Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan
atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah
tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

B. Profesi
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap
profesi termasuk profesi tenaga bidan atau dokter berlaku norma etika dan norma hukum.
Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur
atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika
disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal
ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan dokter berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga
berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakanyuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief
Justice, 1893).

C. Jenis – jenis Malpraktek


untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni :
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpracticemanakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

a. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia


(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
b. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
c. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan
dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini
maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpracticemanakala tenaga
bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

D. Pembuktian Malpraktek dibidang pelayanan kesehatan


Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)


Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.

c. Direct Cause (penyebab langsung)


d. Damage (kerugian)

Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam
ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.

E. Tanggung Gugat Malpraktek


Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider
baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi
termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad
31 Januari 1919).
F. Upaya Pencegahan Malpraktek

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan
ahli kesehatan lainnya karena adanya mal praktek diharapkan para dokter,bidan dan ahli
kesehatan lainnya dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena


perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
dokter,bidan dan ahli kesehatan lainnya menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga
bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya.

Apabila tuduhan kepada bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya merupakan criminal
malpractice, maka tenaga bidan,dokter dan ahli kesehatan lainnya apat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat


hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.Pada perkara perdata
dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang,
yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata,
pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban(dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan,dokter dan ahli kesehatan
lainnya.

Kelalaian (Negligence)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya
bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang
dilakukan dan dapat melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain
(Sampurno, 2005).
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan)
atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati). (Tonia, 1994).Dapat disimpulkan bahwa
kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak
dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian praktek
keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Jenis-jenis kelalaian
Bentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
a. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau tidak tepat/layak, misal:
melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat
b. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat, misal: melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur
c. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan kewajibannya,
misal: pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.

Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai,
bila memenuhi 4 unsur, yaitu:
1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat
dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus terdapat
hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya
menurunkan “Proximate cause”

Liabilitas dalam praktek keperawatan


Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan atau kegagalan
melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti halnya tenaga kesehatan lain mempunyai tanggung
jawab terhadap setiap bahaya yang ditimbulkan dari kesalahan tindakannya. Tanggungan yang
dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh perawat baik berupa tindakan
kriminal kecerobohan dan kelalaian.
Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan melakukan sesuatu yang oleh
orang lain dengan klasifikasi yang sama, seharusnya dapat dilakukan dalam situasi yang sama, hal ini
merupakan masalah hukum yang paling lazim terjadi dalam keperawatan. Terjadi akibat kegagalan
menerapkan pengetahuan dalam praktek antara lain disebabkan kurang pengetahuan. Dan dampak
kelalaian ini dapat merugikan pasien.
Sedangkan akuntabilitas adalah konsep yang sangat penting dalam praktik keperawatan. Akuntabilitas
mengandung arti dapat mempertanggung jawabkan suatu tindakan yang dilakukan dan dapat
menerima konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, 1991).

Dasar hukum perundang-undangan praktek keperawatan.


Beberapa perundang-undangan yang melindungi bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan yang
ada di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Undang – undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, bagian kesembilan pasal 32
(penyembuhan penyakit dan pemulihan)
2. Undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
3. Peraturan menteri kesehatan No.159b/Men.Kes/II/1998 tentang Rumah Sakit
4. Peraturan Menkes No.660/MenKes/SK/IX/1987 yang dilengkapi surat ederan Direktur Jendral
Pelayanan Medik No.105/Yan.Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang penerapan standard praktek
keperawatan bagi perawat kesehatan di Rumah Sakit.
5. Kepmenkes No.647/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat dan direvisi dengan SK
Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang registrasi dan praktik perawat.
Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup
kemungkinan perawat berbuat kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam
menjalankan prakteknya secara hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral atau etik
keperawatan dan juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia. Fry (1990) menyatakan bahwa
akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yakni tanggung jawab dan tanggung gugat. Hal ini
berarti tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-
undang dapat dibenarkan atau absah (Priharjo, 1995).
Beberapa bentuk Kelalaian dalam Keperawatan.
Pelayanan kesehatan saat ini menunjukkan kemajuan yang cepat, baik dari segi pengetahuan maupun
teknologi, termasuk bagaimana penatalaksanaan medis dan tindakan keperawatan yang bervariasi.
Sejalan dengan kemajuan tersebut kejadian malpraktik dan juga adanya kelalaian juga terus
meningkat sebagai akibat kompleksitas dari bentuk pelayanan kesehatan khususnya keperawatan yang
diberikan dengan standar keperawatan (Craven & Hirnle, 2000).
Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam keperawatan diantaranya
yaitu : a. Kesalahan pemberian obat, b. Mengabaikan keluhan pasien, c. Kesalahan mengidentifikasi
masalah klien, d. Kelalaian di ruang operasi, e. Timbulnya kasus decubitus selama dalam perawatan,
f. Kelalaian terhadap keamanan dan keselamatan pasien: contoh yang sering ditemukan adalah
kejadian pasien jatuh yang sesungguhnya dapat dicegah jika perawat memperhatikan keamanan
tempat tidur pasien. Beberapa rumah sakit memiliki aturan tertentu mengenai penggunaan alat-alat
untuk mencegah hal ini.

Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas, tidak saja kepada pasien
dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit, individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap
profesi. Selain gugatan pidana, juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi.
(Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan bentuk dari pelanggaran
dasar moral praktek keperawatan baik bersifat pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan
lainnya (Kozier, 1991) dan penyelesainnya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi
hukum pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan juga institusi
penyelenggara pelayanan praktek keperawatan, dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan
perbuatan pidana dan perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).

Anda mungkin juga menyukai