Anda di halaman 1dari 5

Fungsi Sensor Film Indonesia dari Masa ke Masa

Pendahuluan

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman menimbang film disebut


sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan
budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan
nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman. Di sebut
juga dalam UU Perfilman Bab 1 Pasal ayat 9 Sensor film adalah penelitian, penilaian,
dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukan kepada khalayak
umum.

Sensor Film Masa Kolonial

Melihat perkembangan setelah teknologi film masuk ke Hindia Belanda di Batavia


pada tahun 1900, membuat kehadiran bioskop sebagai tempat dan media untuk
memutar film. Kehadiran bioskop menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda
yang kala itu bercokol di nusantara. Pada waktu itu bioskop memberi rasa khawatir
pada pemerintah Hindia Belanda atas konten film yang menggambarkan keburukan
perilaku orang Eropa yang suka mabuk, judi, kekerasan, dan seks bebas. Dilihat dari
budaya timur perilaku itu sangat aneh dan dibenci. Film-film yang ditampilkan pada
waktu itu banyak di datangkan dari negara Eropa dan Amerika yang bergenre.

Awal dekade 1920-an, masuknya film-film Amerika menimbulkan kekhawatiran di


kalangan masyarakat kolonial Belanda. Tahun 1926, Komisi Film Hindia Belanda
didirkan di bawah Departemen dalam negeri untuk menyensor seluruh film yang
masuk ke Hindia Belanda.1

Para Penguasa kolonial mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan film terhadap


masyarakat bumiputera yang tak berpendidikan. Pada November 1925, Intern-Ocean,
majalah Hindia Belanda yang diterbitkan di Jakarta dengan wilayah distribusi
mencakup Semenanjung Malaya dan Australia, menurut artikel bertajuk “Film di
Dunia Timur”. Artikel ini mencatat kasuskasus yang terjadi di Tiongkok, Malaysia,
dan India kemudian mengabarkan “efek merusak” dari film-film Amerika. Setahun
Kemudian, sebuah artikel di The Times (London) yang ditulis oleh seorang wartawan
yang telah menjelajahi Hindia Belanda dan India (di bawah kekuasaan Inggris waktu
itu), menarik perhatian majalah film Belanda, Filmland. Artikel The Times
menyasalkan “pengaruh film” terhadap (kemerosotan) wibawa orang-orang Eropa di
Timur Jauh. Di situ disebutkan bahwa penyebaran gedung-gedung atau rumah-rumah
pemutaran film di negeri-negeri tropis telah meningkat selama beberapa tahun ini, dan
kini sulit untuk menemukan kota-kota kecil segelintir populasinya tidak bisa
bercerita tentang “istana filmnya”. Akibat menonton film, sejumlah besar orang-orang
kulit hitam, coklat, dan kuning, kini menyaksikan kehidupan pribadi orang-orang
Eropa, terutama wilayah yang tumbuh di tengah pusat kejahatan dan kebobrokan
moral (yang) sebelumnya tidak di ketahui hingga filmfilm Amerika
mempertontonkannya secara karikatural. Artikel ini pun menunjukkan bahwa
masyarakat “oriental” yang berpendidikan sudah memahami dan mengadopsi
kebiasaankebiasaan barat, orang pribumi yang tak berpendidikan justru sangat tertarik
dan sangat dipengaruhi film.2

Film di masa kolonial hanya dianggap sebagai barang dagangan bukan sebagai
kesenian ataupun produk kebudayaan, ditambah lagi belum ada kesadaran tentang
film nasional, atau film nya orang Indonesia, film hanya berfungsi sebagai media
hiburan saja saat itu. Film yang awal mula di gunakan sebagai kepentingan ekonomi
Hindia Belanda, menjadi berbalik menyerang pemerintah. Orang Belanda yang pada
waktu itu yang tidak mau campur tangan dan kurang perduli terhadap dunia perfilman,
karena di Belanda itu dianggap biasa-biasa saja. Karena kekurangan itu maka iklim
usaha perfilman di ambil alih orang-orang tionghoa. Fungsi sensor film pada masa ini
adalah hanya untuk kepentingan menyangkut pemerintah Hindia Belanda agar tidak

1 Krishna Sen, Kuasa Dalam Sinema Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru, hal 22.
2 ibid
menghilangkan wibawa orang Eropa dimata pribumi dengan cara memotong adegan
yang kurang pantas dianggap oleh orang pribumi

Sensor Film Masa Orde Baru


Setelah Kemerdekaan, perfilman Indonesia tumbuh menjadi Perfilman Nasional
Berkat Usmar Ismail lewat film Darah dan Doa yang dibuat oleh PERFINI
(Perusahaan Film Nasional). Film Darah dan Doa menjadi film pertama yang di buat
oleh pribumi seutuhnya untuk menunjukkan eksistensi sebuah bangsa yang merdeka
melalui media film.

Proklamasi kemerdekaan yang dideklarasikan secara tertulis oleh Soekarno-Hatta


mendapat sambutan dari seluruh komponen bangsa. Dengan adanya kemerdekaan itu,
muncullah definisi tentang bangsa Indonesia yang pada perkembangannya
berpengaruh pada dunia perfilman.Artinya, kemerdekaan tidak hanya disikapi
denganupaya kelompok pribumi menguasai perusahaan-perusahaan film tetapi lebih
jauh diisi oleh tekad untuk membangun dunia perfilman itu sendiri berdasarkan
kehendak bebas sebagai bangsa yang merdeka.3
Memasuki masa Orde Baru, Setelah prahara 1965-66 mereda, perubahan yang
segara terjadi di bidang perfilman Indonesia resktrukriasisasi institusi-institusinya.
Banyak dari organisasiorganisasi lama yang dinyatakan terlarang dan dihancurkan,
atau keanggotaannya diganti kemudian tercipta lembaga-lembaga baru. Serangkaian
perubahan ini mempengaruhi organisasi-organisasi profesi (tata pengaturan), ekonomi
produksi film, dan kerja-kerja sensor. Perubahan tersebut tidak terjadi dalam
semalam; bahkan beberapa perubahan sudah lebih dulu terjadi sebelum Oktober 1965.
Lembaga-lembaga yang diperbaruhi dan dibangun kembali menyimpan
hambatan-hambatan dan peluang baru bagi produksi film di Indonesa.4

Sensor yang berfungsi pada masa Orde Baru adalah untuk mendukung kepentingan
politiknya semata. Masyarakat harus teratur dari keteraturanya yang dibuat dari
pandangan Orde Baru, yang mengatur agar masyarakat tidak berisik. Agar kekuasaan
nya tetap berlanjut tanpa ada gangguan politik, Orde Baru melalui Departemen
Penerangan menjadi corong utama untuk alat propaganda politik kekuasaanya, dan
juga lewat Lembaga Sensor tentunya. Film yang bermaksud menyinggung orde baru,
atau film-film yang memancing pemberontakan dihilangkan dari perederan bioskop.
Pada waktu film hanya-hanya di penuhi film film horor yang bertema sadis dan
seksual saja. Film-film horor dan hantu-hantunya mengambarkan sebuah kekacuan
dan tidak teraturnya kehidupan masyarakat, maka dari itu pemerintah lah yang akan
memperlurus masyarakat. Film horor juga menjadi perlambangan PKI, orang PKI dan

3 ibid
4 Krishna Sen, Op.cit, hal 87
Partai PKI disamakan dengan setan-setan di dalam film Horor, yang harus di
musnahkan agar dunia menjadi aman dan teratur.

Sensor Film Masa Reformasi

Produksi film Indonesia menunjukkan peningkatan Katalog Film Indonesia


1926-2007 susunan JB. Kristanto mencatat dalam kurun waktu 2000-2004 sebanyak
74 judul film Indonesia beredar di bioskop. Artinya, saat itu rata-rata diproduksi 15
film per tahun. Pada 2007 beredar lebih dari 70 judul film Indonesia, sedangkan tahun
2008 diperkirakan jumlahnya berkisar 100 judul.5

Tumbangnya Orde Baru pada 1998 akhirnya meruntuhkan kekangan yang


menyandera para pegiat industri kreatif perfilman. Perfilman Indonesia yang tak perlu
lagi menggunakan surat izin penyiaran berkembang pesat. Perkembangan ini tak
hanya didukung oleh teknologi yang makin maju, tapi juga keragaman ide dan gaya
pembuatan film yang makin bebas. Perkembangan teknologi turut mendorong
perubahan terhadap peraturan Undang-Undang yang telah dipakai sejak rezim Orde
Baru. Perubahan ini di akomodasi dalam UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang
perfilman. Dalam UU ini, konten yang dilarang telah berubah mengikuti dinamika
politik bangsa.6

Sensor Film di masa reformasi sudah sangat berbeda jika dahulu pada masa kolonial
dan orde baru adalah untuk kepentingan alat propaganda politik, supaya bisa
mengatur pemikiran dan tatanan masyarakat, masa reformasi adalah masa yang bebas
suara, berhak menyatakan pendapat di depan umum, dan berdemokrasi. Dilansir dari
web republika.co.id pengamat perfilman, Adrian Jonathan Pasaribu, menjelaskan
sensor film pada dahulu dan saat ini memiliki tujuan yang berbeda dengan sensor
yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) saat ini di zaman reformasi. Jika
dahulu sensor berdasar pada anggapan bahwa masyarakat kala itu bodoh, mudah
tersulut, dan tidak dapat berpikir logis. Sehingga jika tidak ada sensor, akan
membangkitkan hal-hal primitf dari mereka. “Mereka tidak bisa mengontrol diri
sendiri makanya perlu diatur filmnya. Kejadian ini terus berlanjut pada masa Orde
Baru tujuan sensor yang demikian masih berlaku. Setelah memasuki era reformasi,
hal semacam itu sudah tidak relevan. Karena masyarakat sudah open minded dan
adanya globalisasi masyarakat dibuat sadar dengan diri mereka sendiri atau
menyensor diri mereka sendiri.

5 Heru Effendy, Mengawal Industri Film Indonesia, hal 3


6 https://kumparan.com/@kumparannews/sejarah-panjang-sensor-film-di-indonesia.amp diakses tanggal 15 Juli
2017, 20.38).
Kesimpulan

Sensor Selama ini merupakan faktor yang krusial dalam sinema Indonesia. Pemelihan
tiga masa tersebut, kolonial, Orde Baru, dan reformasi mewakili kepentingan di
zaman nya masingmasing dimana berfungsi untuk memberi pengaruh dan
mempertahakan kekuasaan hingga masa reformasi yang beranggap lembaga sensor
seperti tidak diperlukan lagi.

Yusuf Kurniawan

Anda mungkin juga menyukai