Anda di halaman 1dari 17

BAB I

KONSEP TEORI

A. Anatomi Fisiologi Tulang

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-
tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk meyimpan dan mengatur kalsium dan pospat.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan
jaringan organik (kolagen, proteoglikan). Kalsium dan phospat membenuk suatu
kristal garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan.
Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70 % dari osteoid
adalah kolagen tipe 1 yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang.
Materi organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam
hialuronat.
Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian
memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau
ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen danmineral dalam
jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau lameral. Tulang yang
berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan
janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh
tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lameral. Pada orang dewasa tulang
anyaman ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarkoma osteogenik
terdiri dari tulang anyaman . tulang lameral terdapat seluruh tubuh orang
dewasa.tulang lameral tersusun dari lempengan-lempengan yang sangat padat, dan
bukan merupakan suatu massa kristal. Pola susunan semacam ini melengkapi tulang
dengan kekuatan yang besar.
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari 3 jenis sel: osteoblas,
osteosid dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen
tipe 1 dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu
proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid,
osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan
penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang.
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorbsi.
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah
besar dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon
paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D hormon paratiroid tidak akan
menyebabkan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu
kalsifikasi tulang, antara lain dengan meningkatlan absorbsi kalsium dan fosfat oleh
usus halus.
(Price dan Wilson: 1995)

B.Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong:


2000). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik ( Price, 1995)Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri
serta gangguan fungsi.
C.Etiologi

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (1995) ada 3 yaitu:

1. Cidera atau benturan

2. Fraktur patologik

Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.

3. Fraktur beban

Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.

D.Tanda & Gejala Klinik

Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :

1. Nyeri

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Hilangnya fungsi dan deformitas

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas

Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang


melengket di atas dan bawah tempat fraktur.

4. Krepitus

Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.

5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna

Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

E. Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (
Smeltzer dan Bare, 2001).

Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara
lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan prawatan diri.

Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson: 1995).
F. Klasifikasi Fraktur

1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 2 antara lain:

a) Fraktur tertutup (closed)

Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:

A. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.

B. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.

C. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak


bagian dalam dan pembengkakan.

D. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

b) Fraktur terbuka (opened)

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :

A. . Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.

B. Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
C. Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:

a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)

Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis
fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang
biasanya berubak tempat.

b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )

Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut
Price dan Wilson ( 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang, dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5
yaitu:

a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.

c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.

d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.

4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:

a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.

b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.

Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.(Mansjoer: 2000)

G. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) antara lain:

1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a) Syok

Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah


eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa menyebabkan penurunan
oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi
pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

b) Sindrom emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c) Sindroma Kompartement

Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh
darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai
daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini
menimbulkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang
mempersyarafi daerah tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak
dapat menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi
pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko
terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot dengan
patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada
ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan
peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau
hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin: 2009)

d) Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada nadi, CRT
menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.

e) Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s
Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).

Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan Laboratorium

2. Hb, Hct sedikit rendah, di sebabkan perdarahan.

3. LED meningkat bila kerusakan jaringan emak sangat luas.

4. Peningkatan jumlah leukosit adalah respon stress norma; setelah trauma.

Pemeriksaan Penunjang

1. Sinar X untuk melihat gambaan fraktur deformitas

2. CT – Scan untuk mmperlihatkan fraktur atau mendeteksi struktur fraktur

3. Venogram untuk menggambarkan arus vaskularisasi

4. Radiograf, untuk menentukan integritas tulang

5. Antroskopi, untuk mendeteksi keterlibatan sendi

6. Angiografi, bila dikaitkan dengan cedera pembuluh darah

7. Konduksi saraf dan elektromiogram, untuk mendeteksi cedera saraf


Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan kedaruratan

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk


melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing)
dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak
ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci.
Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama
sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat,
singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat
pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.

Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai
adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien
dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan
lebih lanjut.

Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang.

Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan
yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang
ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama,
dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera.
Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah
yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk
menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.

Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan diatas.

Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian


dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi
cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa
mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

2. Penatalaksanaan bedah ortopedi

Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani


pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,
gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur
pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna
atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :

• Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah
setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah

• Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,
paku dan pin logam
• Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang
berpenyakit.

• Amputasi : penghilangan bagian tubuh

• Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang


memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau
melalui pembedahan sendi terbuka

• Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak

• Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis

• Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi


dengan logam atau sintetis

• Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi

• Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau


mengurangi kontraktur fasia. (Ramadhan: 2008)

3. Terapi Medis

Pengobatan dan Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone

b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut

c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot

d. Bedrest, Fisioterapi

(Ramadhan: 2008)
ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR

A. Pengkajian

Pengkajian primer.

A. Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat


kelemahan reflek batuk

B. Breathing

Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang


sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi

C.Circulation

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.

2. Pengkajian sekunder

- Aktivitas/istirahat

kehilangan fungsi pada bagian yang terkena

Keterbatasan mobilitas

. – Sirkulasi

1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)

2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)


3) Tachikardi

4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera

5) Cailary refil melambat

6) Pucat pada bagian yang terkena

7) Masa hematoma pada sisi cedera

- Neurosensori

1) Kesemutan 2) Deformitas, krepitasi, pemendekan

3) kelemahan

- Kenyamanan

1) nyeri tiba-tiba saat cidera 2) spasme/ kram otot

- Keamanan

1) laserasi kulit 2) perdarahan

3) perubahan warna 4) pembengkakan local


B. Diagnosa Keperawatan

Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan

Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan

Deficit perawatan diri berhubungan dengan


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan
Praktik Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi
Vol. 2. Jakarta: EGC
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta:
EGC
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Ktriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai