PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit
SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup
berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang
penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru,
aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan
masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan bberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari SLE ?
2. Apakah etiologi pada anak dengan SLE ?
3. Apakah manifeatasi klinis anak dengan SLE ?
4. Bagaimana pathway pada anak dengan SLE ?
5. Apa sajakah pemeriksaan diagnostik pada anak dengan SLE ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan SLE ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari SLE.
2. Untuk mengetahui etiologi pada anak dengan SLE.
3. Untuk mengetahui manifeatasi klinis anak dengan SLE.
4. Untuk mengetahui pathway pada anak dengan SLE.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada anak dengan SLE.
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan SLE.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
A. Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
B. Manifeatasi klinis
3
a. Kutaneus lupus akut, butterfly rash merupakan tanda spesifik pada
SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan
nasolabial (berbentuk seperti kupu-kupu) dan di tandai dengan adanya
ruam pada hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi.
Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam makular,
fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Pada
umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat fotosensitif.
b. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular
eritema, psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif.
Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan
antibody Ro lesi subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
c. Kutaneus lupus kronis, bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang
berupa bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya.
Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan
parut dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah
tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit kepala yang sering
menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher, lengan
dan wajah juga sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus di
tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan jaringan
subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul yang sangat dalam dan
sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2 %
pada penderita SLE.
d. Nonspesifik kutaneus lupus, vaskulitis kutaneus. Ditemukan hampir
pada 70% pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung
pada pembuluh darah yang terkena. Bentuknya bermacam macam
antara lain :
1) Urtikaria
2) Ulkus
3) Purpura
4) Bula, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
5) Splinter hemorrhage
4
6) Eritema periungual
7) Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
8) Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada
umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik
vaskulitis
9) Raynould phenomenon
Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme,
yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk
kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan nyeri.
Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP.
10) Alopesia
Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan
aktifitas penyakit biasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan
parut. Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut
depan. Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang
menetap di sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan
jaringan parut.
11) Sklerodaktili
Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna
kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma.
Hanya terjadi pada 7% pasien.
12) Nodul rheumatoid
Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya
reumatoid like artritis
13) Perubahan pigmentasi
Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar
sinar matahari
14) Kuku
Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada
kutikula kuku
15) Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada
palatum molle atau mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri
5
3. Manifestasi pada paru
Dapat berupa pneumonia, pleuritis, ataupun pulmonary haemorrhage,
emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau
efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik.
5. Manifestasi hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia
karena penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya di dapatkan
pada 10 % penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai leukopenia,
limphopenia, nitropenia, trombopenia.
6
Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik, hepatitis lupoid,
peradangan sistem saluran makanan dan colitis
C. Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2
dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) . Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembarn non-identik (2-9%).
2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varicella, virus yang juga menjadi penyebab
dari penyakit cacar air (variscella atau chiken pox).
b. Hormonal
7
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita.
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar
belakang timbulnya lupus.
c. Faktor sinar matahari
Salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala lupus. Diduga oleh
para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti
bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus
bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00
WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan
matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia,
merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka
terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan
di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity)
sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.
D. Patofisiologi
8
Gambar 2.1 Pathway SLE
9
E. Pemeriksaan penunjang
1. Patologi Anatomi
Hasil yang didapat pada penderita lupus berupa:
a. Epidermis atrofi
b. Degenerasi pada junction dermal-epidermal
c. Dermis edema
d. Infiltrat limfositosis dermal
e. Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding pembuluh
darah.
2. Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe
IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan
antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada tes
kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan
menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
10
3. Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang menggunakan serum.
Pemeriksaan serologi mempunyai hasil yang sangat bervariasi tergantung
pada respon imun saat pemeriksaan laboratorium dilakukan dan lamanya
kelainan yang dialami penderita. Pada pemeriksaan ini, penderita SLE
sering menunjukkan hasil berupa:
a. ANA positif
b. Anti double strand DNA antibodies
c. Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
d. Anti-kardiolipin auto anti-bodi
4. Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut:
a. Anemia
b. Limpopenia
c. Trombositopenia
d. Elevasi ESR
5. Urinalisa
Akan menunjukkan hasil berupa proteinuria.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan Medis
a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan
resiko serangan jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Steroid
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada
11
pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis
tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak
efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik
(Djoerban, 2002).
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan
(Djoerban, 2002).
d. Immunosupresan
1) Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
imunosupresan untuk mengurangi biosintesis purin yang
diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem
kekebalan tubuh.
2) Mycophenolate Mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi.
3) Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi
memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh
termasuk modulasi produksi sitokin
4) Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T.
12
esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab
sering diberikan kombinasi dengan methotrexate
G. Penatalaksanaan Keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat
penyakit yang homogeni. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik dan neurologi. Pada
setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang
utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument
yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson &
Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal
ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau
kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang
menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan
mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang
keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan,
dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan,
nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu
pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan,
dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien,
keluarga dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali
personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan
regimen bagi mereka (Anisa Tri U, 2012).
H. Penatalaksanaan diet
13
yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien
disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
BAB III
A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) kebanyakan menyerang
wanita, bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1.
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada
orang yang berkulit putih.
a. Keluhan utama
14
Pada SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) kelainan kulit meliputi
eritema malar ( pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai
seluruh tubuh, sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.
1) Data subyektif :
a) Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang
menyerupaibentuk kupu-kupu.
b) Pasien mengeluh rambut rontok.
c) Pasien mengeluh lemas
d) Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
e) Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
f) Pasien mengeluh nyeri
15
5) Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit
penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema
molar yang bersifat irreversibel.
b. Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan
yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh
kembali.
c. Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka atau wajah
d. Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
e. Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
f. Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari
tangan dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
g. Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,
interstilsiel fibrosis.
h. Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intoleransi glukosa.
i. Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, miokarditis,
endokarditis, vaskulitis.
j. Gastrointestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly atau pembesaran hepar, nyeri
pada perut.
k. Muskuloskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan
joint swelling.
l. Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
16
m. Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
3. Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa Keperawatan
17
18
3. Intervensi Keperawatan
19
Faktor yang berhubungan : a. Kelelahan a. Kaji status fisik pasien untuk kelelahan dengan memperhatikan
b. Kualitas tidur
Anemia umur dan perkembangan
c. Kualitas istirahat
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang
d. Hematokrit
keterbatasan
c. Gunakan instrument yang valid untuk mengukur kelelahan
d. Tentukan aktivitas yang boleh dilakukan dan seberapa berat
aktivitasnya
e. Monitor asupan nutrisi untuk mendukung sumber energi yang
adekuat
f. Konsultasi dengan ahli gizi tentang peningkatan asupan energi
g. Bantu pasien untuk beristirahat sesuai jadwal
h. Dorong pasien untuk tidur siang
i. Bantu pasien melakukan aktivitas fisik regular “exercise”
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Faktor risiko : Indicator : Aktivitas:
Imunosupresi a. Demam a. Pertahankan teknik isolasi jika diperlukan
b. Nyeri b. Batasi jumlah pengunjung
c. Limpadenopati c. Ajarkan pasien dan pengunjung untuk cuci tangan
d. Penurunan jumlah sel darah d. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan kepada
putih pasien
e. Risk control e. Tingkatkan asupan nutrisi yang adekuat
f. Motivasi pasien untuk istirahat
g. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara untuk mencegah infeksi
Risiko Injuri Risk control Risk identification
Faktor Risiko: Disfungsi Indicator: Aktivitas:
autoimun a. Mencari informasi tentang a. Review riwayat kesehatan pasien
b. Review data yang berasal dari pengkajian risiko
risiko pada kesehatannya
c. Identifikasi sumber-sumber yang dapat meningkatkan risiko
20
b. Identifikasi faktor risiko d. Identifikasi faktor risiko biologis, lingkungan dan perilaku serta
c. Mengakuir faktor risiko
hubungan antara faktor risiko
personal
e. Tentukan rencana untuk mengurangi risiko
d. Monitor faktor risiko
f. Diskusikan dan rencan akan aktivitas mengurangi risiko
lingkungan
Dengan berkolaborasi dengan pasein dan keluarga
e. Melakukan strategi untuk
kontrol risiko
21
4. Intervensi dan Keterkaitan Dengan Jurnal Penelitian yang Mendukung.
22
BAB IV
A. Kesimpulan
B. Saran
23
yang baik dan bermanfaat bagi kita semua agar dapat bekerjasama dengan tim
kesehatan lain maupun pasien dalam tahap pengobatan.
24