Habermas tidak sependapat dengan pernyataan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai.
Menurutnya semua ilmu pengetahuan dan pembetukan teori selalu dibarengi dengan interest
kognitif yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis dan objek pengetahuan. Ada tiga
interest (kepentingan) yang telah tertanam kuat dalam antropologi manusia, yaitu kepentingan
bersifat teknis, praktis dan emansipatoris. Yang mana tiga interest ini memiliki pengaruh besar
dalam kegiatan keilmuan.
Habermas kemudian menunjukkan implikasi tiga interest tersebut kedalam tiga disiplin
ilmu pengetahuan. Interest pertama berkaitan dengan kebutuhan manusia akan reproduksi dan
kelestariannnya, dengan hadirnya ilmu pengetahuan yang bersifat empiris-analitis. Interest
kedua berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya dalam
praktek sosial, yang menghadirkan ilmu pengetahuan yang bersifat histories-hermeneutis.
Interest ketiga berhubungan dengan kepentingan yang mendorong diri manusia untuk
mengembangkan otonomi dan tanggung jawabnya, menghasilkan ilmu pengetahuan yang
bersifat sosial-kritis. Masing-masing dari ketiga ilmu tersebut berhubungan dengan tiga aspek
eksistensi kehidupan manusia, yaitu kerja, interaksi (komunikasi) dan kekuasaan. Jadi, ketiga
interest, tiga macam sifat ilmu, dan tiga macam eksistensi sosial manusia tersebut saling
berkaitan satu sama lain.
Kita adalah masyarakat yang berkomunikasi sehingga ilmu pengetahuan ketiga menjadi
penting karena emansipasi merupakan kebutuhan manusia untuk mendapat dukungan
metodologi. Dimana kebutuhan emansipasi ini belum dipenuhi oleh kedua jenis ilmu lainnya.
Emansipasi disini membebaskan manusia dari segala belenggu yang menghambat kerja dan
aktivitasnya. Tujuan yang ingin dicapai dari disiplin ilmu sosial-kritis ini adalah mengguncang
kembali lapisan kesadaran yang sudah malas (non-reflestive). Kemudian tujuan tersebut
dicapai dengan refleksi diri. Dengan klasifikasi tiga sifat ilmu tersebut, habermas menolak
saintisme, ketika mereka menyatakan bahwa mereka bebas nilai, padahal tidak.
Anggapan Habermas terhadap sikap “bebas nilai” bukan sebagai pendirian ilmiah,
melainkan pendirian ideologis, yaitu sifat teori yang ingin menerima dan membenarkan
kenyataan apa adanya dengan berbagai kedok atau dalih ilmiah untuk menutupi ketidak
mampuannya dalam mengubah keadaan tersebut. Habermas memahami ideologi sebagai
kepercayaan , norma atau nilai yang dianut dan dikenal sebagai weltanschauung (worldview)
yang merupakan sudut pandang terhadap realitas sosial.
Jika dihubungkan dengan pengetahuan, penting untuk diketahui seberapa jauh peranan-
peranan interest dalam proses kognitif manusia, dan lebih penting lagi seberapa jauh interest
praktis membimbing atau menyesatkan kesadaran manusia. Inilah yang dianjurkan oleh kritik
ideologi dalam epistimologi modern yaitu semacam tugas psikoanalisis pada tingkat kolektif
untuk melakukan kritik terhadap objektifitas pengetahuan.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Habermas telah memposisikan teori, praktek,
ideologi dan kepentingan (interest) sebagai bagian tak terpisahkan dalam konstruksi
‘paradigma’ Teori Kritis yang dia bangaun. Hal ini membuat jarak antara ilmu dan masyarakat
semakin dekat, bahkan jarak itu ingin dihilangkan sama sekali. Demikian halnya dengan
ilmuan sosial, ilmuan yang membuat teori dalam paradigma ini juga harus terlibat dalam
praktek karena ilmu pengetahuan merupakan daya kreatif.
Oleh karena itu, Teori Kritis pertamakali mengarahnya kepada ilmuan, bukan pada
kaum buruhnya. Dan perubahan struktur dalam masyarakat akan terjadi apabila ilmuan dengan
masyarakatnya selalu berkomunikasi yang baik, berdiskusi bebas, dan membangun wacana
serta yang terpenting melakukan praktis emansipatoris. Teori Kritis inilah yang mengajak kita
agar terjaga dari ‘tidur’ ditengah dunia-kehidupan, tradisi dan sistem masyarakat.