Pendahuluan
Film di masa kolonial hanya dianggap sebagai barang dagangan bukan sebagai
kesenian ataupun produk kebudayaan, ditambah lagi belum ada kesadaran tentang
film nasional, atau film nya orang Indonesia, film hanya berfungsi sebagai media
hiburan saja saat itu. Film yang awal mula di gunakan sebagai kepentingan ekonomi
Hindia Belanda, menjadi berbalik menyerang pemerintah. Orang Belanda yang pada
waktu itu yang tidak mau campur tangan dan kurang perduli terhadap dunia perfilman,
karena di Belanda itu dianggap biasa-biasa saja. Karena kekurangan itu maka iklim
usaha perfilman di ambil alih orang-orang tionghoa. Fungsi sensor film pada masa ini
adalah hanya untuk kepentingan menyangkut pemerintah Hindia Belanda agar tidak
1 Krishna Sen, Kuasa Dalam Sinema Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru, hal 22.
2 ibid
menghilangkan wibawa orang Eropa dimata pribumi dengan cara memotong adegan
yang kurang pantas dianggap oleh orang pribumi
Sensor yang berfungsi pada masa Orde Baru adalah untuk mendukung kepentingan
politiknya semata. Masyarakat harus teratur dari keteraturanya yang dibuat dari
pandangan Orde Baru, yang mengatur agar masyarakat tidak berisik. Agar kekuasaan
nya tetap berlanjut tanpa ada gangguan politik, Orde Baru melalui Departemen
Penerangan menjadi corong utama untuk alat propaganda politik kekuasaanya, dan
juga lewat Lembaga Sensor tentunya. Film yang bermaksud menyinggung orde baru,
atau film-film yang memancing pemberontakan dihilangkan dari perederan bioskop.
Pada waktu film hanya-hanya di penuhi film film horor yang bertema sadis dan
seksual saja. Film-film horor dan hantu-hantunya mengambarkan sebuah kekacuan
dan tidak teraturnya kehidupan masyarakat, maka dari itu pemerintah lah yang akan
memperlurus masyarakat. Film horor juga menjadi perlambangan PKI, orang PKI dan
3 ibid
4 Krishna Sen, Op.cit, hal 87
Partai PKI disamakan dengan setan-setan di dalam film Horor, yang harus di
musnahkan agar dunia menjadi aman dan teratur.
Sensor Film di masa reformasi sudah sangat berbeda jika dahulu pada masa kolonial
dan orde baru adalah untuk kepentingan alat propaganda politik, supaya bisa
mengatur pemikiran dan tatanan masyarakat, masa reformasi adalah masa yang bebas
suara, berhak menyatakan pendapat di depan umum, dan berdemokrasi. Dilansir dari
web republika.co.id pengamat perfilman, Adrian Jonathan Pasaribu, menjelaskan
sensor film pada dahulu dan saat ini memiliki tujuan yang berbeda dengan sensor
yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) saat ini di zaman reformasi. Jika
dahulu sensor berdasar pada anggapan bahwa masyarakat kala itu bodoh, mudah
tersulut, dan tidak dapat berpikir logis. Sehingga jika tidak ada sensor, akan
membangkitkan hal-hal primitf dari mereka. “Mereka tidak bisa mengontrol diri
sendiri makanya perlu diatur filmnya. Kejadian ini terus berlanjut pada masa Orde
Baru tujuan sensor yang demikian masih berlaku. Setelah memasuki era reformasi,
hal semacam itu sudah tidak relevan. Karena masyarakat sudah open minded dan
adanya globalisasi masyarakat dibuat sadar dengan diri mereka sendiri atau
menyensor diri mereka sendiri.
Sensor Selama ini merupakan faktor yang krusial dalam sinema Indonesia. Pemelihan
tiga masa tersebut, kolonial, Orde Baru, dan reformasi mewakili kepentingan di
zaman nya masingmasing dimana berfungsi untuk memberi pengaruh dan
mempertahakan kekuasaan hingga masa reformasi yang beranggap lembaga sensor
seperti tidak diperlukan lagi.
Yusuf Kurniawan