Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produk perlebahan, terutama madu telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai
makanan yang berkhasiat mengembalikan stamina, menjaga kesehatan dan mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti rematik, darah tinggi dan darah rendah, sakit
pinggang, serta luka bakar (Sayyid, 2006). Definisi madu menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) 01-3545-2004, adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang
dihasilkan oleh lebah asu dari sari bunga tanaman (flora nektar) atau bagian lain dari tanaman
(ekstra flora nektar) atau eksresi serangga. Menurut Codex Alimentarius (2001), madu adalah
zat manis yang dihasilkan oleh lebah. Madu ini dapat mengalami perubahan bentuk dan
mengandung senyawa tertentu yang berasal dari tubuh lebah, kemudian disimpan pada sarang
madu hingga mengalami proses pematangan.
Karakteristik mutu fisik dan kimia madu berbeda-beda tergantung pada faktor internal
dan eksternal. Faktor internal diantaranya jenis bunga (Gheldof N, Xiao-Hong, Engeseth N.J,
2002). Faktor eksternal seperti musim, kondisi tanah atau letak geografis serta proses
pengolahan dan penyimpanan (White, 1975; Sihombing, 1997; Winarno, 1984)
Enzim diastase merupakan enzim yang ditambahkan oleh lebah pada saat proses
pematangan madu. Diastase (amilase) mencerna pati maltosa dan relatif stabil terhadap panas
dan lama penyimpanan. Enzim ini juga banyak mengkatalisis konversi gula lainnya dan
terutama bertanggung jawab untuk pola gula pada madu. Diastase memiliki peran penting
untuk menilai kualitas madu dan digunakan sebagai indikator kemurnian madu karena enzim
tersebut berasal dari tubuh lebah. Nilai minimum dari diastase dalam SNI adalah 3 diastase
number (DN). Aktivitas tersebut akan berkurang akibat dari penyimpanan dan pemanasan
madu. Di beberapa negara aktivitas enzim diastase digunakan sebagai indikator untuk
kemurnian dan kesegaran madu (Azeredo, 2003).
Pemeriksaan derajar pemanasan madu dapat dilakukan analisa terhadap keaktifan
enzim diastase. Bila keaktifan diastase sampai batas yang diizinkan berarti ada pemanasan
berlebihan, sehingga kualitas madu menurun. Bahkan bila keaktifan diastase sampai0,
kemungkinan madunya palsu atau tiruan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana aktivitas enzim diastase pada sampel madu yang dianalisis?
1
1.3 Tujuan
Mengetahui aktivitas enzim diastase pada madu yang menjadi salah satu parameter mutu
madu.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mengetahui aktivitas enzim diastase pada madu yang dianalisis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Madu

Gambar 1. Madu

Madu adalah bahan pangan manis dan kental yang berwarna emas sampai coklat gelap
dengan kandungan gula yang tinggi serta rendah lemak. Madu diproduksi sebagai cadangan
makanan oleh lebah madu dengan jalan inversi enzimatis nektar bunga (White, 1978:286).
Madu sudah dikenal sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu. Bogdanov dkk (2008:677)
menyatakan bahwa sekitar tahun 2000 SM, madu sudah digunakan sebagai salep dan obat
injeksi. Sarwono (2001:78) melaporkan bahwa salah satu fungsi madu adalah sebagai
antibiotik. Selain itu tekanan osmotik pada madu meningkatkan ketahanannya dari
mikroorganisme yang dapat merusak struktur madu, sehingga madu dapat diimpan dalam
waktu yang lama.
Madu murni menurut Farmakope Indonesia adalah madu yang diperoleh dari sarang
lebah madu Apis mellifera dan spesies lainnya yang telah dimurnikan dengan pemanasan
sampai 70°C. Setelah dingin kotoran yang mengapung disaring. Selanjutnya, madu dapat
ditambah dengan air secukupnya untuk pengenceran sehingga bobot madu per ml memenuhi
persyaratan yang telah dibakukan. (Sarwono, 2001).
Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah
mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi, dan fosfat. Madu
juga mengandung vitamin B1, B2, C, B3, dan B6 yang komposisinya berubah-ubah sesuai
dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu, didalam
madu terdapat pula tembaga, yodium, dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis
hormone (Sarwono, 2001).

3
Di Indonesia, kualitas madu ditentukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
nomor 01-3543-2004 seperti yang tercantum pada Tabel.1. Dimana standar tersebut
merupakan kriteria dari mutu madu yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional
(BSN) dan merupakan hasil inversi dari SNI tentang syarat mutu madu tahun 1994.
Tabel 1. Syarat Mutu Madu

No Jenis uji Satuan Persyaratan


1 Aktivitas enzim
DN min. 3
diastase
2 Hidroksimetilfulfural mg/kg maks. 50
3 Air % maks. 22
4 Gula reduksi (dihitung
% b/b min. 65
sebagai glukosa)
5 Sukrosa % b/b maks. 5
6 Keasaman ml NaOH
maks. 50
1 N/kg
7 Padatan yang tak larut
% b/b maks. 0,5
dalam air
8 Abu % b/b maks. 0,5
9 Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0
- Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5,0
10 Cemaran Arsen mg/kg maks. 0,5
(BSN, 2004).

2.2 Kandungan Madu


Madu dapat dikelompokan berdasarkan asal polennya menjadi madu NP (natural
pollen) dan madu PS (pollen substitute). Madu NP atau yang sering disebut madu alami
umumnya tersusun atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat (38% fruktosa, 31% glukosa, 12,9%
gula lain), 0,5% protein, asam amino, senyawa fenolik, vitamin, asam organik dan berbagai
mineral (White 1978: 287). Menurut Sarwono (2001:69), dari 100 gr madu mengandung 294
kalori, 9,5 gr karbohidrat, 24 gr air, 16 gr fosfor, 5 gr kalsium, dan 4 gr vitamin C.
Zat-zat yang terkandung dalam madu sangatlah kompleks dan kini telah diketahui tidak
kurang dari 181 macam zat yang terkandung dalam madu. Karbohidrat merupakan komponen
4
terbesar yang terkandung dalam madu, yaitu berkisar lebih dari 75%. Jenis karbohidrat yang
paling dominan dalam hampir semua madu adalah dari golongan monosakarida yang biasanya
terdiri levulosa dan dekstrosa. Levulosa dan dekstrosa mencakup 85%-90% dari total
karbohidrat yang terdapat dalam madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida
(Sihombing, 1997).

2.3 Manfaat Madu


Penelitian mengenai efektivitas madu dalam dunia pengobatan modern sudah banyak
dilakukan. Madu dilaporkan efektif untuk pengobatan luka, perawatan penyakit saluran cerna
pada manusia, penyembuhan luka bakar, dan sebagai antibakteri (Jull dkk.
2008:175). Menurut Nemoseck dkk. (2011:56) pemakaian madu sebagai pengganti gula dapat
menurunkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Begitu pun dengan Yaghoobi dkk.
(2008:464) yang melaporkan bahwa madu dapat menurunkan kadar LDL dan meningkatkan
kadar HDL dalam darah.
Mutu, rasa, aroma, dan komposisi kimia suatu madu sangat bergantung pada kondisi
lingkungan dan iklim habitat lebah madu hidup, serta diet makanan lebah tersebut (Kartini
1986: 143). Serbuk sari (pollen) merupakan bahan makanan pokok dan sumber protein alami
lebah madu. Kandungan serbuk sari secara umum terdiri atas abu dengan berbagai macam
mineral (1,8-3,7%), karbohidrat (13-37%), serat (5,3%), protein (6-28%), dan lemak (1,2-
3,7%) (Kuntadi 2008: 367).
Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas madu ialah menggunakan pollen
substitute (PS). Pollen substitute (PS) berfungsi sebagai pengganti fungsi pollen alami jika
jumlahnya berkurang di lapangan. Pemberian pollen substitute pada koloni lebah berpengaruh
terhadap penambahan bobot koloni, luas sarang anakan, berat lebah pekerja, mortalitas anakan
lebah madu, dan produksi madu.
Menurut Sjamsuridzal dkk. (2011:22), kandungan nutrisi yang terdapat dalam pollen
substitute lebih baik dibandingkan dengan serbuk sari alami, terutama kandungan senyawa
proteinnya. Jika pada serbuk sari alami kandungan proteinnya hanya berkisar 20% saja, PS
memiliki kandungan protein hingga 45-50%. Pemberian PS diduga dapat meningkatkan
kandungan senyawa aktif pada madu yang berperan dalam penurunan konsentrasi trigliserida,
seperti niasin.
Hasil uji kualitas madu pada lebah yang diberi diet PS (madu PS) menunjukkan
aktifitas kerja enzim (41%) dan kadar niasin (20%), lebih tinggi dari madu dengan asupan
5
serbuk sari alami (4-10%) (Black, 2006:50). Kandungan senyawa yang lebih tinggi pada madu
PS menjadikan madu PS telah terstandarisasi oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
Niasin merupakan salah satu vitamin utama pada madu (Alvarez-Suarez dkk.
2013:2). Niasin (asam nikotinat) merupakan vitamin B3 yang bekerja sebagai senyawa
antihiperlipidemia. Menurut Lukasova dkk. (2011:701) niasin mampu menurunkan sintesis
trigliserida, menurunkan konsentrasi kolesterol plasma darah, meningkatkan konsentrasi
High-Density Lipoprotein (HDL), serta menurunkan sekresi Very Low-Density Lipoprotein
(VLDL) dan Low-Density Lipoprotein (LDL).
Selain niasin, madu juga mengandung berbagai senyawa polifenol dan flavonoid
(Alvarez-Suarez dkk. 2013:1). Ricardo dkk (2001:266) melaporkan bahwa kandungan
flavonoid pada madu sangat berpotensi untuk menurunkan konsentrasi kolesterol dan
trigliserida plasma darah.

2.4 Uji Aktivitas Enzim Diastase Pada Madu


Enzim diastase adalah enzim yang mengubah karbohidrat komplek (polisakarida)
menjadi karbohidrat yang sederhana (monosakarida). Dua enzim yang mencolok dalam madu
yakni enzim diastase dan invertase. Konsep enzim yang lama menggolongkan enzim amylase
menjadi dua kelompok yakni α-amilase (amiloklastik atau amilitik) yang memutuskan rantai
pati secara acak menjadi dekstrin dan menghasilkan hanya sedikit gula tereduksi. Kelompok
kedua, β-amilase (sakharogenik) yang memutuskan gula tereduksi maltosa dari ujung rantai
pati. Derajat keasaman (pH) optimum bagi α-amilase berkisar antara 5,0 pada suhu 22-30°C
sampai 5,3 pada suhu 45-50°C, sedangkan untuk β-amilase adalah 5,3. Pemanasan maupun
penyimpanan lama terhadap madu mengakibatkan inaktivasi enzim madu dan data kinetik
enzim madu telah diketahui sehingga waktu paruh hidupnya (half-life) dapat diketahui Lebah
madu tidak dapat memanfaatkan pati mentah atau dimasak atau dektrin.
Sumber diastase dalam madu adalah lebah madu sendiri, meski ada juga yang menduga
nektar sebagai sebagian sumbernya. Enzim invertase (sukrase, sakharase) berperan mengubah
nektar menjadi madu, lebah madu menambah invertase ke nektar dan aktivitas invertase
berlanjut juga dalam madu yang di ekstraksi.
Glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa karena mempunyai sifat dapat
memutar cahaya terpolarisasi kearah kanan. Dalam alam glukosa dihasilkan dari reaksi antara
karbon dioksida dan air dengan bantuan sinar matahari dan klorofil dalam daun. Proses ini

6
disebut fotosintesis dan glukosa yang terbentuk terus digunakan untuk pembentukan amilum
atau selulosa.
Semakin lama penyimpanan madu dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim diastase
atau enzim diastase menjadi tidak aktif. Enzim diastase adalah enzim yang mengubah
karbohidrat kompleks (polisakarida) menjadi karbohidrat yang sederhana (monosakarida)
(Suranto, 2004). Enzim diastase ditambahkan oleh lebah pada saat pematangan madu. Enzim
ini hanya terdapat pada madu yang baru dipanen atau madu murni tanpa pengolahan. Aktivitas
enzim diastase dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi perlakuan panas pada
madu. Enzim merupakan protein, dan hanya aktif pada keadaan tertentu. Enzim akan cepat
rusak apabila kondisi terlalu asam, terlalu basa, terkena panas atau logam berat (Achmadi,
1991). Pemanasan pada suhu diatas 40°C menyebabkan aktivitas enzim diastase menurun
bahkan pada suhu tinggi menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif dan semakin lama
penyimpanan dapat menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif.
Tabel 2. Aktivitas Enzim Diastase

No Jenis Uji Satuan Persyaratan


1 Aktivitas Enzim DN min 3
Diastase
2 Gula Pereduksi % b/b min 65
(dihitung sebagai
glukosa)
3 Hidroksimetilfurfural mg/kg maks 50
(HMF)
4 Kadar Air % b/b maks 22
(SNI 01-3545-2013)

7
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Alat
 Neraca analitik
 Pipet ukur
 Penangas air
 Tabung reaksi
3.2 Bahan
 Madu As-Salam
 Larutan pati 1%
 Larutan I-KI dan aquades
3.3 Prosedur Kerja
Dimasukkan 1 g sampel madu ke dalam tabung reaksi dan dilarutkan dengan 4 mL
akuades. Dicampurkan dengan 10 mL larutan pati 1%, dipanaskan pada penangas air 40oC
selama 1 jam. Ditambahkan beberapa tetes larutan I-KI, kemudian diamati perubahan warna
yang terjadi selama beberapa menit, jika intensitas warna biru semakin terlihat terang
(berkurang), maka sampel positif terdapat aktivitas enzim diastase. Jika belum ada perubahan
simpan hasil percobaan tersebut selama beberapa jam dan diamati kembali.

8
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI

4.1 Hasil Pengamatan


Tabel 3. Hasil Pengamatan

Perlakuan Hasil Pengamatan


Massa Sampel 1g
Dilarutkan dengan aquades ditambah Larutan berwarna jingga bening
larutan pati 1% kemudian dipanaskan
Diteteskan larutan I-KI Larutan Berwarna biru
Diamati Warna biru perlahan menghilang
setelah 2 menit*
* Waktu pengamatan dihitung setelah penambahan larutan iod
4.2 Pembahasan
Madu adalah zat manis alami yang dihasilkan lebah dari bahan baku nektar yakni
senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar tanaman dalam bentuk larutan gula. Nektar
dikumpulkan lebah pekerja untuk diolah dengan mencampurnya dengan air liur kemudian
disimpan dalam sel-sel yang terdapat pada sisiran sarang, sehingga menjadi madu matang
(Sarwono, 2001).
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian aktivitas enzim diastase pada salah satu
produk madu yang beredar di pasaran. Sampel madu yang dianalisa adalah produk madu As-
Salam yang dijual secara bebas di pasaran. Uji yang akan dilakukan sendiri merupakan teknik
analisa aktivitas enzim diastase secara kualitatif, artinya disini hanya ingin diketahui apakah
pada sampel madu tersebut terkandung enzim diastase dan memiliki aktivitas enzim yang
signifikan.
Mekanisme pengujian aktivitas enzim diastase dilakukan dengan memberikan substrat
pati (polisakarida) yang merupakan substrat spesifik bagi enzim diastase madu. Kemudian
substrat akan bereaksi dengan enzim diastase menghasilkan molekul-molekul gula yang lebih
sederhana. Sesuai dengan fungsi enzim diastase pada madu, enzim ini akan mengubah
karbohidrat kompleks atau polisakarida menjadi karbohidrat dengan rantai yang sederhana
atau monosakarida. Pati yang tergolong polisakarida akan terhidrolisis oleh diastase menjadi
monoskarida penyusunnya, pemutusan ikatan pati oleh enzim diastase terjadi pada ikatan alfa
1,6 glikosidik pada gula tereduksi maltosa pada ujung rantai pati (Sihombing, 1997). Untuk
meningkatkan kecepatan reaksi, suhu madu dikondisikan pada pada suhu 40◦C yang

9
merupakan suhu optimum dari enzim untuk mengkatalisis proses hidrolisa pati. Dengan
rekasinya digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Hidrolisis pati oleh enzim diastase


Untuk menunjukan hasil hidrolisa oleh enzim diastase, ditambahkan indikator spesifik
polisakarida yaitu iodium (I2) yang memberikan warna biru gelap yang menunjukan
terbentuknya kompleks pati-iodium. Kompleks tersebut tersebut terbentuk dengan cara rantai
panjang pada pati akan melingkupi gugus I2 pada senyawa iodium sehingga membentuk
kompleks yang berwarna biru gelap Warna tersebut akan hilang apabila tidak ada lagi
kandungan pati (polisakarida) pada sampel madu yang ditandai dengan munculnya warna
kuning kecoklatan (Maryati,2000).
Enzim diastase merupakan enzim pencernaan pati pada madu. Aktivitas enzim diastase
dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi perlakuan panas pada madu. Enzim
merupakan protein, dan hanya aktif pada keadaan tertentu. Enzim akan cepat rusak apabila
kondisi terlalu asam, terlalu basa, terkena panas atau logam berat (Achmadi, 1991). Pemanasan
pada suhu diatas 40°C menyebabkan aktivitas enzim diastase menurun bahkan pada suhu
tinggi menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif dan semakin lama penyimpanan dapat
menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif.
Menurut Poedjiadi (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim, antara lain:
a. Konsentrasi enzim. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah
dengan bertambahnya konsentrasi enzim.
b. Konsentrasi substrat. Dengan konsentrasi enzim yang tetap, perubahan substrat akan
menambah kecepatan reaksi.
c. Suhu. Kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi, sehingga bagian aktifnya terganggu.

10
d. Pengaruh pH. Struktur ion enzim tergantung pada pH lingkungannya, enzim memiliki
muatan ganda (zwitter ion)
e. Pengaruh inhibitor. Dapat berupa hambatan yang disebabkan oleh terjadinya estruksi atau
modifikasi pada struktur enzim.
Dengan mengukur aktifitas enzim diastase pada madu, diharapkan menjadi salah satu
indikator untuk mengetahui kualitas madu karena madu bisa saja mengalami proses
pemanasan untuk meningkatakan viskositas dan mengurangi kadar airnya (Winarno,1982).
Semakin tinggi aktifitas enzim diastase, maka akan semakin cepat hilangnya warna biru pada
pati. Aktifitas enzim diastase yang sangat tinggi pada madu menunjukan kualitas madu yang
sangat baik. Kualitas madu ditentukan oleh beberapa hal diantaranya waktu pemanenan madu,
kadar air, warna madu, rasa dan aroma madu. Selain itu kadar air juga berpengaruh terhadap
kualitas madu, madu yang baik adalah yang kualitas air nya 17-21 % (Sihombing, 1997).
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, analisa kualitatif aktifitas enzim
diastase pada sampel madu As-Salam menunjukan hasil yang positif. Artinya terdapat enzim
diastase pada produk tersebut atau sampel madu memiliki aktifitas enzim seperti yang
diharapkan. Hal ini ditunjukan dengan berkurangnya intensitas perubahan warna antara
kompleks indikator dengan substrat sampai berwarna kuning kecoklatan kembali dengan
waktu 2 menit.
Untuk memastikan ada tidaknya aktifitas enzim diastase pada produk madu tersebut
harus dilakukan uji aktifitas enzim diastase secara kuantitatif misalnya dengan melakukan
pembacaan absorbansi secara spektrofotometri yang diplotkan ke dalam kurva dengan
perbandingan waktu untuk memperoleh nilai diastase dari enzim tersebut (DN). Di Indonesia,
kualitas madu ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3545-2004 (Tabel
1), dimana untuk nilai diastase sendiri SNI telah menetapkan produk madu yang baik memiliki
nilai diastase enzim diatas 3. Namun karena pengujian kali ini tidak dilakukan secara
kuantitatif maka tidak dapat dipastikan apakah produk madu tersebut sesuai standar atau tidak.

11
BAB V
KESIMPULAN

Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa, enzim
diastase pada madu dapat dijadikan salah satu parameter kualitas produk madu dan pada
sampel madu As-Salam positif terdapat kandungan enzim diastase di dalamnya. Hal ini di
tunjukan oleh kemampuannya dalam menghidrolisis pati dalam waktu 20 menit dengan suhu
40oC.

12
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S., 1991, Analisis Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf Laboratorium Pusat
Perlebahan Nasional Parung Panjang, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan,
Institut Pertanian Bogor.

Alvarez-Suarez, J. M., dkk. 2013. Honey as a source of dietary antioxidants: Structures,


bioavailability, and evidence of protective effects against human chronic diseases.
Current Medicinal Chemistry.

Black, J. 2006. Honey bee nutrition: Review of research and practices. Australian
Government Rural Industries Research and Development Corporation, Kingston.

Bogdanov, S., dkk. 2008. Honey for nutrition and health: a review. Journal of the American
College of Nutrition.

Jull, A., N. dkk. 2008. Randomized clinical trial of honey-impregnated dressings for venous
leg ulcers. British Journal of Surgery.

Kartini, A.A.S. 1986. Komposisi kimia biologi jenis madu Indonesia. Prosiding Lokakarya
Pembudidayaan Lebah Madu Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Perum Perhutani,
Jakarta.

Kuntadi. 2008. Perkembangan koloni Apis mellifera L. yang diberi tiga macam serbuk sari
buatan berbasis tepung kedelai (The colony development of Apis mellifera L. fed on
three formulas of soybean-based Pollen Substitute). Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam.

Lukasova, dkk. 2011. Nicotinic acid (niacin): new lipid-independent mechanisms of action
and therapeutic potentials. Cell Press.

Maryati S. 2000. Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Erlangga.

Nemoseck, dkk. 2011. Honey promotes lower weight gain, adiposity, and triglycerides than
sucrose in rats. Nutrition Research.

Poedjaji A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.

13
Ricardo, dkk. 2001. Effect of flavonoids Morin, Quercetin, and Nicotinic acid on lipid
metabolism of rats experimentally fed with triton. Brazilian Archieve of Biology
and Technology.

Sarwono, B. 2001. Lebah madu: kiat mengatasi masalah praklinis. Agro Media Pustaka,
Jakarta.

Sihombing,D. 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta : Gadjah Mada Universitas Press.

Sjamsuridzal, dkk. 2011. Pembuatan pollen substitute sebagai pakan lebah madu
menggunakan mikroorganisme dan bahan lokal. Laporan Akhir Hibah Kompetitif
Penelitian Strategis Nasional. FMIPA UI, Depok.

Suranto, A., 2004, Khasiat dan Manfaat Madu Herbal, Argo Media Pustaka, Jakarta.

White, J.W. 1978. Honey Advances in food research.

Winarno FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta

Yaghoobi, dkk. 2008. Natural Honey and Cardiovascular Risk Factors; Effects on Blood
Glucose, Cholesterol, Triacylglycerole, CRP, and Body Weight Compared with
Sucrose. The Scientific World Journal.

14
LAMPIRAN

Setelah 2 menit didiamkan

15

Anda mungkin juga menyukai