Disusun Oleh
Sri Astuti
(FAA 111 0036)
Pembimbing :
dr. Ni Made Yuliari Sp. A
Asfiksia perinatal adalah keadaan dimana fetus atau neonatus mengalami kekurangan
oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai organ. Keadaan ini
menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul
asidosis laktat. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat
saling tumpang tindih. Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia. Asfiksia dapat terjadi
pada waktu pre, peri dan postnatal.1 American Academy of Pediatrics (AAP) dan the
American College of College of Obstetricans and Gynecologists (ACOG) membuat definisi
asfiksia sebagai berikut : (1) adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7,00) pada
darah umbilikus atau analisis gas darah arteri apabila fasilitas tersedia; (2) adanya nilai apgar
persisten 0-3 selama >5 menit ; (3) manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal
dengan gejala kejang, hipotoni, koma, ensefalopati hipoksik iskemik; dan (4) adanya
gangguan fungsi multi organ segera pada waktu perinatal. 1,2.
HIE merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf
pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi serebral atau
retardasi mental. Angka kejadian HIE berkisar antara 0,3-1,8 % di negara-negara maju,
sementara di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Lima belas hingga 20% bayi
dengan HIE meninggal pad masa neonatal, 25-30 % yang bertahan hidup mempunyai
kelainan neurodevelopmental (palsi serebral, keterbelakangan mental). Di Indonesia belum
ada catatan yang valid mengenai kematian dan kecacatannya, tetapi diyakini lebih tinggi dari
angka-angka di atas. 4
2
HIPOKSIA ISKEMIK ENSEFALOPATI
I. DEFINISI
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut yang
disebabkan karena asfiksia. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab penting
kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada
kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental. Sedangkan
ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi
mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.
II. ETIOLOGI
Hipoksia pada fetus disebabkan oleh :
a. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.
b. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau
tekanan uterus pada vena cava dan aorta.
c. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan
tetani.
d. Plasenta terlepas dini.
e. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
f. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
g. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date
3
III. PATOFISIOLOGI
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa
hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan
vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus.
Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat ensefalopati hipoksik iskemik.
a. Derajat 1 : 1,6%
b. Derajat 2 : 24%
c. Derajat 3 : 78%
d. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi
kecacatan neurologi berat.
4
a. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%
b. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%
c. Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat berkembang
dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut,
sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis
standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan akibat ensefalopati
hipoksik iskemik, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan
hipoglikemia.
5
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut
dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
a. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
b. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko
terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang
memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat.
c. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya
dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
d. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan
SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal
pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan
mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.
VI. TERAPI
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan.
Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis
awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 40-
50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam
0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital
dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan
dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik
berkisar 20-40g/mL.
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
6
VII. KESIMPULAN
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut yang
disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel
pada susunan saraf pusat (SSP).
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di negara-
negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Kesadaran
letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan lemahnya refleks moro
merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik. Selain itu pucat, sianosis, apnea,
bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga merupakan tanda lain
terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan.
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan kardiopulmoner
yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati hipoksik iskemik.
Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita
ensefalopati hipoksik iskemik.
7
DAFTAR PUSTAKA
1. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Walkins; 536-55.
3. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. 1994. Early prediction of the development of
microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term newborn; 93-
703.
5. Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in term-infants
with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with three-years
follow-up; 132-345.
9. Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Nervous System Disorder. In: MacDonald MG, Mullet
MD, Shesia MMK eds. Nelson Textbook of Pediatri 17th ed. Philadelphia, WB
Saunder; 559-68