1
3. Riwayat Keluarga : Keluhan serupa pada anggota keluarga lain tidak ada.
4. Riwayat Pekerjaan : Petani
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik
Pasien saat ini berobat menggunakan KIS. Pasien bekerja sebagai petani dan istri pasien
sebagai ibu rumah tangga.
6. Lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : CM, opistotonus (+),trismus (+),kejang muskular (+)
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : afebris
Status generalis
Kepala : deformitas (-)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, trismus (+) 0,2 cm
Leher : kaku, KGB tidak teraba membesar
Paru : simetris saat statis dan dinamis, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I-II normal, regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : datar, BU (+) N, NT (-), perut papan (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, terdapat bekas luka pada telapak kaki kiri
2
Daftar Pustaka :
1. Andi B, Sofiati D. Kegawatdaruratan Neurologi. 2 ed. Bandung: Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung;
2009.
2. Adam R.D; Victor M. Principles of Neurology, 7th edition. McGraw-Hill International
Edition. Singapore. 2001.
Hasil Pembelajaran :
1. Menentukan diagnosis dan klasifikasi tetanus
2. Mengetahui mekanisme terjadinya tetanus
3. Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien tetanus
4. Mengetahui pencegahan pada pasien tetanus
3
suasana anaerob akan berubah menjadi endospora yg nantinya akan menghasilkan
toksin.
Toksin yg dihasilkan ada 2 yakni tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisisn berperan dalam perusakan jaringan lokal di sekitar infeksi sehingga
mengoptimalisasi pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Tetanospamin berperan
dalam menghambat pelepasan GABA di junction sinaps saraf inhibisi.
Berkurangnya GABA akan mencegah inhibisis impuls saraf eksitasi secara terus
menerus, sehingga munculah gejala tetanus.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh toksin terhadap
system saraf pusat berupa gangguan terhadap inhibisi presinaps sehingga
menimbulkan generator of pathological enhanced excitation.
2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik pasien, ditemukan pasien sadar, namun terlihat
kesakitan. Terukur nadi delapan puluh kali per menit, dan respirasi dua puluh
delapan kali per menit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan trismus 0,2 cm pada
mulut, adanya opistotonus, leher kaku, perut papan, serta kejang muskular.
Gejala dan tanda yang bisa didapatkan pada pasien tetanus antara lain :
1) Spasme otot terjadi spontan maupun akibat stimulus rangsang raba, visual,
auditori atau emosional. Spasme otot dapat berupa :
a. Rigiditas pada abdomen menimbulkan perut papan.
b. Kontraksi otot wajah rhisus smile/sardonicus, kontraksi otot rahang,
wajah, dan kepala
c. Trismus atau lockjaw karena kontraksi otot masseter
d. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
e. Spasme otot batang tubuh menyebabkan munculnya opistotonus.
f. Otot ekstremitas terpengaruh terakhir kali, namun tidak melibatkan
otot tangan dan kaki.
2) Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan laring
3) Efek toksin pada jantung yang dapat menyebabkan miokarditis
4
4) Disotonomi, biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap 1-2
minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah,
takikardia diselingi bradikaria, cardiac arrest atau asistol berulang, pirexia,
stasis gaster.
3. Assessment
Diagnosis tetanus dapat diamati dengan adanya gejala berupa kekakuan
seluruh tubuh dan tanda klinis yang meliputi rigiditas muskuler, kejang baik
dirangsang maupun spontan, perut papan, opsistotonus dan adanya trismus. Pada
pasien ini juga terdapat riwayat trauma kaki sebagai port d’entry masuknya kuman
Clostridium tetani.
Menurut Ablett’s, derajat penyakit tetanus dapat dibagi menjadi :
Grade I : Trismus ringan dan sedang, tidak ada gangguan respirasi,
tidak ada kejang
Grade II : Trismus sedang, rigiditas yang jelas, spasme ringan sampai
sedang yang berlangsung singkat, gangguan respirasi sedang, disfagi
ringan.
Grade III : Trismus berat, spastisitas umum, kejang spontan dan
berlangsung lama, gangguan respirasi dengan takipneu lebih dari 40x/m,
kadang apneu, disfagi berat, takikardi biasanya lebih dari 120 x/mnt,
peningkatan aktifitas saraf otonom yang sedang dan menetap.
Grade IV : Gangguan otonom yang sangat hebat disebut juga
autonomic storm yang melibatkan sistem kardiovaskuler termasuk
hipertensi berat dan takikardi yang silih berganti dengan hipotensi relatif
dan bradikardi.
Sedangkan Pattel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot
tulang belakang
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
5
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 37,6OC
4. “Plan”:
Diagnosis : Tetanus Grade II
Pengobatan :
Terapi Umum
1. Disarankan dirawat di ruang intensif : tenang & minimal cahaya
(meminimalisasi stimulus) & monitoring ketat (fungsi vital dan tanda
aritimia)
2. Cairan infus D5 20 gtt/m : mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
3. Debridement luka : jaringan nekrotik dan benda-benda asing harus
dihilangkan, abses diinsisi dan didrainase.
4. NGT untuk nutrisi
5. DC Catheter untuk monitor output
6
Terapi Khusus
Anti Tetanus Serum
– Menetralisir tetanospasmin yang bebas
– dosis : 10.000 IU secara IM
TT (tetanus toksoid)
– Merangsang dibentuknya antibodi terhadap eksotoksin kuman
– Dosis 0,5 cc IM (ST)
Antibiotik eliminasi sumber tetanospasmin
– DOC : Metronidazole 500 mg per 6 jam selama 10 – 14 hari
– Tetrasiklin 500 mg (spektrum luas)
Pencegahan
Semua luka harus dibersihkan dan debridemen sebaiknya dilakukan jika
perlu. Tetanus toxoid dapat diberikan jika riwayat booster terakhir > 10tahun. Jika
riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. Jika riwayat imunisasi
terakhir > 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin harus diberikan,
keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIG.
7
Dosis TT pada anak usia 7 tahun: 0,5 ml IM , sedangkan pada anak usia
< 7 tahun: gunakan DPT sebagai pengganti TT, jika kontraindikasi pertusis
berikan DT 0,5 ml IM. Dosis TIG profilaksis dewasa 250-500 IU im kontralateral
pemberian TT sedangkan dosis anak 250 IU IM. Jenis luka yang rentan tetanus
adalah jika > 6 – 8 jam, kedalaman> 1cm, terkontaminasi,, bentuk iregular,
denervasi, iskemik, terinfeksi (purulen,jaringan nekrotik)
Pendidikan :
Keluarga pasien harus dijelaskan tentang kondisi pasien yang tidak stabil dan
membutuhkan penanganan gawat darurat. Selain itu keluarga pasien juga harus
diberitahu mengenai komplikasi gagal nafas yang sewaktu-waktu bisa terjadi
akibat tetanus.
Peserta, Pendamping,