Konsep Sehat
(1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena
perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
(2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan
yang dekat diantara ketiganya;
(3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-
emosi secara cepat;
(4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
(5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
(6) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya
yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat
yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan
dasar dan emosional (Dumatubun, 2002).
Tingkah laku dan peranan seseorang merupakan suatu hal yang selalu
mengikuti kemanapun dalam setiap kejadian kehidupan, bahkan tingkah laku dan
peranan biasanya terjadi karena merupakan suatu respons terhadap keadaan tertentu.
Demikian pula kejadian sakit dan penyakit telah memicu respons tingkah laku dan
peran yang berbeda pada diri seseorang.
Mecahanic dan Volkhart (1961) mendefinisikan tingkah laku sakit sebagai suatu
cara-cara diman gejala-gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankan oleh seorang
individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi
tubuh yang kurang baik.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien.
Seorang dewasa yang bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit,
maka Ia harus memutuskan apakah Ia harus minum aspirin dan mengharapkan
kesembuhan atau memanggil dokter.
Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya apabila penyakit itu
telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut
tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan yang berarti mengurangi dan
memberikan tuntutan tambahan atas tingkah laku peranan orang-orang di
sekelilingnya, maka barulah orang tersebut dikatakan melakukan peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit, dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku di suatu
tempat.
C. PERAN PERAWAT
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang budayanya.
Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien.
Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan/
mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan
mengubah/mengganti budaya klien (Geiger and Davidhizar, 1995).
Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan
kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan
nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan
atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap
pagi.
Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya
lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil
mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan
sumber protein hewani lain.
Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status
kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang
lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Menurut Brunner & Suddarth (2002) istilah dan defenisi lain yang memberikan
tilikan lebih lanjut ke dalam asuhan kultur dan kesehatan meliputi:
Akulturasi yaitu proses dimana anggota kelompok kultural beradaptasi dan
belajar bagaimana memperlakukan kelompok lain.
Kebutaan kultural yaitu ketidakmampuan individu untuk mengenali nilai,
kepercayaan dan praktik mereka sendiri dan kelompok lain akibat kecenderungan
etnosentris yang kuat.
Imposisi kultural yaitu kecenderungan memaksakan keyakinan, nilai-nilai, dan
pola perilaku seseorang atau kelompok orang dari kultur yang berbeda.
Tabu kultural yaitu aktvitas yang diatur oleh peraturan perilaku yang dihindari,
dilarang atau yang tidak diizinkan oleh kelompok cultural tertentu.
Asuhan keperawatan yang cakap atau kongruen secara kultural mengacu
kepada integrasi kompleks sikap, pengetahuan, dan keterampilan (termasuk
pengkajian, pengambilan keputusan, penilaian, berfikir kritis dan evaluasi) yang
memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan dengan cara yang peka secara
kultural (Brunner & Suddarth, 2002).
Kebijakan yang meningkatkan asuhan yang kongruen secara kultural membuat
regulasi fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan pengunjung (pengunjung,
frekuensi, dan lama kunjungan), dengan memperhitungkan peran dukun dalam
perencanaan, implementasi, dan evaluasi asuhan, menyediakan pelayanan
penerjemahan bagi pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia, mengetahui
kebutuhan diet khusus bagi pasien dari kelompok kultur tertentu dan menciptakan
lingkungan yang mendukung praktik spiritual dan religious pasien (Brunner &
Suddarth, 2002).
Model asuhan transkultural dapat memperluas hubungan teraupetik antara
perawat dan pasien jika mereka menggunakan cara yang dianjurkan untuk
berkembangnya sikap saling menguntungkan dan rasa menilai masing-masing individu
dari budaya lain. Keadaan ini akan dapat bekerjasama dengan mitra secara lebih baik
dan menemukan solusi yang baik terhadap masalah kesehatan. Walaupun tujuannya
untuk mengembangkan dan keseimbangan dan hubungan timbal balik (Basford &
Slevin, 2006).
1. Siregar. 2002. Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Dalam Jurnal Antropologi Papua.
Vol 1, No. 1. Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Cendrawasih.
2. Djoht. 2002. Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Papua. Dalam Jurnal Antropologi Papua. Vol 1, No. 1. Laboratorium
Antropologi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Cendrawasih.
3. Dumatubun. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua dalam Perspektif Antropologi
Kesehatan. Dalam Jurnal Antropologi Papua. Vol 1, No. 1. Laboratorium
Antropologi Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Cendrawasih.
4. Endra. 2005. Paradigma Sakit. (Online),
(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/1012/1125, diakses
15 Juli 2018)
5. Soejoeti. 2005. Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya. Jakarta:
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
6. Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed,
Philadelphia, JB Lippincot Company
7. Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and Intervention,
2nd Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc
8. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27032/4/Chapter%20II.pdf
9. Adiansyah,dkk. 2011. Perspektif Dan Prinsip Transkultural Dalam Keperawatan Beserta
Aplikasinya. (Online), (http://b302fikui.files.wordpress.com/2011/11/fg-1.pdf,
diakses 15 Juli 2018)
PERSEPSI SEHAT-SAKIT DAN PERILAKU PERAN PASIEN
Disusun Oleh :
NIM : P1337420616042
2018