Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

TERAPI MODALITAS:

TERAPI OKUPASI DAN REHABILITASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

Ayu Ratantri 01.2.16.00524

Catherine Yemima R 01.2.16.00526

Della Irawanti 01.2.16.00530

Endro Nopfantiyanto 01.2.16.00537

Septi Arum Pradana 01.2.16.00558

Valentina Winarti 01.2.16.00561

Yesima Agung P 01.2.16.00566

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS BAPTIS KEDIRI
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-
Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “terapi okupasi dan rehabilitasi”
dengan baik. Dengan keterbatasan pengetahuan yang ada, kami tidak akan dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa II, Bapak Akde Triyoga, S.Kep.,Ns.,MM yang
senantiasa memberikan apresiasi berupa saran, kritik dan bimbingan demi
kesempurnaan penulisan.
2. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan semangat yang tinggi.
3. Semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan
pemikiran dan apresiasi dalam menyelesaikan makalah ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat, imbalan, serta karunia-Nya kepada
semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuannya yang tidak ternilai. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan di kemudian hari.

Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri,
pembaca, serta masyarakat luas terutama dalam hal menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan.

Kediri, 25 Oktober 2018


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Terapi Okupasi

2.1.1 Definisi
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi
seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada
pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan
bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).

Terapi Okupasi/terapi kerja adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan
proses penyembuhan melalui aktivitas. Aktivitas yang dikerjakan tidak hanya sekedar
membuat sibuk pasien, melainkan aktivitas fungsional yang mengandung efek terapetik dan
bermanfaat bagi pasien. Artinya aktivitas yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan..
Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara
memanipulasi, memfasilitasi dan menginhibisi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan,
perbaikan dan pemeliharaan kemampuan dan pekerjaan atau kegiatan digunakan sebgai terapi
serta mempunyai tujuan yang jelas.

Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk
mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan.
Dengan bekerja, seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya dengan
melakukan permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, dimana hal
ini akan mempengaruhi kesehatannya juga.

Pada tahun 2600 SM orang-orang di Cina berpendapat bahwa penyakit timbul karena
ketidakaktifan organ tubuh. Socrates dan plato (400 SM) mempercayai adanya hubungan
yang erat antara tubuh dengan jiwa. Hypoocrates selalu menganjurkan pasiennya untuk
melakukan latihan gerak badan sebagai salah satu cara pengobatan pasiennya. Di Mesir dan
Yunani (2000 SM) dijelaskan bahwa rekreasi dan permainan adalah salah suatu media terapi
yang ampuh, misalnya menari, bermain musik, bermain boneka untuk anak-anak, dan
bermain bola. Pekerjaan diketahui sangat bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun fisik
manusia.

Socrates berkata bahwa seseorang harus membiasakan diri dengan selalu bekerja
secara sadar dan jangan bermalas-malasan. Pekerjaan dapat juga digunakan sebagai
pengalihan perhatian atau pikiran sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan hal-hal
yang lain. Dengan okupasi/pekerjaan, pasien jiwa akan dikembalikan ke arah hidup yang
normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus memelihara dan mempraktikan keahlian
yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia akan tetap sebagai seseorang yang produktif.

Terapi okupasi berasal dari kata Occupational Therapy. Occupational berati suatu
pekerjaan, therapy berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpaduan antara seni dan
ilmu pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan
dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan
kesibukan kerja untuk penderita cacat mental maupun fisik. (American Occupational
therapist Association). Terapis okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam
fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut
mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan
dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang. Tujuan dari pelatihan Terapi Okupasi itu sendiri
adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dari kondisi abnormal
ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan
aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita
diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun masyarakat.

2.1.2 Intervensi
Intervensi yang diberikan menggunakan modalitas aktivitas yang telah dianalisis dan
diadaptasi yang kemudian diprogramkan untuk anak sesuai dengan kebutuhan khususnya.
Secra garis besar intervensi difokuskan pada hal-hal berikut.

1. Kemampuan (abilities)
a. Keseimbangan dan reaksi postur (balance and postural reactions).
b. Peregangan otot dan kekuatan otot (muscle tone and muscle strength).
c. Kesadaran anggota tubuh (body awareness).
d. Kemampuan keteraampilan motorik halus (fine motor skill) seperti
memegang/melepas, keterampilan manipulasi gerak jari, missal penggunaan
pensil, gunting, keterampilan menulis, dan lain-lain
e. Kemampuan keterampilan motorik kasar (gross motor skill) seperti lari,
lompat, anik-turun tangga, jongkok jalan, dan lain-lain
f. Mengenal bentuk, mengingat bentuk (visual perception)
g. Merespon stimulus, membedakan input sensori (sensory integration)
h. Perilaku termasuk level kesadaran, atensi, problem solving skill, dan lain-lain
2. Keterampilan (skill)
a. Aktivitas sehari-hari (activity daily living) seperti makan, minum, berpakaian,
mandi, dan lain-lain
b. Pre-academic skill
c. Keterampilan sosial
d. Keterampilan bermain
3. Faktor lingkungan
a. Lingkungan fisik
b. Situasi kelurga
c. Duukungan dari komunitas
4. Okupasi Terapis sebagai Konsultan
Okupasi terapis sebagai konsultan pada area berikut ini.
a. Program intervensi awal
b. Pengaturan rumah, sekolah, dan area bermain
c. Lingkungan dan adaptasi mainan atau media belajar
d. Alat bantu
e. Strategis perilaku

Anak-anak sekolah yang mengalami hal-hal berikut ini perlu penanganan terapi
okupasi.

1. Keterlambatan motorik kasar seperti lari, lompat, jongkok, main bola, dan
lain-lain
2. Keterampilan motorik halus seperti keterampilan memegang pensil, hasil
tulisan tidak rata tebal tipisnya, an lain-lain
3. Hiperaktif atau hipoaktif
4. Tidak mampu menjaga proses berbahasa
5. Tidak mampuu menjaga dan mengatur posisi saat belajar
6. Gangguan persepsi visual serti tidak lengkap dalam menyalin tulian
7. Gangguan atensi dan konsentrasi
8. Menarik diri
9. Kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya
10. Keterlambatan dalam bermain
11. Tidak disiplin

Untuk mencapai tujuan tersebut didalam terapi okupasi memiliki dan prinsip
kerja, yaitu sebagai berikut.

1. Supportive Occupational Therapy, yaitu menolong penderita untuk


menghilangkan dari perasaan cemas, takut, dan memotivasi penderita untuk lebih
giat didalam melakukan latihan.
2. Fungsional Occupationa Therapy, anatara lain untuk pengaturan posisi (bagi anak
Cerebral Palsy), meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan kerja ,
meningkatkan motorik kasar (gross motor) maupun mototik halus, (fine motor)
serta meningkatkan konsentrasi dan koordinasi gerak maupun sikap.

2.1.3 Indikasi Terapi Okupasi


Menurut Nasir & Muhith (2011) terdapat sembilan indikasi terapi okupasi:

a. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-


kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian perkembangan
psikososialnya.
b. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam kesulitannya dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
c. Tingkah laku yang tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau
kebutuhan yang primitif
d. Ketidak mampuan menginterprestasikan rangsangan sehingga reaksinya
terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula.
e. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tertentu atau seseorang yang
mengalami kemunduran
f. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu
aktifitas daripada dengan percakapan.
g. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara
mempraktikkannya daripada dengan membayangkannya.
h. Pasien cacat tumbuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya dan
sebagainya.
2.1.4 Kontraindikasi Terapi Okupasi
Menurut Styoadi & Kushariyadi (2011) terapis perlu memahami tujuan dari terapi
kerja yang akan diberikan. Ada dua kontraindikasi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
tujuan dari terapi, yaitu kondisi fisik dan kondisi psikologi klien. Kondisi fisik yang perlu
diperhatikan antara lain:

1) Inflamasi
2) Nyeri yang hebat
3) Baru mengalami patah tulang
4) Kelelahan yang signifikan

2.1.5 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi


Terapi okupasi adalah medis yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan
menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi
seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah
berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi. Pasien
yang dikirimkan oleh dokter, untuk mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud
berikut :

1. Terapi khusus untuk pasien mental/jiwa


a. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat
mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang
lain dan masyarakat sekitarnya,
b. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan
produktif,
c. Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan
keadaannya,
d. Membantu dalam pengumpulan data guna penegakan diagnosis dan
penetapan terapi lainnya.
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak
sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan,
3. Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian,
belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik
dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan lain-lain,
4. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin
dirumahnya, dan memberi saran penyederhanaan (siplifikasi) ruangan maupun
letak alat-alat kebutuhan sehari-hari,
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan
yang masih ada,
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai
langkah dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat
diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan kerja, sosialisasi, minat,
potensi dan lainnya dari si pasien dalam mengarahkan pada pekerjaan yang
tepat dalam latihan kerja,
7. Membantu penderita untuk menerima kenyataan dan menggunakan waktu
selama masa rawat dengan berguna,
8. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke
keluarganya.

Program terapi okupasi adalah bagian dari pelayanan medis untuk tujuan rehabilitasi
total seorang pasien malalui kerja sama dengan petugas lain di rumah sakit. Dalam
pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan banyak overlapping dengan terapi lainnya
sehingga dibutuhkan adalanya kerja sama yang terkoordinir dan terpadu.

2.1.6 Perbedaan Terapi Okupasi Dan Rehabilitasi Medis


Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk
melaksanakan sesuatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuan, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah belajar
keahlian atau fungsi yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan.
Selain itu, juga untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau memperbaiki
ketidak normalan (kecacatan), serta memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan. Terapi
okupasi lebih dititikberatkan pada pengenalan kemampuan yang masih pada seseorang,
kemudian memelihara atau meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-
masalah yang diharapkannya. Terapi okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan
sebagai media). Tugas pekerjaan atau kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemlihan
terapis disesuaikan dengan tujuan terapis itu sendiri. Jadi bukan hanya sekedar untuk
membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi okupasi adalah membentuk seseorang agar
mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri pada pertolongan oranglain. Sedangkan
rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang terdiri atas usaha medis sosial,
edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang untuk mencapai kemampuan
fungsional pada taraf setinggi mungkin sedangkan rehabilitas medis adalah usaha-usaha yang
dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi infaliditas atau mencegah infaliditas
yang ada (Nasir & Muhith, 2011).

2.1.7 Proses Terapi Okupasi


Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan menyertakan juga data
mengenai pasien yang berupa diagnosis, masalahnya dan juga akan menyatakan apa yang
perlu diperbuat dengan pasien tersebut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak
untuk keperlyan diagnosis, terapi atau rehabilitasi. Setelah pasien berada di unit terapi
okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut.

1. Koleksi Data

Data biasa didapatkan dari karu rujukan atau status pasien yang disertakan
pertama kali pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan
mengadakan wawancara dengan pasien atau keluarganya, atau dengan
mengadakan kunjungan rumah. Data ini diperlukan untuk menyusun rencana
terapi bagi pasien. Proses ini dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan
kebutuhan.

2. Analisa data dan identifikasi masalah

Dari data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara tentang
masalah atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa masalah di lingkungan atau
pasien itu sendiri.

3. Penentuan Tujuan

Dari masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar tujuan
terapi sesuai dengan prioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.

4. Penentuan aktivitas

Setelah tujuan terapi ditetapkan, maka dipilihlah aktivitas yang dapat


mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses ini pasien dapat diikutsertakan
dalam menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sehingga pasien merasa
ikut bertanggung jawab atas kelancaran pelaksanaanya. Dalam hal ini harus
diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, namun
hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba
mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-
alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan
diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.

5. Evaluasi

Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan
terapi. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai
dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat
dipergunakan untuk merencanakan hal-hal mengenai penyesuaian jenis aktivitas
yang akan diberikan. Namun, dalam hal tertentu penyesuaian aktivitas dapat
dilakukan setelah beerapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau kurang
efektif terhadap pasien.

Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain sebagai berikut:

1. Kemampuan membuat keputusan


2. Tingkah laku selama bekerja
3. Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai
kebutuhan sendiri.
4. Kerja sama
5. Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lain)
6. Inisiatif dan tanggung jawab
7. Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding
8. Menyatakan perasaan tanpa agresi
9. Kompetisi tanpa permusuhan
10. Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
11. Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawaba
atas pendapatnya tersebut
12. Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya
13. Wajar dalam penampilan
14. Orientasi tempat,waktu,situasi dan orang lain
15. Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya
16. Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi
17. Kerapian bekerja
18. Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan
19. Toleransi terhadap frustasi
20. Lambat atau cepat
21. Dan lain sebagainya yang dianggap perlu

2.1.8 Pelaksanaan
1. Metode

Terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual maupun berkelompok,


tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi, dan lain-lain.

a. Metode Individual dilaksanakan untuk :


 Pasien baru yang bertujuan untuk mendpatkan lebih banyak informasi dan
sekaligus untuk evaluasi pasien
 Pasien yang belum dapat atau mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik di
dalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu
kelompok bila dia dimasukkan dalam kelompok tersebut
 Pasien yang sedang menjalani latihan kerja dengan tujuan agar terapis dapat
mengevaluasi pasien lebih efektif
b. Metode Kelompok dilakukan untuk pasien lama atas dasar seleksi dengan masalah
atau hampir bersamaan atau dalam melakukan suatu aktivitas untuk tujuan tertentu
bagi beberapa pasien sekaligus. Sebelum memulai suatu kegiatan baik secara
individual maupun kelompok, maka terapis harus mempersiapan terlebih dahulu
segala sesuatunya yang menyangkut pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasien juga
perlu dipersiapkan dengan cara memperkenalkan kegiatan dan menjelaskan tujuan
pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga dia atau mereka lebih mengerti dan
berusaha untuk ikut aktif. Jumlah anggota dalam suatu kelompok disesuaikan
dengan jenis aktivitas yang akan dilakukan, dan kemampuan terapis mengawasi

2. Waktu
Okupasi terapi dilakukan antara 1-2 jam setiap sesi baik yang individu amupun
kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianya
tenaga dan fasilitas dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu 1/2 - 1jam untuk
menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1 – 11/2 jam untuk diskusi. Dalam diskusi ini
dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi,
kesan mengarahkan diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.

3. Terminasi

Keikutsertaan seorang pasien dalam kegiatan okupasiterapi dapat diakhiri dengan


dasar bahwa pasien :

a. Dianggap telah mampu megatasi persoalannya


b. Dianggap tidaka akan berkembang lagi
c. Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasiterapi

2.1.9 Peranan Terapi Okupasi/ Pekerjaan Dalam Pengobatan


Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas
manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan
atau pengetahuan, mengekpresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi,
mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi
tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi
penderita fisik maupun mental.
Aktivitas dalam terapi okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi,
diagnosis, terapi, maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat
mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan arah terapi okupasi
tidak untuk menyembuhkan, tetapi sebagai media. Diskusi yang terarah setelah penyelesaian
suatu aktivitas adalah sangat penting karena dalam kesempatan tersebut terapis dapat
mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalan. Aktivitas
yang dilakukan pasien diharapkan dapat menjadi tempat untuk berkomunikasi lebih baik
dalam mengekpresikan dirinya. Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi
maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktivitas yang dilakukan pasien. Alat-alat atau bahan-
bahan yang digunakan dalam melakukan suatu aktivitas, pasien akan didekatkan dengan
kenyataan terutama dalam hal kemapuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam kelompok akan
merangsang terjadinya interaksi di antara anggota yang berguna dalam meningkatkan
sosialiasasi dalam meningkatkan kemampuandiri masing-masing dalam hal keefisienannya
untuk berhubungan dengan orang lain. aktitivitas yang dilakukan meliputi aktivitas yang
digunakan dalam terapi okupasi dimana sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara
keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapissendiri
(pengetahuan, keterampilan, minat, dan kreativitasnya). Adapunhal-hal yang mempengaruhi
aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut.

1. Jenis, jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai berikut :


a. Latihan gerak badan
b. Olahraga
c. Permainan
d. Kerajinan tangan
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)
g. Praktik pre-vokasional
h. Seni (tari, musik, lukis, drama dan lain-lain)
i. Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan lain-lain)
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau
keadaan lingkungan)
k. Dan lain-lain
2. Karakteristik aktivitas, aktivitas dalam terapi okupasi segala macam aktivitas
yang dapat menyibukkan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media
untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional
maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi
okupasi harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi
bukan hanya sekedar menyibukkan pasien
b. Mempunyai arti tertentu bagi pasien, artinya dikenal oleh atau ada hubungan
dengan pasien
c. Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa
kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya
d. Harus dapat melibatkan pasien secara aktif maupun minimal
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, bahkan
harusdapat meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara kondisinya
f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih git sehingga
dapat mandiri
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya
h. Harus daat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan
kemampuan pasien
Faktor yang perlu diperhatiakan dalam memilih aktivitas adalah sebagai berikut :
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah dikontrol, ulet, kasar,
kotor, halus, dan sebagainya
b. Apakah aktivitas rumit atau tidak
c. Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan
d. Cara pemberian instruksi bagaimana
e. Bagaimana kira-kira setelah hasil selesai
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan
g. Apakah perlu konsentrasi
h. Interaksi yangmungkin terjadi apakah menguntungkan
i. Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi
j. Berapa lama dapat diselesaikan
k. Apakah dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat disesuaikan
dengan kemampuan dan ketrampilan pasien
l. Dan sebagainya
3. Analisis aktivitas, Untuk dpat mengenal karakteristik maupun potensi atau
aktivitas dalam rangka perencanaan terapi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis
terlebih dahulu. Hal – hal yang perlu dianalisis adalag sebagai berikut.
a. Jenis aktivitas.
b. Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan
terapi).
c. Bahan yang digunakan:
 Khusus atau tidak
 Karakteristik bahan:
1) Mudah ditekuk atau tidak
2) Mudah dikontrol atau tidak
3) Menimbulkan kekotoran atau tidak
4) Licin atau tidak
 Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
1) Taktil,
2) Pendengaran
3) Pembauan
4) Penglihatan
5) Perabaaan
6) Gerakan sendi
7) Dan sebagainya
 Warna
 Maca – macamnya dan namanya
 banyaknya
d. Bagian – bagian aktivitas
 Banyaknya bagian
 Rumit atau sederhana
 Apakah membutuhkan pengulangan
 Apakah membutuhkan perhitungan matimatika
e. Persiapan pelaksanaan:
 Apakah harus disiapkan terlebih dahulu
 Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
 Apakah bahan tersedia atau harus dicari terlebih dahulu
 Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f. Pelaksanaan, apakaj dalam pelaksanaan tugas ini perlu adannya:
 Konsentrasi
 Ketangkasan
 Rasa social di antara pasien
 Kemampuan mengatasi masalah
 Kemampuan bekerja sendiri
 Toleransi terhadap frustasi
 Kemampuan mengikuti instruksi
 Kemampuan membuat keputusan
g. Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya interaksi di antara
mereka
h. Apakah aktifitas tersebut membutuhkan konsentasi, ketangkasan, insiatif,
pernilaian, ingatan, komprehensi, dan lain- lain.
i. Apakah aktifitas tersebut melibatkan imajinasi, kreaktivitas, pelampiasan
emosi, dan lain – lain.
j. Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dlam hal ini harus bertindak
hati – hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya
(misalnya untuk pasien denganparanoid sangat riskan memberikan benda
tajam)
k. Hal yang penting adalah apakah disukai olh pasien.

2.2 Terapi Rehabilitasi

2.2.1 Definisi
Pasien psikiatri juga sama dengan penyakit fisik dalam kecendrungannya untuk
menjadi menahun sehingga memerlukan perawatan kontinu di rumah sakit atau di rumah.
Rehabilitasi mencakup semua terapi psikiatri non-akut dan terutama untuk mencegah
terjadinya penyakit yang menahun. Unit psikiatri social MRC memperlihatkan bahwa dalam
rumah sakit, dimana ada kemiskinan sosial (misalnya keadaan sekeliling yang menjemukan,
staf tidak aktif, hanya memiliki sedikit pakaian pribadi, kenyamanan pasien kurang
diperhatikan), pasien secara klinik sangat buruk. Lebih lama mereka dalam keadaan seperti
itu di rumah sakit maka akan semakin parah gejalanya. Teori yang berperan dalam
rehabilitasi salah satunya yaitu teori psikologi.

2.2.2 Model Terapi Rehabilitasi


Model terapi rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu seseorang
melepaskan diri dari kecanduan dan mengubah perilaku menjadi lebih baik adalah sebagai
berikut :

1. Model Terapi Moral

Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan
dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan
individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan
masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di
tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan
buruk yang diajarkan oleh agama. Model terapi ini men jadi landasan utama
pembenaran kekuatan hukum untuk berperang melawan narkoba.

2. Model Terapi Sosial


Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi
terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan social. Tujuan
dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku menyimpang tersebut kearah
perilaku social yang lebih layak, sehingga melatih seseorang untuk
mempertanggungjawabkan kesalahan satu orang menjadi tanggung jawab
bersama-sama. Inilah yang menjadi keunikan dari model terapi ini, yaitu
memfungsikan komununitas sedemikian rupa sebagai agen perubahan.
3. Model Terapi Psikologis
Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan
bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya
karena terjadi konflik sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk
meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. Model terapi ini
mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan,
dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai
masalah lagi dengan obat-obatan. Jenis model terapi ini biasanya dilakukan pada
konseling pribadi
4. Model Terapi Budaya
Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialisasi
seumur hidup dalam lingkungan social atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini
keluarga seperti juga lingkungan dapat dikategorikan sebagai ‘’lingkungan sosial
dan kebudayaan tertentu’’. Dasar pemikirannya adalah bahwa praktik
penyalahgunaan narkoba oleh anggota keluarga tertentu adalah hasil akumulasi
dari semua permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang bersangkutan sehingga
model ini banyak menekankan pada proses terapi untuk kalangan anggota keluarga
dari para pecandu narkoba tersebut.

2.2.3 Tujuan dari Terapi Rehabilitas


1. Mengembalikan kemampuan individu setelah terjadinya gangguan kepada
kondisi/tingkatan fungsi yang optimum

2. Mencegah kecacatan yang lebih besar

3. Memelihara kemampuan yang ada/dimiliki oleh pasien

4. Membantu pasien untuk menggunakan kemampuannya.

Rehabilitasi untuk proses jangka panjang dimana memerlukan program dan sarana yang
mencukupi. Keberhasilan dari program rehabilitasi tergantung kepada besarnya motivasi
belajar,pola hidup sebelum dan sesudah sakit dan dukungan dari orang-orang yag memiliki
arti bagi pasien.

2.2.4 Tim yang Menangani Rehabilitasi


Tim yang menangani rehabilitasi yaitu tim kesehatan mental yang terdiri dari dokter,
perawat, psikologi, petugas sosial dan petugas terapi okupasional

2.2.5 Kegiatan Pelaksana


Kegiatan pelaksana rehabilitasi dilakukan di dalam rumah sakit,luar rumah sakit
(panti, pusat rehabilitasi), dimulai sejak hari pertama pasien dirawat

2.2.6 Fungsi Perawat Dalam Terapi Rehabilitas

1. Menjaga komplikasi dari akibat gangguan/penyakit diderita pasien

2. Membatasi besarnya gangguan semaksimal mungkin

3. Merencanakan dan melaksanakan program rehabilitasi

2.2.7 Tahap-Tahap Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa


1. Tahap persiapan

yaitu usaha mempersiapkan pasien dengan menjalankan kegiatan terapi


okupasional, seleksi, evaluasi, dan latihan kerja dalam berbagai jenis pekerjaan

2. Tahap penyaluran/penempatan

merupakan usaha pemulangan pasien ke keluarga,tempat kerja atau


masyarakat dan instansi lain yang berfungsi sebagai pengganti keluarga,disamping
usaha resosialisasi.

3. Tahap pengawasan

merupakan tindakan lanjut setelah pasien di salurkan ke masyarakat, dengan


mengadakan kunjungan rumah (visit home) kunjungan tempat kerja (job visit) dan
menyelenggarakan perawatan lanjut (after care), untuk mengetahui perkembangan
pasien,permasalahan yang dihadapi serta cara-cara pemecahannya.

Sejak tahun 1978 di Indonesia program rehabilitasi dilakukan berdasarkan


kerja sama lintas sektoral melibatkan 3 departemen yaitu Departemen
Kesehatan,Sosial dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui satu
program bersama yang membahas tentang Penyelenggarakan Usaha Rehabiltasi
pasien mental
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam fungsi
motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan individu tersebut
mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas untuk mengisi waktu luang. Tujuan
okupasi adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dari
kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental,
dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan kondisi
penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam keluarga maupun
masyarakat.

Terapi Rehabilitasi mencakup semua terapi psikiatri non-akut dan terutama


untuk mencegah terjadinya penyakit yang menahun. Rehabilitasi untuk proses jangka
panjang dimana memerlukan program dan sarana yang mencukupi. Keberhasilan dari
program rehabilitasi tergantung kepada besarnya motivasi belajar.

3.2 Saran
1. Bagi keluarga pasien
a. Berikan dukungan atau support dalam terapi okupasi kepada klien.
b. Dapatkan tim yang jelas tentang tujuan dan tindakan terapi dari tim medis.
c. Kenali gejala-gejala yang timbul dan segera memerlukan perawatan medis.
2. Bagi perawat atau tim medis lainnya
a. Tetapkan intervensi terapi okupasi sesuai dengan hasil pengkajian.
b. Berikan informasi yang jelas kepada keluarga maupun klien tentang tujuan
dan tindakan yang akan dilakukan.
c. Berikan penyuluhan mengenai penyebab, gejala, pengobatan dan pencegahan.
DAFTAR PUSTAKA

Setyoadi, Kushariyadi (2011). Terapi Modalitas Keperawatn pada Klien Psikogeriatrik.


Jakarta. Salemba Medika

Ah. Yusuf, Rizky (2015). Biku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta, Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai