Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Insidens SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) pada anak secara


keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit SLE jarang
terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih
sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring
dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit SLE di kalangan penduduk
berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit
putih. Pada anak-anak prevelensi SLE antara 0/100.000 pada wanita berkulit
putih dibawah usia 15 tahun sampai 31/100.00 pada wanita asia usia 10-20
tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.00 pada
wanita kulit putih, 19,86/100.00 pada wanita kulit hitam. (Agus akar , 2012)
Berdasarkan hasil survey dengan 1 orang meninggal dunia. Setiap tahun
ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui, sehingga berakibat
pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan
peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Soetomo Surabaya
selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini
menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low
back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan
Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik
(SLE) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang
kompleks.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan
penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan

1
dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit
SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup
berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang
penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE yang baru,
aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga merupakan
masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan bberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari SLE ?
2. Apakah etiologi pada anak dengan SLE ?
3. Apakah manifeatasi klinis anak dengan SLE ?
4. Bagaimana pathway pada anak dengan SLE ?
5. Apa sajakah pemeriksaan diagnostik pada anak dengan SLE ?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan SLE ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari SLE.
2. Untuk mengetahui etiologi pada anak dengan SLE.
3. Untuk mengetahui manifeatasi klinis anak dengan SLE.
4. Untuk mengetahui pathway pada anak dengan SLE.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik pada anak dengan SLE.
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan SLE.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
A. Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
auto anti bodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan. ( Lamont, David E, DO, 2006 )
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah suatu penyakit komplek
yang bersifat genetis dan diduga lebih dari satu gen menentukan seseorang
akan terkena atau tidak (Moore Sharoon, 2008).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan
tubuh sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt,
2003).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit
SLE atau (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan suatu penyakit yang
menyerang autoimun terutama inti sel, dimana ditandai dengan adanya
inflamasi yang tersebar luas.

B. Manifeatasi klinis

Manifestasi klinis SLE sangat luas. Awalnya di tandai dengan gejala


klinis yang tidak spesifik, antara lain lemah, lesu, panas, mual nafsu makan
turun dan berat badan menurun. Namun ada beberapa manifestasi klinis yang
di tunjukan oleh system tubuh, diantaranya:
1. Manifestasi muskuloskeletal
Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang
di tandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadang - kadang
disertai efusi, sendi yang sering terkena antara lain sendi jari – jari tangan,
siku, bahu dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis
reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif.
2. Manifestasi mukokutaneus

3
a. Kutaneus lupus akut, butterfly rash merupakan tanda spesifik pada
SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan
nasolabial (berbentuk seperti kupu-kupu) dan di tandai dengan adanya
ruam pada hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi.
Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam makular,
fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Pada
umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat fotosensitif.
b. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular
eritema, psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif.
Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan
antibody Ro lesi subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
c. Kutaneus lupus kronis, bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang
berupa bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya.
Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditan dai dengan
parut dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah
tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit kepala yang sering
menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher, lengan
dan wajah juga sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus di
tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan jaringan
subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul yang sangat dalam dan
sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2 %
pada penderita SLE.
d. Nonspesifik kutaneus lupus, vaskulitis kutaneus. Ditemukan hampir
pada 70% pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung
pada pembuluh darah yang terkena. Bentuknya bermacam macam
antara lain :
1) Urtikaria
2) Ulkus
3) Purpura
4) Bula, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
5) Splinter hemorrhage

4
6) Eritema periungual
7) Nailfold infar bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan
8) Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai pada
umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik
vaskulitis
9) Raynould phenomenon
Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme,
yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk
kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan nyeri.
Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP.
10) Alopesia
Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan
aktifitas penyakit biasnya bersifat difus tanpa adanya jaringan
parut. Kerontokan rambut biasanya di mulai pada garis rambut
depan. Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang
menetap di sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan
jaringan parut.
11) Sklerodaktili
Di tandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna
kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma.
Hanya terjadi pada 7% pasien.
12) Nodul rheumatoid
Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya
reumatoid like artritis
13) Perubahan pigmentasi
Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar
sinar matahari
14) Kuku
Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada
kutikula kuku
15) Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada
palatum molle atau mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri

5
3. Manifestasi pada paru
Dapat berupa pneumonia, pleuritis, ataupun pulmonary haemorrhage,
emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau
efusi pleura, atau friction rub pada pemeriksaan fisik.

4. Manifestasi pada jantung


Dapat berupa perikarditis, efusi perkardium, miokarditis, endokarditis,
kelainan katup penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung dan kelainan
konduksi. Manifestasi pada jantung yang tersering adalah kelainan
perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium yang jarang
menimbulkan komplikasi tamponade jantung. Menyusul kelainan
miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan pembesaran jantung
dan endokardium berupa endokarditis yang di kenal dengan nama Libman
Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa di sertai dengan
bising katup yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta.

5. Manifestasi hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia
karena penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya di dapatkan
pada 10 % penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai leukopenia,
limphopenia, nitropenia, trombopenia.

6. Manifestasi pada ginjal


Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50 %
dan melibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya bervariasi
dengan tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat berupa
hematuri, protein uria, seluler cast. Sebanyak 0,5% akan berkembang
menjadi gagal ginjal kronis. Lupus nefritis ini merupakan petanda
prognosis jelek

7. Manifestasi sistem gastrointestinal

6
Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik, hepatitis lupoid,
peradangan sistem saluran makanan dan colitis

8. Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat


Juga sangat bervariasi, mulai dari depresi sampai psikosis, kejang, stroke,
dan lain-lain. Gambaran klinis lupus serebral di kelompokkan dalam 3
bagian yaitu fokla, difus, dan neuropsikiatrik

C. Etiologi

1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian
SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara
kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2
dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta
gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) . Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE.
Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembarn non-identik (2-9%).

2. Faktor lingkungan
a. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varicella, virus yang juga menjadi penyebab
dari penyakit cacar air (variscella atau chiken pox).
b. Hormonal

7
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita.
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar
belakang timbulnya lupus.
c. Faktor sinar matahari
Salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala lupus. Diduga oleh
para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti
bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus
bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00
WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan
matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia,
merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka
terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan
di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity)
sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu.

D. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia
atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.

8
Gambar 2.1 Pathway SLE

9
E. Pemeriksaan penunjang

1. Patologi Anatomi
Hasil yang didapat pada penderita lupus berupa:
a. Epidermis atrofi
b. Degenerasi pada junction dermal-epidermal
c. Dermis edema
d. Infiltrat limfositosis dermal
e. Degeneratif fibrinoid dari jaringan konektif dan dinding pembuluh
darah.
2. Imunofluoresensi Kulit
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe
IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan
antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada tes
kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan
menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.

10
3. Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan yang menggunakan serum.
Pemeriksaan serologi mempunyai hasil yang sangat bervariasi tergantung
pada respon imun saat pemeriksaan laboratorium dilakukan dan lamanya
kelainan yang dialami penderita. Pada pemeriksaan ini, penderita SLE
sering menunjukkan hasil berupa:
a. ANA positif
b. Anti double strand DNA antibodies
c. Anti-Sm antibodies dan rRNP antibodies specific
d. Anti-kardiolipin auto anti-bodi
4. Hematologi
Penderita SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut:
a. Anemia
b. Limpopenia
c. Trombositopenia
d. Elevasi ESR
5. Urinalisa
Akan menunjukkan hasil berupa proteinuria.

F. Penatalaksanaan Medis

1. Penatalaksanaan Medis
a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan
resiko serangan jantung dan stroke. (Djoerban, 2002).
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Steroid
dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi
meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada

11
pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis
tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak
efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik
(Djoerban, 2002).

c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko
cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan
(Djoerban, 2002).

d. Immunosupresan
1) Azathioprine Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
imunosupresan untuk mengurangi biosintesis purin yang
diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem
kekebalan tubuh.
2) Mycophenolate Mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi.
3) Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi
memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh
termasuk modulasi produksi sitokin
4) Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T.

5) Cyclophosphamide obat ini telah digunakan secara luas untuk


pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat
dekade terakhir. Obat ini juga banyak digunakan untuk
pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru
berat. Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel

12
esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab
sering diberikan kombinasi dengan methotrexate

G. Penatalaksanaan Keperawatan

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat
penyakit yang homogeni. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik dan neurologi. Pada
setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang
utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument
yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson &
Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal
ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau
kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang
menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan
mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka. Advice tentang
keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat, pentingnya latihan,
dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan,
nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu
pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE.
Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan,
dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien,
keluarga dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali
personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan
regimen bagi mereka (Anisa Tri U, 2012).

H. Penatalaksanaan diet

Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar


pasien memerlukan kortikosteroid dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah

13
yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien
disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan


untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak
boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan
kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila
terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung
matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat
meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

A. Pengkajian

1. Identitas
Penyakit SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) kebanyakan menyerang
wanita, bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1.
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada
orang yang berkulit putih.
a. Keluhan utama

14
Pada SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) kelainan kulit meliputi
eritema malar ( pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai
seluruh tubuh, sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.
1) Data subyektif :
a) Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang
menyerupaibentuk kupu-kupu.
b) Pasien mengeluh rambut rontok.
c) Pasien mengeluh lemas
d) Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
e) Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
f) Pasien mengeluh nyeri

b. Riwayat penyakit sekarang


Pada penderita SLE (Sistemik Lupus Eritematosus), diduga adanya
riwayat penyakit anemia hemolitik, trombositopeni, abortus spontan
yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah (kemungkinan
sindroma, antibody, antikardiolipin ).

c. Riwayat penyakit keluarga


Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga
cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga
mempunyai resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.
d. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi
Penderita SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) banyak yang
kehilangan berat badannya sampai beberapa kilogram, penyakit ini
disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan
penderita nafsu makannya menurun.
2) Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
3) Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami
diare.
4) Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila
pada jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi
vaskulitik.

15
5) Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit
penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada.

2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema
molar yang bersifat irreversibel.

b. Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan
yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh
kembali.
c. Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka atau wajah
d. Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
e. Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
f. Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari
tangan dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
g. Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,
interstilsiel fibrosis.
h. Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intoleransi glukosa.
i. Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, miokarditis,
endokarditis, vaskulitis.
j. Gastrointestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly atau pembesaran hepar, nyeri
pada perut.
k. Muskuloskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan
joint swelling.
l. Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.

16
m. Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

3. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada


pemeriksaan histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal,
proses degenerasi berupa mencairnya lapisan basal epidermis
penyumbatan folikel dan hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada
kulit yang mempunyai lesi memberikan gambaran pola deposisi
immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE. Pemeriksaan laboratorium
yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap autoantibodi atau
antinuklear antibodi atau ANA yang diproduksi pada penderita SLE.
Skrining tes ANA ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek,
dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test ( fana ).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE


adalah:
a. Nyeri akut
b. Fatigue
c. Risiko infeksi
d. Risiko injuri

17
18
3. Intervensi Keperawatan

Diagnose Noc Nic


Nyeri akut Pain control Pain management
Faktor yang berhubungan: Indicator Aktivitas
Agen injuri fisik a. Mengenali onset nyeri a. Melakukan pengkajian nyeri termasuk lokasi, karateristik, onset
b. Menjelaskan factor
atau durasi,frekuensi, kualitas atau keparahan nyeri dan faktor
penyebab
c. Melaporkan perubahan nyeri pencetus nyeri
d. Melaporkan gejala yangtidak b. Observasi tanda non verbal dari ketidak nyamanan,
terutama pada pasien yang tidak bisa berkomunikasi secara efektif
terkontro l Menggunakan
c. Gunakan strategi
sumber dayayang tersedia Komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
untuk mengurangi nyeri dan respon pasien terhadap nyeri
e. Mengenali gejala nyeri d. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri
e. Tentukan dampak dari nyeri terhadap kualitas hidup (tidur, selera
yangberhubungan
makan,aktivitas, dll)
denganpenyakit
f. Evaluasi keefektifan, manajemen nyeri yang pernah diberikan
f. Melaporkan nyeri terkontrol
sebelumnya
g. Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi ketidak
nyamanan pasien
h. Kolaborasi dengan pasien, anggota keluarga dan tenaga kesehatan
lain untuk implementasi manajemen nyeri nonfarmakologi
i. Exercise
Fatigue Fatigue level Energy Management
Karakteristik : Indicator Aktivitas:

19
Faktor yang berhubungan : a. Kelelahan a. Kaji status fisik pasien untuk kelelahan dengan memperhatikan
b. Kualitas tidur
Anemia umur dan perkembangan
c. Kualitas istirahat
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang
d. Hematokrit
keterbatasan
c. Gunakan instrument yang valid untuk mengukur kelelahan
d. Tentukan aktivitas yang boleh dilakukan dan seberapa berat
aktivitasnya
e. Monitor asupan nutrisi untuk mendukung sumber energi yang
adekuat
f. Konsultasi dengan ahli gizi tentang peningkatan asupan energi
g. Bantu pasien untuk beristirahat sesuai jadwal
h. Dorong pasien untuk tidur siang
i. Bantu pasien melakukan aktivitas fisik regular “exercise”
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Faktor risiko : Indicator : Aktivitas:
Imunosupresi a. Demam a. Pertahankan teknik isolasi jika diperlukan
b. Nyeri b. Batasi jumlah pengunjung
c. Limpadenopati c. Ajarkan pasien dan pengunjung untuk cuci tangan
d. Penurunan jumlah sel darah d. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan kepada
putih pasien
e. Risk control e. Tingkatkan asupan nutrisi yang adekuat
f. Motivasi pasien untuk istirahat
g. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara untuk mencegah infeksi
Risiko Injuri Risk control Risk identification
Faktor Risiko: Disfungsi Indicator: Aktivitas:
autoimun a. Mencari informasi tentang a. Review riwayat kesehatan pasien
b. Review data yang berasal dari pengkajian risiko
risiko pada kesehatannya
c. Identifikasi sumber-sumber yang dapat meningkatkan risiko
20
b. Identifikasi faktor risiko d. Identifikasi faktor risiko biologis, lingkungan dan perilaku serta
c. Mengakuir faktor risiko
hubungan antara faktor risiko
personal
e. Tentukan rencana untuk mengurangi risiko
d. Monitor faktor risiko
f. Diskusikan dan rencan akan aktivitas mengurangi risiko
lingkungan
Dengan berkolaborasi dengan pasein dan keluarga
e. Melakukan strategi untuk
kontrol risiko

21
4. Intervensi dan Keterkaitan Dengan Jurnal Penelitian yang Mendukung.

Kebanyakan kasus anak dengan SLE memiliki keluhan seperti nyeri


pada lutut, punggung hingga pangkal paha belakang, siku dan pergelangan
tangan maupun kaki serta terasa tegang pada betis apabila dipaksa untuk
melakukan aktivitas yang berat seperti berjalan jauh. Dengan pengkajian yang di
dapat terkait keluhan pasien, maka di dapat diagnosa utama nyeri dan keletihan
yang berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.
Salah satu intervensi yang bisa di lakukan untuk menanganinya yaitu dengan
cara bantu pasien melakukan aktivitas fisik “exercise”. Exercise bertujuan
untuk mengulur otot sehingga dapat mengurangi ketegangan yang dirasakan
pasien dan agar nyeri berkurang.
Menurut penelitian yang telah di lakukan Faudea (2017) terkait
penatalaksanaan exercise pada pasien dengan Systemic Lupus Erithemathosus
(SLE), didapatkan hasil yaitu dengan pemberian exercise yang sesuai dengan
apa yang dikeluhkan pasien yaitu streching baik dengan cara gentle streching
maupun dengan metode hold rileks bermanfaat untuk menjaga fleksibilitas
ototnya. Selain itu dengan mengajarkan exercise low impact yang dapat
dilakukan pasien secara mandiri bermanfaat untuk menjaga kualitas kinetiknya
agar tidak dalam keadaan yang immobile. Dengan memberikan exercise pada
pasien SLE mampu memberi manfaat dalam menjaga kekuatan otot dan massa
otot agar tidak menurun akibat fatique yang berlebihan.

22
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi auto anti
bodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan
tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena antibodi
(antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri). Gejala utama SLE adalah
kelemahan uum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan.
Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan,
stres yang berlebihan dan obat-obatan tertentu.

Manifestasi klinis SLE sangat luas awalnya di tandai dengan gejala


klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu, panas mual nafsu makan turun
dan berat badan menurun. Manifestasi ini dapat berbeda dari satu pasien dengan
pasien lainya tergantung dari target organ yang terkena. Gejala yang timbul
dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple sclerosis, arthritis rheumathoid,
atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan dalam penegakan
diagnosa.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini kami selaku penyusun sangat berharap


kepada seluruh mahasiswa agar mampu memahami dan mengetahui tentang
penyakit lupus eritematosus serta asuhan keperawatan pada pasien lupus
eritematosus. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membawa pengaruh

23
yang baik dan bermanfaat bagi kita semua agar dapat bekerjasama dengan tim
kesehatan lain maupun pasien dalam tahap pengobatan.

24

Anda mungkin juga menyukai