Anda di halaman 1dari 45

Penerapan Pembelajaran Kooperatif tipe Number Head Together

(NHT) terhadap hasil belajar PKN murid Kelas V SD Inpres


Bertingkat Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar

PROPOSAL

FITRI RANDANI IRWAN


10540934514

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
1
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran yang menganut sistem kompetensi menuntut pendidik agar

mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable

learning), mampu mendorong minat belajar dan mampu memberdayakan peserta

didik dalam artian peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan yang

diajarkan, tetapi pengetahuan tersebut menjadi muatan nurani peserta didik,

dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang lebih penting mereka

mampu belajar dan mengembangkan diri secara optimal.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat. Untuk

memberikan kemampuan kepada murid maka pembelajaran di Sekolah Dasar

(SD) sesuai Kurikulum 2013, pelajaran PKn diberikan kepada peserta didik mulai

dari Sekolah Dasar (SD) untuk membekali peserta didik dengan kemampuan

berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerjasama.

Kompetensi itu diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan,

memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada

keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa banyak murid yang tidak senang dengan pelajaran PKn,

sehingga dalam proses pembelajaran di kelas aktivitas belajar kurang, yang


3

menyebabkan prestasi belajar PKnnya rendah. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2005 : 895) prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau

keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan

dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Di samping hal

tersebut di atas, kebiasaan belajar murid yang tidak efektif juga menjadi

permasalahan. Kebiasaan belajar merupakan cara-cara atau teknik-teknik yang

tetap dilakukan peserta didik pada waktu ia menerima pelajaran dari pendidik,

membaca buku, dan mengerjakan tugas- tugas sekolah serta mengatur waktu

untuk menyelesaikan kegiatan tersebut. Kebiasaan peserta didik yang hanya

belajar sebelum ulangan/tes diadakan. Mereka belajar semalam suntuk untuk

mempersiapkan diri menjawab tes untuk keesokan harinya. Peserta didik belum

mampu memanfaatkan hari-hari yang lain untuk belajar sedikit demi sedikit.

Tidak bisa dipungkiri keberhasilan murid dalam proses pembelajaran dipengaruhi

oleh cara belajarnya. Peserta didik yang mempunyai cara belajar yang efisien

memungkinkan untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi.

Setiap individu mempunyai gaya dan cara yang berbeda-beda. Cara yang

tepat bagi seseorang belum tentu tepat bagi orang lain. Namun demikian terdapat

pedoman umum yang dapat membantu belajar secara efektif dan efisien. Cara

belajar yang efektif dan efisien adalah cara belajar yang memenuhi syarat-syarat

efisiensi, yaitu dengan usaha yang sekecil-kecilnya memberikan hasil yang

sebesar-besarnya bagi perkembangan individu yang belajar (Suryabrata, 2004 :

237).
4

Kebiasaan belajar yang baik dan teratur diperlukan untuk memperoleh

prestasi belajar yang lebih baik dan teratur. Kebiasan belajar yang baik dan terarah

serta teratur akan membuat murid belajar sesuai dengan rencana belajar.

Keteraturan belajar, penggunaan dan pembagian waktu belajar apabila

dilaksanakan dengan baik setiap hari, maka akan menjadi suatu kebiasaan belajar

yang baik pula. Selain itu Djaali (2000 : 147) juga menyatakan dengan mengatur

waktu secara efisien dan efektif individu akan memperoleh beberapa keuntungan,

yaitu: (1) dapat mengatur kegiatan dengan baik sehingga lebih banyak yang dapat

dikerjakan, (2) dengan belajar yang teratur individu akan lebih mudah mengingat,

meresap apa yang dipelajarinya, (3) selalu siap bila mendapat beban belajar yang

lebih berat dijenjang yang lebih tinggi, (4) mempunyai lebih banyak waktu untuk

mengerjakan kegiatan lain yang disenangi karena tugas belajarnya dapat

diselesaikan tepat waktunya.

Proses pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai

edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara pendidik dan peserta didik.

Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan pembelajaran yang

dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan

sebelum pengajaran dilakukan (Djamarah, 1994 : 24).

Model pembelajaran digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar

atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran

disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap

indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Di
5

dalam kenyataan di lapangan metode yang paling sering digunakan oleh pendidik

adalah metode ceramah. Metode ceramah membuat posisi peserta didik akan

terpasung sebagai peran pasif. Peserta didik akan mendengarkan penjelasan guru

secara monoton antara pendidik dan peserta didik tidak ada jalinan aktivitas yang

interaktif. Peserta didik menjadi pasif karena pendidik memborong penggunaan

waktu pembelajaran.

Terdapat beberapa permasalahan dalam pembelajaran PKn, yaitu; (1)

Pembelajaran cenderung prosedural. Dikhawatirkan pembelajaran yang prosedural

cenderung mengakibatkan pengetahuan murid bersifat prosedural. Namun

demikian, bukan berarti pengetahuan prosedural tidak diperlukan, melainkan

pemahaman prosedural dan konseptual perlu saling melengkapi. (2) Murid

cenderung pasif dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena murid

belum diberi kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya/guru

mendominasi pembelajaran, dan murid cenderung pasrah pada nasib.

Pembelajaran saat ini masih dominan menggunakan model pengelolaan kelas

yang bersifat konvensional dalam proses pembelajaran. Selain itu dalam

mengajar, guru cenderung untuk menjelaskan materi terlebih dahulu, diikuti

dengan memberikan contoh-contoh soal dan pembahasannya, kemudian

dilanjutkan dengan latihan soal yang tetap dibimbing oleh guru. Susanto (2012 :

2) menyatakan guru cenderung mentransfer informasi kepada peserta didik dan

belum menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dalam pembelajaran

dan tidak melengkapi diri dengan perangkat pembelajaran sehingga kegiatan

pembelajaran kurang sistematis. Dalam menyampaikan materi pelajaran, guru


6

cenderung mendominasi dengan metode ceramah. Menurut peneliti, model

pembelajaran semacam ini cenderung membuat murid pasif, enggan untuk

mengemukakan ide-idenya, kreativitas berpikirnya tidak berkembang, mereka

cenderung menerima apa yang diberikan oleh guru dan melaksanakan apa yang

diminta oleh gurunya. Dampak pelaksanaan pembelajaran semacam ini adalah

murid merasa cepat bosan dalam belajar, murid sering merasa cemas setiap kali

akan mendapat pelajaran PKn, karena sudah tertanam dalam benaknya bahwa

PKn itu sulit. Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa guru merupakan

sumber belajar bagi murid dan hal yang menentukan hasil belajar murid. Selain

itu juga diperoleh informasi bahwa dalam pembelajaran PKn sebagian murid

memiliki kebiasaan belajar yang masih sangat kurang baik. Ini merupakan

permasalahan yang muncul dari pebelajar itu sendiri. Dari keterangan guru dan

murid serta hasil observasi tersebut dapat diketahui permasalah yang muncul

dalam proses pembelajaran PKn sangat kompleks terutama mulai dari guru masih

dominan menggunakan model konvensional dalam pembelajaran dibandingkan

dengan metode dan model pembelajaran baru yang inovatif saat ini, cara guru

mengajar yang digunakan semuanya hampir sama, sampai dengan rendahnya

kebiasaan belajar murid dalam proses pembelajaran. Dengan munculnya

permasalahan yang kompleks tersebut tentunya akan sangat berdampak pada hasil

belajar murid dalam mata pelajaran PKn.

Dari permasalahan tersebut, nampaknya dalam proses pembelajaran PKn

perlu adanya model pembelajaran yang didukung dengan metode pembelajaran

aktif yang dapat membangkitkan kebiasaan belajar murid secara keseluruhan


7

dalam satu kelas serta dapat meningkatkan prestasi belajar murid dalam mata

pelajaran PKn.

Model pembelajaran yang dirasakan cocok untuk memecahkan permasalah

yang muncul seperti gambaran di atas adalah model pembelajaran kooperatif.

Lasmawan (2010 : 296) menyatakan bahwa model cooperative learning adalah

salah satu model pembelajaran yang menempatkan murid sebagai subjek

pembelajaran (student oriented). Keunggulan pembelajaran kooperatif adalah

mencakup suatu kelompok kecil murid yang bekerja sebagai sebuah tim untuk

menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan

sesuatu untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif merupakan

pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil murid

untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan

belajar (Suherman, 2003 : 123).

Pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai obyek pasif, tidak

terlepas dari anggapan pendidik yang keliru antara lain (1) Pendidik sering

menganggap peserta didik sebagai orang yang belum tahu apa-apa, (2) Pendidik

merasa tidak mengajar jika tidak melakukan ceramah, (3) Pendidik sering merasa

dinilai oleh peserta didik tidak hebat jika tidak berceramah, (4) pendidik sering

menganggap peserta didik tidak mampu menemukan sendiri pengetahuan dan

keterampilan. Salah satu alternatif yang dilakukan guru guna menjawab

permasalahan pembelajaran tersebut serta untuk lebih mengaktifkan pembelajaran

dikelas adalah pembelajaran kooperatif dengan model NHT (Number Head

Together). Model pembelajaran ini merupakan salah satu tipe dari pembelajaran
8

kooperatif dengan sintaks. Metodenya berupa pengarahan, pembuatan kelompok

heterogen dimana tiap murid memiliki nomor tertentu, kemudian pemberian

persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap murid

tidak sama sesuai dengan nomor murid, tiap murid dengan nomor sama mendapat

tugas yang sama, kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan

nomor murid yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi

kelas, kuis individual dan pembuatan skor perkembangan tiap murid. Langkah

terakhir pengumuman hasil diskusi dan pemberian hadiah, skor (reward).

Model Pembelajaran NHT (Number Head Together) merupakan salah satu

tipe pembelajaran koperatif yang menekankan pada struktur khusus yang

ditrancang untuk mempengaruhi pola interaksi murid dan memiliki tujuan untuk

meningkatkan kemampuan akademik. NHT (Number Head Together) menurut

Kagan adalah merupakan suatu tipe model pembelajaran kooperatif yang

merupakan struktur sederhana dan terdiri atas 4 tahap yang digunakan untuk

mereview fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi

murid. Model ini dapat digunakan untuk pemecahan masalah yang tingkat

kesulitannya terbatas. NHT (Number Head Together) memberikan kesempatan

kepada murid untuk membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang

paling tepat. NHT (Number Head Together) mendorong untuk meningkatkan

kerjasama.

Berdasarkan paparan tersebut, maka perlu diadakan penelitian apakah model

pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Head Together) ini berpengaruh


9

terhadap hasil belajar PKn murid Kelas V SD Inpres Bertingkat Kaluku Bodoa

Kecamatan Tallo Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat

ditentukan rumusan masalah sebagai berikut :

“Apakah model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Head Together)

berpengaruh terhadap hasil belajar PKn murid kelas V SD Inpres Bertingkat

Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar ?”

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number

Head Together) terhadap hasil belajar PKn murid kelas V SD Inpres Bertingkat

Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar.

D. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Secara umum penelitian ini memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan

dalam pengajaran PKn terutama dalam penggunaan model pembelajaran.

Selain itu, akan dapat melengkapi kajian mengenai teknik pelaksanaan, peran,

dan manfaat model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Head

Together)
10

2. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti

Menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan serta keterampilan,

khususnya yang terkait dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe

NHT (Number Head Together).

b. Bagi guru

1) Mendapat pengalaman menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT

(Number Head Together).

2) Mendapatkan motivasi untuk terus berkreasi dalam hal menginovasi model-

model pembelajaran sebagai wujud profesionalisme.

c. Bagi murid

1) Murid menjadi lebih menguasai materi, aktif dan kreatif.

2) Hasil belajar murid pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

menjadi lebih baik.


11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Belajar dan Pembelajaran

a. Pengertian Belajar

Definisi belajar dikemukakan Burton (Pupuh, 2007 : 17) sebagai berikut :

“Belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya
interaksi antara individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu
dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka mampu berinteraksi dengan
lingkungannya”.

Definisi belajar yang dikemukakan Burton di atas adalah, seseorang

dikatakan belajar ketika mengalami perubahan tingkah laku pada dirinya berkat

adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Pengertian belajar dikemukakan Thursan Hakim (Pupuh, 2007 : 17) sebagai

berikut :

“Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan


perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas
tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan,
pemahaman, keterampilan, daya pikir, dan lain-lain kemampuannya”

Pengertian belajar yang dikemukakan Thursan Hakim di atas adalah,

seseorang dikatakan belajar ketika terjadi proses perubahan di dalam

kepribadiannya dan ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas

tingkah laku.
12

Berdasarkan pendapat tersebut, belajar adalah proses perubahan tingkah laku

sebagai akibat dari pengalaman dan latihan, dengan perubahan-perubahan yang

dihasilkan bersifat relatif tetap.

b. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru secara terprogram

dalam disain instruksional yang menciptakan proses interaksi antara sesama

peserta didik, guru dengan peserta didik dan dengan sumber belajar. Pembelajaran

bertujuan untuk menciptakan perubahan secara terus-menerus dalam perilaku dan

pemikiran murid pada suatu lingkungan belajar. Sebuah proses pembelajaran tidak

terlepas dari kegiatan belajar mengajar.

Pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses interaksi antara murid

dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah lebih baik.

Selama proses pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah

mengkondisikan lingkungan belajar agar menunjang terjadinya perubahan

perilaku bagi murid (E.Mulyasa,2003 : 100).

Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan

oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik

atau murid. Berdasarkan teori belajar ada lima pengertian pembelajaran

diantaranya sebagai berikut:

1) Pembelajaran adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada murid di

sekolah

2) Pembelajaran adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui

lembaga sekolah
13

3) Pembelajaran adalah upaya mengorganisasikan lingkungan untuk menciptakan

kondisi belajar bagi murid

4) Pembelajaran adalah upaya untuk mempersiapkan murid untuk menjadi warga

masyarakat yang baik

5) Pembelajaran adalah suatu proses membantu murid menghadapi kehidupan

masyarakat sehari-hari (Hamalik, 1995 : 64).

Menurut Gagne sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Nazarudin

(2007:162) pembelajaran dapat diartikan sebagai seperangkat acara peristiwa

eksternal yang dirancang untuk mendukung proses belajar yang sifatnya internal.

Menurut Nazarudin (2007:163) pembelajaran adalah suatu peristiwa atau situasi

yang sengaja dirancang dalam rangka membantu dan mempermudah proses

belajar dengan harapan dapat membangun kreatifitas murid.

Menurut berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

adalah suatu perubahan dari peristiwa atau situasi yang dirancang sedemikian rupa

dengan tujuan memberikan bantuan atau kemudahan dalam proses belajar

mengajar sehingga bisa mencapai tujuan belajar.

c. Teori Belajar

1) Teori Belajar Behaviorisme

Teori behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada hasil

belajar dan tidak memperhatikan pada proses berpikir murid. Menurut teori

behaviorisme, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya

interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu

apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar
14

merupakan bentuk perubahan yang dialami murid dalam hal kemampuannya

untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara

stimulus dan respon.

Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa

stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang

terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena

tidak bisa diamati.

Belajar dengan menggunakan arus behaviorisme adalah sebuah proses

belajar yang hanya melatih pembelajar seolah sudah terbiasa dan membiasakan

diri menjadi orang-orang yang terbentuk karena pembiasaan yang dikemas secara

berulang-ulang. Belajar mengartikan diri sebagai gerakan membangun

kemampuan kognitif subjek pembelajar yang kuat secara logik dan menegasikan

hal-hal lain dalam dirinya sebagai subjek yang hidup dan melakukan aktualisasi

diri sebagai manusia berdinamika. Belajar bukan menempatkan subjek pembelajar

sebagai kelompok manusia yang secara terus menerus berproses menuju

penemuan identitas diri. Oleh sebab itu, belajar dalam pendekatan behaviorisme

lebih diposisikan gerakan pembangunan kecerdasan otak. (Yamin, 2014: 50)

2) Teori Belajar Kognitifisme

Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil

belajar. Teori ini menekankan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh persepsi

serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan

belajarnya. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal
15

yang mencakup ingatan, potensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek

kejiwaan lainnya. (Suyono dan Hariyanto, 2014: 75)

3) Teori Belajar Konstruktivisme

Menurut teori konstuktivisme, belajar adalah suatu proses

mengasimilasikan dan mengaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari

dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat

dikembangkan. Sementara konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky

yang berwajah sosial mengatakan adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan

dalam interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik sehingga belajar selanjutnya

lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seorang (Yamin, 2014: 62).

Konstruktivisime melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah

sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi

pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri.

Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu kontruksi kognitif kenyataan

melalui kegiatan seseorang. Konstruktivis percaya bahwa pembelajar

mengkonstruk sendiri realitasnya atau paling tidak menerjemahkannya

berlandaskan persepsi tentang pengalamannya,sehingga pengetahuan individu

adalah sebuah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya, yang

kemudian digunakannya untuk menerjemahkan objek-objek serta kejadian-

kejadian baru. (Suyono dan Hariyanto, 2014: 105-106)

4) Teori Belajar Humanisme


16

Menurut teori humanisme, belajar merupakan yang dimulai dan ditujukan

untuk memanusiakan manusia. Di mana memanusiakan manusia di sini, berarti

mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta

realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Proses belajar dianggap berhasil

jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. (Daryanto, 2009:

41)

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Belajar merupakan proses kegiatan untuk mengubah tingkah laku subyek

belajar. Proses belajar banyak dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor

tersebut ada yang berasal dari dalam diri murid dan berasal dari luar diri murid.

Faktor-faktor inilah yang nantinya akan menentukan berhasil tidaknya proses

belajar murid. Menurut Daryanto (2009: 51) faktor-faktor yang mempengaruhi

belajar dibedakan dua macam, yaitu :

1) Faktor internal murid (faktor yang berasal dari dalam diri murid) yang meliputi

faktor jasmaniah, faktor psikologi, dan faktor kelelahan.

2) Faktor eksternal murid (faktor yang berasal dari luar diri murid) yang meliputi

faktor sosial dan faktor non sosial.

2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD

a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa, “pendidikan kewarganegaraan

dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki

rasa kebangsaan dan cinta tanah air". Melalui mata pelajaran PKn murid
17

diharapkan untuk mempunyai pengetahuan tentang NKRI, memiliki sikap

menghormati, menghargai dan memiliki tanggung jawab akan dirinya sendiri,

bangsa dan negara serta memiliki keterampilan untuk menjalin hubungan di dalam

negeri ataupun di luar negeri sesuai dengan nilai dan norma yang ada.

Cholisin (Winarno, 2014: 6) mengemukakan bahwa

“Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah pendidikan politik yang fokus


materinya adalah peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang
kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut
sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara”.

Selanjutnya, Aziz Wahab, dkk. (Cholisin, 2004: 10) mengemukakan

bahwa, “Pendidikan Kewarganegaraan ialah media pengajaran yang akan meng-

Indonesiakan para murid secara sadar, cerdas dan penuh tanggung jawab”.

Melalui mata pelajaran PKn diharapkan murid memiliki komitmen kuat dan

konsisten untuk mempertahankan NKRI.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah dasar yang

memberikan pengetahuan tentang nilai dan menanamkan sikap demokratis kepada

murid, agar murid memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa

tanggung jawab untuk mempertahankan NKRI.

b. Pembelajaran PKn di SD

Fahurrohman & Wuri Wuryandani (2010: 14) mengemukakan bahwa,

tugas PKn dengan paradigma barunya yaitu mengembangkan pendidikan

demokrasi mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan

kewarganegaraan (civic knowledge), membentuk karakter/watak warga negara


18

(civic disposition) dan membina keterampilan warga negara (civic skill). Cholisin

(2005: 4) mengemukakan bahwa, “kecerdasan kewaganegaraan (civic knowledge),

merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara”. Pada

dasarnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan

hak dan kewajiban dan pengetahuan tentang struktur dan sistem politik,

pemerintahan dan sistem sosial sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD

1945, serta nilai-nilai yang telah menjadi aturan dalam kehidupan berbangsa

untuk bekerjasama mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan baik

di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal tersebut dapat disampaikan di sekolah

dasar sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah

dirumuskan dalam kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013, sehingga sejak dini

murid sudah mempunyai pengetahuan kewarganegaraan sesuai dengan

perkembangannya. Cholisin (2005: 6) mengemukakan bahwa, ketrampilan

kewarganegaraan (civic skills), merupakan keterampilan yang dikembangkan dari

pengetahuan kewarganegaraan, agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu

yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keterampilan kewarganegaraan diperoleh setelah memiliki pengetahuan

kewarganegaraan. Di sekolah dasar penyampaian materi dianjurkan untuk

menggunakan media pembelajaran dengan tujuan, agar pengetahuan yang

diterima murid dapat bermakna dan tahan lama. Dengan demikian murid dapat,

mengembangkan keterampialan kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari,

dimulai dari lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga dan dapat berkembang
19

sesuai dengan usianya ke lingkungan lebih luas yaitu negara. Cholisin (2005: 8)

mengemukakan bahwa, karakter kewarganegaraan (civic dispositions), merupakan

sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas

partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya

martabat dan harga diri dan kepentingan umum. Karakter kewarganegaraan

diperoleh setelah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang telah

dijelaskan di atas dalam kecerdasan kewarganegaraan (civic knowledge) dan

keterampilan kewarganegaraan (civic skills). Setelah memiliki kederdasan dan

keterampilan murid dapat mengembangkannya ke dalam kecerdasan karakter

yang dapat mendukung dalam berinterkasi baik di dalam keluarga maupun

lingkungan yang lebih luas yaitu negara. Tidak jarang dalam berinteraksi sering

terjadi perselisihan kecil, hal tersebut merupakan pembelajaran bagi murid untuk

dapat mengembangkan watak/sikap yang harus ditentukan untuk menyelesaikan

masalah tersebut, sehingga diharapkan dewasa nanti dapat membawa diri dan

dapat menjunjung martabat bangsa dalam berinteraksi di dalam maupun di luar

negeri.

Mata pelajaran PKn di sekolah dasar diharapkan murid sejak dini memiliki

pengetahuan, dapat mengembangkan karakter kewarganegaraan dan

mengembangkan keterampilan kewarganegaraan.

c. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Tujuan PKn adalah untuk membentuk watak dan karakteristik warga

negara yang baik. Sedangkan tujuan pembelajaran mata pelajaran Pendidikan


20

Kewarganegaraan, menurut Mulyasa (2007 : 126) adalah untuk menjadikan murid

1) Mampu berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi persoalan hidup

maupun isu kewarganegaraan di negaranya.

2) Mau berpartisipasi dalam segala bidang kegiatan, secara aktif dan bertanggung

jawab, sehingga bisa bertindak secara cerdas dalam semua kegiatan, dan

3) Bisa berkembang secara positif dan demokratis, sehingga mampu hidup

bersama dengan bangsa lain di dunia dan mampu berinteraksi, serta mampu

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Hal ini akan

mudah tercapai jika pendidikan nilai moral dan norma tetap ditanamkan pada

murid sejak usia dini, karena jika murid sudah memiliki nilai moral yang baik,

maka tujuan untuk membentuk warga negara yang baik akan mudah

diwujudkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn di SD

adalah untuk menjadikan warga negara yang baik, yaitu warga negara yang tahu,

mau dan sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, kelak murid

diharapkan dapat menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, bersikap baik, serta

mampu mengikuti kemajuan teknologi modern.

d. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD

PKn SD terdiri dari 53 kompetensi dasar. Mulyasa (dalam Ruminiati,

2007: 27) delapan kelompok tersebut dijelaskan pada bagian berikut :

1) Persatuan dan Kesatuan bangsa


2) Norma, hukum, dan peraturan
3) Hak asasi manusia
4) Kebutuhan warga negara
21

5) Konstitusi Negara
6) Kekuasaan dan politik
7) Pancasila
8) Globalisasi

Berdasarkan ruang lingkup tersebut, dalam penelitian ini yang

didiskusikan dalam pembelajaran yaitu ruang lingkup nomor 4. Ruang lingkup

tersebut membahas kebutuhan warga negara, yang meliputi: Hidup gotong-

royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi,

Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi

diri, Persamaan kedudukan warga negara. Lebih khususnya yang didiskusikan

oleh murid yaitu menghargai keputusan bersama. Setelah mengikuti proses

pembelajaran PKn murid diharapkan untuk mempunyai pengetahuan tentang

bentuk-bentuk keputusan bersama yang digunakan ketika berinteraksi di

lingkungan sekitar dan dapat menghargai serta menerima keputusan bersama baik

dalam lingkungan sekolah keluarga dan masyarakat. Dari pihak guru selain harus

menguasai materi ajar sesuai dengan delapan ruang lingkup PKn tersebut,

diperlukan kemampuan dan ketepatan guru dalam merancang pembelajaran PKn

yang mendidik dengan cara memilih model pembelajaran sesuai dengan

karakteristik murid. Selain itu, guru diharapkan mampu mengembangkan

instrumen penilaian dalam proses dan hasil belajar PKn yang bukan hanya

mencakup aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor.

e. Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Salah satu langkah yang dapat ditempuh guru untuk mengetahui

perkembangan murid dalam tiga hal tersebut yaitu dengan melakukan penilaian

hasil belajar pada tiga ranah.


22

Purwanto (2011: 44) mengemukakan bahwa, “hasil belajar dapat

dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu hasil dan

belajar. Pengertian hasil menunjukkan pada suatu perolehan akibat dilakukannya

suatu aktivitas atau proses”. Begitu pula pada proses pembelajaran di sekolah

dasar, setelah mengikuti pembelajaran diharapkan murid dapat merubah

perilakunya dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran. Purwanto (2011: 45)

mengemukakan bahwa, “belajar dapat dilakukan untuk mengusahakan adanya

perubahan perilaku pada individu yang belajar”. Kemudian Winkel 1996

(Purwanto, 2011: 45) menjelaskan bahwa, hasil belajar merupakan perubahan

yang mengakibatkan manusia berubah dalam bersikap dan bertingkah laku. Aspek

perubahan yang dimaksud mencakup pada tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan

psikomotor sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dikembangkan oleh

Benjamin Bloom.

Selanjutnya, Nana Sudjana (2009: 22) mengemukakan bahwa, “hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh murid setelah murid

menerima pengalaman belajarnya”. Oleh karena itu hasil belajar mempunyai

hubungan erat dengan belajar. Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai tingkat

keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang

dinyatakan dengan skor yang diperoleh dari tes mengenai sejumlah materi

pelajaran tertentu. Hasil belajar mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan

hasil afektif. Karakteristik murid meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat

dan, perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat

berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah
23

afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik murid sebagai hasil belajar

dalam bidang pendidikan.

Belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa

kapabilitas. Setelah belajar murid akan memiliki keterampilan, pengetahuan,

sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus yang berasal

dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan murid saat proses belajar.

Belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi

internal, dan hasil belajar. Hasil belajar terdiri dari informasi verbal, keterampilan

intelektual, keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Hasil belajar juga

tergantung oleh beberapa faktor. Tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang

sama besar, ada yang peranannya sangat penting, namun ada juga yang kecil

pengaruhnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa agar belajar dikatakan baik,

faktor-faktor pendukung belajar perlu dikerahkan sebanyak mungkin dan sejauh

mungkin. Jika murid yang belajar lebih aktif dalam proses belajar, maka hasil

belajarnya akan lebih baik daripada murid pasif. Faktor yang mempengaruhi hasil

belajar ada dua, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri murid dan berasal dari

luar diri murid. Salah satu faktor yang berasal dari luar murid adalah peranan guru

dalam mengelola pembelajaran di kelas seperti penggunaan model pembelajaran

atau metode yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan.

Gagne (Sudjana, 2009: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yaitu:

1) informasi verbal, yaitu kemampuan mengungkapkan pengetahuan dalam


bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis,
2) keterampilan intelektual, kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang.
Keterampilan intelektual merupakan kemampuan aktivitas kognitif bersifat
khas,
24

3) strategi kognitif, kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitif


sendiri,
4) keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani
dalam urusan dan koordinasi,
5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap objek tersebut. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai
sebagai standar perilaku.

Horward Kingsley sebagaimana dikutip oleh Sudjana (2009: 22), membagi

tiga macam hasil belajar yaitu “keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan

pengertian, serta sikap dan cita-cita”. Masing-masing hasil belajar dapat diisi

dengan bahan yang telah ditentukan dalam kurikulum. Dalam sistem pendidikan

nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan

instruksional menggunakan hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis

besar membaginya ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan

psikomotor.

1) Ranah kognitif

Pada ranah kognitif jika dikaitkan dengan paradigma baru PKn berkaitan

dengan fungsi pokok pada kecerdasan kewarganegaraan (civic knowledge), di

mana murid belajar materi PKn untuk mendapatkan pegetahuan yang dapat diukur

melalui hasil belajar ranah kognitif. Hasil belajar kognitif dibagi menjadi

beberapa tingkatan. Bloom (Purwanto, 2010: 50) “membagi tingkat hasil belajar

kognitif mulai dari yang paling rendah dan sederhana yaitu hafalan sampai yang

paling tinggi dan kompleks yaitu evaluasi”. Semakin tinggi tingkatnya maka

semakin kompleks. Tingkatan tersebut terbagi menjadi enam yaitu , pengetahuan

(ingatan/hafalan) disebut juga C1, pemahaman (menginterpretasikan) disebut juga

C2, aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah) disebut


25

juga C3, analisis (menjabarkan suatu konsep) disebut juga C4, sintesis

(mengembangkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep yang utuh) disebut

juga C5, evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide dan metode) disebut juga C6.

Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek

berikutnya disebut kognitif tingkat lanjut.

2) Ranah afektif

Karakter kewarganegaraan (civic disposition) berkaitan dengan penilaian

ranah afektif. Dalam penilaian afektif ada beberapa aspek yang dinilai. Hal ini

berkaitan dengan karakter/watak yang ditunjukkan setelah menerima pelajaran

PKn. Krathwohl (Purwanto, 2010: 51) mengemukakan bahwa, ranah afektif

berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan (receiving)

atau menaruh perhatian (attending) adalah kesediaan menerima rangsangan

dengan memberikan perhatian kepada rangsangan yang datang, partisipasi atau

merespons (responding) adalah kesediaan memberikan respons dengan

berpartisipasi, penilaian (valuing) adalah kesediaan untuk menentukan pilihan

sebuah nilai dari rangsangan, organisasi adalah kesediaan mengorganisasi nilai-

nilai yang dipilih untuk menjadi pedoman dalam berperilaku, internalisasi nilai

atau karakterisasi (characterization) adalah menjadikan nilai-nilai yang

diorganisasi untuk dijadikan bagian dari pribadi dalam berperilaku. Melalui

beberapa aspek tersebut guru dapat menentukan indikator yang hendak

dirumuskan sesuai dengan matei sebelum melakukan proses pembelajaran dan

dilanjutkan penialian ranah afektif. Selain itu, guru dapat mengetahui tingkat
26

perkembangan murid dalam bersikap dan berperilaku minimal dalam lingkungan

sekolah.

3) Ranah psikomotor

Ranah psikomotor berkenaan dengan keterampilan kewarganegaraan (civic

skills). Hasil belajar pada ranah psikomotor berkaitan dengan keterampilan dan

kemampuan bertindak, yaitu peniruan (meniru gerak), penggunaan (menggunakan

konsep untuk melakukan gerak), ketepatan (melakukan gerak dengan benar),

perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar), naturalisasi

(melakukan gerak secara wajar). Dalam paradigma baru PKn keterampilan

kewarganegaraan sangat penting, maka guru perlu melakukan penilaian pada

ranah psikomotor. Untuk mengetahui keterampilan murid dalam berinteraksi

dengan orang lain.

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga

ranah tersebut ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh guru di sekolah,

karena berkaitan dengan kemampuan murid dalam menguasai isi bahan

pengajaran dan dapat diukur melalui tes hasil belajar.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, penilaian hasil

belajar merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh

seorang guru dengan mengumpulkan informasi baik melalui tes maupun non tes,

agar dapat mengetahui tingkat keberhasilan dari masing-masing murid maupun

tingkat keberhasilan dalam kelasnya. Dalam penelitian ini, hasil belajar PKn yang

dimaksud merupakan nilai atau hasil yang diperoleh murid setelah mengikuti

pelajaran PKn dan menerima pengalaman belajar dengan model kooperatif tipe
27

NHT (Number Head Together) baik itu nilai yang berupa angka, pengetahuan

(kognitif) dan sikap murid (afektif)

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Number Head Together)

a. Pengertian NHT (Number Head Together)

NHT (Number Head Together) merupakan salah satu metode pembelajaran

kooperatif. Dalam NHT murid dituntut untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar

mengajar. NHT dilakukan dengan cara membagi murid dalam kelompok-

kelompok kecil. Setiap murid dalam satu kelompok memiliki satu nomor yang

berbeda dan hanya satu murid yang akan ditunjuk untuk maju mempresentasikan

hasil diskusi mewakili kelompoknya. Anita Lie (2008: 59) menyatakan bahwa

“NHT memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk saling membagikan

ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu juga dapat

membangkitkan semangat kerja sama”.

Muhammad Noor (2005: 78) menyatakan bahwa

“NHT (Number Head Together) pada dasarnya merupakan varians diskusi


kelompok, ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang murid yang
mewakili kelompoknya, tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang
akan mewakili kelompoknya itu. Cara ini menjamin keterlibatan total
semua murid. Cara ini juga sebagai upaya yang sangat baik untuk
meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok”.
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan tipe pembelajaran yang

dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi murid dan memiliki tujuan untuk

meningkatkan penguasaan akademik. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT

dikembangkan oleh Spencer Kagan 1992. Spencer Kagan (Anita Lie, 2004: 59)

mengemukakan bahwa, “teknik ini memberikan kesempatan kepada murid untuk

saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat”.


28

Teknik ini juga dapat mendorong murid untuk meningkatkan semangat kerjasama

murid dan memudahkan dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu

pelajaran dan mengecek pemahaman murid terhadap isi pelajaran tersebut.

Model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe

pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus

dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi murid dalam memiliki tujuan

untuk meningkatkan penguasaan isi akademik.

Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

NHT dikembangkan dengan melibatkan murid dalam melihat kembali bahan yang

tercakup dalam suatu pelajaran dan memeriksa pemahaman murid mengenai isi

pelajaran tersebut. Struktur NHT sering disebut berpikir secara kelompok. NHT

digunakan untuk melibatkan lebih banyak murid dalam menelaah materi yang

tercakup dalam suatu pelajaran tersebut. NHT sebagai model pembelajaran pada

dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari NHT

adalah guru menunjuk seorang murid yang mewakili kelompoknya. Dalam

menunjuk murid tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang

akan mewakili kelompok tersebut. Dalam implementasinya guru memberi tugas

dalam bentuk LKS, kemudian hanya murid bernomor yang berhak menjawab

(mencegah dominasi tertentu).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa model

pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Head Together) dapat diartikan

sebagai salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur

khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi murid dan memiliki
29

tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik melalui diskusi yang terdiri

kelompok-kelompok kecil yang heterogen, serta kesiapan murid saat dipanggil

nomor-nomornya oleh guru untuk mengetahui pemahaman murid terhadap materi

yang disampaikan.

b. Langkah Langkah NHT (Number Head Together)

Pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe

NHT agar dapat berjalan dengan efektif, ada beberapa langkah yang perlu

dilakukan dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran. Anita Lie (2004:

59-60) yaitu:

1) murid dibagi dalam kelompok, setiap murid dalam setiap kelompok

mendapatkan nomor,

2) guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya,

3) kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan

setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini,

4) guru memanggil salah satu nomor, murid dengan nomor yang dipanggil

melaporkan hasil kerjasama mereka.

Selanjutnya, Suprijono (2011: 92) mengemukakan bahwa, pembelajaran

dengan menggunakan model Numbered Heads Together diawali dengan

numbering. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap

anggota kelompok diberi nomor sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Setelah

terbentuk kelompok, maka guru mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh

setiap kelompok, selanjutnya guru memberikan kesempatan kepada masing-


30

masing kelompok untuk menyatukan kepalanya “Heads Together” berdiskusi

memikirkan jawaban atas pertanyaan guru

Langkah selanjutnya, guru memanggil murid yang bernomor sama dari

masing-masing kelompok. Murid-murid tersebut diberi kesempatan untuk

menyampaikan hasil diskusinya, secara bergantian. Berdasarkan jawaban-jawaban

tersebut guru dapat mengembangkan diskusi dan murid dapat menemukan

jawaban pertanyaan dari guru sebagai pengetahuan yang utuh.

Kegiatan guru dalam proses pembelajaran dengan NHT berdasarkan

pendapat tokoh di atas, dapat dirangkum sebagai berikut.

1) Membagi murid ke dalam kelompok-kelompok kecil (4-6 murid) yang

heterogen.

2) Membagikan nomor kepada setiap anggota kelompok sesuai jumlah anggota

kelompok.

3) Guru mengajukan pertanyaan kepada murid dan memberikan kesempatan

kepada murid untuk berdiskusi dengan kelompoknya.

4) Guru memanggil salah satu nomor, murid yang merasa nomornya dipanggil

oleh guru diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusinya.

5) Berdasarkan jawaban-jawaban murid guru mengembangkan diskusi, dan murid

dapat menemukan jawaban atas pertanyaan dari guru sebagai pengetahuan

utuh.

c. Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Number Head

Together)
31

Implementasi model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number Head

Together), adalah sebagai berikut

1) Kegiatan awal

a) Guru mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan (media, nomor kepala

untuk masing-masing murid, soal pra test dan pascatest, LKS, dan lembar

pengamatan).

b) Guru melakukan apersepsi sebelum pelajaran dimulai.

c) Soal pra test diberikan kepada murid untuk mengetahui kemampuan awal

murid.

d) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang dipelajari kepada murid.

e) Guru menjelaskan tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number

Head Together) kepada murid.

2) Kegiatan inti

a) Murid dibagi menjadi 6 kelompok kecil yang anggotanya heterogen terdiri 3-4

murid.

b) Setiap anggota kelompok mendapatkan nomor kepala sesuai dengan jumlah

anggotanya.

c) Guru mengajukan pertanyaan dalam bentuk LKS kepada setiap kelompok.

d) Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk

menyelesaikan pertanyaan yang ada di LKS.

e) Semua anggota pada masing-masing kelompok menyatukan

pendapatnya/jawabannya untuk diputuskan jawaban yang paling baik.


32

f) Pastikan semua anggota telah mengetahui jawaban yang telah diputuskan

bersama.

g) Setelah selesai diskusi, guru memanggil murid dengan nomor tertentu,

kemudian mengundi kelompok mana yang akan memberikan perndapatnya

agar tidak berebut.

h) Murid yang nomornya dipanggil guru mengangkat tangan dan mencoba untuk

menjawab pertanyaan yang ada di LKS atau mempresentasikan hasil

diskusinya untuk seluruh kelas.

i) Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap

kelompok yang baru saja mempresentasikan hasil diskusinya.

j) Selanjutnya, guru dapat memanggil nomor yang berbeda dari kelompok

lainnya dan seterusnya sampai semua pertanyaan yang ada di LKS terjawab

semua dan murid menguasai materi yang telah dipelajari.

k) Guru memberikan motivasi kepada kelompok yang belum mendapatkan hasil

yang memuaskan dan memberikan reward bagi kelompok yang telah berhasil

menjawab dengan baik.

l) Murid dengan bimbingan guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari.

3) Kegiatan akhir

a) Untuk mengetahui penguasaan murid terhadap materi yang telah dipelajari,

guru memberikan soal pascatest kepada murid.

b) Guru menutup pelajaran dengan berpesan kepada murid mempelajari materi

PKn untuk pertemuan yang akan datang.


33

d. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT

(Number Head Together)

1) Kelebihan dari NHT ini adalah :

a) Meningkatkan kemampuan murid dalam pembelajaran. Karena dengan

penggunaan metode NHT menunjukkan penyaji untuk mempresentasikan hasil

diskusi kelompok yang dilakukan secara acak dan murid tidak diberitahu

terlebih dahulu, sehingga murid dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam

melakukan diskusi, dengan demikian diharapkan murid tidak hanya

mengetahui materi tetapi juga dapat memahami materi pelajaran karena jika

murid memahami materi pelajaran maka murid dapat lebih terampil dalam

menyelesaikan soal-soal atau permasalahan yang berhubungan dengan materi

pelajaran yang diajarkan.

b) Meningkatkan rasa percaya diri murid.

c) Memperbaiki hubungan murid antar kelompok.

d) Dapat mengembangkan kemampuan kooperatif murid.

e) Lebih obyektif dalam penunjukan wakil kelompok.

f) Memberikan kesempatan kepada murid untuk saling sharing ide-ide dan

mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.

g) Meningkatkan semangat kerja sama murid.

h) Dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. (Huda,

2014: 138)

2) Kelemahan dari NHT adalah :

a) Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.


34

b) Tidak semua anggota kelompok dipanggil lagi oleh guru.

B. Kerangka Pikir

Kerangka pemikiran merupakan alur penalaran yang sesuai dengan tema

dan masalah penelitian serta didasarkan pada kajian teoritis. Kerangka berpikir ini

digambarkan dengan skema secara holistik dan sistematik. Berdasarkan kajian

teori yang telah dikemukakan penulis dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai

berikut :

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh murid-murid untuk mata

pelajaran PKn, diantaranya adalah kurangnya minat dan konsentrasi murid dalam

mengikuti mata pelajaran PKn serta banyak murid yang berbicara dengan teman

sebangkunya. Pemahaman konsep murid terhadap mata pelajaran PKn juga masih

kurang. Selain itu, metode yang digunakan guru kurang bervariasi. Proses belajar

mengajar pun menjadi kurang kondusif. Akibatnya, guru mengalami kesulitan

untuk membangkitkan minat belajar dan meningkatkan pemahaman murid

terhadap mata pelajaran PKn. Tujuan pembelajaran yang telah direncanakan pun

tidak seperti yang diharapakan yakni prestasi belajar murid yang rendah. Mata

pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman konsep

dengan benar dan sungguh-sungguh karena tidak hanya sekedar menghafal teori

saja. Oleh karena itu, guru dituntut untuk dapat menggunakan metode yang tepat

agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Pemilihan metode yang tepat diharapkan mampu mengajak murid untuk

dapat lebih mudah dalam memahami konsep atau materi dengan mudah. Salah
35

satu metode yang dijadikan alternatif dalam mata pelajaran PKn adalah model

NHT (Number Head Together).

Dari pemikiran tersebut, dapat digambarkan kerangka pikir sebagai berikut

:
Model Pembelajaran Model Pembelajaran
Pembelajaran
NHT Konvensional
(Kelas Eksperimen) PKn (Kelas Kontrol)

1. Murid merasa 1. Murid merasa tidak


bersemangat dalam bersemangat dalam
mengajar mengajar
2. Aktif dalam 2. Kurangnya minat dan
mengikuti pelajaran konsentrasi murid
3. Murid memahami dalam mengikuti mata
konsep pelajaran pelajaran
4. Metode yang 3. Murid kurang
digunakan guru memahami konsep
bervariasi pelajaran
4. Metode yang
digunakan guru
kurang bervariasi

Tes Hasil Belajar

Analisis

Hasil belajar murid Hasil belajar murid


mengalami rendah
perubahan
36

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

C. Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka dapat

diajukan hipotesis :

1. Tidak ada pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT

(Number Head Together) terhadap hasil belajar PKn murid kelas V SD Inpres

Bertingkat Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar. (𝐻0 )

2. Ada pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Number

Head Together) terhadap hasil belajar PKn murid kelas V SD Inpres Bertingkat

Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar. (𝐻𝑎 )


37
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian eksperimen semu (quasi eksperimental

research), mengingat tidak dilakukan kontrol terhadap semua variabel yang dapat

mempengaruhi perlakuan atau mempengaruhi fenomena sebagai akibat perlakuan

kecuali beberapa variabel saja dan tidak dilakukan pengelompokan secara khusus

sampel penelitian, melainkan menggunakan struktur kelas atau kelompok apa

adanya Sanjaya (2014: 101).

Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok, kelompok pertama sebagai kelas

eksperimen yang diberi perlakuan sedangkan kelompok kedua bertindak sebagai

kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan .

Desain penelitian ini menggunakan desain dengan kelas kontrol

menggunakan prates dan pascatest (randomized control group pretest-pascatest

design), sebelum diberikan teratment/perlakuan, baik kelas eksperimen maupun

kelas kontrol diberikan prates sebagai tes awal. Sanjaya (2014 : 105)

Prates Kel. Eks Perlakuan Pascatest Kel. Eks

Kel. Eks 𝑇1 e X 𝑇2 e

Prates Kel. Pemb Perlakuan Pascates Kel. Pemb

Kel. Pemb 𝑇1 p 𝑇2 p

Gambar 3.1 Desain Kelas kontrol Dengan Pra dan Pascatest

38
39

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD Inpres Bertingkat Kaluku Bodoa Kota

Makassar Kecamatan Tallo pada bulan Juli 2015. Pemilihan lokasi ini didasarkan

atas beberapa pertimbangan yaitu :

1. Rendahnya nilai murid kelas V pada mata pelajaran PKn

2. Guru kelas V masih mengajar dengan menggunakan metode konvensional

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Suharsimi Arikunto,2006:

130). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua murid kelas V

semester I SD Inpres Bertingkat Kaluku Bodoa Kota Makassar tahun ajaran

2015/2016 yang berjumlah 40 murid

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi

Arikunto, 2006 : 131).Sampel dalam penelitian diambil dengan menggunakan

teknik sampling Non Probabily Sampling yang meliputi Sampling Purposive.

Sampel ini adalah dengan menggunakan teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu. Sampel penelitian ini diambil dari populasi sebanyak 40

murid

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah V A sebagai kelas

eksperimen yang terdiri 20 murid dan V B sebagai kelas kontrol yang terdiri 20

murid.
40

D. Prosedur Penelitian

Penelitian eksperimen bisa mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menentukan subjek untuk dijadikan sampel penelitian dan

mengelompokkannya pada kelas eksperimen dan kelas kontrol .

2. Memberikan prates (𝑇1 ), baik untuk kelas eksperimen (𝑇1 𝑒) maupun kelas

kontrol sebagai kelompok pembanding (𝑇1 p).

3. Mencari rata-rata 𝑇1 untuk kelompok tadi.

4. Memberikan perlakuan (x) pada kelas eksperimen dan menjaga agar kelas

kontrol tidak terpengaruh oleh perlakuan.

5. Memberikan pascatest, baik untuk kelas eksperimen (𝑇2 𝑒) maupun untuk kelas

kontrol sebagai kelompok pembanding (𝑇2 𝑝).

6. Mencari rata-rata hitung dari hasil 𝑇2 untuk masing-masing kelompok,

kemudian mencari selisih atau perbedaan dua rata-rata itu (𝑇2 𝑒-𝑇1 𝑒) dan (𝑇2 𝑝-

𝑇1 𝑝).

7. Membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk menentukan apakah

penerapan perlakuan X itu berkaitan dengan perubahan yang lebih besar pada

kelas eksperimen (𝑇2 𝑒-𝑇1 𝑒) - (𝑇2 𝑝-𝑇1 𝑝).

8. Menggunakan tes statistik untuk menentukan apakah perbedaan hasil itu

signifikan atau tidak pada taraf signifikansi tertentu.

E. Instrumen Penelitian

1. Pedoman Observasi, yaitu alat bantu yang digunakan peneliti ketika

mengumpulkan data melalui observasi (pengamatan) dan pencatatan secara

sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.


41

2. Pedoman dokumentasi, yaitu alat bantu yang digunakan peneliti ketika

mengumpulkan data yang meliputi latar belakang sekolah, keadaan murid dan

sebagainya.

3. Pedoman tes, yaitu alat bantu berupa tes tertulis tentang Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) .

F. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini, teknik yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data

adalah sebagai berikut :

1. Observasi

Observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara mengamati langsung

maupun tidak tentang hal-hal yang diamati dan mencatatnya pada alat observasi.

Observasi sebagai alat pengumpul data banyak digunakan untuk mengukur

tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati

baik dalam situasi yang sebenarnya ataupun dalam situasi buatan.

Peneliti mengadakan observasi pada murid kelas V A dan V B SD Inpres

Bertingkat Kaluku Bodoa Kecamatan Tallo Kota Makassar.

2. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data tentang kondisi objektif

dan mengetahui hasil belajar murid.

3. Tes

Tes adalah instrumen atau alat untuk mengumpulkan data tentang

kemampuan subjek penelitian dengan cara pengukuran, misalnya untuk mengukur


42

kemampuan subjek penelitian dalam menguasai materi pelajaran tertentu,

digunakan tes tertulis tentang materi pelajaran tersebut.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan tes statistik untuk

menentukan apakah perbedaan hasil itu signifikan atau tidak pada taraf

signifikansi tertentu. Mula-mula kita mencari rata-rata hitung (𝑇2 𝑒-𝑇1 𝑒) dan (𝑇2 𝑝-

𝑇1 𝑝) untuk mencari selisih atau perbedaan dua rata-rata itu. Dan kita

membandingkan perbedaan-perbedaan tersebut untuk menentukan apakah

penerapan perlakuan X itu berkaitan dengan perubahan yang lebih besar pada

kelompok eksperimen.
43
DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2008. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas.


Jakarta: PT. Gramedia.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Cholisin. 2005. Pengembangan Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan


(Civic Education) Dalam Praktek Pembelajaran Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Makalah Training of Trainers (ToT) Nasional Guru Mata
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Surabaya.

Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran : Kreatif dan Inovatif. Jakarta :


AV. Publisher.

Djaali, H. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Program Pasca Sarjana


Universitas Negeri Jakarta.

Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha


Nasional.

E. Mulyasa. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan


Implementasi, Bandung : Rosdakarya

E. Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : PT


Rosdakarya.

Fathurrohman dan Wuri Wuryandani. 2010. Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar.


Yogyakarta: Nuha Litera.

Hamalik, Oemar. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara.

Huda, Miftahul. 2014. Cooperatif Learning : Metode, Teknik, Struktur dan Model
Penerapan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Isjoni, Ismail, 2008. Model-Model Pembelajaran Mutakhir: Perpaduan


Indonesia-Malaysia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lasmawan, W. 2010. Menelisik Pendidikan IPS dalam Perspektif Kontekstual


Empiris. Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali.

Nazarudin. 2010. Manajemen Pembelajaran: Implementasi Konsep, Karakteristik


dan Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jogjakarta: Teras.

44
45

Pupuh, Faturrahman. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Refika


Aditama.

Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Ruminiati. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran Serta PKN Sebagai Pendidikan
Nilai, Moral., dan Norma

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme


Guru. Jakarta : Rajawali Pers.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung:
Nusa Media.

Sudjana, N, 2009. Dasar – Dasar Proses Strategi Belajar Mengajar, Bandung:


Sinar Baru Algesindo. Edisi: kesepuluh.

Suherman, H.H., dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung:Jica.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grapindo


Persada.

Suyono dan Hariyanto. 2014. Belajar dan Pembelajaran : Teori dan Konsep
Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

W.S. Winkel. 1996. Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Media Abadi

Wilis, D.R. 2006. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Widi, W.A. dan Sulistyowati, E. Metodologi Pembelajaran IPA. 2014. Jakarta :


Bumi Aksara.

Winarno. 2014. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan : Isi, Strategi dan


Penilaian. Jakarta : Bumi Aksara

Yamin. 2014. Moh. Teori dan Metode Pembelajaran : Konsepsi, Strategi dan
Praktik Belajar yang Membangun Karakter. Malang : Madani.

Anda mungkin juga menyukai