PENDAHULUAN
Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,sinus
frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini dilapisi
lapisan mukosa yang merupakan lanjutan mukosa rongga hidung dan bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada kondisi anatomi dan
fisiologis normal, sinus terisi udara. Deviasi dari struktur anatomi normal maupun
perubahan fungsi lapisan mukosa dapat menjadi predisposisi penyakit sinus.
Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada
membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase
normal. Terbagi dalam akut (si mptoms kurang dari 3 minggu), subakut
(simptoms 3 minggu sampai 3 bulan), dan kronik.
Sinus paranasal adalah rongga di dalam tulang kepala yang terletak disekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada
4 pasang sinus yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontalis dan sfenoid kanan
dan kiri dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan
posterior. Sinusitis dapat berkembang dari demam yang lebih dari seminggu,
tetapi tidak semua orang dengan demam berkembang menjadi sinusitis.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena
(1) merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar
sinus maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada
gigi dapat menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di
meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah
tersumbat.
2
2.2 ETIOLOGI
Jamur
3
Biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes, terapi
immunosupresif, dan immunodefisiensi misalnya pada penderita AIDS.
Jamur penyebab infeksi biasanya berasal dari genus Aspergillus dan
Zygomycetes.
2.3 EPIDEMIOLOGI
2.4 KLASIFIKASI
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:
│_______________________________________________________________│
4
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk yang masuk akal
Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
Kronik
12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
PATOFISIOLOGI
5
dan lendir tidak dapat dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Maka terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus terjadinya transudasi, yang mula-mua
cairan serosa. Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia
menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Kondisi inilah yang disebut rhinosinusitis non-bacterial.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.7
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
6
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan
bakteri, debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler
terjadi dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer
dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi
fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan
menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya
dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis
tulang.
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi melalui :
-
tromboflebitis dari vena yang perforasi
-
Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau
nekrotik
-
terjadinya defek
-
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
limfatik.
7
2.5 GEJALA KLINIS
Wald mencatat bahwa gejala flu biasa membaik dalam 5 sampai 7 hari,
dan jika gejala menetap lebih dari 10 hari, gejala cenderung menjadi sekunder ke
salah satu sinusitis akut atau gejala persisten dari sinusitis kronis. Gejala sinusitis
kronis berlangsung lebih dari 3 minggu. American Academy of Otolaryngology
membagi kategori gejala untuk menegakan rinosinusitis, yaitu kategori gejala
mayor dan minor. Menurut durasi gejala, rinosinusitis didefinisikan sebagai akut
bila gejala berlangsung 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala hadir selama 4
sampai 12 minggu, atau kronis untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12
minggu.
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut
termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran
napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7
hari.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan
interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan sebagai
memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis secara
tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Untuk mendiagnosis
rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2 faktor minor.
Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus dimasukkan dalam
diagnosis diferensial.
8
SIGNS AND SYMPTOMS ASSOCIATED WITH DIAGNOSIS OF
RHINOSINUSITIS (1996 RHINOSINUSITIS TASK FORCE)
Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)
9
daripada yang tidak memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan penting
dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme yang
umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri
anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa.
> 12 minggu Satu atau lebih dari 1. perubahan pada hidung, polip,
gejala terus gejala tersebut atau polypoid pembengkakan
menerus pada rhinoskopi anterior
(dengan decongestion) atau
hidung endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi
di cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas
diagnosis (foto polos atau
computerized tomography)
10
Kennedy mengklasifikasikan rhinosinusitis kronik menjadi 4 bagian berdasarkan
area yang terlibat :
Stadium Area
I kelainan anatomi Semua penyakit sinus unilateral Penyakit
Bilateral terbatas pada sinus ethmoid
II ethmoid bilateral dengan keterlibatan satu sinus lainnya
III ethmoid bilateral dengan keterlibatan 2 atau lebih sinus lainnya
IV Poliposis sinonasal Diffuse
2.6 DIAGNOSIS
Gejala subyektif : Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu :hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke
nasofaring (postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagihari,
nyeri di daerahsinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
1. Sinusitis Maksilaris
2. Sinusitis Etmoidalis
11
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis,
post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada pangkal hidung.
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga
menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila
disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik,
nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi
merupakan tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan
oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Gejala Obyektif : Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak
mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan kecuali jika
terdapat komplikasi.
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema,
pada sinusitismaksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior
tampak nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid
posterior dan dansinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus
superior.( Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun
komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harusmelakukan
penatalaksanaan yang sesuai).
Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang
lebih 5 menit, dan provokasi test, yakni suction dimasukkan pada hidung,
pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan
12
ludan dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis maksilaris,
maka akan keluar pus dari hidung.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan
berbagai posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-
Scan. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan
patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga
dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.
13
Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada
sinus maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut
14
c. Foto kepala posisi waters
Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap
film, garis orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada
foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada
dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat
dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada
keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat
menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik.
15
e. Foto posisi Rhese
Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian
posterior sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita
sisi lain.
Pemeriksaan Tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan
pemeriksaan axial dan coronal CT-Scan. Pada Pemeriksaan Tomogram
biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau Waters.
Pemeriksaan Ct Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat
16
menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk
jaringan lunak, irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik
yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan
ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus
dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis.
Pemeriksaan MRI
17
MRI memberi hasil positif palsu yang tinggi, penggambaran tulang yang
kurang, dan biaya yang mahal. MRI membutuhkan waktu lama dalam
penyelesaiannya dibandingkan dengan CT Scan yang relatif cukup cepat
dan sulit dilakukan pada pasien klaustrofobia. 16
MRI mungkin merupakan pilihan terbaik untuk mendeteksi dan
mengenali mukokel. MRI dengan kontras merupakan teknik terbaik
untuk mendeteksi empiema subdural atau epidural. (11)
18
2.7 PENATALAKSANAAN
Acute Chronic
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae Streptococcus pneumonia
Moraxella catarrhalis Anaerobes
Anaerobes Enteric gram-negative bacilli
Staphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococcus
Other streptococci Haemophilus influenzae
Pseudomonas aeruginosa
Alpha streptococcus
Moraxella catarrhalii
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
19
selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.
Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan
mengurangi oedema mukosa.
Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi
rhinore, dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping
menembus sawar darah otak
Kortikosteroid
20
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid
oral yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat
minimal, begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal.
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan
pada sinusitis etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal dilakukan pada sinusitis
frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan pada sinusitis sfenoidalis. Pembedahan
sinus endoskopik merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi yang
baik dan magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah,
teknik ini menjadi populer akhir-akhir ini.
2.8 KOMPLIKASI
21
BAB III
KESIMPULAN
Sinus adalah rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung
dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga
kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di daeranh hidung. Rongga
sinus sendiri terdiri dari 4 jenis yaitu :
- Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
- Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di sampig hisung
- Sinus Ethmooid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
- Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh kerusakan lapisan rongga sinus akibat
infeksi atau tindakan bedah. Sedangkan sinusitis subakut biasanya disebakan oleh
infeksi atau tidakan bedah. Sedangkan sinusitis kronis biasanya di sebabkan oleh
infeksi bakteri. Sinusitis dapat dibagi menjadi dua tipe besar yaitu berdasarkan
lamanya penyakit (akut, subakut, khronis) dan berdasarkan jenis peradangan yang
terjadi (infeksi dan non infeksi). Disebut sinusitis akut bila lamanya penyakit
kurang dari 30 hari. Sinusitis subakut bila lamanya penyakit antara 1 bulan sampai
3 bulan, sedangkan sinusitis khronis bila penyakit diderita lebih dari 3 bulan.
Sinusitis subakut dan khronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang
tidak mendapatkan pengobatan adekuat.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
12. Budianto. 2005. Guidance to Anatomy III. Surakarta. Keluarga besar
asisten anatomi FK UNS Surakarta.
13. Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi
Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach in
Treatment of Allergic Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT
FK UI / RSCM, Jakarta,pp.14-18
14. Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy and Clinical
Immunology”,Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
15. Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi
pada Simtom, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional
Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta
Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan
Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18
16. Kennedy DW, Lee JT, 2006, Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck
Surgery-Otolaryngology, Vol I, Fourth Edition, ByronJ.Bailey Lippincott
Wiliams and Wilkins, Philadelphia,459-75
17. Sakakura Y, 2009, Mucociliary Transport in Rhinologic Disease, in
Bunnag C, Muntharbornk, Asean Rhinological Practice, Siriyot Co,Ltd,
Bangkok,137-43
18. Weir N, Golding-Wood DG(1997) Infective rhinitis and Sinusitis.in :
mackay IS, Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology(Rhinologi).6th
ed.Oxford,Boston,Singappore:Butterworth-Heinemann:4/8/1-49
19. Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah
SimposiummNasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa
Penyakit PenyertamRinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral,
Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15
20. Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World
Health Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma (ARIA), WHO, pp.3-7
21. Waguespack R, 2009, Mucociliary Clearance Patterns Following
Endoscopic Sinus Surgery, La
24