Anda di halaman 1dari 18

SYOK ANAFILATIK

1. PENGERTIAN
Syok anafilaktik terbagi atas 2 kata yaitu syok dan anafilaktik. Syok adalah suatu
sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidak cukupan perfusi
jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan
penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan
tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada
system peredaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian
tubuh, terutama ke ala t tubuh yang penting. Sedangkan anafilaksis terbaru dibuat oleh World
Allergy Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai
suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa.

Jadi syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak
pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan
terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit
untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi saluran napas.

2. ETIOLOGI
Atopi merupakan faktor risiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di
Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi.
Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis.
Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun
ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua,
semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan
dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian
adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen
yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah
beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

3. PATOFISIOLOGI

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe


I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.
Mekanisme Syok anafilaktik

Alergen spesifik

Sirkulasi darah

+Ig E
Basofil & sel Mast Alergi

Melepaskan Leukotrien

Spasme otot polos bronkiolus

1. kapasitas vaskuler akibat


dilatasi vena  aliran balik
Sesak napas Dikeluarkan Prostaglandin + vena
dilatasi pembuluh darah 2. dilatasi arteriol  tekanan
arteri
dikepala
3. permeabilitas kapiler, cairan &
protein hilang ke dalam ruang
jaringan secara cepat
Sakit kepala

Curah jantung  syok sirkulasi

Patofisiologi anafilaksis pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular,
traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.

 Mediator anafilaksis

Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat
yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis
a. Histamin

Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel
yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil.
Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi
setelah perangsang yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama l0 menit dan
inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat.

Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2. Reseptor H1
terdapat terutama pada sel otot polos bronkioli dan vaskular, sedangkan reseptor H2 terdapat
pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya
klorfeniramin) dan antistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor
histamin terdapat pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil.

Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem
vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang lebih besar
menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan
respons wheal-flare (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi sel sistemik dapat menimbulkan
hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan
sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus
dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.

b. SRS-A

Berbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam
granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian
muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot
bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan
tidak dihambat oleh histamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang
disebabkan oleh SRS-A.
c. ECF-A
ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera
waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada
daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan
menghalangi aksi SRS-A dan histamin.

d. PAF

PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah.


PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi
pembuatan bradikinin.

e. Bradikinin

Aktifitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat,
lama dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula
pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf
dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi
mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya
melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A.

f. Serotonin

Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan
dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga
menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak
begitu penting pada anafilaksis.

g. Prostaglandin

Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh


nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga
meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung
menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.
h. Kalikrein

Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh


darah dan tekanan darah.

4. TANDA dan GEJALA

Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik.

a. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan
antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada
oragan target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis,
dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan
penyebab.
b. reaksi sistemik merupakan gejala yang timbul juga menyeluruh. Gejala permulaan seperti
Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas Sistem Organ Gejala Kulit Eritema,
urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang cyanosis Respirasi Bronkospasme,
rhinitis, edema paru dan batuk, nafas cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema
epiglotis, stridor, serak, suara hilang, wheezing, dan obstruksi komplit. Cardiovaskular
Hipotensi, diaphoresis, kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia Gastrintestinal
Mual, muntah, cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia, konvulsi
dan kom Sendi Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC.
Reakasi sistemik terbagi lagi menjadi:
a. Reaksi sistemik ringan

Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh,
biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat
disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa
gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul
dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan,
umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik.

Gambaran klinis anafilaksis

Sistem Gejala dan tanda Mediator

Umum (prodromal) Malaise, lemah, rasa -Histamin


sakit
Histamin
Kulit Urtikaria,eritema Histamin

Mukosa Edema periorbita, SRS-A, histamin, lain-lain?


hidung tersumbat dan
Pernapasan Tidak diketahui
gatal, angioedema,
Jalan napas atas pucat, sianosis Tidak diketahui

Jalan napas bawah Bersin, pilek, dispnu,


edema laring, serak,
Gastrointestinal
edema lidah dan
Susunan saraf pusat faring, stridor

Dispnu, emfisema
akut, asma,
bronkospasme,
bronkorea

Peningkatan
peristaltik, muntah,
disfagia, mual, kejang
perut, diare

Gelisah, kejang

b. Reaksi sistemik sedang

Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada
reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu,
batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah.
Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan
lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan.
c. Reaksi sistemik berat

Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti
reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa
menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring
disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema
faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare
dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf
pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung,
syok dan koma. The Effect of Various Molecules Released by Mast Cells During Activation
Peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat
cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi
berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada
orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.

5. PEMERIKSAAN

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan


diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah
tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-
immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun
memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun
uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah,
elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan hematokrit yang meningkat akibat
hemokonsentrasi. Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah
dapat ditemukan peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH
(dehidrogenase laktat).

Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa


atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru. Pada pemeriksaan
elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard maka perubahan EKG
biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T, bundle branch block,fibrilasi
atrium dan berbagai aritmia ventrikular.
6. PENATALAKSANAAN

Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada


pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia
obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin.
Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan
obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan,
adalah :
 Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
 Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0,01
µg/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit
sampai keadaan membaik.
 Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 5 – 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan 0,4 – 0,9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
 Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 – 10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik

Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu :


- A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
- B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan
jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
- C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan
penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan
protokol resusitasi jantung paru.
 Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan
cairan 20 – 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi,
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin.
 Dalam keadaan gawat, bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat
meninggal dalam perjalanan. Apabila tetap harus dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam
posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
Syok sudah teratasi, penderita tetap harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih
4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 – 3 kali
suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
Terapi supportive
a. Keseimbangan cairan dan elektrolit
b. O2 100%
c. Kortikosteroid
d. Antihistamin
e. Nebulizer
f. Observasi minimal 4 jam
g. Bila perlu MAST
Tindakan lanjut
a. Penting untuk mengetahui penyebab dan mencegah kejadian ulang
b. Bila perlu sensitisasi

Medikamentosa

 Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom. Di
ulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium terminal /
pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faal diberikan
1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB)
 Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg dosis
tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam bila tetap sesak + hipotensi
segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV
 Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml
garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam
 Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian selama
72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit

7. PENCEGAHAN

Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian


obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita
lakukan, antara lain :
1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan
mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat
alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 – 3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya
alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk
mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas.
SYOK ANAFILAKTIK

dr.Titin S. Sp.An

Disusun Oleh:

Nining Putri (H2A011031)

Nadiatul Haque (H2A011032)

Nur Fitri W ((H2A011033)

Osa Sepdila (H2A011034)

Raditta Dwihaning (H2A011035)

Rangga Patria (H2A011036)

Ray Subandria (H2A011037)

Refangga Lova (H2A011038)

Rizki Amalia (H2A011039)

Rizki Pramono (H2A011040)

Anda mungkin juga menyukai