Anda di halaman 1dari 5

STUNTING

A. Gambaran Masalah
a. Defenisi

Stunting adalah masalah gizi kurang menahun (kronis) pada anak sehingga
mengganggu pertumbuhan fisik dan otaknya. Balita pendek (stunting) merupakan
keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD
dibawah median panjang atau tinggi badan. Stunting dapat didiagnosis melalui indeks
antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka
panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai. Stunting merupakan pertumbuhan linear
yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk
dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000). Stunting adalah masalah gizi utama yang
akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti
jelas bahwa individu yang stunting memiliki tingkat kematian lebih tinggi dari
berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan penyakit. Stunting akan mempengaruhi
kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan intelektual akan terganggu (Mann dan
Truswell, 2002). Hal ini juga didukung oleh Jackson dan Calder (2004) yang
menyatakan bahwa stunting berhubungan dengan gangguan fungsi kekebalan dan
meningkatkan risiko kematian.

b. Besaran masalah

Data WHO tahun 2014 mencatat seperempat atau 24,% anak balita di dunia
mengalami stunting. Stunting berakibat merusak kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang anak, termasuk peningkatan kerentanan untuk infeksi dan gangguan
perkembangan otak . Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting,
data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan
Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami
stunting tinggi (UNICEF, 2007). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2013, terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah
presentase tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Artinya 3-4 dari 10
balita mengalami stunting, prevalensi stunting ini mengalami peningkatan
dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar 35,6%. Data PSG tahun 2016
menunjukkan prevalensi balita stunting sebesar 27,5 % atau 1 dari 3 balita mengalami
stunting. Angka ini terbilang cukup tinggi karena sepertiga anak balita indonesia
mengalami stunting yang mengakibatkan anak balita gagal tumbuh optimal, ditandai
dengan postur tubuh pendek, kemampuan motorik terlambat, mudah terkena infeksi,
kemampuan belajar dan sosialisasi rendah, prestasi sekolah rendah, saat dewasa
prestasi kerja rendah dan mudah terkena penyakit kronis.

B. Dampak Masalah

Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat perkembangan


anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya
seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan
produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Stunting dapat mengakibatkan
penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat
melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat
penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi
kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya
pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan
prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari
aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari
yang tubuhnya pendek.

Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya
angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta
fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie, 2001). Gagal tumbuh
yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada
kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki.
C. Penyebab Masalah

Pemerintah indonesia saat ini menghadapi permasalahan gizi yakni tingginya


prevalensi anak balita pendek (stunting). Ada dua faktor penyebab stunting yaitu
penyebab langsung berupa konsumsi dan penyakit infeksi serta penyebab tidak
langsung meliputi pendapatan keluarga, sosial budaya, kebijakan ekonomi, ketahanan
pangan, lingkungan hidup dan laini-lain. Namun faktor yang paling dominan dari
semuanya adalah asupan gizi karena janin membutuhkan asupan zat gizi yang cukup
kualitas atau kandungan zat gizinya maupun kuantitasnya untuk mendukung proses
tumbuh kembang janin. Asupan gizi sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu selama
kehamilan dan dalam pengasuhan.
Perilaku konsumsi : porsi kurang, kurang protein hewani, sayur dan buah dan
gizi mikro (Riskesdas 2013). Perilaku konsumsi calon ibu hamil dan ibu hamil sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, budaya dan norma keluarga, yang dalam jangka
panjang membentuk kebiasaan atau pola makan keluarga. Kondisi kurang gizi pada
calon ibu dalah faktor utama penyebab dimulainya stunting dalam kandungan (Barker
DJP dan Clark PM 1997, Robert E Black dkk 2008) jika calon ibu tidak mengubah
pola makannya pada saat hamil.
Kecukupan gizi anak balita sangat ditentukan oleh pengetahuan praktis tentang
gizi yang dimiliki ibu, dan anggota keluarga lainnya yang turut mengasuh (misalnya
nenek dan bibi). Pengasuhan tidak sepenuhnya dilakukan oleh ibu karena ibu bekerja
itu sudah hal yang biasa pada masyarakat indonesia. Pengasuhan yang dilakukan oleh
pengasuh biasanya kurang baik dalam hal konsumsi makan, misalnya sikap susah
makan pada anak balita sering direspon dengan pola “yang penting ada yang masuk ke
perut” tanpa mempermasalahkan kebutuhan gizi anak. (RISKESDAS 2013)
Asupan gizi yang cukup dan seimbang dibutuhkan untuk mempertahankan
kesehatan dan proses tumbuh kembang yang berlangsung dengan pesat pada ibu
hamil dan anak balita, salah satunya protein. Proetein hewani dibutuhkan sebagai
sumber zat besi yang berlimpah dan lebih mudah diserap tubuh. Richard D Semba
(2016) menunjukkan anak stunting ternyata mengalami kekurangan 9 jenis asam
amino esensial, asam amino bersyarat/kondisonal dan asam amino esensial. Penelitian
konsumsi energi protein pada anak balita menunjukkan konsumsi protein hewani anak
balita stunting lebih sedikit dibandingkan dengan anak normal. Keluarga suku sasak
mempunyai perilaku makan yang sangat jarang memberikan protein kepada balitanya,
meski mereka mampu (penghasilan cukup), kebiasaan ini menjadi faktor predisposisi
munculnya stunting pada anak-anak suku Sasak di lokasi penelitian (Luna Nurbaidi
2014)
Budaya dan kearifan lokal juga memiliki kontribusi terhadap kejadian stunting.
Penelitian di Rawa Bogo , Bekasi menunjukkan hampir semua anak balita gizi kurang
yang menjadi kasus penelitian menyukai makan mie instan dan berbagai jajanan yang
mengandung berbagai pemanis buatan, bahkan ada anak balita yang hampir tiap hari
minum kopi dan ikan teri yang jug menjadi kesukaan orang dewasa yang
mengasuhnya. Adat pantang makanan bagi ibu hamil dan ibu nifas dengan maksud
melindungi ibu dan bayinya, misalnya ibu hamil dilarang makan ikan atau balita
dilarang makan telur sedangkan ikan dan telur merupakan sumber protein yang
dibutuhkan ibu hamil dan balita dalam proses pertumbuhan dan perkembangan.

D. Pencegahan / Panggulangan Stunting


Untuk mencegah stunting dikenal dengan dua kategori intervensi, yaitu spesifik
dan sensitif. Intervensi spesifik berkenaan dengan intervensi kesehatan, intervensi
sensitif berkenaan dengan intervensi non kesehatan, peningkatan ekonomi
keluarga, akses dan pemanfaatan air bersih, sanitasi.
1. Merubah Perilaku Konsumsi : porsi yang cukup sesuai AKG, kecukupan
protein hewani, sayur dan buah, dan gizi mikro
2. Merubah perilaku pengasuhan kesehatan dan tumbuh kembang dari dalam
kandungan hingga usia balita
3. Perilaku higienis pribadi : cuci tangan pakai sabun
4. Budaya dan kearifan lokal
5. Peningkatan ekonomi keluarga
6. Pelayanan tenaga kesehatan : Bidan
7. Stratesi komunikasi : perubahan perilaku untuk pencegahan stunting
Pencegahan stunting yang diharapkan harus penguatan lingkungan (enabling
factor) meliputi pemahaman dan penyadaran individu, keluarga dan
masyarakat yang mempengaruhi pola asuh, pola konsumsi dan higienis pribadi
dan lingkungan dengan kelompok sasaran utama (kunci) calon ibu/remajaputri,
ibu hamil, ibu dengan anak baduta dan balita. Kelompok sasaran pendukung :
suami, keluarga, remaja putra, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru,
komunitas peduli kesehatan dan lingkungan, masyarakat desa dimana
kelompok kunci berada. Kelompok tenga kesehatan : bidan

Anda mungkin juga menyukai