Anda di halaman 1dari 13

BAB I

LAPORAN KASUS KEMATIAN

1. IDENTITAS PASIEN
PASIEN
Nama : An. YB Suku Bangsa : Indonesia
Tanggal Lahir (Umur) : 01/02/2017 ( 9 bulan) Agama : Katolik
Jenis kelamin : Laki-laki Tanggal Masuk RS : 18Nov17
Alamat : Saumlaki

ORANG TUA/WALI
Ayah
Nama : Tn. R Agama : Katolik
Tanggal lahir/umur : 35 tahun Pendidikan: SMA
Suku Bangsa : Indonesia Pekerjaan: Karyawan
Alamat : Saumlaki
Ibu
Nama : Ny. MS Agama : Katolik
Tanggal lahir/umur : 30 tahun Pendidikan: SD
Suku Bangsa : Indonesia Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Alamat : Saumlaki
Hubungan dengan orang tua: Anak kandung

2. RIWAYAT PENYAKIT (ANAMNESA)


Diambil dari : Alloanamnesis dari Ibu pasien
Tanggal : 18 November 2017 Pukul : 06.30 WIT

Keluhan utama
Sesak nafas

Keluhan Tambahan
Demam, batuk berdahak, pilek, muntah dan bab cair

Riwayat Penyakit Sekarang


Tiga hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien demam secara perlahan meningkat
suhunya. Demam sepanjang hari. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas lalu diberikan
obat. Demam turun setelah diberikan obat penurun panas namun tidak lama kemudian
demam kembali naik. Tidak disertai menggigil, kejang tidak ada, penurunan kesadaran
tidak ada.
Dua hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien masih demam disertai batuk kering.
Batuk tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi. Terdapat pilek, lendir putih kental. Tidak
tampak sesak.

1
Satu hari sebelum masuk Rumah Sakit, pasien tampak sesak, namun tidak terdengar
bunyi grok-grok. Kebiruan pada bibir dan ujung jari tidak ada. Keluhan saluran cerna:
mual dan muntah, lebih dari 3 kali dan bab cair lebih dari 5 kali, bab tidak disertai darah
dan lender
Karena tidak membaik keesokan harinya pasien dibawa ke Rumah Sakit. Pasien
masih menetek kuat selama 3 hari terakhir. ASI eksklusif selama 6 bulan. Riwayat
tersedak disangkal. Di rumah, pasien tinggal bersama kedua orang tua dan seorang kakak
laki-laki. Dua hari sebelum pasien demam, ayah pasien batuk-batuk. Pasien belum pernah
dirawat di rumah sakit akibat penyakit tertentu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Sepsis (-) Meningoencephalitis (-) Kejang Demam (-)
Tuberkulosis (-) Pneumonia (-) ISK (-)
Asma (-) Alergic Rhinitis (-) Amoebiasis (-)
Polio (-) Difteri (-) Sindrom Nefrotik (-)
Diare akut (-) Diare kronis (-) Disentri (-)
Kolera (-) Tifus abdominalis (-) DHF (-)
Cacar air (-) Campak (-) Batuk rejan (-)
Tetanus (-) Glomerulonephritis (-)
Lain-lain: Batuk pilek (+) Operasi (-) Kecelakaan(-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi √
Asma √
Tuberkulosis √
Hipertensi √
Diabetes √
Kejang Demam √
Epilepsi √

Riwayat Sosial Personal


Higienitas keluarga cukup baik. Menurut ibu pasien, rumahnya memiliki ventilasi
yang kurang. Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakaknya. Ayah sering merokok
di rumah, sehari dapat menghabiskan ± 1 bungkus rokok.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal: 18 November, pukul 06.40 WIT

Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, irritable
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
- Frekuensi Nadi : 110 x / menit (teraba kuat)
- Suhu : 38,1o C
2
- Frekuensi Nafas : 40 x / menit
- Berat badan : 9,2 kg

Pemeriksaan sistematis
Kepala
Kepala& Kulit Kepala: Normosefali, simetris. Rambut hitam merata, tidak mudah
dicabut
Mata : Konjungtiva anemis(-), sklera ikterik(-), pupil isokor Ø
2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+, reflex cahaya
tidak langsung +/+, mata cekung +/+
Telinga : normotia +/+, nyeri tekan tragus (-), serumen -/-, sekret -/-
Hidung : cavum nasi lapang, sekret (+), septum deviasi (-), mukosa
hiperemis (-), napas cuping hidung (+)
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

Thorak
Paru
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (+)
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronki+/+, wheezing -/-, stridor-/-
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Irama jantung teratur, bising tidak ada. Murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Sedikit membuncit, tidak tampak gambaran vena.
Palpasi : Supel, turgor kulit buruk, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen.Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Akral hangat, sianosis (-), gerak aktif, tonus otot baik, edema (-)

4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
18 November 2017 (Darah Rutin)
Pemeriksaan Hasil
Hb 10 gr%
Leukosit 12 rb/mm3
Trombosit 250mm/jam

RESUME

3
Bayi perempuan usia 9 bulan dengan keluhan sesak sejak 1 hari. Hidung tampak
kembang kempis. Terdapat batuk berdahak, pilek. Terdapat keluhan mual, muntah sebanyak
lebih dari 3 kali, disertai bab cair lebih dari 3 kali. Pasien masih menetek kuat selama 3 hari
terakhir. ASI eksklusif(+).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang. Kesadaran
compos mentis. Frekuensi nadi 110 kali / menit (teraba kuat). Suhu 38,1oC. Frekuensi nafas
meningkat: 40 kali / menit. Tampak mata cekung, nafas cuping hidung. Retraksi sela iga (+),
ronki +/+, turgor kulit menurun. Pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis.

DIAGNOSIS KERJA
 Bronkopneumonia
 Diare cair akut dengan dehidrasi sedang

DIAGNOSIS BANDING
 Bronkiolitis
 Bronkitis akut

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 X-foto thorax

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- IVFD Kaen 3B 100cc dalam 1 jam, dilanjutkan 700 cc dalam 5 jam, selanjutnya RL 12
tpm (mikro)
- Ceftriaxone 2 x 250mg (IV)
- Paracetamol 3 x 90mg (IV)
- Ondancetron 3 x 1,5mg (IV)
- Zink 1 x 10mg (PO)
- Lacto B 3 x 1 Sach (PO)
- Oralit 1 sach tiap muntah atau bab
- Inhalasi Combivent ½ amp + Nacl 0,9% 5cc tiap 8 jam
- O2 nasal 3L/min.

Non-medikamentosa :
- Menghindarkan anak dari paparan debu, paparan udara dingin, polusi udara, asap
rokok
- Apabila sesak napas berulang lagi segera dibawa ke pusat kesehatan terdekat.
- Istirahat cukup, lanjutkan ASI dan makanan tambahan.

Follow Up

4
- Pada tgl 19 November 2018, pukul 11.30 wit, pasien mengalami kejang pertama
diberikan diazepam dengan dosis 0.4mg/kgBB, lalu kejang berhenti, TTV baik.
- Pada pukul 12.00 wit, pasien mengalami kejang kedua diberikan diazepam dengan
dosis yang sama, lalu kejang berhenti, TTV baik.
- Pada pukul 01.00 wit, pasien mengalami kejang beberapa menit kemudian di ikuti
henti nafas dan henti jantung
- Lalu dilakukan CPR dengan adrenalin ½ ampul (unrespon)
- Pasien dinyatakan meninggal, diduga sindrom aspirasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1. Kejang

Kejang adalah episode dari disfungsi neurologi disebabkan aktifitas neuronal


abnormal. Ini dinilai dalam perubahan mendadak perilaku, persepsi sensorik, dan aktifitas
motorik. Spektrum gejala mencakup dari kejang sederhana dan fokal kompleks atau kejang
parsial dan kejang umum.
Kejang epilepsi menunjukkan reccurent, penyebab kejang tidak dapat dibuktikan.
Pola iktus menggambarkan periode dimana kejang terjadi, dan pola post ictus menunjukkan
periode setelah kejang berakhir tetapi sebelum pasien kembali ke status mental normal.
Kejang fokal atau parsial terdiri dari cetusan neuronal abnormal terbatas untuk satu
hemisfere atau area dari otak dan gejala aktifitas kejang sendiri pada satu sisi dari tubuh atau
satu ekstremitas. Kejang ini diklasifikasikan, sebagai parsial sederhana jika tidak ada
perubahan dalam status mental. Atau parsial kompleks dimana dengan tingkat yg sama dan
ditemukan gangguan kesadaran.
kejang umum terdiri dari aktifitas listrik abnormal melibatkan kedua hemisfere serebri
menyebabkan perubahan dalam status mental. Biasanya, pasien dengan 30 menit dari aktifitas
kejang berlanjut atau rangkaian dari kejang tanpa kembali kekesadaran penuh, ini
didefinisikan dalam status epilepticus (SE). Definisi terbaru menunjukkan SE didefinisikan
dari durasi 5 menit berlanjut dari aktifitas kejang umum atau dua atau lebih episode kejang
terpisah (diantara kejang) tanpa kembali kekeadaan normal.

2.2.1. Patofisiologi

Kejang dinilai ketika cetusan abnormal menunjukkan gejala perubahan dalam kontrol
gerak, persepsi sensorik, perilaku atau fungsi otonom.
Gangguan biokimia mendadak ini diantaranya neurutransmitter eksitatorik dan reseptor N-
metyl D-aspartate (NMDA) dan Neurotrasmitter inhibitorik Contohnya gaba (Gamma-
aminobutyric acid) pada membran sel neuron yg dinilai berulang, pembebasan listrik
abnormal mungkin pada beberapa area otak tertentu atau mungkin menyebarkan keseluruh
otak ini dinilai dalam kejang umum. Contoh, pada keadaan pembebasan neuronal yg
diketahui pada korteks visual, kejang itu sendiri menimbulkan dengan phenomena visual.
Kejang juga menimbulkan beberapa perubahan fisiologi. Kebanyakan respon sistemik
mempunyai gagasan dinilai dari gelombang katekolamin yg bersamaan dengan kejang.
Sewaktu kejang umum, dimana bisa terjadi periode dari transient apneu dan selanjutnya
hipoksia. Dalam upaya fisiologi untuk memelihara ketersediaan oksigenasi otak, pasien
mungkin menjadi hipertensi.
Transient hipertermia mungkin terjadi lebih dari 40% pasien dan perhatian untuk menilai
aktivitas otot yg besar ini sering terjadi dalam kejang. Hiperglikemia dan asidosis laktat
terjadi dalam dalam menit pertama dari episode kejang dan biasanya berubah dalam 1 jam.
Transient leukositosis juga mungkin terlihat tetapi tidak bersamaan dengan bandemia
(kecuali ada infeksi)
Dalam pola dari aktifitas kejang yg berkepanjangan atau status epilepticus, dimana
dekompensasi sistemic jelas, mencakup hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi diikuti

6
hipertensi, hipertermia, menurunnya oksigen dan glukosa pada otak, gangguan irama
jantung dan rabdomiolisis. Perubahan ini mungkin sama walaupun oksigen dan ventilasi
adekuat.

2.2.2. Etiologi

Untuk pasien dengan diketahui gangguan kejang, penyebab paling sering adalah tingkat
subterapi dari obat antiepileptic, yg mana biasanya terjadi dari 1 dari penyebab di bawah:
- Obat tidak terpenuhi

- Penyakit sistemik mungkin mengacaukan absobsi, distribusi, dan metabolisme dari


obat (infeksi)
Untuk pasien dengan onset baru gangguan kejang, daftar dari kemungkinan penyabab
lebih banyak dan mencakup dibawah:
- Penyakit SSP (stroke, tumor, trauma, hipoksia, gangguan vaskular)
- Abnormalitas metabolisme (hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia/hipernatremia,
hiperkalsemia, dan enselohepati hepatikum)
- Keracunan (alkohol, kokain, isoniazid, teopilin)
- Infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak), neurokistiserkosis dan malaria merupakan
penyebab paling umum dari kejang dalam perkembangnya di dunia dan dapat di
pertimbangkan pada pasien dengan riwayat jalan-jalan dan pada imigran.

2.2.3. Gejala klinis

Riwayat pasien
Sebuah riwayat dari epilepsi sering dicatat (jika pasien tidak sadar, keluarga, teman
dan petugas bisa ditanyakan). Riwayat lain mungkin menemukan mencakup
- Tidak patuh dengan pengobatan
- Riwayat penyakit CNS (Stroke, neoplasma, riwayat pembedahan)
- Riwayat penyakit sistemik, tumor, infeksi, gangguan metabolik, atau keracunan
makanan
- Riwayat trauma
- Penyalagunaan alkohol
- Riwayat perjalanan atau pendatang dari amerika
- Kehamilan
- Gejala fokal (kejang parsial) berlanjut progresif menjadi kejang umum

Pemeriksaan Fisik
Kejang umum diketahui ketika menampilkan aktifitas tonik klonik. Jika pasien sangat
aktif cobalah untuk observasi motorik, postur (deserebrasi/decorticasi) dan deviasi mata
mungkin memberikan klue-klue mengenai fokus epilepsi.

7
Kejang parsial mungkin menampilkan aktifitas kejang dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran. Mengidentifikasi sebuah kejang parsial lalu menjadi kejang umum tonik klonik
mungkin sulit, kemungkinan ini kehilangan gejala inisial dari kejang umum
Secara umum, kejang tonik klonik, sulit diperoleh akurasi vital sign. Mungkin demam yg
sedikit naik bisa menjadi tampilan awal, tetapi demam yg lama mungkin bisa di
indikasikan sebagai penyebab infeksi.
Pemeriksaan status mental sangat penting, perlu dicatat (ditinjau ulang), kebanyakan
kejang dengan kehilangan kesadaran dapat dipertimbangkan sebagai kejang komplek.
Pemeriksaan neurologi dijumpai defisit fokal mungkin menunjukan lesi yg sudah lama,
penyakit baru, atau todd’s paralisis (transient, <24jam paralisis menyerupai stroke).
Hiperefleksia dan respon plantar ekstensor mengindikasikan baru terjadi kejang tetapi
dapat berubah sewaktu periode post ictal.

2.2.4. Penatalaksanaan

Tatalaksana dan Perawatan


Dalam perawatan untuk pasien kejang di bagian emergensi, tiga dasar perangkap yg harus
dihandari.
- Pertama kegagalan untuk mengenal aktifitas kejang. Kejang nonkonvulsif jarang
menampilkan perubahan status mental. Tetapi selalu dapat dibedakan dari pasien
koma. EEG adalah pilihan modalitas diagnostik untuk mengindentifikasi pasien.
- Kedua kegagalan untuk mengontrol aktifitas kejang yg agresif. Disfungsi neurologi
berdasarkan teori terjadi setelah 20 menit dari aktifitas kejang lanjutan, sama meskipun
oksigenasi dan ventilasi adekuat. Oleh karena itu, dimana dapat permulaan sedikit
untuk pengobatan agresif dari kebanyakan aktifitas kejang itu berakhir lebih dari 5
menit.

- Ketiga kegagalan untuk mempertimbangkan penyebab yg mendasari. Meskipun


pengobatan tidak memenuhi dan tingkatan pengobatan subterapi diantara penyebab
paling umum dari tampilan kejang di unit emergensi, pasien dapat juga di screening
untuk infeksi dan metabolik yg mendasari penyebab dari kejang ketika di indikasikan.
Pada pasien dengan tingkatan terapi pengobatan, demam, AMS (perubahan status
mental) atau indikasi lain, laboraturium dan pencitraan dapat di pertimbangkan.
Meskipun kejang berlanjut sering terjadi biasanya pada pasien dengan tingkatan terapi
obat-obatan.
Perawatan prehospital dari pasien kejang sebagian besar suportif, kejang dapat mempunyai
durasi pendek, biasanya anak-anak dengan kejang sederhana. ABC dapat di evaluasi
penting, mencakup penilaian oksigenasi dan jalan nafas, penilain temperatur, penilaian
kadar gula darah dan proteksi spinal.
Akses Intravena dapat diperoleh hampir untuk semua pasien (mungkin pada kejang
demam sederhana dapat ditunda). Petunjuk penyediaan pengobatan emergensi dapat
mencakup benzodiazepine untuk kejang yg berkepanjagan atau status epileptikus
(IV,IM,atau Rektal).

8
Perawatan di unit emergensi bisa secara mandiri. Biasanya, bagian paling sulit
mengevaluasi di unit emergensi adalah menetukan apakah pasien kejang. Kriteria untuk
diagnostik mencakup riwayat keseluruhan dari pergerakan tonik klonik, inkontinensia urin
atau alvi, postepisode kebingungan, dan lidah tergigit. Bagaimanapun, melihat sebuah
penelitian mioklonik jerk dapat ditemukan 90% pada individu dimana disebabkan sinkop.
Mencoba untuk memperoleh riwayat penggunaan obat-obat, keluarga, teman atau yg
mengamati mungkin mempunyai gambaran sewaktu episode.

Pengobatan
Mengikuti konsensus benzodiazepine merupakan golongan obat pilihan untuk pengobatan
awal dari Status epilepticus. Lorazepam, ketika tersedia, berpikirlah untuk mendapatkan
efektifitas dari benzodiazepine dan memiliki half-life lebih panjang dari diazepam.
Tidak ada perbedaan khasiat diantara observasi yg menerima intranasal midazolam dan
diazepam rektal dalam mengakhiri kejang pada anak di rumah ( >5menit). Kepuasan
sangat tinggi dengan midazolam inhalasi (mudah untuk diberikan) dan ditengah waktu
pemberian pengobatan kejang berhenti kurang dari 1.3 menit dengan midazolam inhalasi
dibandingi dengan diazepam rektal.
Penitoin atau fospenitoin adalah pemberian obat berikutnya ketika membutuhkan
pengobatan lini 2. Kegagalan respon optimum loading benzodiazepin dan penitoin secara
operasional mengambarkan Status epilepticus yg sulit disembuhkan.
Tidak ada data yg jelas mendukung pengobatan lini ke 3, berkurangnya kontrol percobaan
dan rekomendasi sangat berubah-ubah. Daftar pengobatan lini ke 3 mencakup barbiturat,
propofol, valproat, levetiracetam dan lidokain. Sebuah prinsip umum melebihkan dosis
benzodiazepine dan dan penitoin sebelum menambahkan tambahan obat. Kebanyakan
obat-obat ini diklasifikasikan sebagai kategori D pada kehamilan. Bagaimanapun obat-
obat ini digunakan dalam keadaan yg mengancam, biasanya kejang generalisata status
epileptikus (GCSE).
Barbiturat mungkin digunakan ketika kondisi gagal respon untuk penitoin dan barbiturat.
Phenobarbital adalah obat yg umum digunakan pada lini ke 3. Tetapi midazolam, propofol
dan lainnya semakin digunakan dalam pilihan pada golongan ini, meskipun tidak ada
bukti telitih mendukung penggunaan obat-obat lini ke 3.

Pertimbangan awal untuk pasien dengan kejang refrakter


Jika aktifitas kejang yg ditampilkan pasien tidak berkurang di unit emergensi, ABC perlu
diperhatikan.
Memberikan oksigen. Untuk pasien dengan SE atau dengan sianotik, penggunaan
rangkaian intubasi mendadak intubasi endotrakeal (RSI [rapid sequence intubation]) dapat
menjadi pertimbagan penting.
Akses intravena. Memulai menuntukan glukosa segera, dan pengobatan yg tepat.
Pertimbangan antibiotik dengan atau tanpa antiviral, tergantung keadaan klinis.

9
Sasaran pengobatan untuk mengontrol kejang sebelum terjadi nya kerusakan neuron
(berdasarkan teori diantara 20 menit sampe 1 jam). Infeksi SSP dan kerusakan jaringan
akibat anoksia sebuah penyabab dengan kelompok mortalitas SE.

Tatalaksana pasien dengan aktif kejang


Tatalaksana kejang yg aktif di unit emergensi dimulai dengan pemberian dari
benzodiazepine, yang mana dipertimbangkan sebagai terapi Lini pertama. Pilihan IV
mencakup lorazepam, diazepam, dan midazolam. Jika akses IV tidak dapat dilakukan,
selanjutnya IM lorazepam atau midazolam atau diazepam rectal bisa jadi pertimbangan.
Lorazepam IV lebih baik dari diazepam IV keduanya menghentikan kejang dan mencegah
kejang berulang.
Biasanya lorazepam IV dengan dosis 0.1mg/kgBB diberikan 2mg/menit atau diazepam IV
dengan dosis O.2mg/kgBB diberikan 5-10mg/menit. Dosis besar dari benzodiazepine
mungkin dibutuhkan. Tidak ada batasan spesifik tertinggi untuk dosis benzodiazepine
ketika digunakan untuk mengontrol kejang akut. Semua obat penenang (sedative), pasien
dipantau terhadap depresi pernapasan atau cardiovaskular.
Penitoin biasanya di pertimbangkan sebagai obat Lini kedua untuk pasien dengan kejang
lanjutan meskipun terapi benzodiazepin sudah maksimal. Dosis rekomendasi adalah
20mg/kgBB IV dan bisa ditambahkan dengan 10mg/kgBB IV jika pasien kejangnya
perlahan hilang. Pengobatan dapat diberikan dengan penitoin parentaral karena campuran
propylene glycol mungkin menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, dan kematian jika
diberikan dengan cepat.
Fospenitoin adalah precursor penitoin merupakan pertimbangan keamanan dari penitoin
dari penulis ini menyebutkan karena tidak mengandung campuran propylene glycol.
Penulis lainnya telah mendebatkan pemikiran fospenitoin mempunyai keuntungan yg
aman, dan obat ini biasanya lebih mahal dari penitoin. Fospenitoin bisa diberikan IM, dan
menguntungkan untuk pasien tanpa akses IV.
Asam valproat merupakan pengobatan yg efektif untuk semua bentuk kejang. Dosis
rekomendasi adalah 15-20mg/kgBB. Asam valproat mempunyai profil keamanan yg baik.
Kontraindikasi terhadap gangguan hepar.
Penobarbital mempunyai kentungan menyerupai lorazepam. Dosis rekomendasi
20mg/kgBB, bisa menyerupai penitoin, penobarbital bisa diberikan dalam dosis tinggi
30mg/kgBB untuk kejang refrakter yg parah. Penobarbital mungkin menyebablan
hipotensi dan depresi pernafasan.
Jika 2 atau lebih terapi obat-obatan awal gagal untuk mengontrol kejang, selanjutnya Lini
berikut dari pengobatan mencakup infus lanjutan dari obat-obatan antiepileptic. Sebagian
besar efekk samping hipotensi dan depresi pernafasan.
Pentobarbital mempunya durasi aksi lebih pendek dari penobarbital tetapi efek sedativ
lebih besar. Pentobarbital dapat diberikan bolus 5-15mg,kgBB, diikuti dari infus lanjutan
0.5-10mg/kgBB/jam.
Midazolam diberikan 0.2mg/kgBB bolus, diikuti infus lanjutan 0.05-2mg?kgBB/jam.
Midazolam sedikit kurang efektif untuk menghentikan kejang dari propofol atau

10
pentobarbital, tetapi pengobatan dengan midazolam mempunya frequensi rendah terhadap
hipotensi.
Propofol sangat efektif untuk mengakhiri kejang, tetapi dibatasi penggunaannya
berdasarkan ketersediaan data, propofol diberikan bolus 2-5mg/kgBB, diikuti infus
lanjutan 20-100µg/kgBB/menit. penggunaannya terbatas karena hipotensi, asidosis
metabolik, dan hiperlipidemia dengan pemberian infus berkelanjutan.

2.2. Sindrom aspirasi

Tubuh manusia memiliki beberapa mekanisme pertahanan untuk menjaga jalan nafas
bebas dan aman dari zat asing. Ini mencakup fungsi dari epiglotis dan cartilago aritenoid
dalam mempertahankan jalan nafas, spasme yg baik, dan reflek batuk yg sangat sensitif
dengan menghasilkan keseluruhan impuls afferent dari laring, trakea dan semua serabut
proksimal trakeobrankial, namun terkadang mekanisme tidak sempurna dan benda asing
sering kali masuk ke jalan napas anak.
Aspirasi adalah inhalasi dari salah satu orofaringeal atau isi lambung kedalam jalan nafas
bagian bawah. Ini bisa disebabkan dari beberapa faktor gejala berdasarkan kuantitas dan
sifat dari material yg masuk, frekuensi dari aspirasi, dan faktor presiposisi terhadap respon
modifikasi dan aspirasi.
Dimana aspirasi sindrom mempunyai 4 type. Aspirasi bahan kimia dari asam lambung
menyebabkan pneumonitis yang mana disebut juga sindrom mendelson. Aspirasi bakteri
dari area mulut dan faring menyebabkan aspirasi pneumonia. Aspirasi dari minyak
menyebabkan pneumonia lipoid eksogen. Aspirasi dari benda asing mungkin
menyebabkan respirasi akut emergensi. Pada beberapa kasus, mungkin predisposisi dari
pneumonia bakterial.
Pneumonia aspirasi tanpa perawatan, dihubungkan dengan tingginya insidens timnulnya
kavitas dan abses bila dibandingkan dengan community-acquired pneumonia. Walaupun
demikian, ternyata keduanya bisa menyebabkan komplikasi berupa empiema, sindrom
distress pernafasan akut, dan kegagalan pernafasan. Pneumonitis aspirasi dapat
menyebabkan kegagalan pernafasan dengan cepat.

2.2.1. Faktor Predisposisi

Anak-anak lebih mudah untuk terjadi nya aspirasi material asing dari beberapa penyebab.
ketiadaan dari gigi molar pada anak menurunkan ketangkasan mereka untuk cukup
mengunyah makanan, mengeluarkan gumpalan besar dari cegukkan. Kecenderungan dari
anak untuk berbicara, tertawa, dan berjalan saat mengunyah juga meningkatkan
kesempatan besar atau aspirasi mendadak mungkin terjadi dari makanan dalam mulut.
Aspirasi benda asing lebih sering terjadi pada anak lebih muda 3 tahun dari pada
kelompok umur lain nya, dengan puncak diantara tahun pertama dan kedua kehidupan.
Namun, benda asing dapat masuk ke jalan nafas dari semua umur dan ukuran dari
individu.

11
2.2.2. Gejala klinis

Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yg khas yaitu, tersedak (rasa
tercekik), batuk paroksismal, nafas berbunyi, serak, disfonia sampai afonia dan sesak
tergantung dari derajat sumbatan, cegukan atau batuk timbul hampir 95%, dan 50%
statistik memiliki gejala stridor inspirasi atau wheezing ekspirasi, dengan pemanjangan
ekspirasi dan ronki.
Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan dengan
auskultasi dan palpasi di daerah leher. Jika benda asing menyumbat total trakea akan
timbul sumbatan jalan nafas akut yg memerlukan tindakan segera untuk membebaskan
jalan nafas

2.2.3. Penanganan

bila anak batuk atau dengan wheezing yang dicurigai terjadi aspirasi benda asing di
saluran nafas tetapi dengan saluran nafas yg masih bebas, jangan melakukan intervensi
apapun, segera kirim ke rumah sakit terdekat yg di perkirakan mempunyai fasilitas yang
cukup untuk melakukan tindakan ekstraksi benda asing.
Bronkoskop kaku dengan kontrol pernafasan merupakan pilihan utama untuk kasus benda
asing di traktus trakeobronkial.
Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi total dan benda asing tidak
tajam, berdasarkan umur maka dilakukan back blows, abdominal thrust atau heimlich.
Pada pneumonia aspirasi, pemberian terapi O2 dan antibiotik berdasarkan kausal kuman
bakterial

12
13

Anda mungkin juga menyukai