Abstract: Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) has a long-term development goal to be a leading
cultural center in Southeast Asia in 2025. One of the cultural potentials which can be optimized
to achieve this goal is by developing global region based-film festival. This study aims to describe
the efforts that have been made by the stakeholders, both local governments and civil society
organizations, in pursuing good governance on film festival. The locus of this research is the
governance of Festival Film Indie-Pekan Film Yogyakarta, JAFF, FFD and FFPJ. The results show
that the film festivals in DIY form a network driven by interdependence, resource exchange, rules of
game, and organizational autonomy.
Abstrak: Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki tujuan pembangunan jangka panjang
menjadi pusat kebudayaan di Asia Tenggara pada 2025. Salah satu potensi budaya yang dapat
dioptimalkan dalam pencapaian tujuan tersebut ialah membangun festival film bercakupan global.
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan upaya pemerintah daerah dan organisasi masyarakat
sipil dalam melaksanakan tata kelola festival film tersebut. Adapun fokus penelitiannya adalah
tata kelola Festival Film Indie-Pekan Film Yogyakarta, JAFF, FFD and FFPJ. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa festival film di DIY berinteraksi dan membentuk jaringan karena dorongan
interdependensi, pertukaran sumber daya, aturan main, dan otonomi masing-masing organisasi.
Kata Kunci: festival film, jaringan, masyarakat sipil, pemerintah daerah, tata kelola
Yogyakarta, sebagai daerah istimewa yang Pelajar se-DIY, Jogja-Netpac Asian Film
ditopang oleh pilar pendidikan, pariwisata, Festival (JAFF), Festival Film Dokumenter
dan kebudayaan, memiliki potensi besar (FFD), dan Festival Film Pelajar (FFPJ).
mengembangkan pelaksanaan festival film Festival-festival tersebut diselenggarakan
berbasis kota/daerah berskala global, seperti oleh entitas lokal dengan menyajikan dan
Berlin, Cannes, Rotterdam, dan Venezia. mengompetisikan film-film lokal maupun
Selama kurun lima tahun (2009-2013), internasional. Festival-festival film tersebut,
beragam festival film telah diselenggarakan di dengan karakternya masing-masing, memiliki
berbagai daerah setingkat provinsi, termasuk di tempat di benak publik.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Festival- Di antara festival-festival tersebut, bisa
festival film tersebut antara lain Festival Film dikatakan bahwa JAFF merupakan festival
Indie-Pekan Film Yogyakarta, Festival Film film yang populer apabila dilihat dari
161
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
besarnya animo pengunjung. JAFF edisi dokumenter yang masuk dalam kompetisi
ke-8 yang diselenggarakan oleh Yayasan tersebut mencapai 95 judul (FFD, 2013).
JAFF pada 28 November-7 Desember Festival film populer lain yang digagas
2013 berhasil meraup penonton sebanyak oleh masyarakat sipil adalah FFPJ. Pada
6.450 orang. Mengusung tema Altering 2014, FFPJ menginjak tahun ke-5. Festival
Asia, JAFF tahun tersebut melakukan ini dikelola oleh filmpelajar.com yang
program pemutaran film, seminar dan digawangi oleh Tomy Widiyatno Taslim.
diskusi di beberapa lokasi, seperti bioskop Festival yang diinisiasi sejak 2010 ini telah
Empire XXI (bioskop; private), Taman mengompetisikan 380 karya film pendek.
Budaya Yogyakarta (gedung pertunjukan Karya-karya film yang mengikuti FFPJ
kesenian yang dikelola pemerintah daerah tersebut berasal dari Sumatera Utara, Jambi,
DIY), Lembaga Indonesia Perancis, dan Riau, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi
kampung-kampung di Yogyakarta. Selain Tengah, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah,
itu, di Kampung Brayut (Sleman), Desa Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Papua
Tembi (Bantul), dan Kampung Kotagede Barat, hingga DIY. Festival dengan segmen
(Bantul-Yogyakarta), JAFF memutar film pelajar ini juga dihadiri oleh para pendidik,
dalam format layar tancep atau open air seniman, budayawan, aktivis, dan jurnalis
cinema. Pada 2013, JAFF memutar 80 Film (Festival Film Pelajar Jogja, 2014).
yang terdiri dari 37 film panjang dan 43 Festival film yang digagas pemerintah
film pendek (Sekarjati, 2013). daerah juga mendapat perhatian publik,
Namun, festival film di DIY yang yakni Festival Film Indie-Pekan Film
populer karena konsistensi penyajian karya Yogyakarta. Festival tersebut bermula dari
dokumenternya adalah FFD. Pada 2013, Festival Film Indie yang mulai terselenggara
FFD yang menginjak edisi ke-12 mengambil pada 2010 (Indonesia art news, n.d.).
tema No Bound No Boundaries. Festival Pelaksanaan Festival Film Indie dengan
film tersebut dikelola oleh Forum Film cakupan peserta yang lebih luas kemudian
Dokumenter (dahulu bernama Komunitas berkesinambungan dengan pelaksanaan
Dokumenter), sebuah lembaga nirlaba yang Pekan Film Yogyakarta yang pertama kali
fokus pada media dokumenter. Program- dilaksanakan pada 2013. Pelaksanaan
program yang dilaksanakan oleh FFD Pekan Film Yogyakarta merupakan puncak
antara lain Kompetisi Film Dokumenter acara dari Festival Film Indie yang menjadi
Indonesia, Perspektif, Spektrum, School ajang kompetisi karya para pegiat film.
Docs, Master Class, SEADOC, diskusi, Dinas Kebudayaan, selaku pelaksana
dan program-program pendukung lainnya festival, memiliki gagasan untuk
(FFD, 2013). Selain dari Indonesia, film mempromosikan potensi dan keragaman
dokumenter yang diputar di FFD juga budaya kepada publik nasional maupun
berasal dari Myanmar, Belanda, Swedia, internasional. Peneliti mengambil keempat
Italia, dan Afrika Selatan. Film-film festival film tersebut, yakni JAFF, FFD,
162
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
FFPJ, dan Festival Film Indie-Pekan Film 2012 tentang Keistimewaan DIY
Yogyakarta menjadi objek dalam penelitian mengarusutamakan kebudayaan sebagai
ini. salah satu urusan otonomi khusus.
Keberadaan festival-festival film Menindaklanjuti undang-undang tersebut,
di DIY memiliki keterkaitan, baik Pemda DIY menerbitkan Peraturan
langsung maupun tidak langsung, dengan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1
kesempatan untuk mempromosikan kota Tahun 2013 tentang Kewenangan dalam
atau daerah. Promosi kota yang dimaksud Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa
terkait dengan kepentingan pencitraan Yogyakarta (Perdais 1/2013). Perdais
daerah maupun sebagai sarana branding tersebut menyinggung film sebagai salah
pariwisata dan kebudayaan. Cannes adalah satu Seni Budaya Inti (Pasal 42 ayat 3)
contoh terkemuka dari relasi citra kota yang dikembangkan oleh DIY. Hal itu
yang terbentuk dari festival film (Ooi & senyampang dengan cita-cita Rencana
Pedersen, 2010, h. 318). Cannes, kota di Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Prancis Selatan ini, sangat identik dengan DIY untuk membangun pusat kebudayaan,
festival film-nya, yakni Festival de Cannes. pariwisata, dan pendidikan terkemuka di
Hingga saat ini, Festival de Cannes mampu Asia Tenggara pada tahun 2025.
membangun citra dan kualitasnya sebagai Negara, melalui Undang-Undang
festival film prestisius dan terkoneksi Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
dengan usaha-usaha pariwisata (About the (UU 33/2009), mengakui festival film
festival, n.d.). sebagai aktivitas apresiasi sinema publik.
Berkaca dari Cannes, DIY juga Negara menjamin keleluasan kegiatan
memiliki potensi untuk mengembangkan apresiasi film, sehingga dapat dilakukan
festival filmnya menjadi salah satu daya oleh perseorangan, organisasi, Negara/
tarik wisatawan. Festival film di DIY Pemerintah, maupun Pemerintah Daerah
seperti JAFF, FFD, FFPJ, dan Festival (pasal 36 ayat 1 dan 2). Kegiatan yang dapat
Film Indie-Pekan Film Yogyakarta yang berwujud festival film; seminar, diskusi,
diselenggarakan pada musim liburan, dan lokakarya; serta kritik dan resensi film
November-Desember, dapat memanfaatkan tersebut, wajib mendapat dukungan dari
momentum musim kunjungan wisatawan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (pasal
tersebut dan sekaligus menjadi upaya untuk 37 ayat 1 dan 2). Sebagai apresiasi sinema
memperbesar peluang mendatangkan lebih publik, festival film bukan monopoli negara,
banyak wisatawan mancanegara. pemerintah daerah atau lembaga tertentu
Sebagai daerah yang memiliki (termasuk Badan Perfilman Indonesia yang
otonomi khusus, DIY memiliki keleluasaan dibentuk oleh Pemerintah) dan melibatkan
mengembangkan festival film sebagai peran serta masyarakat (pasal 67).
aktivitas kebudayaan unggulan daerah. Festival film yang menjadi objek
Undang-Undang Nomor 13 Tahun kajian penelitian ini adalah festival film
163
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
yang diselenggarakan oleh pemerintah karya sinema dan tempat di mana festival
daerah (Festival Film Indie-Pekan Film diadakan --dalam konteks dunia perfilman
Yogyakarta) dan organisasi masyarakat dan sosial-ekonomi-politik yang lebih luas
sipil (JAFF, FFD, dan FFPJ). Adanya (Wong, 2011, h. 2). Oleh karena itu, festival
peran pemerintah dan pemerintah daerah, film juga merupakan perayaan atas situs
serta partisipasi masyarakat dalam atau tempat yang dapat memberikan nilai
penyelenggaraan festival, dapat menjadi tambah terhadap perekonomian daerah dan
konteks bahwa tata kelola festival film bertumbuhnya semangat daerah/kota (Ooi
dapat dikerjakan secara mandiri atau hasil & Pedersen, 2010: h. 318; Wong, 2011,
kolaborasi antarpihak. h. 2). Nilai tambah perekonomian dalam
Saat ini, organisasi publik tidak lagi festival film merupakan dampak datangnya
bergantung pada pemerintah semata, tetapi para pegiat film, pelaku usaha dan
dapat terwujud melalui kolaborasi tata kelola regulator/pemerintah atau stakeholder dari
(governance) yang sinergis. Tata kelola berbagai penjuru wilayah dalam merayakan
kolaboratif tersebut berbentuk jaringan tata pertemuan dan selebrasi penghargaan yang
kelola (network governance) yang dilakukan menaikkan sisi glamour daerah --akibat
Pemerintah (negara) bersama organisasi efek endorsement (Ooi dan Pedersen, 2010,
civil society dan swasta. Berdasarkan h. 319).
konteks tersebut, penelitian ini ingin Festival film, selayaknya film itu
menjawab pertanyaan: Bagaimana tata kelola sendiri, bukan sekadar tentang teks
(governance) festival film di DIY dalam atau muatan komunikasi di dalamnya,
menjembatani interaksi antara pemerintah tetapi berhubungan dengan hal-hal yang
daerah dengan masyarakat sipil? menyangkut kelembagaan dan orang-orang
Festival film merupakan event yang terlibat dalam festival (Wong, 2011,
temporer berdurasi pendek. Film-film h. 18). Lembaga dan orang-orang tersebut
yang ada dipertunjukkan dalam atmosfer adalah para profesional perfilman, seperti
berekspektasi tinggi dan perayaan pada pencinta film/pengunjung festival, lembaga
tempat/daerah tertentu (de Valck, 2007, pers, dan lembaga pemerintah kota/daerah/
h. 21). Festival film merupakan wujud negara yang terlibat (de Valck, 2007, h. 30;
apresiasi terhadap film melalui sebuah event Wong, 2011, h. 18). Lembaga dan orang-
yang menaungi penayangan (ekshibisi/ orang itu terlibat dalam jaringan (network)
screening), kompetisi, dan kritik terhadap pelaksanaan tata kelola (governance).
karya sinema yang awalnya tumbuh di Lembaga dan orang, entitas nonhuman dan
Venesia (Italia) pada 1932, dan melibatkan human tersebut, berada dalam hubungan
aktivitas pelbagai aktor (de Valck, 2007, h. saling membutuhkan (de Valck, 2007, h.
23; Wong, 2011, h. 2). 30).
Peredaran film dan keterlibatan multi Berdasarkan hal itu, festival film
aktor dalam festival berupaya meredefinisi dapat dilihat sebagai pola interaksi yang
164
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
membentuk jaringan. Jaringan dalam dan sumber daya yang dipertukarkan publik-
tata kelola festival film, dengan berbagai privat (Pierre & Peters, 2000, h. 19-20).
aktornya, dapat dilihat secara horizontal Variabel interdependensi, pertukaran
melalui pendekatan sosio-sibernetik. sumber daya, aturan main, dan otonomi
Pendekatan ini melihat bahwa jaringan akan dianalisis lebih lanjut dalam
merupakan struktur yang terbentuk dari penelitian ini untuk melihat jaringan
pola interaksi dalam organisasi oleh aktor dalam tata kelola festival film di DIY
(individu) maupun antar kumpulan aktor dari pemerintah daerah (government/
(lembaga) yang tidak dapat direduksi local government) dan masyarakat sipil
oleh salah satu aktor atau kumpulan aktor (organisasi masyarakat sipil; civil society).
tersebut (Kooiman dalam Rhodes, 1996). Interdependensi yang terjadi antar aktor
Interaksi tersebut berbasis pada pengakuan atau organisasi melingkupi relasi antar
terhadap keberadaan interdependensi di organisasi pemerintah maupun masyarakat
mana tidak ada aktor tunggal, baik dari sipil (non state actor) di mana batas antara
sektor publik maupun privat, yang menjadi sektor publik, privat (swasta), dan sektor
penguasa tunggal atas pengetahuan, sukarela masyarakat sipil semakin bergeser
informasi dan instrumen yang efektif untuk dan akan semakin kabur/tipis.
menyelesaikan problem yang kompleks- Relasi interdependensi tersebut akan
dinamis-beragam (Kooiman, 2003). membentuk jaringan kebijakan antara
Pada era post bureaucratic, sektor institusi formal dan nonformal serta antara
publik atau negara akan lebih sedikit pemerintah dan non pemerintah dalam
mengatur (rowing; government) dan lebih berbagi kepentingan pembuatan kebijakan
memperbanyak upaya-upaya pengarahan publik dan implementasinya. Anggota
(steering; governance) dalam melaksanakan dalam jaringan tata kelola akan melanjutkan
pelayanan kepada masyarakat sipil interaksi antar lembaga anggota jaringan
(Barzelay, Armajani dalam Keban, 2008, (secara terus-menerus) karena masing-masing
h. 35; Rhodes, 1996, h. 655). Konsep tata anggota jaringan membutuhkan pertukaran
kelola (governance) dalam penelitian ini sumber daya dan negosiasi tujuan bersama.
dimaknai sebagai serangkaian aktivitas Interdependensi dan pertukaran sumber daya
untuk melakukan pengorganisasian diri, terjadi dalam sebuah interaksi game-like yang
jaringan interorganisasional yang bercirikan berakar pada kepercayaan dan diatur dengan
adanya interdependensi, pertukaran sumber aturan main yang dapat dinegosiasikan dan
daya, aturan main, dan otonomi yang disepakati oleh anggota jaringan. Interaksi
signifikan dari negara (Rhodes dalam Kjær, game-like dalam jaringan tersebut memiliki
2004, h. 3). Jaringan kebijakan dalam tata derajat otonomi terhadap peran negara di
kelola tersebut melibatkan aktor yang lebih mana jaringan tidak akuntabel terhadap negara
luas, mencapai derajad kepaduan dalam dan swa-kelola (self organizing), serta negara
memfasilitasi koordinasi atas kepentingan mengarahkan secara tidak langsung.
165
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
166
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
Pelaksanaan festival ini bergantung pada dari pemerintah daerah dengan tetap
pendanaan dari Pemda DIY yang berasal dari mematuhi hierarki otoritas yang ada.
anggaran APBD DIY (2010-2013) dan tidak Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF)
membutuhkan sponsor (Kuswardhani, Y. Th., JAFF diinisiasi bersama oleh Garin
wawancara, 15 Juli 2014). Rencananya, pada Nugroho (sutradara), komunitas filmmaker,
tahun 2015, pendanaan seluruhnya berasal dan jaringan NETPAC dalam merespons
dari anggaran Keistimewaan DIY (Sumardi, krisis pasca bencana gempa bumi di
E. H., wawancara, 10 Juli 2014). Pada 2013, Yogyakarta pada 2006 (Isfansyah, I.,
kebutuhan dana melonjak lebih dari lima kali wawancara, 14 Juli 2014). Selain itu,
lipat dari penyelenggaran tahun 2012. Hal pelaksanaan JAFF pertama pada 2006
tersebut disebabkan oleh output kegiatan yang bersamaan dengan peringatan Hari Ulang
lebih beragam, seperti pengadaan workshop Tahun (HUT) Kota Yogyakarta ke-250 yang
untuk pelajar, workshop perfilman nasional, diadakan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Festival Film Indie, Pameran Film, dan Pekan Pemerintah Kota Yogyakarta menjadi
Film Yogyakarta sebagai puncak rangkaian pemicu (trigger) pelaksanaan JAFF dengan
acaranya. menyediakan dana penyelenggaraan dan
Di dalam melaksanakan relasi memasukkan JAFF dalam agenda event
interdependensi maupun pertukaran Peringatan HUT tersebut. Namun, dukungan
sumber daya, Dinas Kebudayaan terikat dana tersebut tidak terus-menerus ada pada
dengan ketentuan formal/produk regulasi setiap tahun pelaksanaannya (Isfansyah, I.,
sebagai aturan main dalam berhubungan wawancara, 14 Juli 2014).
dengan pelbagai pihak. Aturan main Adapun relasi yang terbentuk
tersebut dapat berupa UU Perfilman, dengan Pemda DIY, dalam hal ini Dinas
ketentuan kelembagaan, peraturan terkait Kebudayaan, bersifat tidak langsung.
tata kelola keuangan, Peraturan Daerah Hal tersebut merupakan bentuk kerja
APBD, prosedur perencanaan tata kelola sama dengan Taman Budaya Yogyakarta
perencanaan pemerintah, dan komitmen (TBY, Unit Pelaksana Teknis Daerah, di
berupa surat keputusan gubernur atau bawah Dinas Kebudayaan) dalam bentuk
kepala dinas (Sumardi, E. H., wawancara, penyewaan venue untuk lokasi kegiatan
10 Juli 2014). Otonomi Dinas Kebudayaan (Isfansyah, I., wawancara, 14 Juli 2014).
cenderung terbatas saat berhubungan Kerja sama dengan TBY tersebut terjadi
dengan Pemda DIY karena terikat sistem pada 2010-2012 saat TBY dikepalai oleh
prosedur yang ketat sesuai ketentuan Dyan Anggraini. Namun, level pembicaraan
perundangan. Selebihnya, kebebasan kerja sama belum bisa menembus hingga
berkreasi tidak terpengaruh lembaga birokrasi Dinas Kebudayaan. Pembicaraan
eksternal, seperti organisasi masyarakat dan pembangunan komitmen untuk kerja
sipil atau sponsorship. Hal tersebut terjadi sama lebih lanjut terhenti ketika Dyan
karena sumber daya pembiayaan berasal Anggraini dimutasi ke Dinas Kebudayaan
167
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
pada 2012 dan digantikan oleh GBPH tersebut antara lain pembuatan program
Yudhaningrat (Dibyo, A., wawancara, 25 oleh JAFF sesuai alokasi dari donor dan
Agustus 2014). misi bersama yang disepakati secara
Relasi interdependensi dengan dinamis dengan menyesuaikan lembaga
pihak pemerintah juga terjadi dengan donor yang bekerja sama.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Aturan main yang tertuang dalam
Kreatif, serta Kementerian Pendidikan dan proposal memuat standar operasi dan
Kebudayaan. Selebihnya, relasi banyak prosedur yang akan dijalankan. Selebihnya,
terjadi antara JAFF dengan pihak swasta aturan main yang diterapkan dalam menjalin
(seperti Gudang Garam, Djarum), lembaga relasi fleksibel dan dapat dinegosiasikan
pendidikan (Universitas Bina Nusantara, dengan donor. Organisasi JAFF otonom
Jogja Film Academy), dan Lembaga terhadap organisasi donor dalam konteks
Masyarakat Sipil/Lembaga Asing (Denny sesuai dengan value dan visi organisasi
JA, Hivos, NETPAC, Korean Cultural untuk Promoting Asian Cinema. Kerja
Center, Japan Foundation, komunitas sama yang dilakukan dengan pihak lain
filmmaker) yang berperan sebagai sponsor menyesuaikan karakter festival. Program
dan/atau mitra program. utama (kompetisi) sangat otonom terhadap
Pertukaran sumber daya yang pengaruh donor maupun pemerintah
dilakukan dengan JAFF dapat berupa daerah. Sementara, program yang dapat
sumber daya manusia yang berasal dikerjasamakan adalah program tambahan
dari volunteer komunitas filmmaker yang sesuai karakter festival dan negotiable
dan mahasiswa di DIY. Sebagian besar (Isfansyah, I., wawancara, 14 Juli 2014).
pertukaran sumber daya finansial berasal Festival Film Dokumenter (FFD)
dari sponsorship swasta, mitra program Di dalam menjalankan aktivitas festival,
lembaga asing dan organisasi masyarakat FFD lebih memiliki interdependensi yang
sipil. Sementara itu, dukungan pendanaan cukup besar terhadap TeMBI Rumah Budaya
dari pemerintah hanya sebesar 10-20% dari dan lembaga asing Jan Vrijman Fund
keseluruhan kebutuhan penyelenggaraan. (Belanda) dibanding dukungan dari Dinas
Kebutuhan anggaran penyelenggaraan Kebudayaan DIY (Damaihati, A., wawancara,
JAFF kurang lebih sebesar Rp 400 juta 17 Juli 2014). Berlokasi di Timbulharjo,
(2006), Rp 100-150 juta (2007-2012), dan Sewon, Bantul, DIY, Lembaga TeMBI Rumah
Rp 300 juta (2013) (Dibyo, A., wawancara, Budaya merupakan kombinasi antara pusat
25 Agustus 2014). Selain itu, terdapat kebudayaan, ruang pertunjukan kesenian dan
dukungan barang/jasa berupa peminjaman ekshibisi, museum dan penginapan (Tembi,
alat dari lembaga pendidikan, seperti n.d.).
Universitas Bina Nusantara pada 2013 Sedangkan Jan Vrijman Fund yang saat
(Isfansyah, I., wawancara, 14 Juli 2014). ini berganti nama menjadi IDFA Bertha Fund
Bentuk imbal balik transaksi sumber daya adalah lembaga donor yang mendukung
168
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
pembiayaan filmmaker dokumenter dan sekitar Rp 175 juta. Anggaran FFD terakhir
organisasi yang mempromosikan karya sekitar Rp 110 juta (2013).
dokumenter --termasuk penyelenggaraan Adapun pertukaran sumber daya,
festival film dokumenter (idfa, n.d.). IDFA membiayai program utama Master
Lembaga donor tersebut berkaitan dengan Class, sementara TeMBI Rumah Budaya
lembaga International Documentary membiayai program kompetisi. Sedangkan
Film Festival Amsterdam (IDFA) yang pertukaran dalam bentuk barang/jasa
mengadakan program screening terhadap diperoleh dari sponsor swasta dalam bentuk
film dokumenter yang didukung oleh IDFA layananhospitality, penginapan, akomodasi,
Bertha Fund (idfa, n.d.). food and baverage, sewa kendaraan, dan
Adapun kerja sama intens dengan merchandise. Di dalam merajut relasi dan
Pemerintah Daerah, yakni Dinas pertukaran sumber daya terdapat aturan
Kebudayaan, baru dimulai pada 2013 main game-like berupa ideologi organisasi,
dengan fasilitasi tempat pemutaran FFD standar operasi dan prosedur yang ringkas
di Taman Budaya Yogyakarta (Damaihati, dalam proposal, kontrak kerja sama dan
A., wawancara, 17 Juli 2014). Selain itu, komitmen (good will) yang ditentukan oleh
FFD juga memiliki relasi dengan lembaga para pihak (Damaihati, A., wawancara, 17
masyarakat sipil seperti Yayasan Kampung Juli 2014). Aturan main tidak tertulis di
Halaman, Combine dan lembaga pendidikan FFD menyesuaikan ideologi organisasi,
seperti Jogja Film Academy, Yangon Film misalnya penolakan terhadap sponsor dari
dan School Scottish Documentary Institute industri rokok dan tambang bermasalah
(FFD, 2013). (Damaihati, A., wawancara, 17 Juli
Hampir serupa dengan JAFF, FFD 2014). Aturan main tersebut diterapkan
banyak terbantu oleh partisipasi volunteer dalam rangka saling menjaga otonomi
dari komunitas filmmaker dan mahasiswa masing-masing organisasi dalam menjalin
di DIY, terutama dalam pengadaan sumber interdependensi. Aturan main tersebut
daya manusia yang mengerjakan festival. juga menentukan adanya kompromi atau
Perihal pembiayaan, sekitar 55% anggaran negosiasi para pihak (Damaihati, A.,
berasal dari donor lembaga asing (IDFA wawancara, 17 Juli 2014).
Bertha Fund) dan sponsorship swasta Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ)
(TeMBI), selebihnya berasal dari donatur FFPJ lahir dari inisiasi Tomy
lembaga/perorangan lain. Anggaran Widiyatno Taslim, Satmoko Budi Santoso,
yang diperlukan dalam penyelenggaraan dan Yuyun Trimulyana pada 2010 (Taslim,
FFD pertama sebesar Rp 30 juta (2002). T. W., wawancara, 17 Juli 2014). Ruang
Kebutuhan anggaran tersebut terus lingkup peserta festival ini adalah pelajar
membesar pada 2004-2005 hingga Rp SMA/SMK seluruh Indonesia. Pelaksanaan
100 juta. Anggaran terbesar terjadi pada FFPJ perdana (2010) dibentuk bersamaan
penyelenggaraan tahun 2008-2009, yaitu dengan pelaksanaan Festival Film Pelajar
169
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
170
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
acara kepada para donatur (Taslim, T. W., dengan relasi yang erat dengan lebih
wawancara, 17 Juli 2014). Aturan main banyak stakeholder. Festival film dari
tersebut menjaga organisasi FFPJ tetap organisasi masyarakat sipil berupaya untuk
otonom dalam transaksi atau pertukaran memperoleh pertukaran sumber daya
sumber daya dari lembaga-lembaga yang dan mengekspresikan nilai yang diyakini
tidak sesuai dengan misi festival. Untuk bersama lembaga mitra untuk memperkuat
menjaga otonominya, FFPJ menyeleksi diri. Pola-pola interaksi tersebut
lembaga yang akan bekerja sama, dengan membentuk jaringan yang melibatkan
ketentuan, antara lain tidak termasuk multi aktor. Keterlibatan multi aktor pada
industri rokok, partai politik, dan produsen pembentukan jaringan tersebut memiliki
minuman keras. Kerja sama yang akan keragaman masing-masing. Jaringan multi
dijalin bersifat tanpa syarat dan tidak ada aktor yang terjadi pada festival film di DIY
intervensi terhadap program (Taslim, T. W., mendorong adanya pertukaran sumber
wawancara, 17 Juli 2014). daya, menguatkan kemitraan, mengurangi
dampak negatif-tekanan, memperkuat
PEMBAHASAN awareness, dan mendorong kolaborasi
Penelitian ini menemukan bahwa (Yeoman dkk., 2003).
festivalfilm di DIYpada 2009-2013 memiliki Ragam ciri khas dalam jaringan tata
kesamaan dan ciri khas dalam aktivitas tata kelola festival film pada masing-masing
kelolanya. Festival film di DIY memiliki festival ditentukan oleh interdependensi
interaksi tata kelola yang melibatkan lembaga festival tersebut dengan organisasi
aktor/multi aktor dari pemerintah, swasta lain. Interdependensi festival film di
dan organisasi masyarakat sipil. Keempat DIY dipengaruhi oleh praktik pertukaran
festival dalam penelitian ini tidak dapat sumber daya, aturan main untuk mengatur
mengelakkan adanya peran organisasi lain kebijakan tata kelola, dan sikap otonom
dalam melakukan tata kelola festivalnya. organisasi terhadap lembaga lain. Festival
Festival film yang dilaksanakan oleh film milik pemerintah (FFIY-PFY)
Dinas Kebudayaan ialah festival yang diselenggarakan untuk melaksanakan
banyak mendayagunakan sumber daya tugas dan fungsinya menurut peraturan
yang berasal dari satu sumber saja, yaitu perundangan. Sehingga, desain festival
APBD milik Pemda DIY. Namun, tidak tersebut mengikuti implementasi
dapat dipungkiri bahwa festival tersebut program/kegiatan dan tidak terlampau
juga membutuhkan sumber daya lain yang tergantung dengan lembaga lain. Festival
diperoleh dari lembaga lain, seperti SDM film milik pemerintah terlaksana dan
dan dukungan sarana/prasarana. tumbuh mengikuti kebijakan pemerintah/
Sementara itu, festival film dari pemerintah daerah yang membiayainya.
organisasi masyarakat sipil (JAFF, Sementara itu, festival film organisasi
FFD, dan FFPJ) memperkuat dirinya masyarakat sipil (JAFF, FFD, FFPJ)
171
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
172
Imam Karyadi Aryanto. Jaringan Tata Kelola...
festival film di DIY adalah transaksi dibutuhkan dalam pelaksanaan festival film
sumber daya berupa kemudahan perizinan, di daerah.
subsidi peminjaman gedung pertunjukan
milik pemerintah daerah (Taman Budaya SIMPULAN
Yogyakarta), peminjaman alat, promosi Pemerintah daerah sebaiknya mulai
bersama, perbaikan komunikasi, serta menjadi pengarah jaringan dalam tata
kesepahaman antara para pihak dalam kelola festival film di DIY ke depan dengan
mewujudkan tujuan bersama festival film memberikan partisipati dan inisiatif, serta
di DIY sebagai sarana menggapai tujuan mengurangi peran sebagai aktor pemberi
pembangunan kebudayaan dan pariwisata order yang hierarkis (self coordination in
serta pendidikan daerah tahun 2025. the shadow of hierarchy; Scharpf, 1994
Pemerintah daerah, organisasi masyarakat dalam Kjær, 2004, h. 44). Jaringan yang
sipil, dan sektor privat (sebagai pendukung), terbentuk adalah otonom dan hierarki
dalam tata kelola festival film di DIY, perlu
otoritas hanya membantu mengarahkan
mensinergikan tujuan dan kepentingan
dan mengoordinasi. Keberhasilan jaringan
festivalnya masing-masing dengan memahami
tata kelola festival film di DIY ditentukan
tujuan pembangunan makro daerah.
pada inisiatif-inisiatif masyarakat sipil dan
Hambatan lain yang muncul adalah pemberian ruang ekspresi dari pemerintah
adanya celah kesepahaman terkait aturan daerah dengan menyediakan fasilitasi serta
main yang diberlakukan dan perlu dipahami dukungan regulasi.
bersama. Misalnya, kakunya aturan main
Penulis perlu mengemukakan
transaksi sumber daya (finansial) antara
saran bagi penelitian selanjutnya, yaitu
pemerintah daerah dengan organisasi
mengemukakan permasalahan festival
masyarakat, terutama aturan main terkait
film dari jaringan komunikasi dalam
sistem penganggaran dan pembelanjaan
organisasi sebuah festival film, atau
anggaran pemerintah daerah. Hal tersebut
tema festival dan pilihan kuratorial film
dapat ditanggulangi apabila organisasi
sebagai teks komunikasi. Penelitian ini
pelaksana festival film memiliki Sumber
lebih banyak mengembangkan pendekatan
Daya Manusia (SDM) yang memahami
sosio-sibernetik dari sudut pandang relasi
prosedur penganggaran pemerintah daerah
aktor sektor publik dengan masyarakat
dalam menggapai tujuan akuntabilitas
sipil (public sector-civil society) dalam
publik. Pada sisi yang berbeda, pemerintah
membentuk jaringan kebijakan.
daerah perlu melakukan diskresi yang
nirkorupsi terhadap ketentuan dengan
DAFTAR RUJUKAN
kebijakan-kebijakan daerah terkait
penganggaran, misalnya dengan merevisi About the festival: History of the festival. (n.d.).
standar belanja pemerintah yang sensitif <http://www.festival-cannes.com/en/about/
terhadap spesifikasi barang/jasa yang aboutFestivalHistory.html>
173
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 12, NOMOR 2, Desember 2015: 161-174
174