatif anestesi untuk prosedur
pembedahan yang panjang (Muhammad et al. 2009). Kombinasi propofol dengan
preanestetikum mempunyai rentang keamanan yang lebar pada anjing. Eksitasi dan
tremor otot jarang terjadi, oleh karena itu diperlukan preanestetikum seperti
acepromazin(0,1mg/kg IV), pentobarbital (2mg/kg), atau diazepam (0,3-0,5mg/kg
IV). Propofol sangat aman diberikan pada hewan dengan gangguan hati dan ginjal,
karena metabolisme propofol sangat cepat. Satu kekurangan propofol adalah
kelemahan untuk disimpan, karena mengandung minyak kedelai, lesithin, dan gliserol
sehingga akan mendukung pertumbuhan bakteri. Ampul dan botol harus disimpan
dengan aseptik dan tidak dianjurkan untuk digunakan setelah dibuka selama 12 jam
(McKelvey dan Hollingshead 2003; Tsai et al. 2007; BBraun 2009).
Xylazine
Xylazine adalah salah satu golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha-
2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xylazine dan medetomidin
adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk
menghasilkan sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain
seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk
anjing dan kucing (Lemke 2004). Xylazine HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6-
dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride, seperti disajikan
pada Gambar 8. (Booth et al. 1977; Brander et al. 1991; Bishop 1996).
35
N-(2,6-dimethylphenyl)-5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin-2-amine (C 12 H 16 N 2 S)
Gambar 8 Struktur kimia xylazine HCl
Xylazine biasa digunakan pada kucing, anjing dan kuda sebagai agen sedatif
untuk keperluan pembedahan minor dan untuk menguasai hewan atau handling.
Penggunaaan xylazine dengan dosis yang lebih tinggi bukan saja untuk sedasi dan
analgesi, tetapi juga menghasilkan immobilisasi. Xylazine bisa digunakan sendiri
atau dikombinasikan dengan obat lain seperti benzodiazepin atau opioid untuk
menghasilkan sedasi. Xylazine juga dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi
seperti ketamine, tiopental, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti halotan dan
isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik (Lemke 2004). Xylazine
biasanya digunakan sebagai preanestesi, tetapi pada anjing akan menyebabkan
muntah sehingga bersifat kontra-indikasi untuk hewan yang menderita obstruksi
gastro-intestinal. Waktu induksi dari suatu agen anestesi bisa dikurangi sampai 50-
75% dengan pemberian preanestesi xylazine untuk menghindari overdosis (Bishop
1996).
Sebagai preanestesi pada kuda, xylazine dapat diikuti dengan tiopenton,
metoheksiton atau ketamine. Dengan anestetikum ketamine, penggunaan xylazine
adalah dosis 1,1 mg/kg berat badan secara intra muskular dan diikuti dengan
ketamine 2,2 mg/kg berat badan. Pada anjing, xylazine bisa digunakan secara sub-
kutan atau intra muskular dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop 1996).
Xylazine dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,25-
2mg/kg secara intramuskular dan dosis 0,2-0,5mg/kg secara intravena (McKelvey
dan Hollingshead 2003).
Midazolam
Midazolam adalah golongan short-acting benzodiazepin (Gambar 9) umumnya
digunakan pada manusia tetapi dapat digunakan pada anjing, kucing, babi, burung,
dan kuda. Midazolam stabil dalam larutan, sehingga dapat dikombinasikan dengan
ketamine atau ketamine-larutan salin untuk pemberian secara infus, diabsorbsi
dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan secara intramuskular
(Lumb dan Jones 1996).
37
Anonim (2002), ketersediaan hayati midazolam post injeksi intramuskular lebih dari
90% dan konsentrasi plasma maksimum pada manusia dicapai dalam 30 menit. Ikatan
protein plasma midazolam adalah 96-98%. Selain menembus blood brain barrier,
midazolam juga mampu menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin.
Midazolam dapat digunakan secara sendiri sebagai tranquilizer atau
dikombinasikan dengan anestetikum umum untuk mencegah hipertonus otot dan
meningkatkan sedasi. Pada anjing, midazolam diinjeksikan intramuskular atau
intravena, walau pemberian intravena lebih sering digunakan untuk induksi anestesi
(Lumb dan Jones 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi untuk mengurangi
kegelisahan sebelum prosedur pembedahan, sebagai sedatif, hipnotik, dan
menimbulkan amnesia (Stawicki 2007). Midazolam dapat mencegah hipertonus otot,
meningkatkan efek sedasi, menghasilkan efek hipnotik, dan lebih potensial
dibandingkan diazepam (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000).
Midazolam diindikasikan untuk sedasi preoperasi, amnesia, penanganan
seizures atau status epilepsi, sedasi dan amnesia untuk endoskopi, dan
dikombinasikan dengan agen anestesi lain sebagai anestesi umum (Stawicki 2007).
Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi, bradikardi, depresi respirasi,
kerusakan fungsi motor, dan koma. Overdosis midazolam dapat ditangani dengan
pemberian flumazenil (Stawicki 2007).
Midazolam lebih baik dibandingkan dengan diazepam. Midazolam bersifat
stabil di dalam larutan sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau
ketamine-larutan saline untuk pemberian secara infus (Plumb 1991; Jacobson dan
Hartsfield 1993). Midazolam diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan
bila diaplikasikan intramuskular dan pengaruhnya akan muncul setelah tiga menit
penyuntikan (Lumb dan Jones 1996). Dosis midazolam yang dianjurkan pada anjing
100-200 microgram/kgBB intravena, intramuskular atau subkutan (Lumb dan Jones
1996; Bishop 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi pada anjing dengan
dosis 0,1-0,2mg/kg (maksimal 10mg) secara intramuskular maupun intravena
(McKelvey dan Hollingshead 2003). Midazolam juga sering digunakan pada kucing
dan dikombinasikan dengan ketamine (0,2mg/kg midazolam dan 10mg/kg ketamine
39
Atropine
Atropine adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik
dan merupakan ekstrak alkaloid dari tumbuhan belladona yang termasuk famili
potato (Adams 2001). Atropine dan derivat alamiahnya adalah ester alkaloid
ammonium tersier asam tropat (Katzung 1992). Secara kimia, molekul atropine
terdiri dari dua komponen yang berikatan melalui ikatan ester. Komponen pertama
adalah tropine yang merupakan sebuah basa organik dan komponen kedua adalah
asam tropat (Gambar 10).
intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropine sulfas dosis tinggi
berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian
disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropine sulfas pernah dilaporkan
pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
• Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada).
• Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT).
• Denyut jantung
• Pulsus : kecepatan dan kekuatan
• Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral.
• Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan)
• Temperatur tubuh pasien
Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda
vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan
(homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi,
capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan
kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama
teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau
41
penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital
yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus,
CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman
respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi,
CO 2 , EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari
hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan
informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan
anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Sistem Kardiovaskeler
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari
jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah
sebagai sistem sirkulasi atau alat transport. Sirkulasi darah akan mengangkut
substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O 2 ) dan nutrisi
yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida
(CO 2 ) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paru-
paru, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung
berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.
Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood
2001, Cunningham 2002).
Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu
menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi
kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O 2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh,
membawa limbah metabolisme dan mempertahankan homeostasis seluler.
Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan
mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada
sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah
arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung
42
1= Durasi P
2= Interval PR
3= Durasi QRS
4= Interval QT
Tabel 3. Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing
Parameter Kisaran Normal pada Anjing
Denyut Jantung (denyut per menit) 70 – 160
Gelombang P (maximum)(detik dan mv) 0,04 dan 0,4
Interval PQ(detik) 0,06 – 0,13
Interval QRS(detik) 0,04 – 0,05
Gelombang R(mv) 3
Segmen ST(mv) 0,2
Gelombang T (maximum) 1/3 R
Interval QT(detik) 0,15 – 0,25
Tekanan sistol/diastol (rata-rata)( mmHg) 100/65(90)-160/100(100)
Sumber : Nelson 2003
Tekanan Darah
Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk
mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur
tekanan darah. Beberapa istilah yang digunakan untuk menentukan tekanan darah
adalah tekanan darah sistol (systolic arterial pressure, SAP), tekanan darah diastol
(diastolic arterial pressure, DAP), dan tekanan darah rata-rata (mean arterial
pressure, MAP). Systolic arterial pressure adalah tekanan darah tertinggi yang
dihasilkan karena kontraksi ventrikel yang memompa darah ke aorta dan arteri besar.
Diastolic arterial pressure adalah tekanan darah terendah yang merupakan tekanan
sisa pada saat jantung berada pada tahap istirahat atau relaksasi sebelum kontraksi
berikutnya. Mean arterial pressure adalah tekanan rata-rata siklus jantung dan
merupakan tekanan darah yang paling penting yang berhubungan dengan anestesi,
karena merupakan indikator paling baik untuk mengetahui aliran darah pada organ
dalam. Mean arterial pressure dapat diketahui secara langsung pada alat ukur atau
dengan menghitung menggunakan rumus sebagai berikut :
(SAP – DAP)
MAP = DAP +
3
Nilai normal SAP pada anjing adalah sekitar 120 mmHg (90-160 mmHg) dan
nilai normal DAP adalah 80 mmHg (50-90 mmHg) sehingga dapat dikatakan bahwa
nilai normal SAP/DAP adalah 120/80. Sedangkan nilai MAP normal adalah 90-100
mmHg, pada hewan yang teranestesi adalah 70-90 mmHg (Cunningham 2002;
Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Gambaran Darah
Pengamatan laboratoris yang diperlukan sebelum dan selama tindakan
anestesi adalah penghitungan sel darah lengkap (CBC, complete blood cell count).
Penghitungan sel darah lengkap terdiri dari penentuan PCV (packed cell volume), Hb
(hemoglobin), TPP (total plasma protein), dan evaluasi blood smear untuk sel darah
47
putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell), dan platelet.
Pengamatan tersebut bertujuan untuk melihat status hidrasi dan status hematologi
volume sel darah merah yang bersirkulasi. Dengan diketahui status hidrasi maka shok
dan anemia karena kehilangan banyak darah dapat dicegah sedini mungkin pada saat
operasi (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan PCV dan Hb menandakan
kemampuan darah untuk mengirim oksigen ke jaringan. Nilai PCV yang berada
diatas normal menandakan jumlah relatif sel darah merah meningkat yang terjadi
pada keadaan kehilangan cairan dan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Tingginya
nilai PCV sangat penting diperhatikan, karena berhubungan dengan hemokonsentrasi
dan meningkatnya kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung.
Apabila nilai PCV rendah, menandakan terjadinya anemia yang disebabkan oleh
kehilangan darah, hemolisis, atau gangguan produksi sel darah merah, akhirnya akan
menyebabkan penurunan kapasitas penyediaan oksigen ke jaringan. Nilai PCV di
bawah 25% pada anjing menandakan bahwa oksigenasi pada jaringan tidak cukup,
terutama untuk jantung dan anestesi harus ditunda sampai terjadi perbaikan anemia.
Nilai TPP juga sangat penting seperti nilai PCV, karena peningkatan nilai TPP sama
dengan peningkatan nilai PCV yang menandakan adanya dehidrasi. Penurunan nilai
TPP menandakan terjadinya hipoproteinemia yang diakibatkan oleh gangguan ginjal,
hati, atau gastrointestinal. Sedangkan jumlah sel darah putih menandakan ada
tidaknya infeksi atau tingkat stres yang terjadi pada hewan. Kondisi terinfeksi dan
stres akan meningkatkan resiko anestesi. Tabel 4. menunjukkan nilai normal
gambaran darah anjing (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).
48
Kisaran Referensi
Parameter untuk Anjing
Sistem Respirasi
Respirasi merupakan faktor penting dalam ventilasi pulmonum, sehingga
udara alveoler diperbaharui oleh udara atmosfir. Terdapat dua mekanisme penting
dalam satu kali respirasi yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah udara atmosfir
masuk ke dalam saluran paru-paru dan ekspirasi adalah keluarnya udara alveoler dari
paru-paru dan saluran pernapasan (Lumb dan Jones 1984; Cunningham 2002). Nilai
normal gas respirasi dan gas di dalam darah anjing disajikan dalam Tabel 5.
49
Tabel 5. Tekanan gas respirasi dan gas darah normal pada anjing (mmHg)
(Sumber : Muir 2000; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah
yang sama dengan yang dikeluarkan ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk
dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau
ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit
(respiratory rate). Volume tidal dan frekuensi respirasi akan menghasilkan volume
respirasi per menit (menute volume). Kedalaman respirasi akan mempengaruhi
ukuran volume tidal. Respirasi yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal
dan sebaliknya (Muir et al. 2000).
Pengamatan terhadap frekuensi respirasi dapat dilakukan dengan melekatkan
sebuah monitor pada katub ekhalasi pada sirkuit anestesi per inhalasi yang dapat
berdesis pada setiap kali ekhalasi. Metode lain yang dapat digunakan untuk
mengamati frekuensi respirasi adalah dengan memasukkan sebuah thermistor probe
ke dalam saluran pernapasan. Pengamatan frekuensi respirasi juga dapat dilakukan
dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada
tulang iga di bagian dada (Moens dan Fargetton 1990; Cunningham 2002; Nelson
2003).
Dalam keadaan normal, O 2 diangkut ke dalam alveoli paru-paru dan CO 2
diangkut dari alveoli paru-paru, sehingga komposisi udara di dalam alveoli paru-paru
dapat dipertahankan dalam konsentrasi yang konstan. Pertukaran gas di paru-paru
terjadi dengan melewati membran alveoli dan membran kapiler, yang tebalnya kira-
50
kira tidak lebih dari satu mikron, sehingga dapat berlangsung dengan cepat. Keadaan
udara di dalam pembuluh kapiler paru-paru dan di dalam alveoli paru-paru mendekati
seimbang, sehingga tekanan gas CO 2 dan O 2 di dalam darah relatif sama dengan
tekanan CO 2 dan O 2 di dalam alveoli paru-paru (Cunningham 2002).
Suhu Rektal
Suhu rektal adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk
diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah parameter paling sederhana untuk diamati
perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf. Panas dalam tubuh berasal dari
hasil metabolisme di dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pada saat energi makanan
dicerna, panas akan dihasilklan dari keseluruhan tahap proses metabolisme di dalam
tubuh. Energi yang terdapat didalam makanan dirubah dalam bentuk panas, yang
disebarkan ke lingkungan dan dipancarkan keseluruh permukaan.
Hewan akan melawan panas dari lingkungan bila suhu disekitarnya lebih
besar dari suhu tubuh dan bila terpapar oleh radiasi panas. Hal yang sama juga terjadi
jika hewan terpapar sinar matahari langsung atau berada dekat dengan benda padat
yang lebih hangat dari pada suhu tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju
lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang
lebih dingin. Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang
menjadi lebih hangat oleh tubuh, melalui penguapan sekresi respirasi, keringat atau
saliva dan melalui penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh
hewan bersentuhan. Panas juga hilang melalui urin dan feses. Banyak sumber panas
dari metabolisme dalam tubuh, seperti hati, jantung, dan otot berada jauh dari kulit
sebagai tempat pelepasan atau kehilangan panas, sehingga diperlukan pemindahan
panas. Jaringan tubuh adalah penghantar panas yang tidak baik, sehingga panas
dipindahkan terutama oleh pergerakan di dalam sirkulasi. Jantung dan pembuluh
darah akan memegang peranan yang sangat penting untuk pemindahan panas di
dalam tubuh (Cunningham 2002).
Pusat pengaturan seluruh informasi dari berbagai reseptor terjadi di anterior
hipotalamus. Informasi yang berasal dari reseptor temperatur pusat lebih besar
51
pengaruhnya dari pada informasi yang berasal dari reseptor kulit dan visceral,
sehingga peningkatan temperatur pusat 0,5oC menyebabkan tujuh kali lipat
peningkatan pada peredaran darah di kulit, penurunan temperatur pusat menyebabkan
vasokonstriksi dan menggigil. Pengaruh reseptor pusat adalah duapuluh kali lipat
lebih besar dari pada pengaruh reseptor perifer (Cunningham 2002; Nelson 2003).
Salah satu penyebab hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi
adalah penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang
menggunakan pendingin ruangan atau air-conditioning dengan pengaturan suhu yang
sangat rendah. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan
penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Abnormalitas termoregulasi
yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh
kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf
pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan
cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak
lingkungan (Muir et al. 2000). Perubahan suhu pada hewan yang teranestesi masih
diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada
anjing adalah 37,5-39,2oC (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anjing
Anjing (Canis familiaris) telah didomestikasi selama ribuan tahun. Banyak
jenis (breeds) anjing yang telah dikenal. Jenis anjing yang umum digunakan untuk
kepentingan penelitian laboratorium adalah anjing jenis Beagle. Anjing Beagle sering
digunakan sebagai model untuk penyakit pada manusia, karena mempunyai anatomi
dan fisiologi yang mirip dengan manusia, ukuran tubuhnya baik dan ideal (berat
badan rata-rata 10-15kg), mempunyai watak atau sifat yang baik dan bersahabat
sehingga sangat cocok untuk penelitian yang memerlukan pengamatan sangat dekat.
Anjing Beagle adalah jenis anjing yang pintar, mudah menerima perintah, penurut,
serta cepat beradaptasi dengan lingkungan, manusia maupun sesama anjing
(Wolfensohn dan Lloyd 2000).
52
Anjing adalah hewan yang sangat suka berkelompok dalam suatu kawanan.
Anjing dapat dipelihara dalam sebuah kelompok atau berpasangan tetapi dengan
pemberian makanan yang cukup. Anjing sangat perlu bersosialisasi dengan manusia
atau anjing lain terutama pada saat umur masih muda 6 – 8 minggu, tetapi pada umur
14 minggu akan sulit untuk didekati. Sosial kontak bagi anjing sangat penting dan
harus dipertahankan untuk membuat anjing tetap bersifat bersahabat. Anjing dengan
sosialisasi baik akan lebih mudah ditangani (handle), tidak mudah stres, dan akan
mudah dapat memberikan prosedur perlakuan pada anjing. Anjing tergolong binatang
yang pintar dan mudah belajar sehingga sangat baik digunakan sebagai hewan
laboratorium. Anjing jantan umumnya lebih agresif dibandingkan betina, tetapi hal
ini tergantung pada jenis anjing. Anjing jenis Beagle lebih tenang, lebih penurut, dan
menerima perintah tambahan dengan lebih baik. Anjing mempunyai metode
komunikasi yang banyak dengan manusia atau sesama anjing, dan indera
penciumannya sangat penting. Anjing jantan akan memberi marka daerah kekuasaan
dengan urinasi (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anjing sangat adaptif dengan lingkungan, dapat menyesuaikan dengan suhu
lingkungan 15-24oC, dan pada suhu yang lebih rendah dapat beradaptasi apabila
dalam kelompok. Anak anjing baru lahir perlu beradaptasi pada suhu 30-32oC, pada
umur 5 hari dapat beradaptasi pada suhu 26-28oC, dan pada umur 4 minggu dengan
suhu 24oC sudah cukup. Anjing sangat baik beradaptasi terhadap makanan dan sangat
jarang terjadi defisiensi. Anjing Beagle berat 13 kg memerlukan pakan sekitar 0,8kg
atau 0,25kg pakan kering per hari, air minum lebih kurang 1 liter per hari (70-
80ml/kg/hari). Dewasa kelamin pada anjing jantan dicapai pada umur 7-8 bulan dan
pada betina umur 8-14 bulan. Anjing dapat dikawinkan setelah umur 1-2 tahun dan
anjing betina dapat dikawinkan setelah hari ke 6-12 birahi, kehamilan biasanya
berkisar 59-68 hari atau rata-rata 63 hari. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 1-12
ekor, dengan berat lahir rata-rata 250 gram. Masa hidup anjing jenis Beagle adalah 12
tahun, seperti disajikan pada Tabel 6. (Wolfensohn dan Lloyd 2000).
53
Keterangan : += kritis
54
Klas III Hewan dengan gangguan atau Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang,
Resiko sedang, penyakit sistem ik sedang, penyakit ginjal ringan, murmur ringan
ada penyakit yang terdapat gejala klinis ringan. jantung atau penyakit jantung, demam,
pasti hipovolemia sedang.
Klas V Pasien parah hampir mati, dengan Penyakit jantung, ginjal, hati, paru-
Resiko sangat berat atau tanpa operasi tidak ada paru, atau endokrin yang lanjut; Shok
atau parah harapan hidup dalam 24 jam. berat dengan disertai dehidrasi berat,
luka kepala yang parah, trauma berat,
emboli pulmonum, dan tumor maligan
stadium akhir.
Evaluasi status pasien dan penentuan status pasien harus dilakukan sebelum
dilakukan anestesi dan pembedahan. Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik, sejarah
pasien, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Secara umum, pasien
dengan klasifikasi klas I dan klas II sangat aman untuk dilakukan anestesi dengan
55
protokol dan teknik yang standar (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey
dan Hollingshead 2003).
Pada penelitian ini, hewan coba yang digunakan adalah anjing domestik
dengan kriteria memenuhi data fisiologis Tabel 6 dan klasifikasi status pasien Tabel
7.
Pemantauan Anestesi
Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan
pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks
dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan
cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua
kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama
teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan
temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga,
tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat
digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3
(tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang
mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan
kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi
pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk
mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat
diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital.
Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena
kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja. Selama
teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan
terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju
jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi
aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
56