Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,sinus
frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini dilapisi
lapisan mukosa yang merupakan lanjutan mukosa rongga hidung dan bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada kondisi anatomi dan
fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari struktur anatomi normal maupun
perubahan fungsi lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi penyakit sinus.

Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada
membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase
normal. Terbagi dalam akut (si mptoms kurang dari 3 minggu), subakut
(simptoms 3 minggu sampai 3 bulan), dan kronik.

Sinus paranasal adalah rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada
4 pasang sinus yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontalis dan sfenoid kanan
dan kiri dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan
posterior. Sinusitis dapat berkembang dari demam yang lebih dari seminggu,
tetapi tidak semua orang dengan demam berkembang menjadi sinusitis.

Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa


hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari sistem pernafasan. Penyakit
yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus
paranasalis. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh
saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomi harus dianggap sebagai satu
kesatuan.1-2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasalis. Penyebab


utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Secara
epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksilla. .
Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris,
etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung
selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu
tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2

Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis


ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang
ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang
sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia
kurang lebih 8 tahun.

Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena
(1) merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar
sinus maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada
gigi dapat menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di
meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah
tersumbat.

2
2.2 ETIOLOGI

Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu


penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang menurun
akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti penyakit dan
faktor eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar lingkungan yang
tinggi zat kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain.

Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit


sinusitis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan
neoplasma. Adapun agen etiologinya dapat berupa virus, bakteri atau jamur.4
 Virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas,
infeksi virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga
menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinyu dengan
mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai
dapat meluas ke sinus. Antara agen virus tersering menyebabkan sinusitis
antara lain: Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan
adenovirus.
 Bakteri

Organisme penyebab tersering sinusitis akut mungkin sama dengan


penyebab otitis media. Yang sering ditemukan antara lain: Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, Branhamella cataralis, Streptococcus
alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Penyebab dari
sinusitis kronik hampir sama dengan bakteri penyebab sinusitis akut.
Namun karena sinusitis kronik berhubungan dengan drainase yang kurang
adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi
yang terlibat cenderung bersifat opportunistik, dimana proporsi terbesar
merupakan bakteri anaerob (Peptostreptococcus, Corynobacterium,
Bacteroides, dan Veillonella).

 Jamur

3
Biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi
immunosupresif, dan immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS.
Jamur penyebab infeksi biasanya berasal dari genus Aspergillus dan
Zygomycetes.

2.3 EPIDEMIOLOGI

Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis


dengan lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis lebih
sering terjadi dari awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya sinusitis
meningkat seiring dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus
respiratorius lainnya. Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-
laki karena mereka lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka
perbandingannya 20% perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis lebih
sering diderita oleh anak-anak dan dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan
infeksi Rhinovirus.

2.4 KLASIFIKASI

Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,


sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm):

- Ringan = VAS 0-3

- Sedang = VAS >3-7

- Berat = VAS >7-10

Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:

Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?

│_______________________________________________________________│

4
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk yang masuk akal

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kulaitas hidup pasien

Berdasarkan durasi penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi:

Akut

 < 12 minggu
 Resolusi komplit gejala

Kronik

 12 minggu
 Tanpa resolusi gejala komplit
 Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut

Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi menjadi


subgrup yang didasarkan atas temuan endoskopi, yaitu:

1. Rinosinusitis kronik dengan polip nasal


Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media

2. Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal


Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu setelah
penggunaan dekongestan.

PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. 2
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak

5
dan lendir tidak dapat dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Maka terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus terjadinya transudasi, yang mula-mua
cairan serosa. Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia
menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Kondisi inilah yang disebut rhinosinusitis non-bacterial.

Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.7

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.

6
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan
bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler
terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer
dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi
fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan
menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya
dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis
tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi melalui :
-
tromboflebitis dari vena yang perforasi
-
Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau
nekrotik
-
terjadinya defek
-
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
limfatik.

7
2.5 GEJALA KLINIS

Wald mencatat bahwa gejala flu biasa membaik dalam 5 sampai 7 hari,
dan jika gejala menetap lebih dari 10 hari, gejala cenderung menjadi sekunder ke
salah satu sinusitis akut atau gejala persisten dari sinusitis kronis. Gejala sinusitis
kronis berlangsung lebih dari 3 minggu. American Academy of Otolaryngology
membagi kategori gejala untuk menegakan rinosinusitis, yaitu kategori gejala
mayor dan minor. Menurut durasi gejala, rinosinusitis didefinisikan sebagai akut
bila gejala berlangsung 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala hadir selama 4
sampai 12 minggu, atau kronis untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12
minggu.

2.5.1 Sinusitis akut

Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut
termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran
napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7
hari.

Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi


virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh
infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen.

Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan
interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai
memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara
tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Untuk mendiagnosis
rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor.
Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.

8
SIGNS AND SYMPTOMS ASSOCIATED WITH DIAGNOSIS OF
RHINOSINUSITIS (1996 RHINOSINUSITIS TASK FORCE)

Gejala Mayor Gejala Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada muka Sakit kepala

Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)

Obstruksi hidung Halitosis

Sekret hidung yang purulen, post Kelelahan


nasal drip
Sakit gigi
Hiposmia atau anosmia
Batuk
Demam (hanya pada rinosinusitis
akut) Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh
pada telinga

2.5.2 Sinusitis kronik

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama


eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut, selain itu gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini
yaitu : sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati.

Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor


predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang
menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering
mengalami hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan

9
daripada yang tidak memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting
dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang
umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri
anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa.

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)

Durasi Gejala Pemeriksaan Fisik

> 12 minggu Satu atau lebih dari 1. perubahan pada hidung, polip,
gejala terus gejala tersebut atau polypoid pembengkakan
menerus pada rhinoskopi anterior
(dengan decongestion) atau
hidung endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi
di cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas
diagnosis (foto polos atau
computerized tomography)

10
Kennedy mengklasifikasikan rhinosinusitis kronik menjadi 4 bagian berdasarkan
area yang terlibat :

Stadium Area
I kelainan anatomi Semua penyakit sinus unilateral Penyakit
Bilateral terbatas pada sinus ethmoid
II ethmoid bilateral dengan keterlibatan satu sinus lainnya
III ethmoid bilateral dengan keterlibatan 2 atau lebih sinus lainnya
IV Poliposis sinonasal Diffuse

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

Gejala subyektif : Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu :hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke
nasofaring (postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagihari,
nyeri di daerahsinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.

1. Sinusitis Maksilaris

Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris


akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya
reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,
penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu
naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat
keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.7

2. Sinusitis Etmoidalis

Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali


bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola

11
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis,
post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada pangkal hidung.

3. Sinusitis Frontalis

Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga
menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik,
nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi
merupakan tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.

4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan
oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
 Gejala Obyektif : Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak
mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali jika
terdapat komplikasi.
 Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema,
pada sinusitismaksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid
posterior dan dansinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus
superior.( Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun
komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harusmelakukan
penatalaksanaan yang sesuai).
 Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit, dan provokasi test, yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan

12
ludan dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis maksilaris,
maka akan keluar pus dari hidung.
 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan
berbagai posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-
Scan. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan
patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga
dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.

 Pemeriksaan foto kepala


Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal
terdiri atas berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)

Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang


midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak
pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau
pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line
tegak lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.

Foto kepala posisi Caldwell

13
Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada
sinus maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut

b. Foto kepala lateral


Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan
sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar
sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.15

Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus


maksilla

Pada sinusitis tampak :


- penebalan mukosa
- air fluid level (kadang-kadang)
- perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal
- penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus
kronik)

14
c. Foto kepala posisi waters
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap
film, garis orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada
foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat
dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada
keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.

d. Foto kepala posisi Submentoverteks


Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala
pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar
dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital
melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat
sinus frontalis dan dinding posterior sinus maxillaris.

15
e. Foto posisi Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian
posterior sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita
sisi lain.

f. Foto kepala posisi Towne


Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi
antara 300-600 ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-
kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam bidang
midsagital.proyeksi ini paling baik untuk menganalisis dinding
posterior sinus maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus
mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.

 Pemeriksaan Tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan
pemeriksaan axial dan coronal CT-Scan. Pada Pemeriksaan Tomogram
biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau Waters.

 Pemeriksaan Ct Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat

16
menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk
jaringan lunak, irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik
yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan
ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus
dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis.

Foto normal CT Scan sinus Maxilla

Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla


dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan

 Pemeriksaan MRI

MRI memberikan gambaran yang lebih baik dalam membedakan


struktur jaringan lunak dalam sinus. Kadang digunakan dalam kasus
suspek tumor dan sinusitis fungal. Sebaliknya, MRI tidak mempunyai
keuntungan dibandingkan dengan CT Scan dalam mengevaluasi sinusitis.

17
MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang yang
kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam
penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat
dan sulit dilakukan pada pasien klaustrofobia. 16
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan
mengenali mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik
untuk mendeteksi empiema subdural atau epidural. (11)

Foto MRI normal sinus

MRI menunjukkan ekstensi intraorbital sinus ethmoid bagian kanan

18
2.7 PENATALAKSANAAN

Mikrobiologi pada sinusitis orang dewasa

Acute Chronic
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae Streptococcus pneumonia
Moraxella catarrhalis Anaerobes
Anaerobes Enteric gram-negative bacilli
Staphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococcus
Other streptococci Haemophilus influenzae
Pseudomonas aeruginosa
Alpha streptococcus
Moraxella catarrhalii
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.

Terapi antibiotic harud diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala


terkontrol. Lama terapi rata-rata 10 hari. Karena banyaknya distribusi ke sinus-
sinus yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat bila
tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki
drainase dan pembersihan secret dari sinus. Untuk sinusitis maxillaris dilakukan
pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan
sinusitis sphenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian
dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan
dan klinis masih tetap banyak secret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal.

Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami


komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat
menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena

19
selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.

Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan


metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi
alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk
mengurangi nyeri.

Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani


bermanfaat. Pengontrolan lingkungan, steroid topical, dan imunoterapi dapat
mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi
sinusitis.

Dekongestan
 Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
 Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan
mengurangi oedema mukosa.

Anti Histamin dan Kortikosteroid


 Antihistamin serta kortikosteroid diberikan lebih khusus untuk penderita
sinusitis yang dicetuskan karena keadaan rhinitis alergi.

Antihistamin
 Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi
rhinore, dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping
menembus sawar darah otak

Kortikosteroid

20
 bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid
oral yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat
minimal, begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal.

Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan
pada sinusitis etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis
frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan
sinus endoskopik merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi yang
baik dan magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah,
teknik ini menjadi populer akhir-akhir ini.

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain20


1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
c)
2.9 PROGNOSIS
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%
penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki
prognosis yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah
diterapi dengan bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien membaik
dengan intervensi bedah, namun pasien ini kadang mengalami kekambuhan.19

21
BAB III

KESIMPULAN

Sinus adalah rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung
dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga
kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di daeranh hidung. Rongga
sinus sendiri terdiri dari 4 jenis yaitu :
- Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
- Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di sampig hisung
- Sinus Ethmooid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
- Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata

Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat
infeksi atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis subakut biasanya disebakan oleh
infeksi atau tidakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya di sebabkan oleh
infeksi bakteri. Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan
lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang
terjadi (infeksi dan non infeksi). Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit
kurang dari 30 hari. Sinusitis subakut bila lamanya penyakit antara 1 bulan sampai
3 bulan, sedangkan sinusitis khronis bila penyakit diderita lebih dari 3 bulan.
Sinusitis subakut dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang
tidak mendapatkan pengobatan adekuat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis dalam Kumpulan makalah Simposium


sinusitis,Jakarta 1999, 1 – 6.
2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N.
dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK UI Jakarta
2000 ;85-87
3. Michael A. Kaliner MD. Recurent Sinusitis Examine Medical Treatment
Options.American Journal of Rhinologi. Vol II No. 2 March April 2007
123-30.
4. Blumenthal MN. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Adam
GL, Boies LR Jr. Hilger P. (Eds). Boies Fundametal of Otolaryngology,
6th ed. Philadelphia 2009, 195 – 205.
5. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and
Accessory Sinuses. Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat,
ear,head and neck.13th ed. Philadelphia 2005, 1 – 25.
6. Mygind Robert N. Alergic Diagnosis. Allergic dan Non Allergic Rinitis
Frankland AW. Editor. Nasal allergy 2 nd ed. Blackwell Scientific
Publication Oxford London Edinbergh, Melbourne 2008 ; 182 - 98.
7. Becker W. at all. Inflamation of Sinuses. Clinical Aspects of Desease of
the Nose and Throat Desease. A Pocket Reference, second Edition.
Thieme New York 1994, page 224-37
8. Hilger PD. Disease of Parasanal Sinuses. Adam GL Boies LRJK Hilger
Fundametal of Oyolaryngology,6th ed. Philadelphia ; Sounders Company,
198949 – 270
9. Dina,2010. Alergi sebagai faktor sinusitis
kronis.www.google.com.Download tanggal 1 oktober 2010
10. Suetjipto D. Hidung dan Sinus Parasanal Anatomy Hidung dan sinus
Parasanal. Dalam Iskandar N. ddl (Eds) Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 2010 ; 75 – 84
11. Mangunkusumo, Rifki. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI Mansjoer, Triyanti, Savitri. 2005.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

23
12. Budianto. 2005. Guidance to Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar
asisten anatomi FK UNS Surakarta.
13. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi
Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach in
Treatment of Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT
FK UI / RSCM, Jakarta,pp.14-18
14. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical
Immunology”,Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
15. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi
pada Simtom, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional
Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta
Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan
Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18
16. Kennedy DW, Lee JT, 2006, Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck
Surgery-Otolaryngology, Vol I, Fourth Edition, ByronJ.Bailey Lippincott
Wiliams and Wilkins, Philadelphia,459-75
17. Sakakura Y, 2009, Mucociliary Transport in Rhinologic Disease, in
Bunnag C, Muntharbornk, Asean Rhinological Practice, Siriyot Co,Ltd,
Bangkok,137-43
18. Weir N, Golding-Wood DG(1997) Infective rhinitis and Sinusitis.in :
mackay IS, Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology(Rhinologi).6th
ed.Oxford,Boston,Singappore:Butterworth-Heinemann:4/8/1-49
19. Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah
SimposiummNasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa
Penyakit PenyertamRinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral,
Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15
20. Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World
Health Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma (ARIA), WHO, pp.3-7
21. Waguespack R, 2009, Mucociliary Clearance Patterns Following
Endoscopic Sinus Surgery, La

24

Anda mungkin juga menyukai