1. PENGERTIAN
Syok anafilaktik terbagi atas 2 kata yaitu syok dan anafilaktik. Syok adalah suatu
sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidak cukupan perfusi
jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan
penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan
tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada
system peredaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian
tubuh, terutama ke ala t tubuh yang penting. Sedangkan anafilaksis terbaru dibuat oleh World
Allergy Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai
suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa.
2. ETIOLOGI
Atopi merupakan faktor risiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di
Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi.
Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis.
Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun
ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua,
semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan
dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian
adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen
yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah
beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
3. PATOFISIOLOGI
Alergen spesifik
Sirkulasi darah
+Ig E
Basofil & sel Mast Alergi
Melepaskan Leukotrien
Patofisiologi anafilaksis pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular,
traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.
Mediator anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat
yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis
a. Histamin
Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel
yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil.
Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi
setelah perangsang yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama l0 menit dan
inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.
Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2. Reseptor H1
terdapat terutama pada sel otot polos bronkioli dan vaskular, sedangkan reseptor H2 terdapat
pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya
klorfeniramin) dan antistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor
histamin terdapat pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.
Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem
vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan
respons wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi sel sistemik dapat menimbulkan
hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan
sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus
dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
b. SRS-A
Berbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam
granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian
muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot
bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan
tidak dihambat oleh histamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang
disebabkan oleh SRS-A.
c. ECF-A
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera
waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada
daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan
menghalangi aksi SRS-A dan histamin.
d. PAF
e. Bradikinin
Aktifitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat,
lama dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf
dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi
mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya
melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A.
f. Serotonin
Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan
dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga
menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak
begitu penting pada anafilaksis.
g. Prostaglandin
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik.
a. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan
antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada
oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis,
dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan
penyebab.
b. reaksi sistemik merupakan gejala yang timbul juga menyeluruh. Gejala permulaan seperti
Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas Sistem Organ Gejala Kulit Eritema,
urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis Respirasi Bronkospasme,
rhinitis, edema paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema
epiglotis, stridor, serak, suara hilang, wheezing, dan obstruksi komplit. Cardiovaskular
Hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia Gastrintestinal
Mual, muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia, konvulsi
dan kom Sendi Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC.
Reakasi sistemik terbagi lagi menjadi:
a. Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh,
biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat
disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa
gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul
dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan,
umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.
Dispnu, emfisema
akut, asma,
bronkospasme,
bronkorea
Peningkatan
peristaltik, muntah,
disfagia, mual, kejang
perut, diare
Gelisah, kejang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada
reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu,
batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah.
Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan
lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.
c. Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa
menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring
disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema
faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare
dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf
pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung,
syok dan koma. The Effect of Various Molecules Released by Mast Cells During Activation
Peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat
cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi
berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada
orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.
5. PEMERIKSAAN
Medikamentosa
Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom. Di
ulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium terminal /
pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faal diberikan
1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB)
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg dosis
tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam bila tetap sesak + hipotensi
segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml
garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam
Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian selama
72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit
7. PENCEGAHAN
dr.Titin S. Sp.An
Disusun Oleh: