Beberapa obat yang saling berinteraksi dengan cara yang unik, tetapi banyak contoh
dalam publikasi ini yang cukup menggambarkan, ada mekanisme interaksi tertentu yang ditemui
dari waktu ke waktu. Beberapa mekanisme umum ini akan dibahas di sini dengan lebih rinci
dalam monograf individu, dan dibuat dengan referensi singkat.
Mekanisme yang tidak biasa atau aneh untuk pasangan obat tertentu lebih rinci dalam
monograf ini. Sangat banyak obat yang dapat berinteraksi, tidak hanya dengan mekanisme
tunggal, tetapi sering dengan dua atau lebih mekanisme bertindak dalam reaksi, meskipun untuk
kejelasan sebagian besar mekanisme yang dibahas di sini terjadi pada isolasi. Untuk lebih
jelasnya, mekanisme interaksi dapat dibagi dua yaitu yang melibatkan interaksi farmakokinetik
obat, dan farmakodinamik.
Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa obat dari satu
lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses absorpsi, senyawa obat akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Molekul obat dibawa oleh darah ke satu
target (reseptor) untuk aksi obat dan ke jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek
samping yang merugikan. Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan. Cairan
tubuh dapat dibagi menjadi:
1. Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan), cairan
interstisial (16%) dan limfe (1-2%).
2. Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah cairan dalam seluruh
sel-sel tubuh.
3. Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokuler, peritoneal, pleura,
sinovial dan sekresi alat cerna.
Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan kapiler halus ke
ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial plus cairan plasma disebut cairan
ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya dari cairan interstinal, molekul obat berdifusi
melintasi membran sel ke dalam sitoplasma (Shargel et al., 2012).
Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak sebagai sawar
lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan
terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus
membran sel sehingga distribusinya terbatas, terutama di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut
dalam lemak tersebut bersifat polar sehingga akan terikat pada protein plasma (albumin) dan
membentuk kompleks obat-protein yang terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran sel
(Katzung, 2011).
Perfusi darah melalui jaringan dan organ bervariasi sangat luas. Perfusi yang tinggi
adalah yang terjadi pada daerah paru-paru, hati, ginjal, jantung, otak dan daerah yang perfusinya
rendah adalah lemak dan tulang. Sedangkan perfusi pada otot dan kulit merupakan perfusi
sedang. Perubahan dalam aliran kecepatan darah pada penderita sakit jantung akan mengubah
perfusi organ seperti hati, ginjal dan berpengaruh terhadap kecepatan eliminasi obat (Shargel et
al., 2012).
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang
dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Ikatan protein pada obat akan mempengaruhi
intensitas kerja, lama kerja, dan eliminasi obat. Bahan obat yang terikat pada protein plasma
tidak dapat berdifusi dan pada umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi.
Sebenarnya hanya zat aktif yang tidak terikat dengan protein plasma yang dapat berdifusi dan
memberikan efek farmakologis, sedangkan kompleks zat aktif dengan protein tidak dapat
melintasi membran, namun kompleks ini hanya bersifat sementara. Apabila molekul zat aktif
yang bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan maka, kompleks ini akan melepaskan bentuk zat
bebasnya (Shargel et al., 2012).
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein,
kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada
malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. Walaupun ikatan antara zat aktif dan protein
plasma tidak terlalu kuat, namun tidak disangsikan lagi bahwa fenomena tersebut berperan pada
distribusi zat aktif dalam jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan interstitial
ekstraselular dapat lebih rendah dari konsentrasi dalam plasma (Kee,1996).
Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/L). Albumin tersebut
memungkinkan terjadinya ikatan pada sebagian besar senyawa obat,terutama dalam bentuk anion
(asam asetil salisilat, sulfonamide, dan antivitamin K ). Bentuk kation juga mempunyai afinitas
yang tidak dapat diabaikan. Peran globulin tidak terlalu nyata dan hanya berpengaruh pada
senyawa tertentu seperti steroida dan tiroksin. Protein lain yang dapat berinteraksi dengan obat
yaitu α1-Asam glikoprotein (orosomukoid),yaitu suatu globulin (BM > 44.000 Da). Protein ini
memiliki konsentrasi plasa yang rendah (0.4 -1 %),dan mengiakt obat-obat basa kationik seperti
propanolol, imipramin, dan lidokain. Globilin (α-, β-, δ- globulin) bertanggungjawab untuk
transport dalam plasma dari bahan-bahan endogen seperti kortikosteroid, globulin ini
mempunyai kapasitas yang rendah tapi afinitas tinggi terhadap bahan endogen tersebut. Eritrosit
juga dapat berikatan dengan obat (Terdiri dari kurang lebih 45% volume darah). Protein ini dapat
berikatan baik dengan senyawa endogen dan eksogen, seperti Fenitroin, Fenobarbital, dan
Amobarbital (Kee, 1996; Shargel et al., 2012).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma dengan molekul obat
adalah:
Contohnya Asam salisilat (suatu asam lemah dengan pKa = 3,0) terionisasi lebih dari
99% pada plasma (pH = 7,4) dan oleh karena itu, Asam salisilat masuk ke cairan serebro-
spinalis secara lambat sekali. Kebanyakan membran diperkirakan berpori-pori yang dapat
dilalui oleh molekul polar yang kecil saja dan tidak dapat dilalui oleh molekul besar.
Sebaliknya, otot memiliki pori-pori yang relatif besar. Contohnya Gentamisin akan
diabsorpsi dengan baik bila disuntikkan secara intramuskular tetapi tidak akan diabsorpsi
bila diberikan per oral (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, 2008).
c. Protein
Fraksi obat terikat dapat berubah dengan adanya perubahan konsentrasi protein
plasma pasien. Apabila pasien memiliki konsentrasi protein plasma yang rendah maka
untuk setiap pemberian dosis obat, konsentrasi obat bioaktif bebas kemungkinan lebih
tinggi dari yang diharapkan (Kee, 1996; Shargel et al., 2012).