Anda di halaman 1dari 30

Case Report

Disusun oleh

Annisa Diah Rachmawati (1361050229)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

Periode 23 Juli-29 September 2018

Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Indonesia

2018
Case Report

Identitas

Nama: Ny. K Umur: 53 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan Alamat: Jl.

Agama: Kristen Asuransi: BPJS

No. RM:

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak lima hari yang lalu. nyeri seperti

ditusuk-tusuk dan semakin hari semakin memberat. Nyeri perut dirasakan tiba-tiba pada

malam hari. Menurut pasien keluhan nyeri ini berbarengan dengan perut pasien yang tambah

besar. Pada hari pertama keluhan muncul pasien sudah berobat ke klinik dan diberi obat

lambung, antibiotik dan paracetamol. Setelah meminum obat tersebut pasien muntah-muntah

dan keesokan harinya langsung dibawa ke rumah sakit. Pasien dibawa ke Rumah sakit dan

hanya diberikan penghilang rasa nyeri setelah itu pasien dirujuk ke rumah sakit lain. Setelah

dirujuk pasien dirawat dan hanya dipasang selang dari hidung dan diberi cairan infus selama

2 hari. Karena tidak dilakukan tindakan lain pasien dibawa pulang oleh keluarga. Sore

harinya setelah pulang dari rumah sakit pasien merasa nyerinya semakin tidak tertahankan

lalu dibawa ke RSU UKI.

Ketika sampai di RSU UKI pasien sudah terpasang NGT dari RS Hermina dengan

keluar cairan berwarna kehijauan. Pasien sudah tidak BAB dan buang angin 5 hari dan tidak

makan 4 hari. Pasien mengaku buang air kecil hanya 3x dan urin berwarna pekat.
• Riwayat penyakit dahulu

Hipertensi disangkal, Diabetes disangkal, pasien memiliki epilepsi dan mengonsumsi

Ikaphen 2tab/hari sejak tahun 2003.

• Riwayat Operasi

-Kistektomi

-Salphingooforektomi

-Sectio caesaria

Pemeriksaan Fisik Status Generalis :

Keadaan umum: Tampak Sakit Berat

Kesadaran : E4M6V5

Tekanan Darah: 100/50mmHg

Nadi : 71 x/menit

Pernafasan : 21 x/menit

Suhu : 36,6° C

BB : 41 kg

TB : 162cm

IMT : 15,6

Kepala :Normocephali
Wajah : Simetris

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)

Hidung : Bentuk biasa, Lapang +/+, Sekret -/-

Mulut : Mukosa bibir baik, faring tidak hiperemis

Telinga : Normotia, Liang lapang +/+, Serumen -/-, Membran timpani intak

Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP: 5 + 2 H2Ocm

Toraks : Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri

Paru-paru : Bunyi nafas dasar vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Abdomen : I: Tampak distensi abdomen

A: BU (+) 8x/menit, Metallic Sound (+)

P: Supel, nyeri tekan (+)

P: Hipertimpani, nyeri ketok (+)

Hepar : Tidak teraba membesar

Lien : Tidak teraba membesar

Genitalia externa : Tidak dilakukan pemeriksaan

Extremitas : Akral hangat, Edema - - / - -


Pemeriksaan Penunjang

• Hematologi

Hemoglobin : 11,2 g/dl

Hematokrit : 35,4%

Leukosit : 3900/ul

Trombosit : 236.000/ul

GDS : 84 mg/dl

Ureum : 68 mg/dl

Kreatinin : 1,15 mg/dl

• Elektrolit

Na : 143 mmol/L

K : 3,9 mmol/L

Cl : 107 mmol/L

Foto Polos Abdomen 3 Posisi


CT Scan seluruh abdomen
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Obstruksi usus terjadi ketika pasase dan propulsi/pengeluaran normal tidak terjadi.
Obstruksi ini bisa terjadi pada usus halus (small bowel obstruction), pada colon (large bowel
obstruction), atau via perubahan sistemik, yang terjadi pada keduanya, usus halus dan colon
(generalized ileus). Obstruksi bisa terjadi akibat obstruksi mekanik, atau pada kontras mungkin
berhubungan dengan motilitas yang tidak efektif tanpa adanya gangguan obstruksi fungsional, jika
ada kaitannya dengan gangguan obstruksi fungsional, maka disebut functional obstruction, "pseudo-
obstruction," atau ileus.

Intestinal obstruksi bisa diklasifikasikan juga berdasarkan etiopatogenesisnya (obstruksi


mekanik atau fungsional), kapan terpapar/terjadinya, dan lamanya obstruksi (obstruksi akut atau
kronik), bagian yang terjadi obstruksi (parsial atau komplit), dan tipe obstruksinya (simple, closed-
loop, atau strangulation obstruction).Yang termasuk pada keduanya termasuk dalam kategori
obstruksi komplit.4

OBSTRUKSI USUS MEKANIK

Saat ini untuk mendefinisikan obstruksi intestinal berdasarkan terganggunya aktifitas dari
lumen usus itu sendiri. Terbloknya mungkin bisa karena penyebab intrinsik ataupun ekstrinsik pada
dinding usus atau mungkin terjadi obstruksi sekunder pada lumen usus yang muncul dari dalam lumen
(contohnya : intraluminal gallstone). Obstruksi parsial terjadi ketika lumen intestinal menyempit
tetapi komponen makanan masih bisa transit kedalamnya. Sedangkan pada obstruksi komplit terjadi
obstruksi total/keseluruhan pada lumen usus, dan tidak bisa sedikitpun komponen makanan berpindah
ke distal. Obstruksi total bisa meningkatkan risiko terjadinya (vascular compromise). Komplit
obstruksi bisa dibagi berdasarkan kategori : simple obstruction, closed-loop obstruction, atau
strangulation obstruction. Simple Obstruksi menyiratkan obstruksi dengan tanpa terjadinya vascular
compromise; dengan simple obstruksi, mungkin akan menyebabkan dekompressi/penekanan pada
usus proximal. Closed-loop obstruction terjadi ketika akhir muara usus masuk kedalam segmen usus
lain sehingga menyebabkan obstruksi (contohnya : volvulus) dengan berakibat meningkatnya tekanan
intraluminal yang nantinya akan meningkatkan sekresi intestinal dan akumulasi cairan pada segmen
intestinal. Pada closed-loop obstruction menghasilkan peningkatan risiko terjadinya vascular
compromise dan terjadinya ischemia intestinal yang ireversibel. Strangulasi terjadi ketika suplai darah
ke segmen usus tersebut terhalang (compromised). Strangulasi dapat dikembalikan (dengan cara
keadaan usus dipertahankan dengan melepaskan obstruksi), atau bisa terjadi irreversibel ketika
obstruksi vaskular menyebabkan iskemia yang irreversibel pada usus yang nantinya bisa
mengakibatkan terjadinya nekrosis transmural meskipun ada atau tidaknya strangulasi.

Adapted, with permission, from Tito WA, Sarr MG. Intestinal obstruction. In: Zuidema GD (ed). Surgery of the
Alimentary Tract. Philadelphia, PA: WB Saunders; 1996:375–416
SMALL INTESTINE OBSTRUCTION

Epidemiologi

Obstruksi mekanik usus halus merupakan kelainan dari usus halus yang paling sering
dioperasi. Walaupun penyebab dari kondisi obstruksi itu luas, namun letak obstruksi bisa di
bagi berdasarkan anatomi dinding intestinalnya :

1. Intraluminal (e.g., foreign bodies, gallstones, or meconium)

2. Intramural (e.g., tumors, Crohn's disease–associated inflammatory strictures)

3. Extrinsic (e.g., adhesions, hernias, or carcinomatosis)

Adhesi Intra-abdomen yang menjadi penyebab operasi abdomen mencapai 75 % dari semua
kasus obstruksi usus halus. Lebih dari 300.000 pasien dioperasi setiap tahunnya di US karena adanya
obstruksi usu halus. Etiologi obstruksi usus halus yang lebih jarang terjadi diantaranya ; hernia,
keganasan, dan Crohn’s disease. Obstruksi usus halus yang berhubungna dengan kanker biasanya
disebabkan karena kompressi eksternal atau invasi pada keganasan lanjut yang muncul pada organ
diluar usus halus.

Penyebab yang tersering pada onbstruksi usus halus terdapat di tabel 28-3 :
Walaupun kelainan kongenital dapat menyebabkan obstruksi biasanya ditemukan pada masa
anak-anak. Etiologi yang paling jarang adalah sindrom arteri mesenterika superior yang ditandai
adanya kompresi dari 1/3 arteri mesenterika pada bagian duodenum. Kondisi ini harus di This
condition should be considered in young asthenic individuals who have chronic symptoms suggestive
of proximal small bowel obstruction.1

Etiologi

1. Adhesi merupakan penyebab tersering obstruksi intestinal pada orang dewasa di US.
Kebanyakan adhesi merupakan hasil dari pembedahan abdomen sebelumnya atau proses
peradangan, walaupun adhesi kongenital bisa menjadi penyebab.
2. Hernia inkaserata adalah penyebab kedua paling sering untuk terjadinya obstruksi
intestinal di negara industri. Dan merupakan penyebab paling sering di seluruh dunia.
3. Intususepsi terjadi ketika salah satu bagian dari usus (intussusceptum) masuk ke bagian
usus lain (intussuscipiens). Tumor, polip, pembesaran kelenjar getah bening mesenterika,
atau bahkan divertikulum meckel dapat menjadi titik acuan untuk terjadinya obstruksi
usus halus.
4. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan bawaan seperti malrotation usus.
Hal ini lebih sering terjadi di usus besar.
5. Iskemia, peradangan (Crohn’s disease), terapi radiasi, atau operasi sebelumnya dapat
menyebabkan striktur yang akan menjadi obstruksi.
6. Ileus batu empedu terjadi sebagai komplikasi dari kolesistitis.
7. Eksternal kompresi dari tumor, abses, hematoma, atau massa lainnya dapat yang
menyebabkan obstruksi usus halus fungsional.
8. Adanya benda asing biasanya masuk karena ketidak sengajaan. Adanya benda asing yang
menyebabkan obstruksi membutuhkan tindakan operasi.2

Diagnosis

Diagnosis dari SBO membutuhkan anamnesis yang baik , pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologi.

Anamnesis

Tanda dan gejala


1. Gejala obstruksi usus halus bagian proksimal awalnya biasanya muncul muntah.
Sedangkan obstruksi pada usus halus bagian distal munculnya lebih lambat, dan muntah
kental dan keruh.
2. Distensi abdomen biasanya muncul lebih sering pada obstruksi bagian distal.
3. Nyeri abdomen sulit dilokalisasi dan bisanya disertai keram dan sifatnya
intermitten/hilang timbul (kolik).
4. Obstipasi, tidak bisa buang gas dan hilangnya gerakan usus, biasanya muncul pada
obstruksi distal.
5. Dengan obstruksi persisten, keadaan hipovolemia bisa menyebabkan gangguan absorpsi,
peningkatan sekresi, dan muntah.

Pemeriksaan Fisik

1. Tanda Vital yang abnormal biasanya menandakan adanya hipovolemia (takikardi dan
hipotensi).
2. Pemeriksaan abdomen mungkin ditemukan distensi, adanya bekas operasi, dan hernia.
Pada palpasi biasanya ditemukan adanya massa. Pemeriksaan RT mungkin ditemukan
adanya tumor rektal atau feses yang keras.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Pada tahap awal dari obstruksi intestinal, nilai laboratorium mungkin normal.
Keadaan obstruksi terus berlangsung, nilai-nilai laboratorium dapat menunjukkan tanda
dehidrasi, paling sering menunjukkan kontraksi alkalosis dengan hypochloremia dan
hipokalemia. Peningkatan jumlah sel darah putih (WBC) mungkin menunjukkan adanya
strangulasi.

Evaluasi Radiologi

• Karakteristik small bowel obstruction pada foto abdomen tampak loop dari usus halus
membesar, air-fluids level, dan berkurangnya gas kolorektal. Temuan ini mungkin tidak
ada pada early, proximal, dan atau closed-loop obstruction. Gas dalam dinding usus
(pneumatosis intestinalis) atau vena portal kemungkinan obstruksi strangulasi. Udara
bebas intra-abdomen menunjukkan perforasi dari viskus berongga. Temuan udara pada
billiary dan batu empedu radiopak di kuadran kanan bawah adalah pathognomonic ileus
batu empedu. ileus paralitik muncul sebagai distensi gas merata di seluruh perut, usus
halus dan kolon.
• Computed tomography (CT) merupakan modalitas pencitraan yang sangat baik untuk
mendiagnosis gangguan usus halus. CT scan memiliki kemampuan untuk melokalisasi dan
mengarakterisasi obstruksi serta memberikan informasi tentang penyebab obstruksi dan
adanya patologi intra-abdominal lainnya. Bukti menunjukkan bahwa CT scan dapat
meningkatkan diagnosis praoperasi strangulasi dengan nilai prediktif negatif dan positif di
atas 90%.
Patogenesis

• Dengan terjadinya obstruksi, gas dan cairan menumpuk di dalam lumen intestinal
proksimal ke lokasi obstruksi. Peningkatan aktivitas intestinal terjadi dalam upaya untuk
mengatasi obstruksi tersebut, terjadi nyeri kolik dan diare pada beberapa kasus bahkan
indikasi adanya complete small bowel obstruction. Sebagian besar gas yang terakumulasi
berasal dari udara yang tertelan, meskipun beberapa diproduksi di dalam intestinal. Cairan
terdiri dari cairan ludah yang tertelan dan sekresi GI (obstruksi merangsang sekresi air
epitel usus). Akumulasi gas dan cairan yang sedang berlangsung menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal dan intramural dan terjadi distensi intestinal. Motilitas
usus akhirnya dikurangi dengan pengurangan kontraksi. Dengan adanya obstruksi, flora
lumen usus yang biasanya steril mengalami perubahan dan berbagai organisme jenis lain
berkembang biak. Jika tekanan intramural menjadi cukup tinggi, perfusi mikrovaskuler
intestinal terganggu menyebabkan iskemia usus dan nekrosis. Kondisi ini disebut
strangulated bowel obstruction.
• Partial small bowel obstruction hanya sebagian dari lumen usus yang tersumbat, yang
memungkinkan pasase untuk gas dan cairan. Progresivitas cenderung terjadi lebih lambat
dibandingkan dengan complete small bowel obstruction, dan kemungkinan terjadinya
strangulasi lebih kecil. Bentuk yang sangat berbahaya untuk obstruksi usus adalah closed
loop obstruction, di mana segmen usus terhambat baik proksimal dan distal (misalnya,
dengan volvulus). Dalam kasus tersebut, akumulasi gas dan cairan tidak dapat keluar baik
dari proksimal atau distal segmen obstruksi, keadaan ini akan sangat cepat menyebabkan
peningkatan tekanan luminal, dan secara progresif menyebabkan strangulasi usus.1
• Pada awal keadaan obstruksi, motilitas usus dan peningkatan aktivitas kontraktil adalah
upaya untuk mendorong isi lumen melewati titik obstruksi. Peningkatan peristaltik yang
terjadi di awal obstruksi baik di atas dan di bawah titik obstruksi sehingga penting untuk
menemukan klinis diare karena dapat menyertai sebagian atau bahkan complete small
bowel obstruction pada periode awal. Kemudian dalam perjalanan obstruksi, usus menjadi
lelah dan berdilatasi dengan kontraksi menjadi kurang sering dan kurang intens. Usus yang
dilatasi, air dan elektrolit menumpuk baik intraluminal ataupun di dinding usus itu sendiri.
Kehilangan cairan ke third-space menyebabkan terjadi dehidrasi dan hipovolemia. Efek
metabolik kehilangan cairan tergantung pada lokasi dan durasi obstruksi. Obstruksi
proksimal, dehidrasi dapat disertai oleh hypochloremia, hipokalemia, dan alkalosis
metabolik yang berhubungan dengan peningkatan frekuensi muntah. Obstruksi distal dari
usus halus dapat menyebabkan sejumlah besar cairan intestinal masuk ke dalam usus
halus, namun kelainan elektrolit serum biasanya kurang dramatis. Oliguria, azotemia, dan
hemokonsentrasi dapat terjadi bersamaan dengan dehidrasi. Hipotensi dan shock dapat
terjadi. Konsekuensi lainnya penyumbatan usus meliputi peningkatan tekanan intra-
abdomen, penurunan venous return, dan elevasi diafragma, ventilasi. Faktor-faktor ini
dapat lebih memperberat efek hipovolemia.
• Dengan meningkatnya tekanan intraluminal dalam usus, penurunan aliran darah mukosa
dapat terjadi. Perubahan ini sangat cepat terjadi pada pasien dengan closed loop
obstruction di mana tekanan intraluminal lebih besar, sehingga dapat terjadi oklusi arteri
dan iskemia jika dibiarkan tidak diobati, berpotensi menyebabkan perforasi usus dan
peritonitis.
• Dengan tidak adanya obstruksi usus, jejunum dan ileum proksimal hampir steril. Dengan
obstruksi perubahan flora usus halus berkembang secara cepat (jenis organisme paling
sering Escherichia coli, Streptococcus faecalis, dan spesies Klebsiella) dan kuantitas
organisme mencapai konsentrasi 109 untuk 1010/mL. Studi telah menunjukkan bahwa
peningkatan jumlah bakteri menyebabkan translokasi ke kelenjar getah bening
mesenterika dan bahkan organ sistemik.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan small bowel obstruction telah berkembang selama dekade terakhir dan sekarang
meliputi pencegahan primer pada initial laparotomi.
• Antiadhesion barriers mungkin bermanfaat dalam mengurangi keparahan adhesi setelah
operasi. Produk-produk ini diaplikasikan pada permukaan usus pada akhir operasi dan
berperan sebagai penghalang untuk pembentukan adhesi antara loop usus yang berdekatan
dan antara usus dan peritoneum parietal.
• Obstruksi nonstrangulasi dapat diobati jika pasien secara klinis stabil. Landasan mengobati
semua obstruksi usus adalah resusitasi cairan yang cukup untuk mencapai output urine
minimal 0,5 mL / jam / kg. resusitasi ini harus memenuhi maintenance cairan elektrolit
dan kebutuhan untuk nothing-by-mouth (NPO) pasien serta mengganti kehilangan
sebelum dan berlanjut dari nasogastrik (NG) dekompresi. Penting untuk mendukung
perawatan pasien dengan obstruksi usus yaitu nasogastric suction yang dapat mengurangi
bahaya aspirasi paru dari muntahan dan meminimalkan distensi usus.
• Obstruksi strangulasi dan peritonitis memerlukan intervensi operasi segera. Kematian
terkait dengan gangren usus bisa mendekati 30% jika operasi tertunda di luar 36 jam.
• Fluid replacement harus dimulai dengan larutan isotonik. Nilai elektrolit serum, urin
output per jam, dan tekanan vena sentral dapat dimonitor untuk menilai kecukupan
resusitasi. Pasien dengan obstruksi usus biasanya dehidrasi dan kehilangan natrium,
klorida, dan kalium, membutuhkan agresif intravena, penggantian dengan larutan garam
isotonik seperti Ringer laktat.
• Intervensi operative umumnya dilakukan melalui insisi garis tengah, tetapi irisan inguinal
standar dapat digunakan dalam kasus hernia inguinalis atau hernia femoralis inkaserata.
Selama eksplorasi, semua perlekatan yang segaris dan sumber obstruksi diidentifikasi.
Setiap gangren usus direseksi.2

Prognosis

Mortalitas postoperatif dari obstruksi non-starangulata sangat rendah. Obstruksi yang


dikarenakan strangulasi usus mortalitasnya mencapai 8 % jika operasi dilakukan dlama waktu
36 jam setelah timbul gejala. Mortalitasnya mencapai 30 % bila > 36 jam.

ADHESIVE BAND

Adhesi intraperitoneal adalah perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di


antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara peritoneum vicerale, maupun
antara peritoneum vicerale dengan parietale. Adanya adhesi tersebut dapat menyebabkan
perlengketan diantara organ-organ intraperitoneal, misalnya antara lengkung-lengkung usus
yang berdekatan ataupun antara lengkung usus dengan dinding peritoneum parietale
Walaupun etiologi adhesi intraperitoneal bermacam-macam, adhesi intraperitoneal
yang terjadi setelah suatu pembedahan merupakan masalah yang paling sering dijumpai dan
menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang tidak sedikit sehingga menyebabkan beban
pelayanan bedah yang besar dalam segi waktu maupun biaya.

A. EPIDEMIOLOGI
Adhesi intraperitoneal merupakan penyebab utama obstruksi usus, terutama di
negara-negara berkembang dan maju. Mc Iver dan Ellis menemukan 80% insidensi
adhesi intraperitoneal disebabkan karena pembedahan. weibel dan majno
mengemukakan bahwa 752 dari otopsi yang dilakukan, ditemukan adhesi pada 51%
kasus laparotomi minor, 72% pada anak kasus laparotomi mayor dan 93% pada
laparotomi multipel. Kasus yang terbanyak adalah appendiktomi dan operasi
ginekologik.

B. ETIOLOGI ADHESI
Adhesi peritoneal dapat terjadi akibat adanya trauma pada peritoneum. Pada
operasi trauma pada peritoneum dan stimulasi respon inflamasi yang dapat
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut
1. Trauma operasi
Merupakan hal terpenting di dalam proses pembentukan adhesi yang permanen.
Adanya trauma akan merangsang pembentukan eksudat inflamasi yang akhirnya
akan berlanjut pada pembentukan adhesi temporer dan permanen. Selain akibat
instrumen bedah, pada saat operasi trauma permukaan peritoneum dapat terjadi
pula akibat abrasi, kekeringan, iritasi kimiawi dan perubahan tempratur misalnya
pada penggunaan kauter
2. Iskemia jaringan
Iskemia dan jaringan nekrotik pada peritoneum adalah stimulus yang sangat poten
bagi pembentukan adhesi. Adanya iskemia akan merangsang pembentukan
neovaskularisasi, termasuk adhesi di dalamnya keadaan ini bisa terjadi pada
penjahitan atau ligasi peritoneum, serta devaskularisasi sepanjang anastomosis
usus.
3. Infeksi, reaksi alergi, dan darah
Merupakan juga stimulus inflamasi yang poten sehingga akan terbentuk adhesi
permanen yang lebih banyak jika proses-proses tersebut terus berlangsung setelah
pembedahan. Pada pembedahan, infeksi dapat terjadi karena penyakit yang
menjadi indikasi pembedahanya sendiri, maupun sebagai akibat komplikasi
operasi. Reaksi alergi tersering disebabkan oleh benda asing yang dipergunakan
saat operasi seperti talk pada sarung tangan, kasa laparatomi atau benang yang
digunakan. Darah yang tersisa dan tidak dibersihkan setelah suatu laparotomi akan
menimbulkan stimulasi pembentukan adhesi.
4. Benda asing iritatif: peranan benda asing pada adhesi intraperitoneal telah
banyak dikemukakan peneliti sebagai berikut:
 Myllareniermi (1967) menemukan 61% dari 309 adhesi pasca bedah
sebagai akibat reaksi benda asing, jenis benda asing yang sering diemukan
adalah 50% talk, 25% benang kain laparotomi dan sisanya adalah butir
tepung yang diserap, isi usus, benang jahit, dan lain-lain. Talk = talc yang
banyak digunakan pada sarung tangan adalah hydrous magnesium silicate
yang bersifat tidak larut dalam air, asam dan alkali.
 Reaksi benda asing yang berupa adhesi, granuloma, dan akhirnya
gangguan penyembuhan peritoneum
 Kain laparotomi yang sering dicuci dan dipergunakan berulang juga
bahaya karena serat dan bulu mudah terlepas. Disamping itu detergen
pencuci tersisa pada kain akan tercampur benda asing lain sewaktu dicuci.

Proses pembedahan menyebabkan trauma pada peritoneum, dan kemudian akan


menimbulkan pelepasan berbagai sitokin sehingga akan berakibat pada reaksi inflamasi pada
peritoneum. Tahap berikutnya, setelah proses inflamasi berlalu dan bersamaan dengan
berjalanya proses penyembuhan peritoneum, maka akhirnya akan terbentuk adhesi fibrinous
dan akhirnya menjadi adhesi permanen.

Proses penyembuhan luka pada peritoneum berbeda dengan penyembuhan kulit


dimana pada peritoneum, seluruh permukaan yang mengalami trauma akan mengalami
reepitelisasi secara simultan. Hal ini berbeda dengan kulit dimana reepitelisasi dimulai dari
tepi luka. Dengan demikian defek peritoneum yang luas akibat trauma akan sembuh
sempurna asal tidak mengalami iskemi ataupun ransangan dari benda asing.
Akibat penyembuhan seperti hal tersebut diatas luka kecil maupun besar pada
peritoneum akan mengalami reepitelisasi dengan waktu yang sama cepatnya. Sel- sel
mesothelium yang berperan dalam penyembuhan luka dan pembentukan adhesi berasal baik
dari tepi luka, maupun secara simultan dari tengah luka yang berasal dari lompatan dan
proliferasi sel-sel mesothelium dan fibroblast subperitoneal.

Menurut ellis dan hubbard, lamanya proses penyembuhan luka adalah 5-6 hari untuk
peritoneum parietale dan 5-8 hari untuk peritoneum vicerale. Sel-sel PMN akan meningkat
dalam 12 jam pertama pasca operasi dan berada pada fibrin-fibrin eksudat. Makrofag elemen
penting dalam penyembuhan peritoneum muncul pada hari 1 sampai 2 pasca bedah dan
berperan pada regulasi fungsi fibroblast dan sel mesothel. Pada hari ke 2, makrofag akan
membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Setelah hari ke 6 dan ke 7
pasca bedah seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan tertutup oleh satu
lapis sel-sel mesotel.

Segera setelah trauma pada peritoneum, sel-sel PMN akan terdapat dalam jumlah
yang banyak pada daerah pembedahan dan terbentuk pula matriks fibrin. Jika tidak terdapat
infeksi, jumlah sel-sel tersebut akan meningkat sehingga setiap usaha prevensi adhesi pada
keadaan tersebut tidak akan berguna.

C. PATOGENESIS ADHESI

Adhesi dimulai oleh adanya stimulasi pada peritoneum yang menyebabkan timbulnya
respon inflamasi pada peritoneum. Proses ini sebetulnya merupakan bagian awal dari
dinamika proses penyembuhan pada peritoneum. Proses penyembuhan peritoneum berbeda
jika dibandingkan dengan proses penyembuhan kulit. Epitelisasi tidak hanya terjadi dari tepi
luka namun terjadi dari semua arah, termasuk bagian tengah luka.
Tahap awal respon yang terjadi adalah pelepasan berbagai sitokin dan mediator awal
inflamasi oleh sel-sel mesothelium peritoneum maupun endotil pembuluh darah yang terluka.
Sitokin yang diproduksi adalah sitokin sitokinin pro inflamasi yaitu interleukin-1, TNF-a, dan
interleukin-6

Peranan sitokin pro inflamasi terlihat dengan tingginya konsentrasi mediator mediator
tersebut mulai dari jam-jam pertama sampai dengan 24 jam pasca operasi. Akibat produksi
sitokin-sitokin tersebut, maka selanjutnya akan menstimulasi proses aktifitas kaskade sistem
koagulasi darah dan menekan aktifitas plasminiogen aktivator. Bersamaan dengan produksi
mediator mediator tersebut, dirangsang pula aktivasi sistem kinin komplemen, jalur asam
arakhidonat (termasuk prostaglandin), pembentukan thrombin, dan konversi fibrinogen
menjadi fibrin.
Sistem kinin dan prostaglandin akan menstimulasi vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas kapiler, fagositosis bakteri dan benda asing lainya oleh sel-sel PMN dalam 24-
48 jam, dan merangsang migrasi makrofag dan monosit melalui kemo-atraktan sehingga
proses debridement dan inflamasi menjadi sempurna. Jalur asam arakhidonat berhubungan
erat dengan sintesis prostaglandin dan prosenya lihat pada gambar dibawah.fosfolipid pada
membran sel mesotel dengan bantuan phospolipase akan menghasilkan asam arakhidonat
yang kemudian akan menghasilkan leukotriene dan prostaglandin dengan bantuan enzim
cyclooxygenase. Prostaglandin yang dihasilkan dapat berupa prostacylin, prostaglandin E-2,
D2, F2a, dan thromboxane A2 prostacylin, prostaglandin E-2, D2, F2a, memiliki efek
vasodilatasi, edema dan menghambat agregasi trombosit. Sedangkan thromboxane A2 akan
menimbulkan vasokonstriksi dan agregasi thrombosit.
Phospolipids (cell membrane)
phospolipase

Arachidonic acid
cylooxygenase
(COX-1, COX-2)

Leukotriene Prostaglandin G 2

PGI2 PGE2 PGD2 PGF2a Thromboxane A2

(prostacytin)

(6-keto PGF1a)

Vasokonstriksi,

Platelet agregation

Vasodilation, edema,
Inhibited platelet agregation

Lebih lanjut, sitokin-sitokin pro inflamasi akan menurunkan aktifitas plasminogen


peritoneal-aktivator dan meningkatkan aktivitas inhibitornya yaitu (PAI- 1,2,3, Protease,
Nexin) hasil dari aktifitas ini melalui sistem kaskade koagulasi akan menghasilkan fibrin
pada rongga peritoneal. Adanya fibrin tersebut akan merangsang pembentukan adhesi melalui
peningkatan aktifitas fibroblast yang distimulasi oleh growth factor yaitu PDGF (platelet-
derived Growth Factor) dan TGF-B (transforming Growth Factor-B). Fibroblast dan juga sel
sel mesotel akan mendesposisi serabut kolagen sehingga terbentuk fubrinous adhesion. Oleh
karena itu proses ini sebetulnya merupakan fase awal dari proses bioseluler penyembuhan
pada peritoneum. Teori klasik secara bioseluler proses tersebut dilukiskan pada gambar di
bawah ini
Trauma
Insult infection Exudate (fibrin rich)
Ischemia

fibrin deposition

fibrinous adhesion

peritoneal defect
organisation

fibrous adhesion

D. PATOGENESIS ADHESI FIBROSA PERMANEN

LUKA SEROSA  Eksudasi fibrin


dengan segera &
formasi jaringan
fibrin >10 menit
 formasi adhesi >3
EKSUDASI PLASMA jam
KOAGULASI FIBRINOGEN
 Eksudat max 24 jam

ADHESI PERMANEN

Sesudah 3 hari
MIGRASI SEL FIBROBLAST
Terlihat hari ke 6
ANGIOGENESIS

1. SINTESIS KOLAGEN >3 hari


2. ORGANISASI >10 hari
JAINGAN IKAT

ADHESI PERMANEN
Proses terbentuknya adhesi permanen tergantung dari kepada keseimbangan antara
proses pro dan anti inflamasi serta aktifitas fibrinolitik. Jika faktor-faktor yang merangsang
timbulnya inflamasi terus berlanjut pada saat pasca bedah maka proses yang berjalan adalah
proses pembentukan adhesi yang permanen, dan aktifitas plasminogen yang penting di dalam
lisis adhesi temporer dihambat seperti terlihat pada gambar di bawah ini

Inflamasi dan trauma peritoneum

Eksudat kaya fibrin

Fibrinous adhesion

Sistem fibrinolisis aktif iskemia persisten


Depresi sistem fibrinolisis

Resolusi fibrin
Pertumbuhan vaskuler
proliferasi fibroblast

adhesi permanen (-) Adhesi permanen (+)

sedangkan proses histiogenesis adhesi secara keseluruhan sebenarnya merupakan


hasil dari tahapan atau fase-fase penyembuhan peritoneum setelah itegrasi jaringan
peritoneum dapat dipulihkan. Fase-fase tersebut adalah sebagai berikut
1. Fase Inflamasi
Dimulai pada hari pertama sampai dengan hari keempat. Pada tahap ini terjadi
pengaktifan kaskade koagulasi, sistim kinin, komplemen, jalur asam arakhidonat
dan prostaglandin, pembentukan thrombin, serta perubahan fibrinogen menjadi
fibrin
2. Fase proliferasi
Fase ini menghasilkan jaringan granulasi pada hari ke 3, fibroblast mengalami
migrasi, dan dibawah pengaruh growth factor akan mempercepat deposisi kolagen
dan ikatan antara serabut-serabut kolagen. Proses epitelisasi pun berjalan di bawah
pengendalian growth factor dan inhibisi kontak antar sel.
3. Fase maturasi
Fase ini terjadi mulai hari ke-8 sampai dengan ke 10 setelah cedera. Proses ini akan
berakhir pada beberapa bulan setelah cidera dan sangat bergantung pada jenis
jaringanya. Serabut kolagen mengalami redistribusi dan pengaturan ulang, kemudian
terbentuk jaringan adhesi permanen yang matur.
Pada penyembuhan peritoneum terdapat hal khusus yang membedakanya dengan
proses penyembuhan pada kulit, yaitu apabila ada proses inflamasi dan trauma fase awal telah
teratasi atau dapat dihilangkan, maka fibrin yang terbentuk akan diuraikan kembali oleh
proses fibrinolisis. Pengaturan keseimbangan pada proses tersebut dilakukan oleh peranan
sitokin. Setelah sitokin pro inflamasi bekerja dan etilogi penyebab inflamasi dapat diatasi,
maka sitokin-sitokin tersebut akan menurun konsentrasinya di dalam peritoneum karena tidak
di produksi kembali oleh sel-sel yang terlibat di dalam inflamasi . selanjutnya yang
beperanan adalah sitokin-sitokin tersebut adalah interleukin -4, dan interleukin -10. Akibat
peningkatan konsentrasi dan aktifitas sitokin-sitokin tersebut, maka aktifitas plasminogen
activator akan meningkat, sedangkan plasminogen activator inhibitornya akan dihambat
aktifitasnya. Hasil akhir proses tersebut adalah proses fibrinolisis, sehingga fibrinous
adhesion diuraikan kembali dan tidak terbentuk adhesi permanen.

E. GEJALA KLINIS

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain :

1. Nyeri abdomen

Nyeri abdomen biasanya yang bersifat cramping. Sifat cramping ini


disebabkan periode hiperpelistaltik usus. Dalam usahanya untuk menghilangkan
sumbatan. Sifatnya difus dan tak terlokalisir

2. Mual dan muntah

Mual dan muntah biasanya muncul pada fase-fase awal obstruksi waktu
muncul muntah bervarisi, tergantung pada letak obstruksi.pada obstruksi atas muntah
basanya muncul lebih awal. Bahkan pada obstruksi kolon bila valvula iliosecal
kompeten muntah bisa muncul terlambat. Isi muntah dapat bilous pada letak tinggi
dan feses pada obstruksi letak rendah.
3. Perut distensi

Distensi abdomen adalah penemuan klinis terakhir pada ileus obstruksi. Dapat
pula tidak terdapat terdapat tanda disertai ini. Yaitu pada obstruksi usus level atas jika
terjadi muntah dan mengkompresi sistem usus bagian proksimal sumbatan.

4. Tidak bisa buang air besar (obstipasi)

Obstipasi adalah merupakan karakteristik obstruksi. Akan tetapi pasien dapat


secara spontan flatus maupun defekasi segera setelah obstruksi karena masih adanya
feses dan gas segmen usus sebelah distal obstruksi.

Mual dan muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi
obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi
abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi
sangat dilatasi.Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut
sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa
mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada
kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada
usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan
distensi abdomen. Muntah jarang terjadi.

Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah.
Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika
obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan
ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada tahap awal, tanda
vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi
dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh
biasanya normal tetapi kadang – kadang dapat meningkat.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan


gejala dehidrasi yang berat. Demam menunjukkan adanya obstruksi strangulate. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour
(gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi
terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum)
menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound.
Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah
dan hilang. Pada ileus paralitik, keadaan umum pasien tampak lemah hingga
dehidrasi, tidak dapat flatus maupun defekasi. Dapat disertai muntah dan perut terasa
kembung. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan meteorismus, suara usus (-),
peristaltik menghilang. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-),
kecuali jika ada peritonitis. Perkusi timpani diseluruh lapang abdomen.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis ileus obstruktif ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Gambaran klinik obstruksi ileus sangat
mudah dikenal, tidak tergantung kepada penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan
strangulasi, nyeri biasanya lebih hebat dan menetap. Ileus obstruksi ditandai dengan
gejala klinis berupa nyeri abdomen yang bersifat kolik, muntah-muntah dan obstipasi,
distensi intestinalis, dan tidak adanya flatus. Rasa nyeri perut dirasakan seperti
menusuk-nusuk atau rasa mulas yang hebat, umumnya nyeri tidak menjalar. Pada saat
datang serangan, biasanya disertai perasaan perut yang melilit dan terdengar semacam
“suara” dari dalam perut. Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat proyektil dengan
cairan muntah yang berwarna kehijauan.

Pada obstruksi rendah, muntah biasanya timbul sesudah distensi usus yang
jelas (antibiotika). Pada umumnya persiapan penderita dapat sekali. Muntah tidak
proyektil dan berbau feculent, warna cairan muntah kecoklatan. Pada penderita yang
kurus /sedang dapat ditemukan dan contour atau darm steifung; biasanya nampak jelas
pada saat penderita mendapat serangan kolik. Pada saat itu, dalam pemeriksaan bising
usus dapat didengarkan bising usus yang kasar dan meninggi (borgorygmi dan metalic
sound). Untuk mengetahui ada tidaknya strangulasi usus, beberapa gambaran klinik
dapat membantu :

1. Rasa nyeri abdomen yang hebat, bersifat menetap, makin lama makin
hebat.
2. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan acites.
3. Terdapat abdominal tenderness.
4. Adanya tanda-tanda yang bersifat umum, demam, dehidrasi berat,
tachycardihipotensi atau syok.
5. Pada penmeriksaan fisik ditemukan pada ileus obstruktif yaitu:

 Inspeksi : Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung.


Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan
suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa
abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada
bekas luka operasi sebelumnya.
 Auskultasi : Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi,
borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah
sampai hilang.
 Perkusi : timpani, redup hepar menghilang.
 Palpasi : Terkadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi,
hernia.

G. TATALAKSANA

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan


cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi
peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki
kelangsungan dan fungsi usus kembali normal. Skema penatalaksaan ileus obstruksi.
 Resusitasi

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda


vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi
dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti
ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda – tanda
vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga
pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung,
mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.

 Farmakologis

Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai


profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

 Operatif

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk


mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.

H. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul antara lain nekrosis usus,perforasi usus, sepsis,
syok, dehidrasi, malnutrisi, abses, pneumoni aspirasi dari proses muntah dan
meninggal.

I. PROGNOSIS

Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi


dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika
terjadi strangulasi atau komplikasi lainya akan meningkatkan mortalitas sampai
sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan
dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F. Charles, et al. Small Intestine and Colon, Rectum, Anus in Schwartz’s Manual
of Surgery 10th Edition. Mc Graw Hill: United State of America. 2015. Page 1137-51.

Towsend, M. Jr, et al. Anatomy of the Colon, Rectum, and Pelvic Floor, Large Bowel
Obstruction and Pseudo-obstructin in Section Abdomen in Sabiston textbook of Surgery 8 th
edition. Elsivier. United State of America. 2008.

Zimer, Michael J. and Stanley W. Ashley. Bowel Obstruction in Small Intestine and Colon in
Maingot’s Abdominal Operation, 11th Edition. Mc Graw Hill : Access Surgery.

Anda mungkin juga menyukai