Anda di halaman 1dari 53

BUDAYA DAN MASYARAKAT BALI

Dalam Perspektif Multikulturalisme

Oleh Nyoman Wijaya®

Aku di
sini,
di alam yang sudah
berjarak ruang,
berbeda waktu
denganmu, geli
tertawa kecut,
melihat
peringaimu,
yang masih saja
berbangga hati,
menepuk
dada,
lelap terlena di atas
tikar pujian,
kalian sebagai bangsa yang
paling toleran. Kau biarkan
dirimu hanyut dalam pujian,
tanpa pernah menyadari,
air yang kau pakai
mandi hari ini,
bukan lagi air yang
kemarin, semuanya
sudah berubah,
tetapi engkau tetap gegabah
menilai diri,
jumawa menepuk dada,
kebudayaanmua bernafaskan
agama Hindu, istilah yang
amat agung,
untuk sesuatu yang
duniawi, yang
sebenarnya hampa,
namun membuatmu
bangga.
Kebanggaan itu
membuatmu lupa, hingga
tak menyadari,
kebudayaanmu hanya
sebuah lampu, yang
menyerap
minyak peninggalan
generasi sebelumku,

®
Sejarawan, penulis biograpi dan prosopograpi, alumnus UGM 1986, dosen
Ilmu Sejarah Universitas Udayana.
generasi yang amat
primitif,
yang menyembah semua
kekuatan gaib,
menyembah roh-roh.
Sebagaimana
lampu,
kebudayaanmu
berhiaskan
peradaban Cina, Mesir, India, Eropa,
dan Amerika.
Kalau engkau masih
bersikeras, tetap
bertepuk dada,
agama hindu nafas
kebudayaanmu,
jawablah pertanyaanku
apakah udara yang
dihisap, yang
dikeluarkan
kembali, semuanya
Hindu.
Mestinya kau analogikan
kebudayanmu sebagai
sebuah pohon
yang baru saja dipindahkan
ke tanah baru hidup
atau tidaknya pohon,
amat bergantung dari
akarnya.
Hidup di tanah
yang baru,
membuat pohonmu
berjuang keras,
bukan hanya tuk memperkuat
batang dan ranting,
menyesuaikan diri,, sekaligus
juga berjuang
mempertahankan hidup.
Kalau di tanah yang
baru, ada zat
makanan
bermanfaat,
berarti akar pohonmu dapat
mempertahankan diri,, pohonmu
akan bisa tumbuh lebih kokoh,
mampu menghasilkan
daun, berbuah seperti
seperti sediakala.
Tetapi,
perjuangan pohonmu
sangat berat, sampai
harus meronta-ronta,
menangisi tanahnya
yang baru jauh, tidak
menyediakan,
bahan makanan seperti di
tanah sebelumnya
Kalau
penjelasanku
tadi,
belum membuatmu insyaf,
mungkin sulit mengupas
kulit bahasaku, kubuat
bahasa sederhana.
Apa yang engkau lakukan pada
alam, apakah betul sudah senafas
dengan tri hita karana, Yang
diajarkan oleh orang-orang
segenerasiku.
Aku
sedih,
bukan ajaran generasiku yang
kau terapkan,
yang menjadikan alam Bali
alam beribu pura.
Yang lebih banyak
kulihat,
yang mendominasi
pikiran, ajaran
Descartes juga
Bacon.
Merekalah pahlawan
kebudayaan Barat,
yang mengajari orang-
orang modern,
alam semesta ini hanya sebuah
sistem mekanis.
Mereka
pula,
yang memberimu
persetujuan padamu.
manipulasi dan mengeksploatasi
alam, mengubah sungai menjadi
got pembuangan sampah,
mengubah ngarai, tebing menjadi
kolam
Aku
sedih,
inikah yang kau
maksudkan,
sebagai kebudayaan
bernafaskan Hindu, jika ya,
sungguh keliru adanya.
Seandainya kemajuan
teknologimu, mampu
mencari dan menemukan,
berkas-berkas suara orang-
orang segenerasiku,
kau akan dapat
dengarkan dialog-
dialog kami tentang
alam,
aku tak pernah
mengajarimu melihat,
tumbuh-tumbuhan dan binatang
hanya sekedar mesin, sebagaimana
dipahami oleh dua orang bule itu.
Aku
sedih,
di mana engkau
geletakkan ajaranku,
tentang
alam,
tentang hubungan dengan
sesamamu.
Bukankah
dulu, untuk
itu,
aku mewarisimu
berbagai tumpek
tumpek, tumumpek, tinumpek,
katumpek, tumpekan, Aku sedih,
mengapa, mengapa,
mengapa engkau anggap
dia begitu sederhana,
hanya ritus,
tak lebih dari tatacara upacara
keagamaan, hanya serangkaian
sesajen untuk Dewa-Dewi, yang
engkau persembahkan sambil
melemparharap, memperoleh
berkah,
berkah pribadi-
pribadimu,
bukan berkah alam,
berkah dunia, Aku
sedih,
bukan itu yang
kumau,
Aku mau engkau tak berhenti hanya
dengan secangkup sesaji,
sekedar cakupan tangan
di kening,
untuk memperlihatkan engkau
dalam keheningan,
padahal kau maksudkan juga,
pamerkan jemarimu bertahta
emas berlian,
perlihatkan pergelangan tanganmu
berbalut arloji modern,
Aku
sedih,
bukan itu yang
kumau,
ada yang lebih penting dari sekedar
ritus, sekedar ritual. itulah makanya
Aku gunakan kata Tumpek,
kumaksudkan dia sebagai penanda
siklus waktu,
agar engkau
sadar
setiap menyembelih
seekor binatang,
menebang sebatang
pohon,
sekurang-kurangnya ada tiga puluh lima tunas
dan bibit yang mesti tumbuh,
bukankah Tumpek terutama yang
bertepatan dengan kliwon, tiada lain
menandai akhir tiga puluh lima hari,
maksudkan setiap Tumpek
engkau harus berbalik
ke depan,
berguling bersama
ke depan,
melakukan
peremajaan,
dari situ Aku bermaksud
mengajari integrasi, berbaur
dengan alam,
menjadi kesatuan utuh
dan bulat,
Aku
ajari
engkau responsif terhadap
lingkungan, kooferatif
terhadap lingkungan,
sadar terhadap
lingkungan, tetapi
engkau melangkah pasti
mengikuti gurumu, berpikir linear
bagai garis-garis lurus dan analitis,
dari situ engkau belajar dan
terbiasa
belokkan integrasi ke
penonjolan diri, engkau
kuasai dan kendalikan alam,
engkau buru dia dalam
pengembaraannya, engkau
ikat dia sebagai pelayan,
engkau masukkan dia dalam
kerangkeng, engkau ambil
rahasianya secara paksa,
begitu hutanmu gundul,
begitu tanahmu kering di
musim kemarau, banjir di
musim hujan,
engkau kembali datang pada
Dewa-Dewi, menebus
kesalahanmu,
menebus keangkuhanmu dengan
sesaji dan mantram, padahal yang
aku butuhkan lebih dari itu,
kembalikan transendensi yang telah
hilang,
kembalikan
kemanusiaanmu,
sesuaikan diri dengan
perubahan, tanpa
mengubah
keperibadianmu.

Permasahan
Tulisan di atas bukan sajak. Tidak ada keinginan saya
menjadikannya hanya sebuh wacana kata, melainkan sebuah
prolog untuk masuk pada persoalan begitu besarnya pengaruh
pujian yang diberikan oleh berbagai pihak kepada Bali terhadap
modus berpikir masyarakatnya hingga sekarang ini.
Salah satu di antara pujian yang sangat memabukkan,
bahwa orang Bali sangat toleran terhadap masyarakat beragama
lain. Penilaian seperti itu biasanya menggunakan penolok,
begitu banyak tempat ibadah berbeda agama bisa saling
berdampingan dan masyarakat pendukungnya hidup rukun
damai, tanpa saling mengusik dan merusak kepercayaan
masing-masing.
Kebanggaan atas pujian itu terlihat dari perilaku
sejumlah orang, terutama pejabat daerah yang sering memakai
konsep toleransi itu sebagai bahan ceramah pada forum
antaragama dan budaya. Dalam lingkungan lebih luas, banyak
orang mengatakan dirinya beruntung lahir sebagai orang Bali.
Mereka mengaku bangga sebagai manusia Bali. Mereka sadar
punya kelebihan, bahkan kadang-kadang merasakan diri sebagai
bangsa unggul yang harus selalu diperhitungkan di tingkat
nasional.1
Ekspresi kebanggaan ini terlihat dari cara mereka
memberikan penilaian atas budayanya. Salah satunya
mengatakan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu
adalah sebuah melting pot, yang terbentuk dari budaya
megalitik, animistik, dinamistik, totemisme, budaya Cina, Jawa,
dan Barat. Melting pot adalah konsep yang berasal dari
multikulturalisme.
Multikulturalisme merupakan suatu fenomena global
abad XX, hasil dari percepatan gerak antara manusia dan
kebudayaan dan kedua-duanya hidup berdampingan secara
2
damai. Dengan demikian, pernyataan itu mencoba
1
Gde Aryanta, “Menjadi Pemberani: Tantangan Manusia Bali Masa
Kini,” Bali Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif (Denpasar: Pustaka Bali
Post, 2004), pp. 165-166
2
“Home-Gateways to the World-Special International Guides-
Felloship-FAQ, World Books Home -1998-1999-2000-2001-2002-Country
Index,” (http://www.yahoo.com)
menyimpulkan bahwa kebudayaan Bali tangguh luar biasa,
tetap ajeg sekalipun setiap saat berbenturan dengan berbagai
budaya (multikultural).
Tulisan ini mencoba melihat unsur kesejarahan
pernyataan itu dengan mengajukan pertanyaan apakah betul
[masuk akal] kebudayaan Bali bernafaskan agama Hindu dan
berbentuk melting pot.

Budaya
Seandainya pernyataan tersebut di atas benar adanya,
berarti, di Bali telah terjadi penggabungan ras serta percampuran
sosial dan kebudayaan yang harmonis (a place where racial
amalgamation and social and cultural asimilation are going
on). Bisa juga berarti di dalam kebudayaan Bali sudah
berlangsung suatu proses percampuran kebudayaan yang
menghasilkan penguatan kebudayaan lama atau munculnya
sebuah kebudayaan baru yang berbeda sama sekali dengan
kebudayaan lama (process of blending that often result in
invigoration or novelty).3
Apakah melting pot yang mereka maksudkan mengarah
ke invigoration atau novelty. Seandainya novelty, berarti di Bali
sudah lahir suatu kebudayan yang betul-betul baru atau yang
sangat luar biasa (new or unusual culture). Akan tetapi kalau
yang dimaksudkan invigoration, berarti kebudayaan Bali sedang
mengalami penguatan. Dalam pengertian kedua, kebudayaan
Bali dianggap memperoleh manfaat luar bisa dari kebudayaan
non-Bali, baik yang nasional maupun internasional, artinya
kebudayaan lain dianggap telah memberikan kehidupan dan
energi (to give life and energy to) kepada kebudayaan Bali.
Dari kedua alternatif tersebut, mereka yang menyebut
kebudayaan Bali berbentuk melting pot, mungkin berpikir
bahwa di Bali sedang berlangsung suatu proses penguatan

3
Pemahaman secara harfiah konsep melting pot diambil dari A
Meriam-Webster, Webster New Collegiate Dictionary (Springfield: G. & C.

Merriam Company, 1977), p. 716


(invigoration) kebudayaan. Mudah diduga pikiran itu dilandasi
oleh anggapan bahwa pluralisme agama dan masyarakat
multibudaya tidak mampu mencemari kebudayaan, sehingga
apapun yang terkandung dalam kebudayaan Bali bersifat
Hindu. Pernyataan seperti ini mengindikasikan, bahwa agama
Hindu dipandang sebagai variabel bebas yang menentukan
perilaku manusia, artinya nilai-nilai Hindu dianggap sebagai
satu-satunya faktor yang berpengaruh atas sosialisasi, interaksi
sosial, dan pembentukan serta perubahan struktur sosial
4
masyarakat Bali.
Pandangan seperti itu jelas tidak berbeda jauh dengan
teori Karl Marx, yang secara diterminis mengatakan hidup ini
digerakkan oleh kepentingan ekonomi dan status sosial. Modus
atau cara berpikir seperti itu perlu dikritisi sebagaimana yang
dilakukan oleh Engels terhadapi Marx. Engels yang berangkat
dari filsafat idealis mengatakan bahwa yang lebih utama dari
materi adalah jiwa.5
Penjelasan Engels memberikan pemahaman, bahwa
tidak ada suatu faktor determinan yang membentuk perilaku
manusia, sebab jiwa adalah roh, yang seluruh kehidupan batin
yang terbentuk oleh pikiran, angan-angan, dan perasaan. Pikiran
adalah hasil berpikir, angan-angan adalah proses berpikir yang
dipengaruhi harapan-harapan logis, sedangkan perasaan adalah
hasil perbuatan merasa dengan panca indera, perasaan terbentuk
dari rasa, tanggapan indria terhadap rangsangan saraf yang
datangnya dari berbagai sumber.
Mengabaikan unsur jiwa dalam proses pembentukan
budaya, berarti sama dengan tidak mengakui peranan
epistemologi dalam pembentukan budaya. Oleh karena itu, perlu
diketahui apa yang sesungguhnya mereka maksudkan sebagai
kebudayaan Bali. Dengan adanya penekanan pada “bernafaskan

4
Y. Milton Yinger, The Scientific of Religion (New York: The
Macmillan Company, 1970), p. 207
5
Ali Mudhofir , Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), p. 151
agama Hindu,” berarti yang dimaksudkan adalah kebudayaan
Bali yang sudah dipengaruhi oleh agama Hindu.
Seandainya seperti itu, berarti pertanyaan berikut yang
perlu dicari jawabannya adalah apa isi atau bentuk kebudayaan
Bali yang bernafaskan Hindu, apakah suatu kebudayaan yang
bebas sama sekali dari pengaruh kebudayaan pra-Hindu atau
merupakan hasil percampuran keduanya. Jawabannya dapat
diperoleh dengan terlebih dahulu mengetahui bentuk
kebudayaan Bali pra-Hindu.
Menurut James Dananjaya, suku bangsa yang kurang
mendapat pengaruh agama-agama besar (Hindu-Buddha, Islam,
dan Kristen) mempunyai ciri-ciri yang sama. Dari segi
keagamaan dan sistem kepercayaan, masyarakatnya adalah
penyembah roh leluhur dan roh-roh lainnya seperti roh
kesuburan, serta percaya pada tenaga gaib. Kepercayaan
terhadap roh leluhur tercermin dalam upacara kematian. Ada
dua tahap upacara kematian, tahap kedua bertujuan
membebaskan roh si mati dari badan kasar untuk selama-
lamanya. Mereka percaya leluhurnya datang dari langit atau
keturunan orang-orang yang mempunyai sifat keperwiraan.
Mata pencahariannya terutama berladang. Dalam hal
kemasyarakatan, mereka memiliki sistem pelapisan sosial, lebih
mementingkan menjaga gengsi dan gemar memamerkan
kekayaan melalui penyelenggaraan upacara besar.6
Apakah bentuk kebudayaan pra-Hindu itu masih
terpantul dalam kebudayaan Bali abad XX yang dianggap
bernafaskan agama Hindu? Kebudayaan Bali yang bernafaskan
agama Hindu haruslah menunjukkan ciri-ciri sebagai suatu
bentuk kebudayaan yang mengandung sifat atau menyuarakan
Hindu, artinya menempatkan ajaran agama Hindu (filsafat,
etika, dan upacara) sebagai acuan aktivitas masyarakatnya.

6
James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali
(Jakarta: Dunia Pustaka jaya, 1980), p. 3.
Betul atau tidaknya agama Hindu sebagai acuan tingkah
laku masyarakat Bali, dapat dilihat dari hasil akhir saat nilai
agama Hindu saat bersinggungan dengan realitas sosial. Skup
temporalnya bisa dilacak mulai sejak terjadinya proses
transformasi dari kategori sejarah tradisional (masa prasejarah)
menuju kategori patrimonial (masa kekuasaan raja-raja Hindu).
Kalau nilai agama Hindu memang secara dominan
mempengaruhi prilaku, yang menggiring wujud perilaku
manusia, berarti dalam setiap langkah kehidupan masyarakat
Bali akan lebih mengedepankan ajaran Hindu.
Akan tetapi kenyataannya, sebagian besar perilaku
orang-orang Bali-Hindu masih dipengararuhi oleh unsur-unsur
kebudayaan pra-Hindu. Salah satu kebudayaan pra-Hindu yang
layak dijadikan contoh ialah upacara kematian. Upacara tahap
kedua dalam kebudayaan Bali abad XX disebut ngaben, yakni
upacara pembebasan roh dari badan kasar untuk selama-
lamanya. Sesuai dengan nilai yang diajarkan oleh agama Hindu,
ngaben adalah upacara yang dimaksudkan sebagai jalan
termudah mengantarkan roh si mati supaya bisa manunggal,
lebur ke dalam diri Brahman, Tuhan Yang Mahaesa, sebuah
konsep yang berhubungan dengan yang Ilahi, sesuatu yang
diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang
Mahaesa dan Mahaperkasa.
Setelah melalui upacara ngaben, dengan segala
rentetannya, roh si mati sudah dianggap suci. Hanya roh yang
sudah suci layak disembah, terutama oleh sanak keluarga si
mati. Tempat penyembahannya di sebut pura, yakni pura
kawitan (tempat suci milik bersama, yang didasarkan pada
kesamaan trah, satu genealogi) dan pura dang kahyangan
(tempat suci milik bersama yang diyakini sebagai tempat
persemayaman roh orang-orang suci). Letak pura umumnya di
dekat atau di tengah laut, sungai, ngarai, dan gunung, di mana
dulu orang-orang pra-Hindu membangun tempat
peribadatannya. Selain pura, roh yang sudah disucikan juga
dipuja di sanggah atau merajan (tempat pemujaan milik
keluarga).
Paparan tersebut di atas menujukkan yang terjadi dalam
kebudayaan Bali bukan melting pot melainkan proses osmosis
seperti yang disebut oleh Codes, artinya secara berangsur-
angsur unsur-unsur kebudayaan pra-Hindu memperoleh
pengertian secara Hindu. Proses osmosis terjadi ketika para
pendeta Hindu menghindukan elite lokal, terutama yang
memiliki kedudukan sosial tinggi dalam sistem pelapisan
masyarakat dan punya pengaruh dalam tata hubungan
kemasyarakatan. Mereka diposisikan sebagai raja lokal,
diandaikan sebagai inkarnasi para dewa Hindu-Buddha, yang
harus dipuja oleh rakyat sebagai kesinambungan dari pemujaan
kepada leluhur asli dan pemimpin-pemimpin yang telah
meninggal.7
Dari lingkungan istana, proses osmosis terus berlanjut ke
lapisan rakyat, yang wujudnya masih dapat dilihat dalam
kebudayaan Bali masa kini. Hal itulah yang menyebabkan
kebudayaan Bali masa kini menjadi tampak sangat hinduistis,
padahal dibaliknya tersimpan unsur pra-Hindu yang begitu
dominan. Salah satu contohnya adalah dalam budaya material,
terutama bentuk bangunan pura. Unsur-unsur pra-Hindu dalam
bangunan pura, di antaranya dapat dilihat dari adanya arsitektur
punden berundak-undak dan pintu gerbang bersayap burung. 8
Proses osmosis juga terlihat dalam sistem sosial terutama
yang menyangkut perilaku ritual persembahyangan. Dalam hal
ini, pura atau sanggah dianggap memiliki fungsi ganda, di satu
sisi sebagai tempat pemujaan roh leluhur, di sisi lain tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa.
Dalam persembahyangan, baik di pura maupun sanggah, modus
berpikir manusia pra-Hindu menyatakan bahwa hanya dengan

7
Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj.
R.M. Soedarsono, (Bandung: arti.line, 2000), p. 33
8
Ibid., p. 11
memuja roh leluhur kehidupan di dunia akan bisa terjamin,
berlaku hingga sekarang.
Modus berpikir seperti ini mempengaruhi perilaku
manusia, bukan hanya menyangkut kreativitas proses simbolis,
tetapi juga dalam perwujudan organisasi sosial dan ekonomi.9
Dalam proses simbolis, terlihat begitu banyak orang Bali
menciptakan karya filsafat, seni, mitos dan sejarah untuk
kepentingan menjaga hubungan dengan roh leluhur maupun
kekuatan gaib. Dengan demikian, manusia menjadi begitu
terpengaruh oleh nilai pra-Hindu yang menyebutkan
keberhasilan atau kegagalannya dalam mempertahankan hidup
sangat ditentukan oleh baik-buruknya hubungan dengan roh-roh
tersebut di atas.
Modus berpikir ini membuat manusia Bali-Hindu masa
kini memberikan persembahan kepada roh maupun kekuatan
gaib yang dianggap bersemayam pada benda-benda.
Perbedaannya dengan di masa pra-Hindu, kini sebuah benda
baru bisa dinyatakan mempunyai roh atau kekuatan gaib jika
terlebih dahulu diupacarai secara agama Hindu. Akan tetapi,
masih seperti di zaman prasejarah, objek yang disembah adalah
benda-benda di angkasa bumi ini seperti matahari, bulan, api,
bumi, angin, dan langit. Hanya penyebutannya yang sudah
berubah, disesuaikan dengan kebudayaan Hindu, memberinya
nama bhatara atau dewa, sehingga berturut-turut menjadi
Bhatara [Dewa] Surya, Candra, Agni, Parwati, Wayu, dan
Indra.10
Apakah kebudayaan Bali yang terbentuk melalui proses
osmosis tersebut tetap ajeg pada saat terjadinya transformasi
kekuasaan dari kategori sejarah patrimonial ke kapitalis [dimulai
sejak zaman Belanda]. Jawabannya dapat dicari dalam hasil

9
Sepanjanjang abad XX begitu banyak muncul organisasi sosial dan
ekonomi yang dibentuk berdasarkan asas kepentingan persamaan roh
leluhur.
10
Claire Holt, op. cit., p. 34.
implementasi nilai-nilai kebudayaan Bali-Hindu saat dalam
masyarakat.
Realitas sosial menunjukkan, salah satu nilai nilai utama
yang disebut tri hita karana tidak sepenuhnya terpantul, setidak-
tidaknya ada ruang sejarah (waktu dan tempat) yang
memperlihatkan di mana dan kapan nilai ini berlaku. Hal itu tak
bisa dilepaskan dari berubahnya jiwa orang-orang Bali-Hindu.
Pada saat jiwa masih berada dalam ruang dan waktu kategori
sejarah patrimonial, masih terlihat ada komunitas masyarakat
mentaati nilai ini. Akan tetapi begitu kategori sejarah
patrimonial berakhir digantikan oleh kategori sejarah kapitalis,
terjadilah pergeseran dari ekonomi tradisional ke ekonomi
kapitalis.
Pada saat itu modal berupa uang dan tanah menjadi
dominan dan mulai terjadi perubahan kebudayaan untuk menuju
terbentuknya kebudayaan baru. Begitu masyarakat mulai
menyadari peranan modal dalam kehidupan bermasyarakat,
maka mulai terjadi perubahan tata hubungan manusia dengan
alam. Konsep menjaga keselarasan berubah menjadi eksplotasi
terhadap alam, yang intensitasnya semakin lama semakin
meningkat seiring dengan terjadinya kemajuan teknologi
pembuatan jalan, jembatan, saluran air, dan perumahan.
Perubahan ekologis pada akhirnya mengubah perilaku,
yang tentunya akan menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
kebudayaan dalam arti luas. Perubahan bentuk kebudayaan
semakin meningkat seiring dengan terjadinya perubahan dalam
demografi (kependudukan) dan pendidikan, yang menyertainya
dua perubahan sebelumnya yakni ekonomi dan teknologi.
Bagaimana menerangkan perubahan tersebut, merupakan
pertanyaan yang sangat penting untuk memberikan semakin
banyak bukti penolakan terhadap pandangan yang menyatakan
kebudayaan Bali-Hindu berbentuk melting pot.
Bukti pertama dapat dilihat ketika perubahan kejiwaan
orang-orang Bali-Hindu mulai berpengaruh terhadap cara
mereka memberikan nama atas para dewa yang sudah terbentuk
melalui proses osmosis dari unsur-unsur kebudayaan pra-Hindu.
Semenjak zaman kolonial, secara perlahan-lahan para dewa itu
diposisikan sebagai sinar suci Tuhan Yang Mahaesa atau Ida
Sanghyang Widhi Wasa. Penggunaan kedua istilah ini
berlangsung melalui perjalanan yang panjang.
Istilah Tuhan Yang Mahaesa mulai populer di Bali sejak
awal zaman kemerdekaan, tahun 1950-an, seiring dengan
berlangsungnya proses sosialisasi Pancasila sebagai dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama butir pertama
yang menyebutkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Seiring dengan
hal itu, orang-orang Bali-Hindu mulai mencari padanannya ke
dalam bahasa Bali dengan mengacu pada konsep Jawa-Kuno,
menjadi Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Pencarian padanan istilah Tuhan Yang Mahaesa ke
dalam bahasa daerah merupakan bagian dari sejarah kebudayaan
Bali, ketika sebagia bagian dari suatu bangsa [Indonesia], orang-
orang Bali-Hindu dituntut untuk mencari identitas keagamaan
agar dapat masuk dalam lingkungan sistem [kementerian
agama] pemerintahan Republik Indonesia.
Sebelum kedua istilah tersebut di atas diterima oleh
masyarakat luas, orang-orang Bali menyebut yang Ilahi
digunakan istilah Ratu Bhatara atau Sanghyang Embang. Begitu
masyarakat Bali-Kristen pada tahun 1930-an memakai istilah
Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut nama Tuhan atau
Bapa di Sorga,11 orang-orang Bali-Hindu mulai menyadari
bahwa istilah itu sebenarnya milik agamanya, sebab sudah
sering dipakai dalam lontar-lontar ditulis oleh para mpu.
Sejak itu, secara perlahan-lahan, mereka mulai
menyembah yang Ilahi sebagai Ida Sanghyang Widhi Wasa di
pura maupun di sanggah dan mewujudkannya dalam sebuah
pelinggihan, berbentuk padmasana. Perwujudan Ida Sanghyang
Widhi Wasa ini ditempatkan membelakangi lokasi Gunung

11
Pada saat orang Bali Hindu mengklaim istilah Ida Sanghyang
Widhi Wasa adalah miliknya, terjadilah konflik sosial yang bisa diselesaikan
hingga sekarang.
Agung, sehingga orang-orang yang menyembahnya dengan
sendirinya akan menghadap ke arah gunung yang tertinggi di
Bali ini, yang oleh masyarakat pra-Hindu diyakini sebagai
tempat roh para leluhur dan para pemimpin besar.
Selain padmasana, di setiap pura atau sanggah selalu
ada pelinggihan (perwujudan) berbagai roh. Secara umum,
orang-orang Bali-Hindu memposisikan roh-roh tersebut sebagai
sumber kekuatan yang setiap saat dapat dimintai bantuan untuk
mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Seringkali pula, dalam
diri sebagian besar orang Bali-Hindu, roh-roh ini dijadikan
sebagai media perantara untuk menyampaikan pesan atau
harapan kepada Tuhan.
Dalam hal ini, Tuhan diposisikan bagaikan penguasa
tertinggi dalam birokrasi negara modern, bahwa tidak semua
persoalan administratif atau birokratis harus selalu ditangani
oleh presiden. Bagaikan presiden yang dibantu oleh para mentri
untuk menjalankan tugasnya, Tuhan dibantu oleh sejumlah
dewa, yang mempunyai tugas masing-masing.
Tidak semua persoalan duniawi perlu langsung ditangani
Tuhan, melainkan cukup oleh bawahannya, yakni para dewa
(kekuatan-kekuatan alam) dan roh-roh yang telah disucikan itu.
Untuk persoalan yang bersifat pribadi dan rumah tangga,
penanganannya dipercayakan kepada roh leluhur yang sudah
disucikan yang disebut Bhatara Hyang Guru atau Bhatara
Kawitan.
Selain yang sudah disebutkan di atas, tumpang-tindih
unsur-unsur pra-Hindu dengan agamaHindu dalam kebudayaan
Bali sekarang ini, dapat dilihat dari implementasi kandungan
nilai tri hita karana lainnya yang menyangkut hubungan antara
manusia dengan manusia. Inti nilai tri hita karana dalam hal ini
adalah keselarasan antarmanusia, yang dalam istilah modern
boleh disebut civil society, masyarakat madani. Akan tetapi
dalam realitas sosial abad XX ini, nilai ini belum mampu
menghapus modus berpikir masyarakat pra-Hindu yang
menyangkut hakekat manusia.
Nilai yang menyangkut tata-hubungan manusia, dalam
agama Hindu dirumuskan ke dalam konsep tat twam asi, yang
mengajarkan pada hakekatnya manusia memiliki kedudukan
yang sama tinggi dan sama rendah di hadapan Tuhan. Akan
tetapi dalam kenyataannya manusia dibeda-bedakan berdasarkan
garis keturunan yang disebut sistem catur wangsa bahwa
wangsa yang satu punya nilai lebih tinggi dan lebih rendah
daripada wangsa yang lain.
Sistem catur wangsa ini bertentangan dengan nilai
agama Hindu lainnya yang disebut catur warna (sistem
kemasyarakatan berdasarkan profesi). Sistem catur wangsa ini
tidak saja berpengaruh terhadap kehidupan sosial, misalnya
dalam tata pergaulan dan perkawinan, tetapi juga mempengaruhi
wujud kebudayaan material maupun simbolis, terutama yang
menyangkut aktivitas keagamaan dan adat-istiadat. Hal ini
tercermin dari adanya perbedaan, tinggi-rendahnya simbol-
simbol keagamaan dan adat istiadat yang pemakaiannya
disesuaikan dengan tingkat kedudukan dalam sistem pelapisan
sosial.
Nilai agama Hindu lainnya yang disebut yadnya (kurban
suci) dan upakara (kedermawanan) tenggelam dalam upacara
besar-besaran. Padahal dalam agama Hindu di Bali ditawarkan
tiga tingkatan upacara mulai dari nista (sederhana) madya
(menengah) atau utama (besar). Tujuan upacara pun akhirnya
berubah, bukan lagi sebagai simbolisasi untuk mencapai
tingkah laku yang pantas dalam bermasyarakat, tetapi lebih pada
upaya untuk mencari gengsi, berarti mirip dengan karakteristik
masyarakat pra-Hindu.
Dengan demikian, upacara keagamaan menjadi
ajang memamerkan kekayaan dan kekuasaan yang
diperlihatkan melalui perlombaan memasukkan simbol-
simbol modernitas dalam setiap lini upacara, misalnya
bahan-bahan yang digunakan sebagai sesajen, hidangan
yang disajikan kepada para undangan, pakaian dan
perhiasan yang dipakai oleh semua pihak. .
Kegagalan nilai-nilai Hindu mengubah modus berpikir
pra-Hindu terlihat pula dari pemahaman dan implementasi
moksha. Nilai ini menganjurkan umat Hindu memanfaatkan
kelahirannya sebagai momentum untuk membebaskan diri dari
segala konsep dan bentuk, artinya tidak jumawa saat
memperoleh keberhasilan dan tidak menderita dalam kesusahan.
Jalan utama menuju moksha ialah melatih falsafah trikaya
parisudha (keserasian dan kepaduan dalam berpikir, berkata,
dan bertindak) sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh
agama Hindu.12
Ajaran itu sebenarnya menuntun manusia pada suatu
titik yang disebut sunia (kosong), bahwa sebenarnya setiap
orang boleh mendekatkan diri kepada yang Ilahi, secara
personal tanpa melalui bantuan pihak kedua (pendeta) atau
sarana sesaji (upacara dan mantram), jika sudah mampu
mengontrol pikiran, perkataan, dan perbuatan menuju ke arah
kebenaran (dharma).13 Akan tetapi yang dominan dalam
masyarakat adalah praktek keagamaan yang menggunakan
perwakilan, yakni para pedanda dan pemangku (pendeta dan
asistennya) yang di dalam menjalankan tugasnya menggunakan
sesajen dan mantram, doa-doa berbahasa Sansekerta atau Jawa
Kuno.
Pada saat perilaku kebudayaan ini bertumpang tindih
dengan kategori sejarah kapitalis, terutama menonjol mulai
sejak zaman kolonial, terjadilah proses komersialisasi di segala
bidang kebudayaan. Dalam bidang agama, misalnya pendeta
tidak lagi semata-mata berfungsi sebagai pelayan umat,
memposisikan diri sebagai perantara doa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, tetapi banyak sekali yang juga berfungsi [sekalipun

12
Ajaran ini diperkenalkan oleh Danghyang Dwijendra, yang juga
dikenal dengan nama Pedanda Sakti Bawu Rawuh. I Gusti Bagus Sugriwa,
Darma Sunya (Denpasar: Pustaka Shidanta, 1989), p. 8.
13
Ibid
melalui peran serta keluarganya, namun atas sepengetahuan
dirinya] sebagai penyedia jasa pembuatan sarana upacara.
Melalui pemaparan beberapa kasus di atas, semakin
banyak bukti untuk tidak menyebut melting pot, sebab di dalam
isi dan bentuk kebudayaan Bali abad XX tidak terkandung unsur
penguatan salah satu kebudayaan (invigoration) atau suatu
bentuk kebudayaan baru (novelty) yang betul-betul berbeda
dengan kebudayaan sebelumnya. Lebih tepat kiranya menyebut
kebudayaan Bali berbentuk mosaic. Konsep ini merupakan
alternatif lain dari hasil akhir multikulturalisme, seperti yang
terjadi di Canada.14
Mosaic bisa diartikan sebagai suatu organisme atau sel
yang bagian-bagiannya tersusun lebih dari satu tipe spesies (an
organism or one its parts composed of cell of more than one
genotype). Dengan kata lain, mosaic ialah suatu kepingan
berwarna-warni yang disusun dan ditempelkan sedemikian rupa,
sehingga membentuk gambaran yang mencakup suatu daerah
tertentu.15
Bukan hanya Canada, Australia juga tak mau menyebut
dirinya melting pot, suatu konfigurasi budaya di Amerika
Serikat. Kaum akademisi dan orang-orang yang ‘beraliran kiri’
di Australia cenderung menyebutkan dirinya tidak memiliki
identitas bangsa dan budaya. Mereka menyebut budayanya
sebagai salah satu dari kebudayaan Inggris dan lebih senang
memposisikan dirinya sebagai multikultural mish-mash atau
aneka budaya yang, campur aduk (jumble).16

Edisi 5

14
Peter Lamborn Wilson & Mao Tse-tung (revised), Again
Multiculturalism” Let a thousand flowers bloom” (http://www.yahoo.com)
15
A Meriam-Webster, Webster New Collegiate, op. cit., p. 750
16
Anon, “The Manace of Multiculturalism,” (A Summary)
(http://www.yahoo.com)
Masyarakat
Berangkat dari kasus Canada dan Australia tersebut di
atas, apakah tidak mungkin budaya (culture) dan masyarakat
(structure) multikultural di Bali juga melahirkan
multikulturalisme mish-mash, campur aduk, bagaikan sebuah sel
yang disusun oleh lebih dari satu spesies kebudayaan. Realitas
sosial menunjukkan ciri-ciri mish-mash (campur aduk) lebih
terlihat dalam budaya (culture) daripada masyarakat (structure),
artinya pertemuan antarbudaya (multikultural) telah melahirkan
multikulturalisme mosaic yang mish-mash, namun tidak
demikian halnya dengan masyarakat (stucture).
Dalam tataran struktural, masyarakat Bali yang majemuk
(karena terdiri dari berbagai suku dan bangsa), tidak begitu saja
bisa dipakai sebagai alasan untuk menyebut telah terjadinya
multikulturalisme. Harus dicari beberapa kondisi yang
memungkinkan berlakunya istilah ini. Di dalam perspektif
multikulturalisme, ada keharusan tidak hanya budaya (culture)
yang hidup berdampingan secara damai, saling mempengaruhi
satu sama lain, tetapi juga masyarakat (structure).17
Dengan demikian, persyaratan ada atau tidaknya
multikulturalisme dalam budaya (culture) dan masyarakat
(structure) suatu negara atau daerah, harus dilihat terlebih
dahulu dari ada atau tidaknya perdamaian antarmanusia dan
kebudayaan yang berbeda-beda. Hanya dengan persyaratan
seperti itu, mereka yang berasal dari kelompok optimistik, pasti
akan bersikeras mengatakan multikulturalisme sudah berlaku di
Bali.
Bagi mereka [kelompok optimistik] persyaratan
perdamaian yang harus ada pada masyarakat multikulturalis,
tidak perlu dipersoalkan lagi, karena sudah sejak dahulu
masyarakat Bali memiliki cita-cita toleransi dalam berinteraksi
dengan budaya (culture) dan masyarakat (structure) lain.
Mereka menganggap cita-cita toleransi merupakan bagian dari

17
“Home-Gateways to the World-Specia...,loc. cit.
sejarah Bali yang melekat kuat hingga sekarang. Cita-cita
toleransi menjadi faktor utama dari tidak pernah terjadinya
konflik antarbudaya dan antarmasyarakat di zaman kerajaan.
Cita-cita toleransi telah membuat masyarakat yang berbeda
budaya, suku, dan bangsa bisa hidup berdampingan dan saling
menghargai.
Sejauhmana asumsi tersebut di atas mengandung
kebenaran, untuk itu diperlukan pengujian sejarah. Jawaban atas
pertanyaan itu, dapat dicari dengan melacak hubungan
kekuasaan dengan kebudayaan. Dalam hal ini, raja
memposisikan dirinya bukan hanya sebagai produsen budaya,
tetapi juga pengontrol kebudayaan dengan cara mengatur
pertemuan antarbudaya dan antar masyarakat.
Dengan cara seperti itu, keberadaan para pendatang yang
berbeda budaya (termasuk di dalamnya agama) tidak sampai
melakukan penetrasi kebudayaan secara mendalam di Bali. Di
bawah kontrol raja, struktur kelas dan lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan masih mampu tidak saja memposisikan diri
sebagai pencipta budaya mitis, tetapi sekaligus mengawasi
perkembangan gerak budaya asing yang sudah penuh dengan
simbol realis.
Mekanisme kontrol seperti itu mengakibatkan
masyarakat Bali menjadi terbiasa menyaring kebudayaan asing,
mengambil yang dianggap perlu. Membiarkan bagian-bagian
lainnya yang tak terpilih hidup dalam lingkungan sesama
mereka, pada komunitas-komunitas kecil yang disebut kampung
dan penamaannya disesuaikan dengan asal daerah dan bangsa,
seperti Kampung Jawa (termasuk di dalamnya Madura),
Kampung Bugis, Cina, dan Arab (termasuk di dalamnya India).
Dalam upaya menjaga keharmonisan hubungan
antarbudaya dan antarmasyarakat, dibentuklah cita-cita toleransi
yang proses sosialisasinya berlangsung melalui sejumlah mitos,
di antaranya dengan menyebut orang-orang Cina sebagai
nyama
kelihan (saudara tua)18 dan nyama selam (saudara yang
beragama Islam) untuk kaum Muslim.19 Toleransi warisan masa
kerajaan inilah yang menjadi acuan para pemuji Bali, yang
membuat orang Bali masa kini bangga dengan kebudayaannya,
seperti yang telah disebutkan di atas.
Kebanggaan seperti itu tampak semu, terutama kalau
dilihat dari perspektif multikulturalisme, sebab cita-cita toleransi
warisan zaman kerajaan itu, tidak secara otomatis bisa dipakai
sebagai penolok untuk menyebut adanya multikulturalisme
dalam masyarakat (structure) Bali. Di dalam perspektif
multikulturalisme yang dipentingkan bukan semata-mata
adanya kesatuan dalam keanekaragaman dalam masyarakat
majemuk, melainkan ada atau tidaknya saling perhargaan satu
sama lain, bahwa masyarakat bisa memposisikan
kebudayaannya sederajat dengan kebudayaan lain.
Unsur kesederajatan tidak begitu saja terkandung di
dalam cita-cita toleransi, bahkan seringkali justru sebaliknya,
bukan kesederajatan melainkan ketimpangan. Oleh karena itu,
orang-orang memberikan toleransi tidak bisa berharap banyak
bahwa mereka akan memperoleh perlakuan yang sama dari
masyarakat yang menerimanya. Hal itu disebabkan karena
toleransi bersembunyi dibalik kekuasaan [power], yang
mengatur hubungan antarkebudayaan antarmasyarakat.20

18
Konsep ini melahirkan tabu, bahwa seorang laki-laki Bali tidak
boleh menikahi wanita Cina. Pelanggaran atas tabu ini diyakini akan
menimbulkan kesengsaraan dalam bahtera perkawinan. Dari symbol, lahir
produk kesenian yang disebut ‘barong landung”, dua sosok dewa berwajah
manusia yang tinggi besar, berwarna putih dan hitam, sebagai perwujudan,
bentuk simbolis dari Raja Bali Jaya Pangus bersama istri, seorang putri Cina
bernama Ang Wie Cik.
19
Lihat I Nyoman Wijaya, Cahaya Kubah di Ujung Timur
Kahyangan: Studi Perkembangan Islam di Kabupaten Karangasem l950-
l980, Skripsi S1, belum dipublikasikan (Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, l986)
20
Ibid
Perspektif multikulturalisme tersebut di atas berlaku di
Bali, dapat dilihat ketika raja dengan kekuasaannya yang
absolut, yang tidak saja mampu mengatur pemukiman para
pendatang, tetapi juga mengontrolnya dengan memberikan
sanksi bagi mereka yang melanggar nilai, cita-cita, dan simbol-
simbol ekspresif kebudayaan Bali. Sanksi itu bisa berupa denda,
penyitaan sebagaimana yang berlaku dalam hukum tawan
karang, penangkapan dan bahkan pembunuhan.
Dengan demikian, sesuai persfektif multikulturalisme,
toleransi warisan zaman kerajaan itu berada ditengah-tengah di
antara penerimaan dan cinta kepada kebudayaan lain. Sifat
toleransi menjadi bagaikan sebuah bandul yang bisa berdiam di
tengah-tengah jika ada kekuasaan yang mengontrolnya, namun
akan bergerak ke kiri atau kanan bahkan bisa berputar-putar
tanpa arah jika ada gejolak.21
Sepanjang raja bisa menjamin stabilitas keamanan,
toleransi timbal balik akan tetap bisa dipertahankan. Akan
tetapi begitu terjadi transformasi kekuasaan, alih kekuasaan dari
raja-raja ke pemerintah Belanda, maka toleransi timbal balik
mulai pudar secara perlahan-lahan.

Proses Perubahan Bentuk Budaya


Proses memudarnya toleransi itu harus dicari pada
zaman Belanda. Dalam hal ini kekuasaan para raja dijadikan
sub-ordinasi, melalui sistem pemerintahan tak langsung
(indirect role), sehingga tercipta suatu kerjasama yang saling
menguntungkan. .

Edisi 6
Kendali kekuasaan ada di tangan pemerintah Belanda,
Gubernur Jendral Hindia Belanda, yang dalam hal ini diwakili
oleh Residen Bali dan Lombok. Di bawah kekuasaan Belanda,
Bali menjadi jauh lebih terbuka dibandingkan saat masih di
bawah kekuasaan para raja. Gerak pertemuan antarmanusia dan
21
Ibid
antarkebudayaan menjadi semakin cepat. Semua orang yang ada
dalam ruang lingkup wilayah kekuasaan Hindia Belanda, baik
atas nama pribadi atau kelompok boleh datang ke Bali, dan
bahkan banyak yang sengaja didatangkan untuk mengisi
jabatan-jabatan di pemerintahan.
Salah dari kelompok yang datang ke Bali pada awal
kekuasaan Belanda adalah teosofi, namun tidak jelas apakah
kedatangan mereka atas undangan pemerintah Belanda atau
kehendak sendiri. Seandainya kehendak sendiri, mengapa
mereka baru datang ke Bali di masa kolonial?
Sampai saat ini, belum ada peneliti yang mampu
memberikan jawaban atas pertanyaan itu, sebab belum begitu
banyak yang mau membicarakan persoalan teosofi di Bali,
kecuali Herman A.O.de Tollenaer. Dia memberikan gambaran
selintas tentang teosofi di Bali. Dia menginformasikan, bahwa
paham ini sudah masuk ke Bali pada tahun 1915 dibawa oleh
seorang pendatang dari Jawa yang bernama Mas Djono, disusul
kemudian oleh Mangkoe Negoro VII, dan selanjutnya Soetatmo
Soeriokoesoemo, yang sempat tinggal di Denpasar dari tahun
1918-1921.22
Dari Tollenaer tidak diperoleh jawaban bagaimana
masyarakat teosofi ini berinteraksi dengan orang-orang Bali,
strategi apa yang mereka gunakan. Hanya ada sedikit komentar
dari Soetatmo Soeriokoesoemo bahwa religiositas orang-orang

22
Teosofi memiliki berbagai makna. Sering disebut Super-agama
dan Super-sains. Disebut agama, tetapi bukan agama, melainkan agama
dalam tingkatan tertentu. Disebut filosofi, tetapi bukan filosofi, melainkan
filosofi dalam tingkatan tertentu. Disebut juga sains, tetapi bukan sains,
melainkan sains dalam tingkatan tertentu. Karena itu tak ada kemampuan
intelektual yang mampu memberikan pedoman batasan padanya, lihat
Herman A.O.de Tollenaere. The Politics of Divine Wisdom. Theosophy and
labour, national, and women’s movements in Indonesia and South Asia
1875-1947 (Leiden: Uitgeverij Katholeike Universeteit Nijmegen, l996), p.
17
Bali yang lebih murni daripada orang-orang Jawa, karena itu
bisa dijadikan sebagai pengimbang kelompok Islam fanatik.23
Para teosof dari Jawa ini membawa nilai, cita-cita, dan
simbol-simbol ekspresif yang berasal dari ajaran teosofi yang
mungkin telah tumpang-tindih dengan mistik Jawa. Setiap
anggota teosofi ini tentunya juga membawa serta pengalaman
kebudayaan masing-masing. Bagaimana cara orang-orang Bali
merespon kehadiran mereka. Pendekatan apa yang digunakan,
sinkretik atau adaptif. Apa pengaruhnya bagi lingkungan sosial
dan budaya masyarakat Bali.
Herman A.O.de Tollenaer tidak menyediakan jawaban
atas pertanyaan itu. Dia hanya menginformasikan bahwa minat
orang Bali terhadap teosofi terus berkembang. Hal ini terbukti
dari adanya sebuah loji, tempat berkumpulnya para teosof
bernama Adnjana Nirmala pada tahun 1937. Anggotanya
berjumlah enam belas orang di bawah pimpinan I Goesti Ketoet
Djelantik.24 Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut, siapa
yang dimaksud dengan I Goesti Ketoet Djelantik.25
Seandainya bisa diketahui latar belakang sosiologis
masyarakat teosofi dan jaringannya di Bali. Hal itu akan mampu
membantu memberi jawaban atas pertanyaan apakah kelompok
teosofi ikut berperanan dalam membangun konflik sosial
antargolongan (kasta) yang terjadi secara berkala dan seporadis
sepanjang abad XX di Bali.
Kunci pembuka latar belakang sosiologis itu hanya
terlihat dari titel nama I Goesti Ketoet [Djelantik] yang berarti
dia berasal dari golongan triwangsa kasta wesia. Pada umumnya
orang-orang dari golongan triwangsa (brahmana, ksatria, dan
wesia) dianggap sebagai kelompok konservatif, yang selalu
23
Ibid.
24
Ibid., p. 329
25
Herman de Tollenaera, The “Theosophical Society in The Dutch
East Indie 1880-1942,” Hinduisme In Modern Indonesia, A minority
religion between local, nasional, and Global interest, Martin Ramstedt, ed.
(London: Routledge Curson, 2004), pp. 35-44.
ingin mempertahankan hak-hak istimewa dalam pergaulan
kebudayaan dan kemasyarakatan di Bali.
Akan tetapi keterlibatan seorang wesia dalam organisasi
teosofi memberikan indikasi bahwa dia punya pandangan
modern, sudah mengikuti kemajuan zaman. Sekalipun demikian,
perlu bukti yang lebih banyak lagi untuk menyebutkan bahwa
organisasi yang dipimpinnya merupakan wadah bagi orang-
orang Bali modern untuk melakukan reinterpretasi dan reposisi
terhadap kebudayaan Bali.
Seandainya latar belakang sosiologis anggota organisasi
ini bisa diketahui, apalagi bisa dibuktikan mereka terlibat, baik
secara individu maupun kelompok dalam benturan budaya
antara budaya triwangsa melawan sudra yang terjadi sepanjang
abad XX , maka akan bisa ditarik kesimpulan bahwa nilai, cita-
cita, dan simbol-simbol ekspresif teosofi berpengaruh terhadap
perubahan budaya (culture) dan masyarakat (structure) Bali.
Jawaban sementara atas pertanyaan itu memperlihatkan
tidak ada hubungan antara kelompok teosofi dengan konflik
sosial yang tumpang-tindih dengan benturan budaya, namun
oleh sejumlah peneliti lain hanya disebutkan sebagai konflik
sosial, sekalipun aspek-aspek yang menjadi pembahasannya
menyangkut kebudayaan.26
Konflik sosial [tumpang-tindih dengan benturan budaya]
itu sudah mulai terjadi empat tahun sebelum kedatangan
kelompok teosofi, tepatnya pada tahun 1911, berarti tiga tahun
setelah masa kekuasaan Belanda.27 Fakta ini sekaligus

26
Sebagai contoh, lihat I Nyoman Naya Sujana, “Konflik Sosial di
Bali: Fenomena dan Strategi Penanggulangan,” dalam Bali Menuju
Jagaditha, op. cit., pp. 83-112.
27
Data itu terungkap dari dokumen, surat pribadi I Tomblos,
wangsa Pande Besi, dari Desa Beng, Gianyar, “Dipersembahkan Kehadapan
Sri Padoeka Kandjeng Toean Besar Resident atas Keresidenan Bali dan
lombok, jang bersemajam atas kehormatannja di Kota Singaradja,” dalam
Made Kembar Kerepun, Dokumen Masalah Pande, belum dipublikasikan
(dihimpun dari Dossier Korn No. 213 Leiden dan sumber-sumber tertulis
lainnya).
mengoreksi tingkat pengetahuan para sejarawan,28 sosiolog,29
dan antropolog,30 yang meneliti konflik sosial [tumpang-tindih
benturan budaya] di Bali, yang baru sampai pada pemahaman
bahwa konflik sosial mulai muncul pada tahun 1920.
Konflik sosial [tumpang-tindih dengan budaya] di tahun
1910-an itu berpangkal dari faktor kejiwaan, yakni endapan
emosi atas kekecewaan golongan Pande Besi terhadap raja
Gianyar, Dewa Manggis. Kekecewaan itu berpangkal dari
dimasukkannya golongan Pande Besi ke dalam lapisan kasta
sudra, padahal menurut keyakinan mereka termasuk dalam
lapisan triwangsa, karena leluhur mereka dianggap masih punya
hubungan genealogis dengan leluhur para brahmana, strata
tertinggi dalam sistem pelapisan sosial di Bali.
Statusnya sebagai sudra, mengharuskan golongan Pande
Besi wajib mengikuti kerja rodi membangun jalan raya, yang
diintruksikan oleh Resident Bali dan Lombok. Menanggapi
instruksi resident, Raja Gianyar mengeluarkan kebijakan,
bahwa berat ringannya pekerjaan ditentukan oleh kasta.
Semakin tinggi kasta seseorang, semakin ringan kewajibannya
dalam sistem kerja rodi. Sebaliknya, semakin rendah kastanya,
semakin berat pekerjaan yang harus dipikul.
Orang-orang Pande Besi tidak saja menolak statusnya
sebagai sudra, tetapi juga kerja rodinya. Lebih jauh dari itu,
mereka juga menolak perintah Dewa Manggis dan pedanda
kerta [pendeta kerajaan] yang mewajibkan penggunaan tirta (air
suci) untuk kepentingan ritual dari pendeta brahmana. Orang-

28
Lihat, Anak Agung Gde Putra Agung, Perubahan Sosial dan
Pertentangan Kasta (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,
2001).
29
Lihat, Ida Bagus Yuda Triguna, “Mobilitas Kelas, Konflik, dan
Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali,” disertasi belum
dipublikasikan (Universitas Pedjadjaran, Bandung, 1997), pp. 223-243.
30
Lihat, I Gusti Ngurah Bagus, ”Pertentangan Kasta dalam Bentuk
Baru pada Masyarakat Bali” (Denpasar: Jurusan Antropologi, 1970) dan
“Surya Kanta Modern Kawangsan Movement of The Jaba Caste in Bali,”
dalam Masyarakat Indonesia, Vol. II. No. 2 (Jakarta: LIPI, 1975).
orang dari golongan Pande Wesi memiliki kepercayaan
sebagaimana tercantum dalam prasasti asal-usulnya, bahwa
tidak boleh menggunakan air suci yang dibuat oleh pendeta
brahmana. Mereka hanya boleh memakai air suci yang sudah
disediakan oleh empu (pendeta khusus untuk golongan Pande
Besi) di pura mereka di Desa Beng.31
Fakta tersebut di atas mementahkan kesimpulan peneliti
terdahulu, yang menyatakan bahwa konflik sosial [tumpang-
tindih dengan budaya] terjadi sebagai akibat langsung dari
pendidikan modern,32 sebab kenyataannya peristiwa Beng
berlangsung jauh sebelum berdirinya sekolah modern di
Gianyar.33 Dengan demikian, teori yang menyebutkan
pendidikan modern akan mengubah kepribadian seseorang dan
pribadi-pribadi yang berubah selanjutnya akan mengubah
lingkungan sekitarnya, tidak sepenuhnya berlaku umum di Bali,
sebab perubahan perilaku terjadi bisa jadi bukan sepenuhnya
karena perubahan pendidikan, mungkin pula ada faktor-faktor
lain.
Sekalipun pendidikan mungkin ikut berperan di dalam
peristiwa Beng, namun semestinya harus disoroti pula faktor-
faktor lain yang mematangkan penyebab utamanya. Faktor
tambahan itu semestinya dilacak pada kebijakan politik pintu
terbuka pemerintah Hinda Belanda terhadap gerak antarbudaya
dan antarmasyarakat, seperti yang telah disebutkan di atas.
Asumsi ini didasarkan pada interpretasi bahwa penyebab utama

31
Surat pribadi I Tomblos, loc. cit.
32
Anak Agung Gede Putra Agung mengatakan: sejak masuknya
sistem pendidikan barat, timbullah keinginan dari golongan terpelajar untuk
mengadakan pembaruan dalam bidang adat dan agama, lihat “Perubahan
Sosial…., op. cit., p. 101. Sedangkan Ida Bagus Yudha Triguna mengatakan:
“Secara implicit ide tentang pembaruan yang berasal dari elite modern ini
sesungguhnya menentang sistem kasta yang berlaku di Bali, lihat Mobilitas
Kelas…., op. cit., pp. 214-215.
33
Lihat perkembangan sekolah-sekolah di Bali, dalam Anak Agung
Gde Putra Agung, op. cit., pp. 169-176
dari peristiwa Beng adalah adanya kekecewaan warga Pande
Wesi yang boleh jadi sudah berlangsung secara turun-temurun.
Akan tetapi mereka tidak berani mengekspresikannya
kepermukaan, karena sistem hukum dam politik masih
dikendalikan oleh raja.
Edisi 7
Hadirnya kekuasaan kolonial, kemudian dipakai sebagai
momentum untuk melakukan perlawanan, karena merasa sudah
ada wasit yang akan memberikan penilaian atas tindakan yang
mereka lakukan. Besarnya harapan yang ditimpakan kepada
pemerintahan Hindia Belanda, kemungkinan disebabkan oleh
kebijakan politik rasional populis yang diterapkan oleh
pemerintah Belanda terutama saat menghapuskan beberapa
hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, di
antaranya hak tawan karang (perampasan isi kapal yang
terdampar) satia (penceburan wanita ke dalam kubangan api),
dan pengalihan lokasi pembuangan para hukuman (pelanggar
hukum adat) dari Sulawesi ke Jembrana (Bali Barat).
Selain norma (hukum dan politik) munculnya konflik
sosial [tumpang-tindih dengan budaya] boleh jadi ada kaitannya
dengan keberadaan lembaga-lembaga sosial, bukan hanya yang
bersifat formal, seperti sekolah-sekolah modern, melainkan juga
yang informal, seperti loji teosofi. Oleh karena itu perlu dilacak
apakah kehadiran kaum teosof itu berpengaruh terhadap gugatan
yang dilakukan oleh warga Pande Besi di Beng, Gianyar
terhadap nilai, cita-cita, dan simbol-simbol kebudayaan
tradisional-patriomonial ratusan tahun di Bali. Perlu juga
ditelusuri perkembangan teosofi terutama di Gianyar dan
daerah-daerah lain yang menunjukkan adanya ‘pemberontakan’
terhadap adat dan tradisi.
Jawaban atas pertanyaan itu terungkap di Desa
Peguyangan, sekitar enam kilometer ke arah utara dari pusat
kota [Denpasar], muncul sebuah kelompok diskusi yang dihadiri
oleh para teosof dan orang-orang Hindu. Kelompok diskusi ini
dipimpin oleh I Goesti Gede Raka dan I Made Rai Regoeg.
Pokok bahasan mereka berkisar pada perbedaan agama Hindu
dengan agama non-Hindu. Dialog berlanjut hingga tahun 1940-
an, terutama pada masa revolusi fisik, yang pesertanya sudah
melibatkan orang-orang Kristen.Hasil dialog ini terlihat di tahun
1950-an, ketika I Goesti Gede Raka dan I Made Rai Regoeg
tampil sebagai agen pembaharu dalam pelaksanaan upacara
keagamaan di desanya.34
Selain itu, perkembangan teosofi di Bali pada tahun
1950-an tidak bisa dilepaskan dari peranan para pelajar Bali
yang mempelajari teosofi secara informal di loji-loji
Yogyakarta. Setelah tiba di Bali, para teosof ini berinteraksi
dengan sejumlah teosof lokal.35 Akan tetapi belum bisa
dipastikan, apakah interaksi itu menghasilkan teosofi model
baru, ala Bali, yang anggota-anggotanya masih tunduk pada
tradisi agama dan budaya bersifat animisme, dinamisme, dan
politeisme. Tiadanya jawaban itu menyebabkan sulitnya
memperoleh gambaran mengenai bagaimana hubungan para
teosof dengan gerakan modernis keagamaan yang berkembang
luas di tahun 1950-an.
Sebelum tahun 1950, terutama pada masa revolusi fisik
1945-1949, jumlah organisasi keagamaan sangat terbatas, satu-
satunya yang menonjol adalah Paruman Para Pandita (PPP)
yang didirikan pada bulan Desember 1947 di Singaraja.
Memasuki tahun 1950 jumlah organisasi keagamaan terus
bertambah. Tanggal 31 Desember l950 muncul Majelis
Hinduisme (MH). Dua tahun kemudian muncul Panti Agama
Hindu Bali (PAHB), Satya Hindu Dharma (SHD) lahir tanggal 1

34
Lihat Nyoman Wijaya, Menyongsong Badai, Biografi I Gusti
Ngurah Bagus,buku yang belum dipublikasikan.
35
Lihat Nyoman Wijaya, Sang Sendi Damma: Biografi Sosial
Bhikhu Thitaketuko Tera, buku yang belum dipublikasikan.
Januari l956 dan selanjutnya Angkatan Muda Hindu Bali
(AMHD).36
Frederik Lambertus Bakker yang sudah melakukan
penelitian tentang perkembangan pemikiran modern dalam
agama Hindu di Bali, seolah-olah tidak memiliki pengetahuan
mendalam mengenai kronologis sejarah agama Hindu di Bali,
sehingga hal yang penting dan sangat menentukan itu
terabaikan.37 Demikian pula Ida Bagus Yudha Triguna, yang
melewati begitu saja organisasi tahun 1950-an, padahal dia
cukup banyak membicarakan konflik kelas dalam disertasinya.38
Latar belakang pemikiran yang berproses dibalik
organisasi-organisasi itu semestinya mendapat perhatian lebih
serius, terutama kalau ingin mengetahui perubahan dalam
modus berpikir dan pengaruhnya terhadap pembentukan,
perubahan, dan benturan kebudayaan Bali yang terjadi pada
pertengahan abad XX. Para intelektual inilah yang memiliki
peranan penting dalam perubahan nama agama dari yang
semula bervariasi (agama Bali, Siwa-Buddha, Tirtha) menjadi
Bali-Hindu, yang oleh intelektual generasi berikutnya diubah
lagi menjadi Hindu-Dharma.
Mereka pula yang memperkenalkan simbol Swastika
dan menjadikannya sebagai lambang agama Hindu.
Memperkenalkan salam Om Swastiyastu dan Om Shanti, Shanti,
Shanti Om, maknanya tidak berbeda jauh dengan salam agama
Islam assalamu’alaikum warrohmatullahi wabbarokatuh. Hasil
karya mereka lainnya adalah menterjemahkan kitab-kitab suci

36
Nyoman Wijaya, Dari Agama Bali Menuju Hindu Dharma: studi
tentang Konflik sosial di Bali 1913-1959, laporan penelitian, belum
dipublikasikan (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1990).
37
Frederik Lambertus Bakker, The Struggle of the Hindu Balinese
Intellectuals, Developments in Modern Thinking in Independent Indonesia
(Amsterdam: VU University Press, 1993).
38
Ida Bagus Yudha Triguna, op. cit., pp. 223-244.
Veda,39 yang dijadikan bahan referensi melakukan dekonstruksi
terhadap tradisi-tradisi kuno.
Generasi ini pula yang mampu melahirkan Surat
Keputusan No.11/DPRD/l951, yang isinya penghapusan tiga
nilai hukum adat yang tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Dua diantaranya menyangkut tata-hubungan perkawinan
dan satu lagi kelahiran, yakni alangkahi karang hulu,
asumundung, manak salah.
Alangkahi karanghulu dan asumundung adalah nilai
yang menjadi acuan dalam memilih pasangan hidup, bahwa
laki-laki berkasta rendah yang menyetubuhi atau menikahi
wanita berkasta tinggi. Pelanggarnya dikenai sanksi adat berupa
pembuangan atau hukuman mati. Sedangkan manak salah,
yang mengatur pengasingan bagi pasangan suami istri dari
kalangan sudra yang melahirkan bayi kembar buncing, laki-laki
dan perempuan.
Puncak prestasi mereka adalah ketika berhasil mengubah
status dan kedudukan agama Hindu. Dari agama lokal [Hindu-
Bali] menjadi agama skala nasional, dengan diakuinya Hindu
sebagai agama dalam Kementrian Agama Republik Indonesia
pada tanggal 29 Juli l958. Munculnya pengakuan terhadap
agama Hindu, bermula dari tantangan sejumlah elit politik
Islam di tingkat nasional, yang menganggap Hindu bukan
sebagai agama, melainkan hanya sebuah sistem kepercayaan.
Sejumlah elite Hindu mengadakan perlawanan dengan
mengatakan sekalipun Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila, yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, namun
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak berlaku prinsip dan
ajaran-ajaran ketuhanan. Para elite Hindu menganggap
sejumlah elite politik Islam tersebut belum bisa membedakan

39
Proyek penterjemahan Veda, lontar yang dipelopori oleh Dirjen
Bimas Hindu dan Buddha, Departemen Agama RI yang kemudian
dilanjutkan oleh para penerbit swasta, di antaranya Upadha Sastra dan Bali
Post terus berkelanjutan hingga sekarang, yang menjadi ciri khas
pertumbuhan intelektualitas keberagamaan di Bali.
antara suatu negara yang berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa dengan Suatu Negara agama.40
Kementrian Agama Republik Indonesia dalam hal ini
dituduh tidak melaksanakan fungsinya sebagai pelindung
agama-agama yang ada di Indonesia. Seharusnya, para
pejabatnya bertindak sesuai dengan pasal 18 dan 43 Undang-
undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Akan tetapi
kenyataannya, kebijakan negara dalam politik keagamaan,
sudah bukan lagi berdasarkan Pancasila, melainkan mendekati
salah satu agama di Indonesia, yang didasarkan pada
perhitungan mayoritas-minoritas.41
Polemik dengan kekuatan Islam di tingkat nasional ini
menyebabkan para elite Bali-Hindu melupakan sejenak konflik
sosial, memusatkan perhatian pada upaya memperjuangkan
kedudukan agama Hindu dalam Kementrian Agama Republik
Indonesia.
Dengan demikian, kalau ditempatkan dalam perspektif
multikulturalisme, masyarakat (structure) Bali-Hindu sudah
mengarah invigoration, artinya sedang terjadi penguatan,
fanatisme dalam beragama. Bagaimana cara menerangkan sikap
eksklusif ini dalam perjalanan sejarah budaya dan masyarakat
Bali. Jawabannya juga mesti dikembalikan lagi pada pelacakan
pengaruh kebijakan politik kebudayaan mulai dari pemerintah
Hindia Belanda hingga Republik Indonesia tahun 1950-an.
Sikap eksklusif itu adalah akibat dari suatu sebab, yakni
tantangan yang diberikan oleh kelompok Islam politik tingkat
nasional seperti tersebut di atas dan persoalan sosial-keagamaan
(tata-hubungan antara Hindu dan Kristen) yang terjadi sejak
tahun 1930-an. Sejak itu sudah terjadi pergeseran dari modus
beragama dari beragama secara to be (menjadi) bukan to have

40
Wedastra Suyasa, Agama Hindu Bali Terancam, Bhakti, Th. 1 15
September 1952
41
Ibid
(memiliki), 42 yang semakin mengkristal di tahun 1900-an,
seiring munculnya tantangan dari kalangan Islam politik dan
semakin meningkatnya penerapan konsep enkulturasi budaya
oleh komunitas Kristen.
Enkulturasi adalah strategi kebudayaan yang dilakukan
oleh orang-rang Bali-Kristen dengan cara melakukan upaya
pembelajaran terhadap kebudayaan Bali dengan harapan supaya
tidak terlempar dari kelompoknya [masyarakat Bali]. Proses
pembelajaran ini berlangsung dengan dua cara, yakni ada orang-
orang bertugas sebagai pengajar dan individu yang harus
mempelajarinya. Ada pula yang mempelajarinya secara tidak
langsung, spontan, dan tidak disadarinya bahwa mereka telah
melakukannya.43 Proses enkulturasi membuat kebudayaan
material Bali-Kristen menjadi serupa dengan Bali-Hindu, yang
pada akhirnya mematangkan perubahan modus beragama dari to
be (menjadi) ke to have (memiliki).
Sifat modus eksistensi to have (memiliki) merupakan
akibat sifat hak milik privat. Di dalamnya terkandung makna
tidak hanya bagaimana memperoleh sesuatu yang dimiliki oleh
orang-orang Bali-Hindu, seperti kata, benda, laku, mite, sastra,
lukisan, nyanyian, musik, dan kepercayaan, tetapi juga hak tak
terbatas mempertahankannya. Modus to have (memiliki)
menolak keikutsertaan orang lain (komunitas non-Hindu) untuk
ikut menggunakan dan memperoleh manfaat dari ‘harta’ milik
tersebut.
Erich Fromm mengatakan di dalam sifat modus to have
(memiliki) tidak ada hubungan yang hidup antara diri sendiri
dan apa yang dimiliki. Kepunyaan sendiri dan diri sendiri

42
Dalam kerangka pikir Erich Fromm, to be dan to have merupakan
dua modus eksistensi manusia, yang kekuatannya menentukan karakteristik
watak, baik individu maupun publik. Lihat, Firman Adi Juwono, “Makna
Pencerahan dalam Zen Buddhisme”, Skripsi S1, yang belum dipublikasikan,
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, l994), p. 14-15.
43
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Herkovits (1984)
lihat lebih jauh Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya
(Malang: Universitas Muhammadyah Malang, Januari 2004), p. 19
menjadi benda dan diri sendiri mempunyainya, karena memiliki
kekuatan untuk membuatnya menjadi milik sendiri.44 Sikap ini
tidak terbentuk oleh suatu proses yang hidup dan produktif
antara subjek dan objek, tetapi membuat objek menjadi benda-
benda. Kata kunci dalam modus eksistensi ini adalah
rasionalisasi, yaitu penggunaan rasio agar subjek bisa
menguasai objek atau alam. Peran akal adalah menciptakan
dikotomi-dikotomi historis dan eksistensial, bahkan spiritual.45
Berbeda dengan to have (memiliki), dalam modus to be
(menjadi),46 manusia mengarahkan dirinya kepada usaha
aktualisasi potensi dirinya tanpa dikuasai oleh apa yang
dimilikinya.
Prasyarat-prasyarat modus to be (menjadi) adalah
kemandirian, kebebasan, dan penalaran yang kritis. Ciri khas
fundamentalnya adalah keadaan yang aktif, bukan dalam arti
aktivitas lahiriah, kesibukan, tetapi aktivitas batin, pemakaian
kekuatan manusia-manusia yang produktif.
Sejumlah teolog Kristen mencoba memberikan
penjelasan terhadap perubahan ini, yang menurut mereka tidak
bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan agama Kristen.
Hal itu terlihat jelas dari pandangan I Wayan Mastra, yang
mengatakan hinduisme banyak menyerap unsur-unsur agama

44
Ali Mudhofir, op. cit., pp. 179-180
45
Ibid.
46
Sikap to be pada diri orang Bali-Hindu muncul dari pengendapan
ajaran moral yang menganjurkan dan membiarkan setiap orang menganut
agamanya masing-masing. Semua agama tujuannya sama seperti sungai-
sungai mengalir ke satu laut. Sikap ini menandakan bahwa masyarakat Bali-
Hindu sudah berhasil melokalisasikan substansi Veda, terutama pasal yang
menyebutkan: “Jalan apapun yang engkau pakai menuju-Ku, Aku terima.”
Sikap ini terbentuk melalui proses panjang, diawali oleh saling
mempengaruhi antara agama Hindu sekte Shiwa Sidhanta dengan agama
Buddha sekte Mahayana, tanpa melahirkan agama baru, bahkan pendeta
Buddha wajib terlibat dalam setiap pelaksanaan upacara agama Hindu.
Kristen, seperti yang terlihat dalam perkembangan agama Hindu
di Bali..47
Serapan itu bermula dari munculnya kesadaran sejumlah
pendeta dan tokoh agama Hindu-Bali atas kehadiran umat
Kristen dan lebih penting dari itu banyaknya orang miskin telah
berpindah ke agama Kristen. Sebagai reaksi atas realitas ini,
maka para pendeta dan pemimpin agama Hindu mulai
melakukan reformasi agama dengan cara mengirim para pemuda
belajar agama Hindu di India dan membangun sekolah agama
(Sekolah Menengah Hindu) pada tahun 1963. Mereka juga
membentuk suatu lembaga bernama Parisada Hindu Dharma
untuk menangani persoalan keumatan yang kelembagaannya
mirip dengan sinode, Gereja Kristen Protestan di Bali, yang
sudah berdiri jauh sebelumnya. 48
Mereka telah menyusun program yang terinspirasi oleh
agama Kristen, bukan saja dalam hal ide tentang sinode, juga
dalam penanganan pemujaan dan karya sosial bagi
kesejahteraan umatnya. Di bidang teologi mereka juga
menganut pola teologi mirip Kristen khususnya mengenai
trinitas yang disebut tritunggal atau trimurti. Agama Hindu Bali
pada dasarnya merupakan agama politeisme dan panteisme dan
berkembang dari agama animisme.49
Sejauhmana pandangan Kristen tersebut di atas
mengandung kebenaran sejarah. Jawabannya harus dilacak
melalui suatu keyakinan bahwa modus berpikir manusia tidak
dipengaruhi oleh faktor tunggal, seperti telah disebutkan di atas,
yang berarti ada faktor lain yang perlu dicermati. Berdasarkan

47
I Wayan Mastra, “The Salvation of Non-Believers (A
Missiological Critique to Hendrik Kraemer and the for New Alternative, A
Dissertation Presented to the Faculty of the School of in Partial Fulfilment of
The Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in Theology,
Aquinas Institute of Philosophy and Theology, Dubuque, Iowa, 1972, pp.
385-386.
48
Ibid.
49
Ibid.
hal itu, jauh lebih masuk akal menarik asumsi bahwa perubahan
modus beragama dari to be (menjadi) ke to have (memiliki)
merupakan suatu konsekuensi dari pluralisme agama yang tak
terhindarkan.50
Pluralisme di Bali bukan hanya ditandai dengan
masuknya agama Kristen. Jauh sebelum kedatangan Kristen,
sudah ada agama Islam dan agama tradisional China (Kong Hu
Cu dan Tao). Begitu juga sesudah Kristen, ada juga pengaruh
agama Buddha Teravada. Penyebaran agama ini mulai terlihat
pada tahun 1950-an, yang dilakukan oleh orang-orang teosofi.
Oleh karena perlu diukur mana yang paling berpengaruh dalam
mengubah modus beragama orang-orang Bali-Hindu, apakah
kedatangan agama Kristen atau agama Buddha Teravada?
Melacak ejak masing-masing agama itu sangat perlu
dilakukan. Diperlukan juga penjelasan mengenai apa dan
bagaimana wujud dan isi kebudayaan yang dibawa oleh orang-
orang Buddha Teravada, sehingga sulit mengetahui efek yang
ditimbulkannya dalam budaya (culture) dan masyarakat
(structure) Bali.
Perlu juga diketahui pandangan atau penilaian orang-
orang Buddha Teravada terhadap agama Siwa-Buddha di Bali.
Ternyata penyebarannya sempat menimbulkan kekhawatiran
dalam lingkungan Bali-Hindu. Dua orang elite agama Hindu,
yakni Ida Bagus Mantra dan I Goesti Bagoes Soegriwa, setidak-
tidaknya boleh dianggap sebagai salah satu contoh dari
munculnya modus beragama to have (memiliki) pada tataran
pribadi-pribadi.51
Selain agama Buddha Teravada, munculnya pergeseran
modus beragama dari to be (menjadi) ke to have (memiliki),

50
Lihat, C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-agama Dunia, terjemahan
Barus Siregar (Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, nd), Wertheim
Collectioan 30/WC/2001, PPS Pedesaan Kawasan UGM
51
Nyoman Wijaya, “Sang Sendi Dhamma, op. cit., pp. 223-224.
juga dipengaruhi oleh kedatangan ilmu mistik Jawa (kejawen) di
Bali, yang juga dibawa oleh orang-orang teosofi. Kelompok
mistik ini ingin menggunakan kekuatan magis Bali untuk
membangkitkan kembali kekuatan agama Hindu di Jawa dan
Indonesia pada umumnya, sesuai dengan ramalan Sabdo Palon.
Mereka berhasil memasang tumbal, setelah seorang
pejabat militer di Bali, mantan guru teosofi di Yogyakarta,
mampu menjalin kerjasama dengan pejabat sementara Kepala
Dinas Agama Tingkat I Bali, Raja Karangasem Ida Anak Agung
Agung Anglurah Ketut Karangasem, dan Ketua Dewan
Pemerintah Daerah Tingkat II Karangasem, Anak Agoeng Gde
Djelantik. Peristiwa itu menggemparkan rakyat Bali, karena
untuk membersihkan kembali Pura Besakih dari pengaruh
negatif tumbal, pemerintah daerah Bali menyelenggarakan
upacara Manca Walikrama, yang biayanya dibebankan kepada
seluruh rakyat yang beragama Hindu.
Sekalipun demikian, dibandingkan dengan Kristen,
agama Buddha Teravada dan mistik Jawa, boleh dikatakan lebih
sedikit pengaruhnya terhadap perubahan modus beragama dari
to be (menjadi) ke to have (memiliki). Hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam cita-cita keagamaan. Agama Kristen
sesuai dengan missinya mengabarkan Injil kepada orang-orang
yang belum mengenalnya, di awal kedatangannya bersikap
sangat agresif mengkristenkan orang-orang Bali-Hindu.
Sementara, agama Buddha Teravada tampak pasif (lebih
mengutamakan warga keturunan Cina) dan mistik Jawa tidak
ada hubungannya dengan penyebaran agama.
Berkaitan dengan penyebaran agama Kristen, Ida Bagus
Yudha Triguna dalam disertasinya mengatakan satu hal yang
dapat ditarik dari kontak dengan gereja ialah telah terbukanya
cakrawala masyarakat Hindu di Bali tentang pentingnya
pendidikan, kesehatan, dan usaha meningkatkan perbaikan
ekonomi dalam menjaga keberadaan dan kelestarian peradaban
Hindu di Bali.52
52
Ida Bagus Yudha Triguna op. cit., p. 199.
Dengan demikian, secara tak langsung dia mengatakan
adanya perubahan modus beragama dari to be (menjadi) ke to
have (memiliki) sebagai upaya menjaga keberadaan dan
kelestarian peradaban agama Hindu di Bali. Seolah-olah modus
beragama seperti itu sudah merupakan tindakan kolektif yang
dilakukan secara menyeluruh untuk setiap agama. Padahal,
perubahan dari to be (menjadi) ke to have (memiliki), tidak
terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, melainkan pada diri
orang-orang tertentu yang berhadapan langsung dengan orang-
orang Kristen. Persoalan yang dihadapi oleh orang-orang Bali
Hindu yang berhubungan langsung dengan orang-orang Kristen
berpangkal pada beban sosial dan hukuman adat, yang
diwajibkan kepada orang-orang Kristen.
Kenyataan di lapangan menunjukkan persoalannya tidak
sesederhana itu. Pangkal konflik sangat bervariasi dan berbeda
dari kasus ke kasus. Akan tetapi kalau di kualifikasikan,
pangkalnya adalah penggunaan setra, kuburan yang secara
tradisi hanya diperuntukkan bagi umat Hindu. Artinya, orang-
orang Bali-Hindu tidak bisa berbuat banyak pada saat
pemimpin-pemimpin gereja menyuruh orang-orang yang akan
beralih agama untuk terlebih dahulu membongkar sanggah-nya,
karena hal itu merupakan urusan pribadi.53
Orang-orang Bali Hindu juga tidak bisa memaksa para
pemeluk agama Kristen untuk tetap menunaikan kewajibannya
bersembahyang atau bergotong-royong ke pura. Akan tetapi
mereka tidak bisa menerima ketika orang-orang Kristen ikut
memanfaatkan tanah kuburan milik desa karena di dalamnya
melekat hubungan hak dan kewajiban. Hanya orang-orang yang
memuja dalam lingkup kahyangan tiga, tiga pura dalam satu
desa yang boleh menggunakan kuburan.54

53
Nyoman Wijaya, Serat Salib dalam lintas Bali: Melacak Jejak
Pengalaman Keluarga GKPB ( Gereja Kristen Protestan di Bali) 1931-2001
(Denpasar: Yayasan Samaritan, 2003).
54
Ibid.
Akan tetapi dalam kaitannya dengan orang-orang Islam
lokal dan orang-orong Cina, tidak terlihat adanya perubahan
modus beragama dari to be (menjadi) ke to have (memiliki).
Hal ini terlihat dari saat terjadinya peristiwa pembantaian
massal, sebagai ekses sampingan dari Gerakan Tiga Puluh
September-Satu Oktober 1965. Dalam pembantaian itu, bukan
hanya orang-orang Komunis yang dibantai, tetapi ada juga
orang-orang yang beragama Kristen. Akan tetapi tidak terdengar
berita pembantain terhadap orang-orang Cina dan Islam.
Bagaimana menjelaskan hal ini?
Di atas telah disebutkan, mereka sudah dianggap
sebagai saudara oleh orang-orang Bali, lagipula keduanya sudah
bermukim begitu lama di Bali. Orang-orang Islam sudah ada di
Bali sejak abad XIV.55 Sejak itu orang-orang Islam semakin
banyak berdatangan ke Bali, terkait dengan kepentingan politik
masing-masing kerajaan di Bali.
Dalam upaya menjaga keamanan wilayah kekuasaan,
terutama yang di daerah perbatasan dengan kerajaan lain, para
raja biasanya membangun perkampungan Islam. Mereka
difungsikan sebagai tangan kanan, benteng hidup kerajaan,
untuk melindungi kerajaan dari serangan musuh. Adanya peran
raja dalam komunitas Islam, menjadikan masyarakat Hindu-Bali
bisa terbuka dan bersahabat dengan orang-orang Islam. Sebagai
kelompok minoritas, orang-orang Islam menyesuaikan diri
dengan pola tingkah laku orang-orang Bali, meminjam berbagai
simbol kebudayaan Bali untuk berbagai kegiatan sosial dan
kebudayaan mereka.
Hal itu menunjukkan keberadaan orang-orang Islam di
Bali lebih dapat diterima daripada orang Kristen. Mengapa bisa
sampai seperti itu? Jawaban sementara atas pertanyaan itu,
bahwa orang-orang Islam walau sudah menetap berabad-abad di
Bali, sudah dianggap saudara orang Bali dan tidak sampai

55
Lihat Tim Peneliti Majelis Ulama Propinsi Bali, Sejarah
Masuknya Islam di Bali (Denpasar: MUI Bali, l979/l980).
melakukan proses Islamisasi. Orang-orang yang beragama Islam
di Bali, bukanlah orang-orang Bali, sebagaimana yang berlaku
pada agama Kristen.
Kiranya perlu diajukan persoalan, apakah pandangan
orang-orang Bali kepada orang-orang Islam lokal bersifat ajeg,
tidak berubah, bertahan untuk selamanya? Semenjak terjadi
pembauran antara orang-orang Islam lokal dengan Islam
migran, mulai terjadi perubahan dalam cara pandang orang-
orang Bali-Hindu kepada mereka.
Hal itu dipengaruhi oleh strategi kebudayaan yang
diambil oleh pemerintahan Presiden Soeharto sejak tahun 1980-
an hingga akhir masa kekuasaannya. Politik kebudayaan yang
diterapkan oleh Soeharto, di satu sisi telah mengakibatkan
meningkatnya konflik internal antarorang Bali, dengan berbagai
faktor dan alasan. Di sisi lain, menyebabkan semakin
mendalamnya penetrasi kebudayaan non-Hindu, yang
menimbulkan berbagai akibat sosial-budaya.
Sebagai ilustrasi, salah satu contoh, pada masa
kekuasaan Soeharto, orang-orang Islam yang sebelumnya
membatasi langkahnya membangun tempat beribadah, akhirnya
punya peluang membangun mesjid dengan menggunakan dana
bantuan presiden, sehingga secara kuantitas jumlah mesjid di
Bali pada abad XX terus mengalami peningkatan.
Begitu juga dengan orang-orang Kristen, dengan tidak
adanya kekuatan tawar-menawar antara raja dengan kekuasaan
kolonial, maka para missionaris dan zendeler dengan mudah
memanfaatkan celah-celah hukum untuk melakukan kristenisasi,
sehingga jumlah-orang-orang Bali yang berpindah ke agama
Nasrani (Katolik dan Protestan) terus bertambah, sehingga di
akhir abad XX jumlahnya hampir mencapai dua puluh ribu
orang.
Di masa itu, magma pergeseran dari to be ke to have
yang mengendap, digantikan dengan proses pembangunan fisik,
renovasi dan pembangunan pura di satu sisi dan proses
desakralisasi simbol agama di sisi lain. Upacara agama mulai
mengalami proses baroqisasi, pemewahan di satu sisi dan
masuknya kapitalisme dalam praktek-praktek keagamaan,
dengan adanya bisnis besar-besaran di seputar sarana upacara.
Umat Hindu disibukkan oleh kalkulasi angka, pertumbuhan
ekonomi akibat industri pariwisata, yang paralel dengan
kerusakan lingkungan sosial dan budaya. Pada saat inilah
semakin menonjol dikhotomi budaya (budaya tinggi dan budaya
rendah), anomali budaya, dan benturan budaya. Muncul pula
gerakan spiritualitas, seperti aliran-aliran keagamaan dari
Hindia, seperti Hare Krisna, Sai Baba, juga aliran kebatinan, dan
ilmu tenaga dalam.
Barulah seiring dengan muculnya era reformasi
pergeseran sikap to be (menjadi) ke to have (memiliki) kembali
dalam pola lama, memberikan perlawanan kepada pihak-pihak
yang melecehkan Hindu. Reformasi memberikan ‘baju baru’
pada perilaku to have (memiliki) berbentuk semangat
humanisme eksklusif, yakni sikap perlawanan terhadap para
peleceh agama Hindu terutama yang dilakukan oleh komunitas
non-Hindu melalui unjuk rasa menggunakan foster, spanduk,
teriakan, caci maki, dan atraksi kesenian untuk menyampaikan
inspirasi.
Semangat eksklusif ini mulai banyak dianut oleh orang
Bali-Hindu, namun belum terorganisir rapi ke dalam wadah
forum ataupun organisasi. Walau demikian, mereka memiliki
kekuatan dahsyat, karena diikat oleh solidaritas sesama umat
Hindu, yakni semangat menyatukan visi dan misi (walaupun
secara internal satu sama lain masih ada permasalahan bahkan
konflik) untuk melakukan gerakan, protes atau demonstrasi,
apabila melihat agama-agama lain (non-Hindu) yang
melecehkan agamanya.
Pemicu dan pemacu eksklusivisme ini adalah pelecehan
Hindu yang dilakukan Mentri Holtikultura, AM Saeffudin
dalam kabinet Reformasi B.J. Habibie, yang mengkritik
Megawati Soekarnoputri, sebagai sosok yang tidak pantas
menjadi Presiden Republik Indonesia karena bersembahyang ke
pura. Saat itu tahun 1989, serentak masyarakat Bali-Hindu
marah, mengeluarkan ancaman, kecaman, dan caci-maki, jika
memungkinkan mereka ingin membunuh AM Saeffudin.
Kemarahan orang-orang Bali Hindu juga dapat dilihat dalam
kasus lain pasca-AM Saeffudin, di antaranya yang paling
menonjol adalah jalan cerita dalam Sinetron Angling Dharma
yang mengecilkan arti agama Hindu.
‘Perlawanan’ tersebut semakin memperkuat bukti
terjadinya pergeseran sikap to be (menjadi) ke arah to have
(memiliki). Namun, meminjam konsep Meera Nanda56 sikap
mereka belum bisa disebutkan sebagai wujud nasionalisme
Hindu, yang menganggap orang non-Hindu sebagai orang asing
dan bahkan musuh negara. Barangkali yang tepat untuknya
adalah tumbuhnya benih-benih nasionalisme Hindu, dalam
pengertiannya sebagai cita-cita menempatkan kesetiaan tertinggi
individu kepada doktrin dan falsafah Hindu. Di dalamnya belum
ada kristalisasi semangat bangsa dan negara Hindu.

Penutup
Seiring dengan perkembangan industri pariwisata,
orang-orang Bali semakin sering berhadapan dengan
kebudayaan internasional, yang ditandai dengan semakin
banyaknya para pendatang mancanegara yang membawa serta
pengalaman dan pengetahuan kebudayaan negara masing-
masing: kebangsaan, gender, identitas seksual, agama, dan ras.
Dalam situasi seperti itu, muncul multikulturalisme menawarkan
berbagai pengetahuan untuk mentransformasi identitas
kebudayaan Bali, dari hanya sekedar toleransi menuju
penghargaan timbal balik.
Akan tetapi sulit bagi kebudayaan Bali untuk mengikuti
kehendak multikulturalisme seperti itu, karena begitu banyak
tantangan yang harus dihadapi dalam menumbuhkan sikap
saling menghargai. Pertama orang-orang Bali harus mampu

56
Meera Nanda, Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu: Gugatan
terhadap Upaya Sintetis Agama dan Sains, Kompas 7 Maret 2003
menghargai kebudayaannya sendiri, sambil melakukan
reformasi di dalamnya menyisihkan peninggalan-peninggalan
pra-Hindu yang sudah berosmosis menjadi kebudayaan Hindu.
Kedua, orang-orang Bali harus menghadapi kenyataan masih
banyaknya pelaku kebudayaan lain, yang demi kepentingan
tagama dan kelompok masing-masing tidak mau menghargai
kebudayaan Bali.
Tidak adanya perhargaan dari budaya dan masyarakat
luar dan kekecewaan kolektif yang ditimbulkan olehnya, pada
akhirnya melahirkan perlawanan. Perlawanan itu pada mulanya
dilakukan oleh lembaga tradisional desa adat. Akan tetapi
karena kuatnya dominasi kekuasaan, sementara desa adat tidak
memiliki wewenang untuk menolak kebijakan pemerintah, maka
lembaga ini tidak lagi mampu membendung penetrasi
kebudayaan non-Bali yang berlangsung melalui pengalihan
fungsi tanah, dari tanah persawahan dan perladangan menjadi
tempat pemukiman, perkantoran, pertokoan, perindustrian.
Pada saat penetrasi budaya itu masuk ke ranah-ranah
agama, mengalihfungsikan tanah-tanah yang berdekatan dengan
pura sebagai sarana pariwisata, muncullah perlawanan dari
lembaga-lembaga sosial keagamaan di tingkat umum dan
mahasiswa yang tumbuh silih berganti sejak tahun 1990-an.
Pada awal abad XXI, terutama setelah peristiwa peledakan bom
di Legian 12 Oktober 2001, muncul lembaga modern yakni
media cetak dan elektronik lokal yang ikut memberikan
perlawanan melalui kekuatan kapitalisme iklan, dengan cara
mensosialisasikan konsep ajeg Bali pada bulan Agustus 2003.
Secara harfiah ajeg merupakan padanan dari kata jejeg,
tuara obah, tuara seng yang artinya tegak, tetap, dan teratur.
Sementara, para juru bicara ajeg Bali, mengartikannya sebagai
sesuatu yang tidak stagnan, melainkan upaya pembaruan terus-
menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk
menjaga identitas, ruang, dan proses budayanya.
Sasarannya adalah peningkatan kekuatan manusia-
manusia Bali agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni
budaya global, yang didalamnya bersemayam konsumerisme,
komersialisme, dan komoditifikasi. Ketiganya merupakan
tantangan berat dalam menjaga keajegan Bali. Oleh karenanya,
dalam pandangan mereka mewujudkan ajeg Bali juga tidak bisa
dilepaskan dari upaya menghentikan budaya konsumerisme
pada budaya Bali.57
Dengan demikian, masyarakat Bali dapat dikatakan
sedang mengalami globaphobia, ketakutan luar biasa terhadap
globalisasi. Globalisasi telah dianggap sebagai momok, yang
kekuatannya ditakuti tidak akan dapat dibendung dan
dampaknya akan sangat merugikan kebudayaan Bali. Oleh
karena itu, pernyataan yang menyebutkan kebudayaan Bali yang
dijiwai oleh agama Hindu adalah sebuah melting pot, lebih
banyak merupakan kebanggaan semu, untuk membesarkan
semangat saat berhadapan dengan arus globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Juwono, Firman, 1994, “Makna Pencerahan dalam Zen


Buddhisme”, Skripsi S1, yang belum dipublikasikan,
Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

“Ajeg Bali bukan Bali yang Stagnan”, 2 Agustus 2003, Bali


Post.

Anon, “The Manace of Multiculturalism,” (A Summary)


(http://www.yahoo.com)

57
“Ajeg Bali bukan Bali yang Stagnan”, Bali Post 2 Agustus 2003,
p. 2.
Aryanta, Gde, 2004, “Menjadi Pemberani: Tantangan Manusia
Bali Masa Kini,” Bali Menuju Jagadhita: Aneka
Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Bagus, I Gusti Ngurah, 1970, ”Pertentangan Kasta dalam


Bentuk Baru pada Masyarakat Bali,” Denpasar: Jurusan
Antropologi.

-------. 1975, “Surya Kanta Modern Kawangsan Movement of


The Jaba Caste in Bali,” dalam Masyarakat Indonesia,
Vol. II. No. 2, Jakarta: LIPI.

Bleeker, CJ., nd, Pertemuan Agama-agama Dunia, terjemahan


Barus Siregar Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve,
(Wertheim Collection 30/WC/2001, PPS Pedesaan
Kawasan UGM)

Budi Susanto, 1992, “Sekapur Sirih”, dalam Clifford Geertz,


Politik dan Kebudayaan, terjemahan The Interpretation of
Cultures: Selected Essays, Bab 8, 9, 10, 11, dan 12,
Yogyakarta: Kanisius.

“Home-Gateways to the World-Special International Guides-


Felloship-FAQ, World Books Home -1998-1999-2000-
2001-2002-Country Index,” (http://www.yahoo.com)

Holt, Claire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di


Indonesia, terj. R.M. Soedarsono, Bandung: arti.line.

James Danandjaja, 1980, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di


Bali (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Kembar Kerepun, Made, 2003, Dokumen Masalah Pande,


belum dipublikasikan (dihimpun dari Dossier Korn No.
213 Leiden dan sumber-sumber tertulis lainnya).
Kuntowijoyo, 1987 Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara
Wacana.

-------. 2003, Metodologi Sejarah , edisi kedua, Yogyakarta:


PT Tiara Wacana.

Lambertus Bakker, Frederik, 1993, The Struggle of the Hindu


Balinese Intellectuals, Developments in Modern Thinking
in Independent Indonesia, Amsterdam: VU University
Press.

Mastra, I Wayan, 1972, “The Salvation of Non-Believers (A


Missiological Critique to Hendrik Kraemer and the for
New Alternative, A Dissertation Presented to the Faculty
of the School of in Partial Fulfilment of The Requirements
for the Degree of Doctor of Philosophy in Theology,
Aquinas Institute of Philosophy and Theology, Dubuque,
Iowa.

Mudhofir , Ali, 2001, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Naya Sujana, I Nyoman, 2004 “Konflik Sosial di Bali:
Fenomena dan Strategi Penanggulangan,” dalam Bali
Menuju Jagaditha: Aneka Persfektif: Pustaka Bali Post.

Nanda, Meera, 7 Naret 2003, “Sains Vedik dan Nasionalisme


Hindu: Gugatan terhadap Upaya Sintetis Agama dan
Sains,” Kompas.

Pitana, I G. 2004, Memperjuangkan Otonomi Daerah:


Mencegah Sandyakalaning Pariwisata Bali,” Bali Menuju
Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Putra Agung, Anak Agung Gde, 2001, Perubahan Sosial dan
Pertentangan Kasta, Yogyakarta: Yayasan Untuk
Indonesia.

Stuart Fox, David, 1992. Bibliography of Bali Publications


from 1920 to 1990. Leiden KITLV Press.

Sugriwa, I Gusti Bagus, 1989, Darma Sunya, Denpasar:


Pustaka Shidanta.

Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004, Psikologi Lintas


Budaya. Malang: Universitas Muhammadyah Malang.

Tim Peneliti Majelis Ulama Propinsi Bali, 1979/1980, Sejarah


Masuknya Islam di Bali Denpasar: MUI Bali.

Tollenaere, Herman A.O.de, 1996 The Politics of Divine


Wisdom. Theosophy and labour, national, and women’s
movements in Indonesia and South Asia 1875-1947,
Leiden: Uitgeverij Katholeike Universeteit Nijmegen,
l996.

Webster, A Meriam, 1977. Webster New Collegiate Dictionary.


Springfield: G. & C. Merriam Company.

Wedastra Suyasa, 15 September 195, Agama Hindu Bali


Terancam, Bhakti, Th. 1

Wilson, Peter Lambon & Mao Tse-tung (revised), Again


Multiculturalism” Let a thousand flowers bloom”
(http://www.yahoo.com)

Wijaya, I Nyoman, 1986, Cahaya Kubah di Ujung Timur


Kahyangan: Studi Perkembangan Islam di Kabupaten
Karangasem l950-l980, Skripsi S1, belum dipublikasikan,
Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
-------, 1990, Dari Agama Bali Menuju Hindu Dharma: studi
tentang Konflik sosial di Bali 1913-1959, laporan
penelitian, belum dipublikasikan, Denpasar: Fakultas
Sastra Universitas Udayana.

-------, 2003, Serat Salib dalam lintas Bali: Melacak Jejak


Pengalaman Keluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di
Bali) 1931-2001, Denpasar: Yayasan Samaritan.

-------,2004, Menyongsong Badai: Biografi I Gusti Ngurah


Bagus, buku belum dipublikasikan.

-------,2004, Biografi Sosial Bhikkhu Thitaketuko Thera, buku


belum dipublikasikan.

-------. 1970, The Scientific of Religion, New York: The


Macmillan Company (Wertheim Collection 487/WC/2002,
PPS Pedesaan Kawasan UGM)

Yuda Triguna, Ida Bagus, 1997, “Mobilitas Kelas, Konflik, dan


Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di
Bali,” disertasi belum dipublikasikan, Universitas
Pedjadjaran, Bandung.

Catatan:
Artikel ini sudah dipubliksikan di Jurnal Kajian Budaya No 3
2004, tetapi puisinya disensor oleh redaksi.

Anda mungkin juga menyukai